Selasa, 16 Januari 2018

HYPER GRACE: Suatu Telaah Teologis

 Tinjauan Konsep Hyper-Grace Mengenai Isu ‘Menentang Pertobatan’ Berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9

Oleh : Yosep Belay


BAB I. PENDAHULUAN

          Konsep “Kasih Karunia” dalam teologi Kristen memiliki peranan yang sangat fundamental. Hal ini disebabkan karena konsep ini merupakan satu-satunya konsep Keselamatan yang memiliki ciri khas serta perbedaan tajam dengan konsep keselamatan agama lain. Kasih Karunia merupakan pemberian Allah (Theosentris), sedangkan konsep agama lain merupakan usaha manusia (Antroposentris). Namun seiring dengan perkembangan pemikiran teologi yang terus berlangsung, maka hal tersebut melahirkan beragam pemikiran yang ikut mempengaruhi konsep ini, dan tak terkecuali di zaman sekarang. Saat ini terdapat salah satu kelompok yang mengajarkan konsep Kasih Karunia yang melenceng, yaitu para penganut “Hyper-Grace”[1]

          Dalam meganalisa konsep pengajaran kelompok tersebut, Penulis menjumpai sedikitnya dua belas penyimpangan pengajaran yang berhubungan dengan Kasih Karunia. Salah satunya yang akan penulis angkat dalam tulisan ini adalah menyangkut isu penolakan kalangan Hyper-Grace yaitu “menentang Pertobatan”. Isu tersebut dapat di lihat pada isi khotbah dan beberapa tulisan dari kalangan tersebut. Sebagai contoh, dalam bukunya “The Hyper Grace Gospel”, Paul Ellis[2] membuka argumentasinya untuk menjawab Brown dengan mengutip argumentasi yang dibangun Brown, yaitu, 

Para pengkhotbah hiper-anugerah mengatakan bahwa pertobatan tidak diperlukan. Mereka mengatakan bahwa pertobatan adalah tanda ketidak percayaan[3]

Ia kemudian melanjutakan dengan argumentasinya sebagai pembelaan yang mewakili kalangan Hyper-Grace.

Isu untuk “Menolak pertobatan” oleh kalangan Hyper-Grace, tentu memiliki dampak yang fatal dalam hal etika dan buah kehidupan kristiani. Dari kepentingan ini maka penulis merasa penting untuk mengangkat Isu tersebut (“Menentang pertobatan”) yang akan diuji oleh terang Firman Allah dengan maksud agar Orang percaya dapat melihat dengan benar dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan praktis.


BAB II. KAJIAN EKSEGETIKAL 

I. Apakah “Kasih Karunia” itu?

Kasih Karunia merupakan suatu kalimat yang menyatakan secara utuh kepenuhan tindakan kasih Allah kepada manusia, tanpa intervensi sedikitpun oleh manusia tersebut. Sean Michael Lucas mengatakan bahwa Kasih Karunia adalah,

(tindakan) Allah yang mengambil kita yang hancur berantakan oleh dosa dan menunjukan kepada kita perkenanan yang tidak layak kita terima, yang diberikan tanpa paksaan … kedua kata itu ditemukan dalam Efesus 2:4, “Tetapi Allah!” meskipun kita telah hancur berantakan oleh dosa kita, Allah dalam Anugerah-Nya mencurahkan kekayaan anugerah-Nya atas kita dalam Yesus Kristus[4].

Dalam konsep pengajaran Hyper-Grace, makna kasih Karunia juga memiliki definisi yang sama. Ellis mengatakan bahwa anugerah berbicara mengenai Allah yang mengasihi manusia dengan kasih yang tak terukur. Mengutip Philip Yancey, ia menanjutkan bahwa, 

“Anugerah berarti tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membuat Allah lebih mengasihi saya, dan tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membuat Allah kurang mengasihi saya”[5]

Dapat disimpulkan bahwa makna Kasih Karunia baik dari kalangan Otrodoks maupun kalangan Hyper-Grace adalah sama, yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia yang didasari secara mutlak atas kasih, kemurahan, kebaikan, dan kedaulatan-Nya untuk manusia. Pada titik tersebut, penulis menemukan bahwa tidak ada perbedaan mendasar mengenai konsep “Kasih Karunia”.

II. Korelasi Antara Kasih Karunia dan Pertobatan

 dalam konsep Hyper-grace.

  Isu penting yang menjadi perdebatan adalah penolakan kalangan “Hyper-Grace” mengenai pertobatan bagi Orang percaya. Bulletin Doa bulanan GBI yang mengutip Pandangan Dr. Brown, menjabarkan pandangan kalangan Hyper-Grace demikian,

Dalam pengajaran Hyper-Grace, orang yang sudah lahir baru itu tidak perlu minta ampun. Kalau minta ampun itu justru mereka berdosa. Sehingga mereka menolak “Doa Bapa Kami” karena disitu Tuhan Yesus menyebutkan, “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Artinya mereka katakana, “tuhan Yesus, salah Kamu!” Mana bisa orang yang sudah bertobat terus menita ampun lagi dan kalau mereka disadarkan atas dosanya maka doa mereka seperti ini, “Terima Kasih Tuhan, saya dalam keselamatan dan Kasih Karunia-Mu sehingga saya tidak dihukum” … “Terima Kasih Tuhan, sekalipun saya berbuat dosa, saya tetap benar sempurna dihadapan-Mu”.[6]

          Dengan demikian maka jelas bahwa kalangan Hyper-Grace menekankan secara berlebihan menganai Kasih Karunia sehingga mengakibatkan orang percaya menjadi “mati rasa” terhadap dosa. Suatu pengajaran yang mematikan nurani orang percaya sebagai alarm terhadap dosa. “Pertobatan” tidak lagi diperlukan dalam konsep Hyper-Grace, karena di dalam anugerah Allah memang tidak ada dosa lagi yang menuntut suatu “pertobatan”.

Setelah meninjau dari kalangan yang kontra Hyper-Grace, maka berikut penulis menyajikan jawaban dari Ellis yang menwakili kelompok Hyper-Grace dalam usaha untuk menyajikan suatu sudut pandang yang holistic dan objektif. Menjawab  tuduhan tersebut, Ellis mengatakan bahwa,

Pertobatan adalah salah satu kata yang memilki arti berbeda bagi orang-orang berbeda. Orang yang pola pikirnya berorientasi perbuatan biasanya mengiterpretasikan pertobatan sebagai berbalik dari dosa … Injil anugerah-campuran akan mendefinisikan pertobatan sebagai suatu rangkaian sikap yang dianjurkan (misalnya, berbalik dari dosa) dan emosi-emosi (misalnya, penyesalan dan kesedihan). Tetapi mewajibkan cara yang benar untuk orang bertobat sama dengan menempatkan orang di bawah hokum taurat … pertobatan itu sendiri sebenarnya adalah pembaharuan pikiran. Itulah arti harfiah kata tersebut.[7]

Dari penjelasan demikian, dapat penulis simpulkan dua hal. Pertama, bahwa penganut Hyper-Grace menolak “Pertobatan” dengan suatu tindakan usaha manusia, karena akan terjebak pada pola taurat, dan hal itu bukan lagi merupakan Kasih Karunia, tetapi usaha manusia. Hal tersebut bukan lagi Injil Anugerah, akan tetapi Injil Anugerah-Campuran.

Dan kedua, kalangan Hyper-Grace bertumpu pada istilah “Pertobatan” dimana kata pertobatan tersebut dibatasi secara etimologi, yaitu “Metanoia”—Perubahan pola pikir. Pertobatan dalam perspektif Hyper-Grace bukanlah suatu tindakan aktif (sikap yang ekspresif) akan tetapi hanya merupakan suatu perupahan pola pikir. Suatu perubahan pola pikir, dimana proses pertobatan tersebut pasif, hanya saja pola pikir yang berubah dan menggantungkan semua dosa dan kesalahan pada karya Kristus.

Meninjau kedua sudut pandang tersebut, maka dapat dilihat bahwa terdapat kekeliruan dalam perspektif kalangan konservatif mengenai pandangan Hyper-Grace, dan begitu juga sebaliknya. Kalangan konservatif menuduh Hyper-Grace “Menentang Pertobatan” akan tetapi tidak demikian. Kalangan Hyper-Grace membatasi konsep “Pertobatan” hanya pada definisi kata tersebut dan korelasinya pada karya Kristus sehingga memberikan konsekwensi logis pada pemaknaan kata tersebut yang pasif (tanpa perlu suatu perbuatan aktif dari si petobat). 

Sementara kalangan Hyper-Grace menuduh kalangan konservatif telah membuat suatu hukum taurat baru dengan menambahkan tindakan praktis bagi si petobat (misalnya, saran-saran seperti harus meninggalkan perbuatan dosa-dosa lama). Dengan demikian menurut mereka, hal tersebut tidak lagi murni sebagai sebuah anugerah, namun anugerah-campur perbuatan. Meski demikian ada kelemahan dalam konsep “Pertobatan” menurut Hyper-Grace. Pada sub bab berikut, penulis akan menjabarkannya.

III. Evaluasi Isu “Menentang Pertobatan—Hyper Grace” Berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9.

Dalam usaha untuk mengevaluasi pandangan tersebut, maka penulis akan membagi bagian ini menjadi dua bagian. Pertama, tinjauan dari sudut pandang Alkitab berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9, dan ayat lainnya. Kemudian yang kedua, tinjauan dari sudut etimologi kata “Pertobatan”.

1. Tinjauan berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9.

          Dalam Surat Yohanes tersebut, sang Rasul dengan tegas mengatakan bahwa: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”. Tidak perlu untuk bersusah payah mengeksegesis ayat tersebut, karena memang secara eklplisit sangatlah jelas bahwa Rasul Yohanes juga menasehatkan Orang percaya agar tetap mengaku dosa (bdk. juga dengan, Yakobus 5:16). Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun kita telah hidup dalam Anugerah/Kasih Karunia Allah, akan tetapi kita tidak secara ajaib menggunakan “sayap dan buntalan putih dikepala”, akan tetapi terkadang Orang percaya jatuh, dan bangkit lagi. Hal ini merupakan suatu proses pengudusan yang terus berlangsung hingga kematian menjemput. Maka pertobatan (baik pengakuan dosa, maupun tindakan aktif untuk berpaling dari perbuatan dosa) tidak dapat dipisahkan dari pergumulan perjalanan Iman setiap Orang percaya.

          Hal ini bukan berarti suatu “Taurat baru” akan tetapi merupakan buah dan bukti dari pertobatan itu sendiri (bdk. Matius 3:8; Lukas 3:8). Penafsiran kalangan Hyper-Grace dimana suatu bentuk pertobatan yang aktif (dengan tindakan meninggalkan dosa) sebagai suatu “Taurat” adalah hal yang berlebihan dan suatu ketidak sadaran bahwa “menjadi manusia baru” tidak lantas menghilangkan natur “daging” dalam kehidupan orang percaya. Sebaliknya, suatu “Pertobatan yang tanpa buah adalah penipuan”. Itu sebabnya Rasul Yakobus mengatakan bahwa Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.

2. Tinjauan Etimologi kata “Pertobatan”.

          Kata “Pertobatan” berasal dari bahasa Yunani Metanoia, kata sifat yang secara harfiah dapat berarti “Pertobatan; Perubahan pikiran; hal berpaling (dari dosa)”[8]. Akan tetapi jika kata tersebut berubah menjadi kata kerja Metanoeo, maka akan menjadi suatu tindakan aktif, “bertobat, menyesal, berbalik dan meninggalkan dosa”[9]. Dengan demikian secara etimologi pun tidak membenarkan klaim kalangan Hyper-Grace yang menilay makna “Pertobatan” secara pasif. 

          Disisi lain konsekwensi logis dari makna pertobatan yang pasif, akan berdampak suatu bentuk pertobatan yang semu karena sulit menilay apakah seseorang telah benar-benar bertobat atau belum. Jika hanya melalui perubahan pikiran, maka bagaimanakah kita mengetahui seberapa jauh pikiran orang tersebut telah berubah jika tidak ada buah yang disailkannya?.

Dampak lainnya dari “pertobatan pasif” tersebut adalah hilangnya tanggung-jawab moral Orang percaya. Pada titik yang ekstrem akan berujung pada pemahaman “gila” yang dianalisa oleh Brown seperti yang telah dibahas diatas.

BAB III. KESIMPULAN

Diatas telah dijabarkan secara singkat tentang pandangan-pandangan mengenai isu “Menentang pertobatan” baik dari sudut pandang kalangan konservatif, maupun dari kalangan Hyper-Grace, yang kemudian penulis evaluasi melalui kebenaran Firman Tuhan, maka pada bagian penutup ini, sebagai kesipulan, ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan,

1.   Firman Tuhan tidak pernah menentang/menolak pertobatan, sebaliknya, menyarankan pertobatan (perubahan pikiran dan tindakan nyata) sebagai rekonsiliasi dihadapan Allah serta bukti dan buah dari komitmen Orang percaya jatuh dalam dosa.
2.   Menjadi Orang percaya dan hidup dalam anugerah Allah bukan berarti bebas dari natur dosa. Pengudusan progresif terus berlangsung sepanjang hidup Orang percaya, untuk itu “jatuh” itu merupakan proses, akan tetapi “jatuh” bukan berarti menjadi pembenaran untuk berkudang dalam lumpur dosa. “Jatuh” sebaiknya dipandang sebagai kelemahan yang perlu diperbaharui, yang juga sekaligus mengkonfirmasikan bahwa, setiap Orang percaya membutuhkan uluran tangan kasih dan pimpinan Tuhan dalam hidupnya.

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi berkat bagi jemaat Tuhan yang bergumul untuk tekun hidup didalam Kasih Karunia Tuhan dengan benar. Soli Deo Gloria!...



KEPUSTAKAAN.

Alkitab (TB), (Jakarta: LAI, 2012).

Paul Ellis, The Hyper Grace Gospel: Sebuah Respon Bagi Micheal Brown Dan Bagi Mereka Yang Menentang Pesan Kasih Karunia Modern (Jakarta: Light Publishing, 2015).

Sean Michael Lucas, Apakah Anugerah itu? (Surabaya : Momentum, 2013).

Barklay M, Newman, Jr, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).

Buletin Doa GBI Sukawarna, edisi  September 2015.



[1] Dari makna kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hyper-Grace merupakan suatu pengajaran mengenai “Kasih Karunia yang berlebihan”, atau seperti istilah yang digunakan Brown, “Kasih Karunia over dosis”. Puncak dari pengajaran ini berlangsung dari tahun 2014 hingga kini. Salah satu tokoh yang menentang keras pengajaran ini adalah Michael L. Brown, yang  ia suarakan melalui bukunya, “Hyper-Grace: Kasih Karunia Over dosis”, Nafiri Gabriel, 2015.

[2] Paul Ellis merupakan seorang penulis, dan salah satu tokoh pengajar “Hyper-Grace” yang juga disinggung oleh Dr. Brown dalam bukunya. Saat ini Paul Ellis menggembalakan sebuah gereja multikultural di Hongkong.

[3] Paul Ellis, The Hyper Grace Gospel: Sebuah Respon Bagi Micheal Brown Dan Bagi Mereka Yang Menentang Pesan Kasih Karunia Modern (Jakarta: Light Publishing, 2015), 51.

[4] Sean Michael Lucas, Apakah Anugerah itu? (Surabaya : Momentum, 2013), 15.

[5] Paul Ellis, The Hyper Grace Gospel … 17.

[6] Buletin Doa GBI Sukawarna, edisi  September 2015.  Hal. 6. Sebagai catatan, Meskipun dalam bulletin tersebut mengkritisi mengenai konsep Hyper-Grace, namun teologi yang diusung oleh penulis bulletin tersebut adalah Armenian sehingga tidak cocok dengan bahasan mengenai “Anugerah Allah”, karena Anugerah Allah tersebut akhirnya menjadi tidak efektif dan dapat hilang (bdk. hal, 4). Anugerah Allah menjadi cacat karena berubah menjadi konsep “anugerah plus perbuatan”.
[7] Paul Ellis, The Hyper Grace Gospel … 51-52.
[8] Barklay M, Newman, Jr, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 106.

[9] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar