“Tinjauan Konsep Hyper-Grace
Mengenai Isu ‘Menentang Pertobatan’ Berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9”
Oleh : Yosep Belay
BAB I. PENDAHULUAN
Konsep
“Kasih Karunia” dalam teologi Kristen memiliki peranan yang sangat fundamental.
Hal ini disebabkan karena konsep ini merupakan satu-satunya konsep Keselamatan
yang memiliki ciri khas serta perbedaan tajam dengan konsep keselamatan agama
lain. Kasih Karunia merupakan pemberian Allah (Theosentris), sedangkan konsep
agama lain merupakan usaha manusia (Antroposentris). Namun seiring dengan perkembangan
pemikiran teologi yang terus berlangsung, maka hal tersebut melahirkan beragam
pemikiran yang ikut mempengaruhi konsep ini, dan tak terkecuali di zaman
sekarang. Saat ini terdapat salah satu kelompok yang mengajarkan konsep Kasih
Karunia yang melenceng, yaitu para penganut “Hyper-Grace”[1].
Dalam
meganalisa konsep pengajaran kelompok tersebut, Penulis menjumpai sedikitnya
dua belas penyimpangan pengajaran yang berhubungan dengan Kasih Karunia. Salah satunya yang akan penulis angkat dalam tulisan
ini adalah menyangkut isu penolakan kalangan Hyper-Grace yaitu “menentang
Pertobatan”. Isu tersebut dapat di lihat pada isi khotbah dan beberapa tulisan
dari kalangan tersebut. Sebagai contoh, dalam bukunya “The Hyper Grace Gospel”,
Paul Ellis[2]
membuka argumentasinya untuk menjawab Brown dengan mengutip argumentasi yang
dibangun Brown, yaitu,
Para pengkhotbah hiper-anugerah mengatakan bahwa
pertobatan tidak diperlukan. Mereka mengatakan bahwa pertobatan adalah tanda
ketidak percayaan[3]
Ia kemudian melanjutakan dengan argumentasinya sebagai
pembelaan yang mewakili kalangan Hyper-Grace.
Isu untuk “Menolak pertobatan”
oleh kalangan Hyper-Grace, tentu
memiliki dampak yang fatal dalam hal etika dan buah kehidupan kristiani. Dari
kepentingan ini maka penulis merasa penting untuk mengangkat Isu tersebut (“Menentang
pertobatan”) yang akan diuji oleh terang Firman Allah dengan maksud agar Orang
percaya dapat melihat dengan benar dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan
praktis.
BAB II. KAJIAN EKSEGETIKAL
I. Apakah “Kasih Karunia” itu?
Kasih Karunia merupakan
suatu kalimat yang menyatakan secara utuh kepenuhan tindakan kasih Allah kepada
manusia, tanpa intervensi sedikitpun oleh manusia tersebut. Sean Michael Lucas
mengatakan bahwa Kasih Karunia adalah,
(tindakan) Allah yang mengambil kita yang hancur
berantakan oleh dosa dan menunjukan kepada kita perkenanan yang tidak layak
kita terima, yang diberikan tanpa paksaan … kedua kata itu ditemukan dalam
Efesus 2:4, “Tetapi Allah!” meskipun kita telah hancur berantakan oleh dosa
kita, Allah dalam Anugerah-Nya mencurahkan kekayaan anugerah-Nya atas kita
dalam Yesus Kristus[4].
Dalam konsep pengajaran
Hyper-Grace, makna kasih Karunia juga memiliki definisi yang sama. Ellis
mengatakan bahwa anugerah berbicara mengenai Allah yang mengasihi manusia
dengan kasih yang tak terukur. Mengutip Philip Yancey, ia menanjutkan bahwa,
“Anugerah berarti tidak ada yang bisa saya lakukan
untuk membuat Allah lebih mengasihi saya, dan tidak ada yang bisa saya lakukan
untuk membuat Allah kurang mengasihi saya”[5]
Dapat disimpulkan bahwa
makna Kasih Karunia baik dari kalangan Otrodoks maupun kalangan Hyper-Grace
adalah sama, yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia yang didasari secara
mutlak atas kasih, kemurahan, kebaikan, dan kedaulatan-Nya untuk manusia. Pada
titik tersebut, penulis menemukan bahwa tidak ada perbedaan mendasar mengenai
konsep “Kasih Karunia”.
II. Korelasi Antara Kasih Karunia dan Pertobatan
dalam konsep Hyper-grace.
Isu penting yang menjadi perdebatan adalah
penolakan kalangan “Hyper-Grace” mengenai pertobatan bagi Orang percaya. Bulletin
Doa bulanan GBI yang mengutip Pandangan Dr. Brown, menjabarkan pandangan
kalangan Hyper-Grace demikian,
Dalam pengajaran Hyper-Grace, orang yang sudah lahir
baru itu tidak perlu minta ampun. Kalau minta ampun itu justru mereka berdosa.
Sehingga mereka menolak “Doa Bapa Kami” karena disitu Tuhan Yesus menyebutkan, “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti
kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Artinya mereka
katakana, “tuhan Yesus, salah Kamu!” Mana bisa orang yang sudah bertobat terus
menita ampun lagi dan kalau mereka disadarkan atas dosanya maka doa mereka
seperti ini, “Terima Kasih Tuhan, saya dalam
keselamatan dan Kasih Karunia-Mu sehingga saya tidak dihukum” … “Terima Kasih Tuhan, sekalipun saya berbuat
dosa, saya tetap benar sempurna dihadapan-Mu”.[6]
Dengan
demikian maka jelas bahwa kalangan Hyper-Grace menekankan secara berlebihan
menganai Kasih Karunia sehingga mengakibatkan orang percaya menjadi “mati rasa”
terhadap dosa. Suatu pengajaran yang mematikan nurani orang percaya sebagai
alarm terhadap dosa. “Pertobatan” tidak lagi diperlukan dalam konsep
Hyper-Grace, karena di dalam anugerah Allah memang tidak ada dosa lagi yang
menuntut suatu “pertobatan”.
Setelah meninjau dari
kalangan yang kontra Hyper-Grace,
maka berikut penulis menyajikan jawaban dari Ellis yang menwakili kelompok
Hyper-Grace dalam usaha untuk menyajikan suatu sudut pandang yang holistic dan
objektif. Menjawab tuduhan tersebut,
Ellis mengatakan bahwa,
Pertobatan adalah salah satu kata yang memilki arti
berbeda bagi orang-orang berbeda. Orang yang pola pikirnya berorientasi perbuatan
biasanya mengiterpretasikan pertobatan sebagai berbalik dari dosa … Injil
anugerah-campuran akan mendefinisikan pertobatan sebagai suatu rangkaian sikap
yang dianjurkan (misalnya, berbalik dari dosa) dan emosi-emosi (misalnya,
penyesalan dan kesedihan). Tetapi mewajibkan cara yang benar untuk orang
bertobat sama dengan menempatkan orang di bawah hokum taurat … pertobatan itu
sendiri sebenarnya adalah pembaharuan pikiran. Itulah arti harfiah kata
tersebut.[7]
Dari penjelasan demikian,
dapat penulis simpulkan dua hal. Pertama, bahwa penganut Hyper-Grace menolak
“Pertobatan” dengan suatu tindakan usaha manusia, karena akan terjebak pada
pola taurat, dan hal itu bukan lagi merupakan Kasih Karunia, tetapi usaha manusia.
Hal tersebut bukan lagi Injil Anugerah,
akan tetapi Injil Anugerah-Campuran.
Dan kedua, kalangan Hyper-Grace
bertumpu pada istilah “Pertobatan” dimana kata pertobatan tersebut dibatasi secara
etimologi, yaitu “Metanoia”—Perubahan pola pikir. Pertobatan dalam perspektif Hyper-Grace
bukanlah suatu tindakan aktif (sikap yang ekspresif) akan tetapi hanya
merupakan suatu perupahan pola pikir. Suatu perubahan pola pikir, dimana proses
pertobatan tersebut pasif, hanya saja pola pikir yang berubah dan
menggantungkan semua dosa dan kesalahan pada karya Kristus.
Meninjau kedua sudut
pandang tersebut, maka dapat dilihat bahwa terdapat kekeliruan dalam perspektif
kalangan konservatif mengenai pandangan Hyper-Grace, dan begitu juga sebaliknya.
Kalangan konservatif menuduh Hyper-Grace “Menentang Pertobatan” akan tetapi
tidak demikian. Kalangan Hyper-Grace membatasi konsep “Pertobatan” hanya pada
definisi kata tersebut dan korelasinya pada karya Kristus sehingga memberikan
konsekwensi logis pada pemaknaan kata tersebut yang pasif (tanpa perlu suatu
perbuatan aktif dari si petobat).
Sementara kalangan
Hyper-Grace menuduh kalangan konservatif telah membuat suatu hukum taurat baru
dengan menambahkan tindakan praktis bagi si petobat (misalnya, saran-saran
seperti harus meninggalkan perbuatan dosa-dosa lama). Dengan demikian menurut
mereka, hal tersebut tidak lagi murni sebagai sebuah anugerah, namun
anugerah-campur perbuatan. Meski demikian ada kelemahan dalam konsep
“Pertobatan” menurut Hyper-Grace. Pada sub bab berikut, penulis akan
menjabarkannya.
III. Evaluasi Isu “Menentang Pertobatan—Hyper Grace” Berdasarkan
Surat 1 Yohanes 1:9.
Dalam usaha untuk
mengevaluasi pandangan tersebut, maka penulis akan membagi bagian ini menjadi
dua bagian. Pertama, tinjauan dari sudut pandang Alkitab berdasarkan Surat 1
Yohanes 1:9, dan ayat lainnya. Kemudian yang kedua, tinjauan dari sudut
etimologi kata “Pertobatan”.
1. Tinjauan berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9.
Dalam
Surat Yohanes tersebut, sang Rasul dengan tegas mengatakan bahwa: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah
setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan
kita dari segala kejahatan”. Tidak perlu untuk bersusah payah mengeksegesis
ayat tersebut, karena memang secara eklplisit sangatlah jelas bahwa Rasul
Yohanes juga menasehatkan Orang percaya agar tetap mengaku dosa (bdk. juga
dengan, Yakobus 5:16). Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun kita telah hidup
dalam Anugerah/Kasih Karunia Allah, akan tetapi kita tidak secara ajaib
menggunakan “sayap dan buntalan putih dikepala”, akan tetapi terkadang Orang
percaya jatuh, dan bangkit lagi. Hal ini merupakan suatu proses pengudusan yang
terus berlangsung hingga kematian menjemput. Maka pertobatan (baik pengakuan
dosa, maupun tindakan aktif untuk berpaling dari perbuatan dosa) tidak dapat
dipisahkan dari pergumulan perjalanan Iman setiap Orang percaya.
Hal ini
bukan berarti suatu “Taurat baru” akan tetapi merupakan buah dan bukti dari
pertobatan itu sendiri (bdk. Matius 3:8; Lukas 3:8). Penafsiran kalangan
Hyper-Grace dimana suatu bentuk pertobatan yang aktif (dengan tindakan
meninggalkan dosa) sebagai suatu “Taurat” adalah hal yang berlebihan
dan suatu ketidak sadaran bahwa “menjadi manusia baru” tidak lantas
menghilangkan natur “daging” dalam kehidupan orang percaya. Sebaliknya, suatu “Pertobatan yang tanpa buah adalah
penipuan”. Itu sebabnya Rasul Yakobus mengatakan bahwa Iman tanpa perbuatan
pada hakekatnya adalah mati.
2. Tinjauan Etimologi kata “Pertobatan”.
Kata
“Pertobatan” berasal dari bahasa Yunani Metanoia,
kata sifat yang secara harfiah dapat berarti “Pertobatan; Perubahan pikiran;
hal berpaling (dari dosa)”[8].
Akan tetapi jika kata tersebut berubah menjadi kata kerja Metanoeo, maka akan menjadi suatu tindakan aktif, “bertobat,
menyesal, berbalik dan meninggalkan dosa”[9]. Dengan
demikian secara etimologi pun tidak membenarkan klaim kalangan Hyper-Grace yang
menilay makna “Pertobatan” secara pasif.
Disisi
lain konsekwensi logis dari makna pertobatan yang pasif, akan berdampak suatu
bentuk pertobatan yang semu karena sulit menilay apakah seseorang telah
benar-benar bertobat atau belum. Jika hanya melalui perubahan pikiran, maka
bagaimanakah kita mengetahui seberapa jauh pikiran orang tersebut telah berubah
jika tidak ada buah yang disailkannya?.
Dampak lainnya dari
“pertobatan pasif” tersebut adalah hilangnya tanggung-jawab moral Orang
percaya. Pada titik yang ekstrem akan berujung pada pemahaman “gila” yang
dianalisa oleh Brown seperti yang telah dibahas diatas.
BAB III. KESIMPULAN
Diatas telah dijabarkan
secara singkat tentang pandangan-pandangan mengenai isu “Menentang pertobatan”
baik dari sudut pandang kalangan konservatif, maupun dari kalangan Hyper-Grace,
yang kemudian penulis evaluasi melalui kebenaran Firman Tuhan, maka pada bagian
penutup ini, sebagai kesipulan, ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan,
1. Firman Tuhan tidak pernah menentang/menolak
pertobatan, sebaliknya, menyarankan pertobatan (perubahan pikiran dan tindakan
nyata) sebagai rekonsiliasi dihadapan Allah serta bukti dan buah dari komitmen Orang
percaya jatuh dalam dosa.
2. Menjadi Orang percaya dan hidup dalam anugerah Allah
bukan berarti bebas dari natur dosa. Pengudusan progresif terus berlangsung
sepanjang hidup Orang percaya, untuk itu “jatuh” itu merupakan proses, akan
tetapi “jatuh” bukan berarti menjadi pembenaran untuk berkudang dalam lumpur
dosa. “Jatuh” sebaiknya dipandang sebagai kelemahan yang perlu diperbaharui,
yang juga sekaligus mengkonfirmasikan bahwa, setiap Orang percaya membutuhkan
uluran tangan kasih dan pimpinan Tuhan dalam hidupnya.
Semoga tulisan singkat ini
dapat menjadi berkat bagi jemaat Tuhan yang bergumul untuk tekun hidup didalam
Kasih Karunia Tuhan dengan benar. Soli Deo Gloria!...
KEPUSTAKAAN.
Alkitab (TB), (Jakarta: LAI, 2012).
Paul Ellis, The
Hyper Grace Gospel: Sebuah Respon Bagi Micheal Brown Dan Bagi Mereka Yang
Menentang Pesan Kasih Karunia Modern (Jakarta: Light Publishing, 2015).
Sean Michael Lucas, Apakah Anugerah itu? (Surabaya : Momentum, 2013).
Barklay M, Newman, Jr, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012).
Buletin Doa GBI Sukawarna, edisi September 2015.
[1] Dari
makna kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hyper-Grace merupakan suatu pengajaran mengenai “Kasih Karunia yang
berlebihan”, atau seperti istilah yang digunakan Brown, “Kasih Karunia over
dosis”. Puncak dari pengajaran ini berlangsung dari tahun 2014 hingga kini.
Salah satu tokoh yang menentang keras pengajaran ini adalah Michael L. Brown,
yang ia suarakan melalui bukunya,
“Hyper-Grace: Kasih Karunia Over dosis”, Nafiri Gabriel, 2015.
[2] Paul
Ellis merupakan seorang penulis, dan salah satu tokoh pengajar “Hyper-Grace”
yang juga disinggung oleh Dr. Brown dalam bukunya. Saat ini Paul Ellis
menggembalakan sebuah gereja multikultural di Hongkong.
[3] Paul
Ellis, The Hyper Grace Gospel: Sebuah
Respon Bagi Micheal Brown Dan Bagi Mereka Yang Menentang Pesan Kasih Karunia
Modern (Jakarta: Light Publishing, 2015), 51.
[6] Buletin Doa GBI Sukawarna,
edisi September 2015. Hal. 6. Sebagai catatan, Meskipun dalam
bulletin tersebut mengkritisi mengenai konsep Hyper-Grace, namun teologi yang
diusung oleh penulis bulletin tersebut adalah Armenian sehingga tidak cocok
dengan bahasan mengenai “Anugerah Allah”, karena Anugerah Allah tersebut akhirnya
menjadi tidak efektif dan dapat hilang (bdk. hal, 4). Anugerah Allah menjadi
cacat karena berubah menjadi konsep “anugerah
plus perbuatan”.
[8] Barklay
M, Newman, Jr, Kamus Yunani-Indonesia
untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar