Selasa, 16 Januari 2018

BEDAH BUKU : “SEJARAH PEMIKIRAN REFORMASI”—Alister E. McGrath.


[BAG. 1] Bab III: Humanisme dan Reformasi.

Oleh : Yosep Belay.

 

I. PENDAHULUAN.

          Suatu peristiwa selalu memilki latar belakang yang mendasari terjadinya peristiwa tersebut, demikian halnya dengan peristiwa Reformasi Gereja pada abat ke-16. Reformasi gereja tidak terjadi begitu saja tanpa ada latar belakang yang menyebabkan peristiwa transformasi ini. McGrath, menganalisa latar belakang ini dan mendapati bahwa salah satu faktor pendorong yang menyebabkan Reformasi gereja adalah gelombang pemikiran Humanisme[1] yang melanda Eropa pasca Renaisans[2] di Italia. Humanisme memainklan peranan yang besar terhadap gerekan reformasi gereja. Dampak dari arus gerakan ini bukan hanya mempengaruhi bidang seni, sosial, budaya, politik, dan ilmu pengetahuan, namun juga dalam pemikiran teologis, khususnya pada gereja-gereja reformasi. Demikian penjelasan McGrath seperti yang akan penulis jabarkan dalam makalah singkat ini.

II. HUMANISME DAN REFORMASI.

          Bab ke-3 dalam buku ini membahas mengenai korelasi penting antara Humanisme dan Reformasi. McGrath membagi bab ini kedalam enam poin penting, yaitu: Konsep Renaisans, Konsep Humanisme, Ad Fontes—Kembali ke sumber-sumber Asli, Humanisme di Eropa bagian utara, Erasmus dari Rotterdam, dan Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi. 

II.1. Konsep Renaisans.

          Pada bagian pertama sub bab ini, McGrath menjelaskan secara singkat mengenai konsep dasar serta latar belakang timbulnya gerakan Renaisans. Renaisans yang dipandang sebagai suatu gerakan “kebangkitan kembali” telah menjadi titik awal kebangkitan sejarah Eropa dan dunia. Suatu kebangkitan yang dirindukan oleh masyarakat Eropa seperti kejayaan-kejayaan kerajaan Eropa tempo dulu yang sangat kaya akan budaya, dan pengetahuan. 

          Mengutip Burckhardt, McGrath mengatakan bahwa Renaisans merupakan titik tolak perubahan yang akhirnya melahirkan era baru yaitu modernitas. Pada zaman inilah Eropa mengalami kemajuan yang signifikan dihampir segala bidang. Namun pada zaman ini juga permulaan munculnya arus pemikiran liberal dan kritik terbuka terhadap kitab suci dan gereja.

          Beberapa faktor penting yang menjadi pendorong terjadinya Renaisans di Italia adalah kekayaan kebudayaan peninggalan Romawi, Kekosongan para pemikir intelektual, kestabilan politik, kemakmuran ekonomi, dan masuknya pada intelektual Yunani ke barat sebagai dampak dari kejatuhan Byzantium. 

II.2. Konsep Humanisme.

          Istilah Humanisme bagi kita—generasi abat ke-21—memang tidak asing lagi. Namun tanpa memahami konteks dan makna dari istilah tersebut pada zaman reformasi maka sudah pasti akan mengalami kesesatan dalam berasumsi. Contoh kekeliruan ini, dapat dijumpai dalam tulisan seorang filsuf Katholik saat ini, yaitu Romo Frans Magnis-Suseno, yang mengkritisi secara keliru dengan menganggap bahwa Humanisme gereja Reformasi (secara spesifik kepada Martin Luther), adalah sama dengan Humanisme dalam artian paham filsafat kafir antroposentris[3].

          Meluruskan kekeliruan-kekeliruan umum tentang konsep Humanisme tersebut, McGrath mencoba menelusuri sejarah penggunaan kata dan Humanisme. Dalam analisanya, ia menjumpai bahwa istilah Humanisme pada abat pertengahan ternyata memiliki konsep dan makna yang jauh berbeda dengan konsep Humanisme pada zaman ini. Mengutip beberapa pandangan McGrath menulis bahwa Humanisme adalah suatu gerakan ilmiah dimana orang-orang humanis tersebut meneliti kembali karya-karya sastra dan seni klasik Yunani-Romawi. Dengan kata lain Humanisme adalah suatu program  kebudayaan yang mengacu kepada penelitian karya dan seni klasik untuk kemudian dikembangkan dikemudian hari. 

          Dari penjabaran singkat ini, maka jelas terlihat bahwa pemaknaan Humanisme pada abat pertengahan dengan zaman ini sangatlah berbeda. Humanisme pada abat pertengahan merupakan suatu gerakan pembaharuan kebudayaan yang terbatas pada karya sastra klasik (menyangkut tulis menulis dan berturur), sedangkan Humanisme pada zaman ini bermakna suatu rangkaian nilay filsafat yang berpusat pada manusia. Manusia yang independen menjadi subjek sekaligus objek penentu bagi dirinya sendiri.

II.3. Ad Fontes—Kembali kepada sumber-sumber asli.

          Gerakan kaum Humanis yang semakin maju, mengakibatkan kesempatan untuk kembali menemukan apa yang ditutupi oleh filter komentar abat pertengahan mengenai Alkitab dan sumber-sumber Kristiani perdana semakin terbuka. Program dan rencana besar kaum Humanis ini dapat diringkas dalam satu istilah, Ad Fontes—kembali kepada sumber-sumber asli. Suatu usaha untuk kembali meneliti sumber-sumber naskah kekristenan perdana.

          Ad fontes menuntun orang-orang Renaisans untuk berjumpa dengan Kristus secara pribadi melalui teks-teks Alkitab sebagaimana jemaat perdana berjuma dengan-Nya. Ad fontes bukan hanya sekedar slogan, Ad fontes adalah suatu garis-kehidupan bagi orang-orang yang putus asa menghadapi keadaan gereja dalam abat pertengahan dengan harapan, era kejayaan gereja perdana dapat sekali lagi menjadi kenyataan.

II.4. Humanisme di Eropa bagian utara.

          Pergerakan arus Renaisans di Italia berdampak hingga ke negara-negara Eropa bagian utara seperti Jerman, Swis, Prancis, dan Inggris. Swis—menekankan gerakan humanis pada moralitas Kristen yang menjadi pedoman hidup. Prancis, menekankan Ad fontes pada bidang hukum, yang mana akan melahirkan tokoh reformasi Yohanes Calvin.  Sedangkan di Inggris, renaisans mempengaruhi bidang pendidikan dimana berpusat pada Cambridge University, yang mana banyak dipengaruhi oleh sebagian besar pengajar yang berasal dari Italia. 

          Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya Renaisans pada neraga-negara Eropa utara adalah kunjungan-kunjungan oleh kaum intelektual ke Italia, surat menyurat antar kaum Humanis, dan juga penerbitan buku-buku kalangan Humanis Italia di Negara bagian Utara seperti di Basel, Swis.

          Pada umumnya ciri gerakan Renaisans di Eropa Utara tidak jauh berbeda dengan di Italia, yaitu minat terhadap sastra dan kebudayaan klasik, hanya saja salah satu ciri yang paling menonjol adalah program keagamaan yang diarahkan kepada “Kelahiran kembali”, atau dalam bahasa Latin “Chritianismus renascens”—kekristenan yang dilahirkan kembali. Gerakan ini merupakan benih dimana pada puncaknya dikumandangkan oleh Martin Luther.

II.5. Erasmus dari Rotterdam.

          Kalau ada tokoh yang menonjol melebihi para humanis eropa utama maka ia adalah Erasmus dari Rotterdam, demikian kalimat pembuka pada sub bab ini. Meskipun pengaruhnya pada Luther dan Calvin tidak begitu besar, namun bagi para reformator lain seperti Zwingli dan Bucer, Erasmus memiliki kontribusi yang sangat besar.

          Karya-karya pemikiran Erasmus telah menjadi penyemangat yang membangkitkan semangat reformasi individual. Karyanya yang paling berpengaruh terbit pada permulaan abat ke-16 yaitu pada tahun 1503 dengan judul “Enchiridion Militis Christiani” (Handbook of the Christian Soldier). Karya ini mencapai puncak gemilangnya pada tahun 1515, dimana karya tersebut telah mampu mengubah secara radikal persepsi diri para pembaca (dari kalangan intelektual hingga masyarakat awam) terhadap Iman dan gereja. Pengajarannya yang langsung bersumber pada Kitab suci memberikan warna baru yang segar bagi kekeringan rohani pada masa itu.

          Dalam karyanya tersebut, Erasmus menekankan beberapa hal penting yang sekaligus menjadi kritikan tajam bagi gereja abat pertengahan;
a.    Kitab Suci sebagai penuntun hidup yang transformative. Membaca kitab suci berarti mentransformasi diri melalui Lex Christi (Hukum Kristus).
b.   Vitalitas masa depan kekristenan terletak pada kaum awam, bukan pada rohaniawan.
c.    Menekankan pemahaman kekristenan yang tidak merujuk pada gereja—ibadahnya, imamnya, atau lembaganya, akan tetapi kaum awam dapat secara langsung berhubungan dengan Tuhan. (sebagai contoh pengakuan dosa dalam tradisi katholik).
d.   Kehidupan saleh (membiara) bukanlah bentuk tertinggi dari kehidupan kristiani. Orang awam yang membaca Kitab Suci juga adalah sama setianya pada panggilan imannya sebagaimana seorang biarawan.

                Pada titik ini, Ad fontes dapat dijangkau oleh kaum awam dan dapat secara langsung berjumpa dan disegarkan oleh Tuhan, daripada harus pergi ke kolam yang mampet dari agama abat pertengahan.

          Selain karya tulis Erasmus diatas, untuk pertama kalinya ia juga menerbitkan terjemahan sebagian besar PB Yunani, sehingga pertama kali pula para teolog mendapatkan kesempatan untuk mebandingkan teks PB Yunani dan teks PB latin (Vulgata). Dengan mengutip teks PB karya Lorenzo Valla, Erasmus memperlihatkan bahwa sejumlah besar teks PB Vulgata tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kritikan Erasmus ini sontak menimbulkan reaksi dari kalangan katolik konservatif yang ingin mempertahankan tradisi gereja yang telah diterima.

          Dan karya tambahan lainnya adalah penelitian dan penerbitan ulang karya Bapa-bapa gereja yang penting seperti karya Ambrosius, Agustinus, dan Hieronimus. Dengan terbitnya karya-karya ini, kaum humanis dan teolog dapat mengkritisi tulisan-tulisan teolog terdahulu (pra-reformasi) yang juga banyak mengutip karya-karya para Patriakh, dimana terkadang keliru karena lepas dari konteks yang sebenarnya.

II.6. Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi.

          Pada umumnya reformasi Swis dan reformasi Wittenberg bertolak dari prinsip humais yang sama yaitu Ad Fontes yang didasari pada teks Alkitab, namun berbeda dalam penekanannya. Reformasi Swis (generasi pertama—Zwingli) menekankan pada moralitas. Dengan demikian, kitab suci menjadi landasan dan penekanan penting bagi moralitas gereja dan umat (generasi kedua—Calvin, pada ajaran). Sedangkan reformasi Wittenberg—Matin Luther, menekankan pada Anugerah keselamatan. Kitab suci menjadi pedoman dasar dimana manusia menjumpai anugerah Allah.

          Dilain pihak, meskipun pemikiran kaum humanis memiliki kontribusi yang yang besar bagi perintisan dan perkembangan reformasi gereja, namun dibeberapa bidang juga terdapat ketidak sepahaman antara keduanya. McGrath merinci lima area perdebatan tersebut sebagai berikut; 1. Sikap terhadap Teologi Skolatik, 2. Sikap terhadap kitab suci, 3. Sikap terhadap Bapa-bapa gereja, 4. Sikap terhadap pendidikan, 5. Sikap terhadap retorika. Puncak perdebatan ini terjadi pada tahun 1525, ketika Zwingli dan Luther sama-sama menyerang Erasmus mengenai konsep “kebebasan kehendak” yang dipandang keliru.

III. KESIMPULAN.

          Setelah menganalisa megenai hubungan antara Humanisme dan Reformasi maka beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan dari tulisan ini adalah,

1.   Semangat Humanis dalam konteks reformasi bukan hanya memainkan peranan penting pada saat reformasi, namun juga pada era saat ini dan masa depan dalam artian “penyelidikan seksama terhadap teks-teks klasik”. Dengan kata lain, sastra memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan teologi, dengan demikian maka penelitian sastra menjadi hal yang sangat penting dalam perumusan dan penafsiran teks-teks Alkitab.

2.   Sebagaimana semagat Humanis yang tidak boleh ditinggalkan, maka demikian juga dengan semangat Reformasi. Reformasi tidak boleh dipandang sebagai suatu sejarah gereja yang statis dan telah selesai tanpa refleksi. Peristiwa reformasi gereja harus dipandang sebagai suatu semangat pembaharuan, baik pembaharuan yang bersifat pribadi maupun komunal.

3.   Terlepas dari controversial peristiwa reformasi gereja—baik yang pro, maupun kontra—namun peristiwa ini telah membuktikan satu hal penting yaitu, peranan Allah dalam sejarah gereja-Nya. Spanjang zaman, Allah selalu mengirimkan hamba-hambanya untuk membenahi ketidak benaran gereja. Dan reformasi gereja adalah salah satu bagian dari karya Allah untuk menyelamatkan generasi gereja di masa depan. 

Amin…





            [1] Dengan bijak, McGrath  membedakan antara pemahaman Humanisme abat ke-20 yang sarat akan konsep atheisme, dengan Humanisme abat pertengahan (khusunya dalam gereja) yang memfokuskan diri pada semangat pembaharuan nilay-nilay sprirtual gereja yang telah rusak oleh otoritas gereja. Pesan implisit dari analisa McGrath ini, memberikan satu landasan yang sangat baik untuk para pembaca abat ini yang mungkin saja memiliki kecurigaan dan konsep yang keliru mengenai makna Humanisme, terutama pada saat Reformasi Gereja. (Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi... 50.)

                [2] Renaissance (:Prancis) berasal dari kata “rinascita” (:Italia) yang artinya kelahiran kembali. Merupakan masa  transformasi yang dimulai pada abat ke-14 hingga ke-16 dalam bidang seni hingga berlanjut pada perkembangan pemikiran manusia yang bebas dan otonom dengan meninggalkan prinsip lama memeto mori (ingatlah bahwa engkau akan mati) dan beralih kepada semboyan baru carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup). Sutarjo Adisusilo, JR, Sejarah Pemikiran Barat: Dari yang Klasik Sampai yang Modern (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 68. Lihat juga, W. Andrew Hoffecker dan Gery Scott, Building Christian Worldview, vol.1: God, Man, and Knowledge (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed:1986), 149-150.

            [3] Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius,2006), 50-51.





[BAG.2] Bab IX. Ajaran Tentang Gereja.



BAB I. PENDAHULUAN.

          Aspirasi mendasar dari gerakan Reformasi, pada umumnya dikenal—umat kristiani saat ini—dengan penekanan pada konsep keselamatan (sola gratia), iman (sola fide), dan kitab suci (sola skriptura), namun satu hal penting lainnya yang terlupakan adalah konsep gereja yang dirintis oleh para Reformator (khususnya Luther dan Calvin). Perjuangan mereka dalam merumuskan konsep gereja—menurut penulis—merupakan perjuangan yang justru lebih berat dibandingkan dengan rumusan-rumusan teologis yang mengkritisi unsur magisterial gereja abat pertengahan. Hal ini disebabkan karena dalam konteks teologis, gereja roma telah memiliki pandangan baku  (Agustinus) mengenai gereja, dimana hanya didalam gereja romalah manusia dapat sampai kepada keselamatan. Itu sebabnya, mengutip B.B. Warfield, McGrath mengatakan bahwa reformasi merupakan kemenangan ajaran Agustinus tentang anugerah, atas ajaran Agustinus tentang gereja.

          Disisi lain, alasan mendasar dari perumusan ulang  konsep eklesiologi adalah karena dampak dari sikap penolakan keras gereja roma terhadap gerakan reformasi, hingga pada puncaknya, dengan berat hati para reformator terpaksa[1] memisahkan diri dari gereja roma dan membentuk komunitas gereja baru, yaitu gereja reformasi yang Pro-Testamental.

          Tulisan singkat ini menyajikan pergumulan para reformator (Luhter dan Calvin) dalam merumuskan konsep eklesiologi, serta perbedaan pandangan mereka dengan gereja roma, dan kalangan reformasi radikal.  


BAB II.
GEREJA DALAM PANDANGAN ROMA KATOLIK, REFORMASI RADIKAL (ANABAPTIS), DAN LUTHER DAN CALVIN.
         
          Melihat konteks dan latar belakang Luther sebagai sang Reformator yang dididik dengan ajaran katholik yang kuat, akan membawa para pembaca pada satu keadaan dilematis yang sangat menyedihkan. Hal ini dikarekanan Gerekan Reformasi yang digagas Luther sedanag berdiri ditengah dua kekuatan besar yang menekan sekaligus, yaitu Gereja Roma, dan kaum Reformasi radikal—Anabaptis. Selain itu, dilema lainnya adalah Luther harus memilih salah satu diantara dua ajaran Agustinus yang justru Ia jadikan rujukan, apakah ajaran mengenai Anugerah atau Gereja, sebagaimana yang akan dibahas. 

II.1. Gereja dalam konsep Roma katolik.

          Konsep dasar “gereja” dalam teologi katolik, akan selalu merujuk pada penafsiran krusial atas pengakuan Petrus dalam Lukas 9:18-21. Selain dasar tersebut, salah satu pilar pengajaran tentang gereja juga dapat dijumpai dari hasil pemikiran Agustinus. Perumusan tersebut digagas Agustinus pada saat Ia berusaha untuk mengatasi kamun Donatis (kelompok yang memisahkan diri dari gereja, karena menolak menerima pelayanan para imam yang telah melakukan perbuatan dosa). Ia (Agustinus) menegaskan bahwa gereja adalah satu-satunya pihak yang berhak melayani sakramen, sehingga dikemudian hari, gereja dipahami (dibakukan secara ekstrem) sebagai institusi yang dapat menentukan keselamatan seseorang. Dengan kata lain, diluar gereja katolik, tidak ada keselamatan. 

          Agustinus juga berpendapat (yang ia kembangkan dari pemikiran Calixtus dan Cyprianus) bahwa perpecahan dalam gereja tidak perlu terjadi hanya karena ada oknum imam yang berbuat dosa, karena pada akhirnya orang percaya (yang dipilih) akan hidup berdampingan dengan “orang percaya” (yang tidak dipilih), layaknya gandum dan ilalang hingga hari penghakiman Tuhan. Demikian halnya kehidupan jemaat didalam gereja. Disini Agustinus berdiri sebagai penggagas kesatuan gereja yang universal, tanpa denominasi.

          Dengan demikian maka dapat disimulkan bahwa Gereja dalam konsep teologi katolik adalah merupakan suatu lembaga historis, kelihatan, yang mempunyai kesinambungan dengan gereja apostolic, dan berhak menjalankan sakramen yang sah. Kaum Skismatik (kelompok yang memisahkan diri dari gereja katolik) tidak memilki tempat bagi pelayanan sakramen dan keselamatan yang sah. Pada titik ini, Orang katolik menertawakan gerakan Reformasi Luther, karena dianggap sebagai sebuah gerakan Skisma yang justru tidak sesuai dengan ajaran Agustinus tentang gereja. 

II.2. Gereja dalam konsep Reformasi radikal (Anabaptis).

          Reformasi radikal yang dikenal dengan sebutan Anabaptis[2] adalah gerakan reformasi Swiss generasi kedua setelah Zwingli. Gerakan ini diprakarsai oleh Conrad Grebel (seorang anggota terkemuka gereja di Zurich). Kelompok ini mengkritisi gereja katolik dan para Reformator Magesterial (Zwingli dan Luther, dan juga terhadap Calvin). Menurut  mereka sebagaimana gereja katolik dalam banyak hal telah gagal dalam mengkristenkan orang-orang kafir, demikian juga Luther dan Zwingli juga telah gagal dalam usaha mereka untuk memperbaharui gereja.
          Konsep gereja menurut kelompok Anabaptis didasarkan atas kritikan mereka terhadap hubungan Gereja dan Negara (sama halnya dengan kalangan Donatis yang ditentang Agustinus), baik kepada gereja katolik, maupun kalangan Reformasi. Mereka menekankan bahwa keanggotaan gereja terbatas hanya pada orang yang mengikatkan diri secara sadar kepada Kristus (itu sebabnya mereka menolak pembaptisan anak, karena anak belum mampu secara sadar beriman kepada kristus), dan sekaligus menolak keanggotaan gereja yang diperoleh dengan mudah melalui negara[3]

          Gereja dalam pandagan Anabaptis lebih bersifat personal, artinya gereja yang sejati menyatakan hubungan pribadi orang percaya dengan Kristus secara sadar, dan terbatas pada urusan rohani, tidak terdistorsi oleh persoalan dan ambisius kenegaraan—sebagaimana Konstantinus mencampur adukan permasalahan Negara dengan Agama, demikian juga dengan gereja pada abat pertengahan. Hal ini juga menyebabkan kelompok Anabaptis menolak monopoli gereja katolik sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menyandang predikat sebagai “Gereja Allah”. Bagi mereka, gereja yang benar ada disorga, didunia hanya merupakan replikanya. Anabaptis konsisten dengan pandangan mereka tentang gereja personal yang tidak boleh bersifat Institusional—suatu pergerakan yang memiliki kecendrungan yang sama dengan kaum Donatis.

II.3. Gereja dalam konsep Luther dan Calvin.

          Pandangan tentang eklesiologi oleh generasi pertama Reformator seperti Luther, memiliki beberapa perbedaan dan penekanan jika dibandingkan dengan Calvin, generasi kedua. Hal ini disebabkan karena Luther pada prinsipnya hanya berfokus pada reformasi magisterial, dan sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan gereja roma. Keinginan untuk tidak memisahkan diri dari gereja Roma menjadi pagar pembatas ajarannya dimana hanya dibatasi pada perihal ajaran gereja yang menyimpang. Pengembangan ajaran Reformasi mengenai gereja, baru terlihat pada generasi kedua, khusunya oleh Yohanes Calvin.

II.3.1. Luther.

          Pandangan Luther tentang konsep “gereja” sangat sederhana namun sangat keras dan tegas. Luther melihat konsep gereja Allah yang sejati dihubungkan dengan pemberitaan Injil yang sejati pula. Menurutnya, dimana ada Firman Allah yang sejati, disana pasti ada iman yang sejati pula, dan dimana ada iman yang sejati, disitulah gereja Allah yang sejati. Sebaliknya, jika didalam suatu gereja, Injil yang sejati tidak hadir disana, dan hanya ada pengajaran-pengajaran manusia, maka dapat dipastikan bahwa disana tidak ada orang-orang Kristen yang hidup, tidak peduli berapa banyak, besar, dan kudusnya kehidupan mereka. Konsep gereja menurut Luther, lebih menekankan kepada perihal Fungsional daripada sudut kesinambungan Historis (sebagaimana pandangan Katolik). Kesinambungan historis bagi Luther hanya merupakan suatu kebetulan semata.

          Dapat dilihat bahwa perumusan dan sikap Luther tersebut meninggalkan dua kesan yang kuat, pertama, tesis tersebut merupakan kritik tajam terhadap teologi, serta prilaku menyimpang dari oknum-oknum korup di gereja roma. Dan kedua, sikap Luther yang moderat terhadap institusi gereja roma. Poin kedua inilah yang menjadi kritikan tajam dikemudian hari oleh kalangan Radikal—Anabaptis.
          Seperti yang telah disinggung penulis diatas bahwa Luther berdiri diatas dua tekanan yang sama radikalnya. Disatu sisi, Ia mengkritisi konsep teologi menyimpang gereja Roma dan kecendrung melegitimasi institusi yang telah korup akibat dari para pemimpin gereja yang juga korup, tetapi secara implicit, Ia tetap menerima Institusi gereja sebagai lembaga yang juga merupakan anugerah Allah dimana Ia pun menerima anugerah itu. Hal ini  menjadi permasalahan yang dilematis bagi Luther. Sebagai akibat dari dilematis ini, Luther memperlembut penafsiran-penafsirannya terhadap konsep gereja, sehingga meninggalkan kesan yang kabur.

II.3.2. Calvin.

          Jika Luther prihatin dengan pertanyaan: “Bagaimana aku dapat menemukan Allah yang Maha pemurah?”, maka para penggantinya bergumul dengan pertanyaan: “Dimanakah aku dapat menemukan gereja yang benar?”. Pergumulan ini jugalah yang digumuli oleh Calvin. Calvin memberikan sumbangsih yang besar dalam tulisan-tulisannya, untuk menjawab persoalan tersebut. Ia melangkah lebih jauh, dengan meletakan posisi gereja reformasi yang sekaligus sebagai jawaban atas gereja Katolik dan sayap Radikal.
Hakikat gereja.

          Langkah pertama Calvin mengenai hakikat gereja, masih merupakan kesinambungan dari Luther namun sedikit berbeda. Hakekat gereja yang sejati menurutnya harus memenuhi dua unsur penting, yaitu pemberitaan Firman Allah yang murni dan pelayanan sakramen (yang hanya dinyatakan oleh Tuhan Yesus). Pada titik ini, seperti halnya Luther, Calvin menarik kesimpulan bahwa gereja Katolik tidak memenuhi definisi minimal dari syarat mutlak tersebut, maka dalam hal ini orang-orang Protestan dapat dibenarkan. 

          Hakikat gereja diatas merupakan jawaban bagi Katolik, sedangkan bagi kaum Radikal, Calvin melakukan pembelaan terhadap konsep Institusi gereja dengan tetap berpaut pada kesaksian Kitab suci dan tradisi pandangan para partiakh. Menurutnya, kelembagaan gereja bukanlah hal yang buruk, karena hal tersebut memang ditentukan oleh Tuhan. Calvin melanjutkan dengan mengangkat sejumlah kesaksian Alkitab yang berbicaya mengenai pelayanan para Tua-tua, diaken, gembala, pengajar, dll, yang memang ditentukan untuk memimpin dan melayani jemaat. Maka secara tersirat hal tersebut memang berbentuk suatu institusi, walaupun dalam konsep yang sederhana. perkembangan pemikirannya makin terlihat ketika Calvin, sambil memberitakan Firman Allah, ia juga mengembangkan Firman Allah tersebut sebagai pondasi dasar pemerintahan gereja—suatu terobosan baru yang menegaskan sikapnya terhadap kedua kelompok rivalnya[4]

          Melangkah lebih jauh sebagai sikap tegasnya terhadap kaum radikal, (dengan meminjam konsep gereja milik Cyprianus), Calvin menegaskan bahwa “Kamu tidak dapat memiliki Allah sebagai bapamu, kecuali kamu memiliki gereja sebagai ibumu!”. Hanya melalui gereja sebagai “Ibu”, maka orang percaya “dikandung”, “dilahirkan”, “dirawat”, dan “dididik” dalam kebenaran. Diluar gereja tidak ada pengampunan dosa dan keselamatan. Sikap tersebut bukan hanya merupakan jawaban bagi kaum Radikal, akan tetapi merupakan siakp konfirmasi atas kesalah-pahaman gereja Katolik atas para Reforator yang dipandang sebagai kaum anti institusi (dalam pengertian individualis yang liar). 

          Calvin juga menjawab kritikan kaum Radikal yang memandang pemisahan secara serius antara Gerja dan Negara, dimana mereka memandang perihal urusan kenegaraan sebagai suatu perbutan daging yang tidak boleh hadir dalam kehidupan orang percaya. Menurut Calvin, Gereja dan Negara bukanlah “dua dunia yang kotradiktif”, kedua institusi tersebut merupakan dua hal yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Allah tidak hanya bertindak didalam gereja, namun Ia juga berkarya didalam dunia, termasuk institusi dan urusan kenegaraan[5].

Secara Teologis.

          Sedangkan dalam konteks teologis, Calvin memberikan rumusan yang tegas tentang konsep gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Disatu sisi, gereja merupakan kumpulan dari orang-orang percaya, suatu kelompok yang kelihatan. Pada kelompok ini, Calvin tetap memilih konsep Agustinus bahwa, dalam kelompok gereja yang kelihatan ini terdapat ilalang dan gandum, hal tersebut memang merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipisahkan. Disisi lain, gereja juga merupakan persekutuan orang-orang kudus dan yang terpilih, dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak kelihatan. Walaupun bukan suatu rumusan yang baru, namun rumusan ekklesiologi tersebut sangat baik.
Kelembagaan.

          Terobosan lain yang kontroversial adalah pemerintahan gereja yang berbentuk konsistori (Majelis jemaat), dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang baru. Majelis jemaat terdiri dari dua belas tua-tua yang diangkat kalangan awam dengan  tujuan untuk menjaga disiplin gereja. 

          Menurut asumsi penulis, hal ini mungkin saja muncul karena pengaruh dua hal, pertama, pengalaman dari kegagalan para rohaniawan katolik, dan bobroknya moralitas gereja abat pertengahan, dan kedua, perkembangan dan bentuk disiplin gereja-gereja Swiss dari generasi pertama reformasi yang memang sangat konsern terhadap kekudusan kehidupan kristiani yang ketat, dimana kemudian diwariskan kepada generasi kedua gereja. Dan sangat mungkin juga, tujuan lain dari system konsistori tersebut untuk mengendalikan gejala-gejala penyimpangan penafsiran dari kaum awam, seperti yang terjadi pada kaum Anababtis (penafsiran dan pengajaran yang sesat dan menyimpang oleh beberapa tokoh Anababtis).


BAB III.
KESIMPULAN.

          Melalui pandangan Cyprianus—konsep gereja sebagai Ibu—maka Calvin memberikan jawaban dan sikap tegas gereja Reformasi terhadap gereja Katolik dan Radikal. Bagi gereja Katolik, jawaban terletak pada kegagalan gereja sebagai “Ibu”. Dalam hal ini gereja telah gagal dalam hal-hal yang krusial—Firman Allah dan sakramen yang sebagain besar telah terdistorsi oleh ajaran manusia (non Skriptural—tidak ditetapkan oleh Tuhan Yesus). Sedangkan bagi kelompok Radikal, tidak ada pertumbuhan yang sehat diluar sang “Ibu yang mendidik”. Kelembagaan gereja (dan juga Negara dalam pengertian  khusus) adalah bentuk yang Tuhan telah tentukan untuk mendidik dan memimpin semua orang percaya dalam disiplin dan kekudusan hidup. Maka bagaimanapun kelembagaan diperlukan sebagai alat yang dikuduskan Tuhan untuk pertumbuhan orang pilihan-Nya. 

          Generasi Kristen modern yang tutup mata terhadap sejarah reformasi, akan cendrung gagal melihat esensi dan pesan transformatif dari para reformator. Spirit ini begitu kuat terasa ketika penulis mencoba melihat kembali perjuangan mereka di tengah tekanan dari gereja roma dan sayap reformasi radikal. Refleksi dari perjuangan mereka, khususnya konsep eklesiologi yang “Reformata Semper Reformanda”, seharusnya menghasilkan perenungan yang mendalam, yang kemudian berbuah dalam tindakan konkret, dimana baik gereja dalam konteks pribadi maupun gereja dalam konteks komunitas orang-orang percaya secara universal, mampu memperlihatkan jati dirinya sebagai terang dunia. Soli Deo Gloria.

         










                [1] Luther pada prinsipnya menolak memisahkan diri dari gereja roma. Ia memegang teguh pandangan Agustinus yang menolak dengan tegas skismatik dalam gereja. Usaha-usaha tersebut terus diprakarsa oleh gereja Lutheran, salah satunya pada pengakuan Augsburg (1530), namun usaha-usaha tersebut tidak berhasil, hingga konsili Trente (1545) sebagai jawaban Katolik atas Reformasi.
            [2] Sebutan Anabaptis ini disandangkan kepada mereka karena pengajaran dan penekanan mereka terhadap baptisan ulang, dan menolak pembaptisan anak. Karena ajaran ini, maka kalangan Anabaptis sangat dibenci baik oleh kalangan gereja Katolik, maupun Gereja Reformasi yang menjalankan baptisan anak.

                [3] Percampuran kekuasaan Gereja dan Negara pada saat itu yang menyebabkan banyak orang yang menjadi Kristen hanya karena Kristen menjadi agama Negara, adalah suatu hal yang keliru dalam pandangan kelompok Anabaptis. Pandangan umum mereka tentang pemisahan gereja dan negara, masih dapat ditemui hingga saat ini, baik yang diajarkan melalui mimbar, maupun paham teologis secara personal.
                [4] Pada titik ini, perbedaan antara Luther dan Calvin terlihat semakin jelas. Jika Luther memandang kesinambungan kelembagaan historis gereja katolik sebagai sesuatu yang hanya kebetulan, maka Calvin memandangnya berbeda, kelembagaan gereja bagi Calvin dinyatakan dan memilki dasar Kitab Suci.

            [5] Catatan tambahan. Calvin mengembangkan konsep Predestinasi dengan toleransi, dimana dengan konsep Predestinasi, orang percaya dan terpilih yang  adalah “gandum“,  tidak perlu merasa khawatir untuk hidup berdampingan dengan “ilalang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar