Minggu, 14 Januari 2018

STUDY DOKTRINAL : TANATOLOGI (KEMATIAN)

“Kematian: Antara Kegentaran dan Kemenangan Iman”
(Refleksi Teologis Dalam Bingkai Iman Kristen)

Tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang lima Tahun Berpulangnya Ayah Tercinta—Fransiskus Belay (31/08/1935—12/08/2012).




Prolog.

            Pada tahun 2014, data WHO merilis hasil penelitian mereka dimana secara global, setiap tahunnya lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri, atau 1 kematian setiap 40 detik. Angka ini berdasar penelitian selama 10 tahun di 172 negara (http://www.beritasatu.com). Itu berarti pada tahun ini, jumlah kasus kematian baik yang wajar maupun yang tidak wajar, semakin meningkat. Randy Alcorn menulis, “Tiga orang mati setiap detik, 180 orang setiap menit, dan hampir 11.000 orang mati setiap jam. Jika Alkitab benar tentang hal yang terjadi kepada kita setelah kematian, itu berarti lebih dari 250.000 orang setiap hari entah mereka masuk surga atau neraka.” (Ron Rhodes; 2013, 15-16). Berarti pada saat Anda membaca tulisan ini, terdapat ratusan orang telah mati di luar sana.

         Fakta mengenai kematian memang begitu dekat dengan kehidupan manusia, namun pada umumnya manusia tidak ingin membicarakan tema tersebut. Ketika mulai menulis ide dalam tema ini, seorang Rekan kerja memberi respon dengan nada yang sedikit ngeri, “ngapain nulis tentang kematian... hati-hati loh”. Respon tersebut mewakili kecenderungan manusia modern saat ini. Manusia memang lebih cenderung untuk memilih berbicara mengenai kehidupan, meskipun pahit, sulit dan menderita. Perhatikan saja iklan-iklan yang populer saat ini, sebagian besar dari produk-produk tersebut menawarkan hal-hal yang menyangkut beragam cara agar manusia dapat terus sehat, bugar, awet muda, dan panjang umur. Perhatikan juga setiap doa dan ucapan yang disampaikan bagi mereka yang berulang tahun, semuanya berkaitan dengan harapan umur panjang dan kebahagiaan di dunia ini. Hal tersebut tentu tidak keliru, namun secara implisit di sisi lain hal ini justru membuktikan suatu bentuk ketakutan manusia terhadap fakta kematian. Pada dasarnya kita tidak dapat menyangkal kenyataan bahwa betapa sering pun kita berolahraga, berapa banyak vitamin atau makanan sehat yang kita santap, betapa pun normalnya tekanan darah serta rendahnya kadar kolesterol dalam darah kita, suatu saat kita pasti akan mati. Kahlil Gibran menulis suatu bait puisi mengenai isu tersebut dengan kalimat yang sangat baik, “Jangan tertipu dengan usia muda, karena karena syarat untuk mati tidak harus tua. Jangan terperdaya dengan badan yang sehat, karena syarat untuk mati pula tidak harus sakit.” (Kahlil Gibran dalam William Wiguna; 2015, 29). Dalam Bukunya, Tanatologi Alkitabiah, I.G. Indra, juga menegaskan hal serupa, ia menulis, “kematian telah terukir di wajah semua yang hidup. Saat ketika kita memulai kehidupan, sesungguhnya kita memulai kematian. Kabar kelahiran seorang bayi manusia berarti tanda penggalian sebuah kubur yang baru.” (Ichwei G. Indra; 2016, 109). Seperti hari kelahiran kita yang dirayakan dengan senyuman, hari kematian kita pun akan diperingati dengan air mata. Kematian datang secara tiba-tiba dalam hidup manusia dan menghentikan semua kehebatan, kegagahan, kecantikan, dan semua pencapaian dalam hidupnya. Kematian juga menjumpai semua manusia tanpa kecuali—baik anak-anak, remaja, orang tua, kaya—miskin, yang sakit, maupun yang sehat, bahkan dokter yang paling hebat sekalipun.
Kematian Sebagai Misteri.

          Rhodes mengungkap misteri kematian dengan satu kisah klasik yang menyentuh. Filsuf besar, Diogenes, sedang memperhatikan dengan seksama koleksi besar dari tulang-tulang manusia yang bertumpukan satu dengan yang lain. Sesaat kemudian Aleksander Agung mendekat dan bertanya kepadanya, apa yang sedang Anda lakukan?, Diogenes menjawab, “Aku sedang mencari tulang-tulang ayahmu, tetapi tampaknya aku tidak bisa membedakan tulang-tulangnya dari tulang-tulang para budak.” Seketika itu juga Aleksander mengerti maksud dari perkataan itu, “Semua manusia sama dihadapan kematian”. (Ron Rhodes; 2013, 15-16). Demikianlah nasib manusia di hadapan kematian. Kematian tidak mengenal belas kasih, ia menjumpai siapa saja, dan dimana saja, siap atau pun tidak.

         Berbicara mengenai kematian berarti berbicara mengenai misteri Ilahi. Misteri ini memaksa semua manusia untuk mencari suatu pegangan hidup. Untuk menjawab hal tersebut manusia modern biasanya memilih untuk bersandar pada dua hal, Pertama, melalui Agama, dan kedua melalui Sains. Agama-agama besar Asia Timur memandang kematian sebagai gerbang reinkarnai menuju perputaran roda kehidupan berikutnya di dunia. Sedangkan Agama-agama Asia Barat (kelompok Semitik) memandang kematian sebagai akhir dari kehidupan fana menuju kehidupan kekal di alam baka (bdk. 1 Kor. 15:26). Berbeda dengan kedua kelompok tersebut, kalangan Saintisme yang berpaut pada keyakinan sains modern memandang kematian sebagai suatu keadaan dimana berhentinya reaksi biokimia dalam tubuh manusia, sehingga seperti halnya hewan (keyakinan evolusionisme materialistik), manusia mengalami kematian, dan semuanya berakhir. Tidak ada pengharapan dan kehidupan apa pun di luar sana setelah kematian (Ichwei G. Indra; 2016, 39). Sementara filsafat memiliki jawaban yang berbeda pula. Kaum eksistensial lebih memaknai kematian sebagai suatu momen. Sejak kematian dihidupkan dalam percakapan filsafat, ia bernafas dengan memanfaatkan tabung udara eksistensialisme. Dengan peralatan ini kematian menolak untuk menjadi monumen, dan memilih menjadi momen, yaitu momen reinterpretasi kehidupan (Rocky Gerung dalam M. Damm; 2011, xii). Filsafat mengolah kecenderungan antropologi dan sosiologi untuk menolak kematian sebagai akhir dari eksistensi manusia. Karena pada dasarnya, teladan, ide, dan karya mereka yang telah mati masih tetap eksis dalam kenangan mereka yang hidup. Tentu saja ada kebenaran dalam pernyataan ini, namun hal tersebut lebih terlihat sebagai suatu pembelaan yang bertepuk sebelah tangan, karena definisi dari kehidupan sejati itu sendiri harus meliputi kelengkapan antara unsur materi dan non materi dari seorang manusia.

         Beberapa bulan lalu, penulis sempat berkunjung ke rumah salah seorang sahabat. Ditengah perbincangannya, ia kemudian mengatakan satu kalimat yang membuat Penulis terkejut. Ia mengatakan bahwa “Surga dan Neraka tidaklah ada, keduanya merupakan hasil imajinai manusia semata”. Ia kemudian melanjutkan dengan suatu pertanyaan retoris yang menjadi dasar presuposisinya, “Iya dong, memangnya siapa yang pernah ke Surga atau ke Neraka, sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan secara faktual?, belum pernah ada kan?”. Penulis terkejut bukan karena pernyataannya tersebut (argumentasi demikian merupakan argumentasi klasik abat ke-19 dari para penganut ateis yang berdasar pada kajian empirisisme), namun justru karena ia adalah salah seorang sahabat yang dahulu juga sering melakukan beberapa kegiatan pelayanan gerejawi bersama. Hal ini membuktikan bahwa ternyata di dalam lingkungan generasi muda Gereja sekalipun terdapat pemikiran-pemikiran skeptis dan liberal yang sudah berkembang dengan sangat liar. Pemikiran tersebut secara tidak langsung mengkonfirmasikan pengharapannya yang sangat mirip dengan cara pandang para ateis. Artinya jika Surga dan Nereka tidak dapat dikonfirmasikan melalui fakta empiris, maka Tuhan pun demikian karena tidak dapat dibuktikan secara kasat mata. Dengan demikian tidak ada pengharapan setelah kematian, karena setelah mati tidak ada kehidupan berikutnya di alam baka. Sangat menyedihkan.
 Blaise Pascal (1623-1662) dalam salah satu karyanya, “Pensees”, pernah membuat tanggapan bagi kalangan skeptis dan ateis mengenai hal ini dengan mengajukan semacam taruhan iman. Ia mengatakan bahwa, “Jika keberadaan Tuhan tidak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa Tuhan itu ada, karena kita tidak akan kehilangan apapun jika kita hidup sesuai dengan perintah-Nya”. Pascal ingin menegaskan bahwa ketika Anda meyakini bahwa Tuhan itu ada dan Anda hidup sesuai kehendak-Nya, maka pada saat Anda mati dan ternyata Ia memang ada, maka tentu saja Anda akan beruntung dan tidak kehilangan apa pun. Sebaliknya, jika memang Tuhan tidak ada, maka ketika Anda mati, Anda pun tidak rugi sesuatu apa pun, malah sebaliknya, ketekunan dan karya Anda di dunia akan dikenang dan menjadi teladan serta inspirasi bagi banyak orang (Pascal merupakan ahli Fisika, Matematik, dan seorang Filsuf Kristen yang taat. Pencapaian tertinggi yang melambungkan namanya adalah ketika ia merumuskan hukum fisika yang hari ini kita kenal dengan “Hukum Pascal”).

 .        Tentu saja bagi sebagian orang tanggapan Pascal hanya dipandang sebelah mata, namun perhatikan, apapun jawaban dan keyakinan yang Anda dipilih (agama, bahkan ateis sekalipun), tidak akan menyingkirkan fakta bahwa “konsekwensi dari kehidupan adalah kematian”. Cepat atau lambat, semua yang hidup pasti akan mati, termasuk Saudara dan Saya. Di sini keyakinan yang Saudara pilih menjadi penentu arah dari tujuan akhir kehidupan Anda. Namun tentu saja semua pilihan mengandung konsekwensi, karena dari semua pilihan yang ada (keyakinan agama dan sains) tentu saja hanya terdapat satu kebenaran tunggal—dalam hal ini semua orang yang mati hanya akan pergi ke suatu tempat, entah surga atau nerakanya Kristen, Islam, Hindu, Budha, atau bahkan ateis. Dan ke manakah kita akan pergi setelah mati, tidak ada yang tahu. Hal ini bagaikan kegelapan pekat yang tidak dapat ditembus oleh pencapaian umat manusia modern.

 .         Menyikapi hal ini, Alkitab jauh-jauh hari telah memberitahukan kepada kita untuk hidup dengan berhikmat, “Orang yang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” (Pkh. 7:4). Fakta ini seharusnya mendorong kita sebagai generasi muda gereja untuk berpikir serius dengan mengajukan pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan kematian?, ke manakah kita akan pergi setelah mati? Bagaimana seharusnya kita menyingkapi fakta kematian tersebut?

Kematian Dalam Terminologi Iman Kristen.

 .         Shakespeare dalam sebuah naskah dramanya memberikan komentar mengenai kematian demikian, “Tak mengerti aku, mengapa manusia mesti gentar ketika maut datang menjemput. Bukankah kematian itu tujuan dimana kita harus sampai?” (William Shakespare dalam Gladys Hunt; 2009, 2). Ada pepatah yang mengatakan bahwa kematian adalah kepastian yang tidak pasti. Hal ini memang tepat sekali. Untuk memperjelas hal tersebut, maka pada bagian ini penulis akan menjabarkan mengenai hakikat kematian dalam terang Firman Allah.

 .        “Kematian” dalam bahasa Yunani adalah Thanatos. kata ini dapat diartikan sebagai berhentinya kehidupan yang ditandai dengan keterpisahan antara tubuh (Basar—Ibr, Sarx—Yun) dan roh (Ruakh—Ibr, Pneuma—Yun) manusia (Mzm. 104:29; Pkh. 12:7). Dalam catatan Kisah Rasul mengenai peristiwa kematian Stefanus, Rasul Stefanus mengatakan demikian “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (KPR. 7:59). Perhatikan bahwa Alkitab menjabarkan secara eksplisit mengenai eksistensi manusia yang terdiri atas tubuh dan roh. Tubuh mengalami kematian, namun roh kembali kepada Allah (Pkh. 12:7). Berbeda dengan pandangan Sain modern yang menyangkal eksistensi roh manusia dan hanya berfokus pada kematian unsur materi (tubuh jasmani), Kekristenan memaknai kematian dalam dua kategori. Pertama kematian secara fisik/jasmani (Materi) yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah atau pun karena kecelakaan. Tubuh mengalami kerusakan dan terurai, sedangkan roh tidak. Roh manusia akan kembali kepada Allah. Dan yang kedua adalah kematian Rohani. Berbeda dengan kematian jasmanai (keterpisahan antara tubuh dan roh) kematian rohani merupakan suatu keadaan dimana manusia mengalami keterpisahan dari persekutuan kekal dengan Allah yang menjadi sumber hidupnya, oleh karena dosa dan pelanggarannya (Kej. 2:17; 1 Taw. 10:13; Ams. 11:39; Yeh. 18:14; Rm. 5:12, 6:23). Kematian merupakan konsekwensi dari dosa yang tidak dapat ditawar lagi (Kej. 2:7; Rm. 6:23).

 .         Setelah kejatuhan Adam (Kej. 3) maka pada saat itu pula ia dan semua keturunannya (termasuk Anda dan Saya) mengalami kematian baik kematian fisik, maupun kematian rohani. Natur dosa asal yang diturunkan Adam bagi semua umat manusia mengakibatkan semua manusia mengalami kematian. Alkitab menggambarkan hal tersebut pada silsilah keturunan Adam selanjutnya dengan mengulang-ulang frasa, “... lalu ia mati” (Kej. 5:8, 11, 14, 17, 20, 27, 31). Fakta kematian terus berlangsung dan masih dapat kita saksikan, yaitu semua manusia mengalami kematian fisik, dan semua manusia mengalami kematian rohani (keterpisahan dari Allah). Kematian rohani ini terjadi dua kali. Pertama, bagi semua keturunan Adam yang masih hidup yang ditandai dengan munculnya beragam konsep agama dan keyakinan manusia yang berpusat pada kepercayaan yang antroposentris (Bdk. dgn. Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan: Momentum, 2007). Suatu keterpisahan dimana manusia berusaha untuk menjangkau Allah melalui beragam konsep agama dan kepercayaan. Dan kedua adalah kematian rohani (keterpisahan dari Allah) di dalam kekekalan. Kematian ini melanda mereka yang sampai akhir hidupnya tidak percaya pada berita Injil salib Kristus yang mendamaikan persekutuan yang telah rusak pada mulanya (Rm.3:25; 2 Kor. 5:18-19; Kol. 1:20; 1 Yoh. 2:2, 4:10). Seperti yang telah disampaikan bahwa “kematian” adalah “keterpisahan dengan Allah”, maka di dalam kekekalan, mereka yang mengalami kematian ini akan selamanya terpisah dari Allah. Singkatnya, mereka akan mengalami penghukuman dan penderitaan kekal.
 
  Kematian Sebagai Anugerah Allah yang Paradoksal.

 .        Meski kematian merupakan penghukuman Allah bagi manusia sebagai akibat dari dosa, namun didalam penghukuman ini terdapat anugerah-Nya. Dalam hal ini kematian dalam iman kristen merupakan suatu peristiwa paradoksal. Kematian ditentukan bagi manusia, agar dengan matinya manusia, ia dapat mengakhiri kecenderungannya untuk berbuat kejahatan secara abadi (Kej. 2:17, 3:19). Pasca kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa, Allah menempatkan kerub untuk menghalau mereka agar tidak memakan buah kehidupan (Kej. 3:22-24).
 Dapat kita bayangkan jika tidak ada kematian, para penjahat kemanusiaan seperti Hitler, dan para teroris yang keji akan terus beraksi tanpa akhir. Di lain pihak, mereka yang sekarat karena penyakit atau pun yang menjadi korban kekerasan terus berada dalam penderitaan namun tidak kunjung mati. Sementara itu, setiap menit kelahiran dan pertambahan penduduk dunia terus bertambah, kebutuhan akan tempat pemukiman dan pangan juga terus meningkat, sedangkan lahan untuk menghasilkan pangan semakin berkurang. Betapa mengerikan dan kacaunya dunia ini jika tidak ada kematian. Allah begitu menyadari bahwa kehidupan kekal dalam natur dosa adalah suatu bentuk kehidupan yang sangat mengerikan, dan menyedihkan, maka kematian adalah jalan yang harus ditempu manusia untuk mengakhiri natur dosanya. Dari sisi inilah kematian dapat dipandang sebagai anugerah Allah yang paradoksal. Anugerah Allah yang menghukum sekaligus menyelamatkan umat manusia.

  Tujuan Akhir Kita, Orang Percaya.

           Kita telah melihat bahwa fakta mengenai kematian tidak dapat dihidari, lantas ke manakah perginya manusia setelah ia mati? Karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang bersifat supra rasio (di atas pengetahuan mausia), serta merupakan pertanyaan yang menyangkut kedaulatan Allah, maka jawabannya harus juga ditujukan dan ditemukan dalam penyataan wahyu Allah.

 .          Di dalam keyakianan Iman Kristen, Tuhan sendiri telah berfirman melalui wahyu yang disampaikan oleh para Nabi dan Hamba-hamba-Nya, agar Ia yang dalam kemahakuasaan-Nya tidak tersentuh oleh panca indra (metode penelitian Sains modern) dan hikmat manusia (spekulasi agama-agama), dapat memperlihatkan kuasa dan kemuliaannya bagi manusia, sehingga mereka dapat mematuhi-Nya. Karena Tuhan telah berfirman, maka kita memiliki kepastian jawaban mengenai tujuan akhir hidup kita setelah kematian. Kebenaran firman-Nya menjadi dasar keyakinan untuk kita. Ia menjadi penjamin dari kebenaran firman yang Ia nyatakan bagi kita, maka tidak ada keraguan dan dan kebimbangan di dalamnya.

           Dalam sebuah upacara penghiburan dan penghormatan bagi salah seorang hamba Tuhan yang meninggal, penulis memperoleh perspektif baru dalam memandang mengenai kematian. Seperti lazimnya berita kematian, beberapa kerabatnya mengirimkan banyak krans bunga sebagai ungkapan berbela sungkawa. Dari semua krans bunga yang ada, ada satu krans bunga yang menuliskan suatu pesan yang sangat berbeda. Pada krans bunga tersebut tertulis, “Welcome home, friends and beloved of God”. Tulisan sederhana ini kemudian membuka mata penulis untuk melihat kematian dari sudut padang yang berbeda. Sudut pandang dari kaca mata sorgawi. Orang percaya yang meninggal adalah orang-orang yang berpulang ke rumah Bapanya di sorga! (Yoh.14:2-3). Kita sering memandang kematian sebagai suatu kedukaan yang mendalam, dan hal tersebut memang wajar, namun jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda (sudut pandang Sorgawi), maka ada satu kebenaran yang sangat mengesankan. Kebenaran yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus dan para Malaikat-Nya menyambut Orang-orang percaya yang pulang ke rumahnya dengan penuh sukacita. Erwin W. Lutzer dalam salah satu bukunya mengutip sebuah kesaksian dari lima misionaris yang mati dibunuh di Ekuador. Para pembunuh yang sekarang telah menjadi umat percaya itu memberitahukan kepada Steve Saint, anak laki-laki dari salah seorang misionaris yang meninggal itu bahwa mereka melihat dan mendengar apa yang sekarang mereka ketahui sebagai malaikat, sedang berada di sana pada saat mereka melakukan pembunuhan tersebut. Para malaikat itu seperti sedang menyanyikan kidung puji-pujian (Erwin W. Lutzer; 2002, 86). Orang percaya yang menjelang ajalnya, ia tidak melalui tabir tersebut sendirian, karena malaikat Allah ada di sana mendampingi dia, seperti mereka mendampingi Lazarus menuju pangkuan Abraham, atau seperti Kristus di dalam kubur-Nya, hingga ia berjumpa dengan Kristus di dalam “rumah Bapa” (Bdk. Dgn, Ibr. 1:13-14).

  Kematian Sebagai Peristiwa Kemenangan Iman.

 .         Ketika kita menyadari kebenaran ini, kebenaran yang menyatakan bahwa kematian menghantarkan kita pada perjumpaan dengan Kristus di dalam rumah Bapa (Fil.1:23), maka respon kita terhadap kematian seketika akan berbeda. Anne Abharam Lotz (Putri Billy Graham) mengatakan, “Prospek kematian bisa mengisi Anda dan saya dengan kengerian dan ketakuan—kecuali kita tahu ke mana kita akan pergi”. (Ron Rhodes; 2013, 23). Itu sebabnya Rasul Paulus menasehati umat Tuhan agar tidak berdukacita seperti orang-orang yang tidak berpengharapan (1 Tes. 4:13). Kematian bukan lagi menjadi suatu hal yang menyeramkan ketika Saudara mengetahui “ke mana” dan kepada “Siapa” Saudara akan berjumpa setelah kematian menjemput.

 .        Kematian dalam perspektif Iman Kristen merupakan suatu peristiwa kemenangan Iman, dimana kita mengakhiri pertandingan Iman, memperoleh mahkota, dan berjumpa dengan Sang Raja—Tuhan dan Juru Selamat kita—Yesus Kristus. Kebenaran ini bertumpu sepenuhnya kepada peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Kebangkitan-Nya menyatakan secara eksplisit bahwa Ia telah menang atas maut, yang secara telak menjungkir-balikkan semua spekulasi sains modern, serta sekaligus memberikan suatu dasar yang kuat bagi keyakinan Iman Kristen bahwa memang ada kehidupan pasca kematian, suatu kehidupan di dalam kekekalan dan Kristus menanti kita di sana.

 .         Kristus menjadi sumber kebenaran sekaligus menjadi penjamin dari kebenaran yang Ia sampaikan. Dasar kebenaran ini pula yang menggerakan para Rasul yang menjadi saksi mata-Nya dengan memberitakan bahwa “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit” (Luk. 24:34). Kesedihan dan kekecewaan atas kematian Kristus yang merenggut semua pengharapan dan pedoman hidup mereka, seketika sirna dan berganti sukacita pasca kebangkitan Kristus. Hari-hari selanjutnya, mereka siap mempertaruhkan hidup mereka untuk mengabarkan berita sukacita tersebut bahwa Kristus telah bangkit, maut telah dikalahkan, dan mereka yang percaya memiliki pengharapan yang pasti! (Gladys Hunt; 2009, 38). Kristus yang adalah saksi dan dasar kebenaran yang sejati, secara tegas mengkonfrontasikan pernyataan Sahabat saya di atas. Seperti Thomas, Kristus senantiasa menantang pada skeptis untuk “Mencucukkan tangannya pada bekas paku dan lambung-Nya”, agar mereka percaya (Yoh. 20:27).

           Kebenaran-kebenaran ini sepanjang zaman terus didengungkan melalui pelayanan mimbar-mimbar kedukaan gerejawi. Alkitab berulang kali menegaskan bagi kita bahwa di dalam Kristus ada pengharapan. Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk berpaling dari kematian menuju hidup kekal, selain kembali kepada Allah di dalam Tuhan dan Juruselamat manusia, Yesus Kristus (Yoh. 11:25, Yoh. 14:6).


Epilog.

 .            Kematian memang tidak dapat dihindari, namun kita dapat memutuskan untuk menaruh pengharapan pada kebenaran yang absolut dan sejati. Dalam bukunya yang berjudul “Menghadapi Kematian dan Kehidupan Sesudahnya”, Billy Graham mengutip kalimat L. Nelson Bell dengan menulis bahwa “Hanya orang-orang yang sudah siap untuk menghadapi kematian sajalah yang dapat dikatakan sebagai orang-orang yang siap menghadapi kehidupan di dunia ini. Kematian itu pasti datang. Yang tidak pasti adalah kesiapan kita untuk menghadapinya”. (Billy Graham; 1992, 18). Kesiapan kita menghadapi kematian merupakan titik tolak iman yang menghantarkan kita pada keberanian untuk menghadapi kenyataan hidup di dunia.

 .           Dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi, Rasul Paulus mengungkapkan kemantapan imannya dalam menghadapi kematian maupun kehidupan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah...”(Fil. 1:21-22). Kehidupan yang berorientasi bagi kemuliaan Kristus adalah kehidupan yang menghasilkan buah. Akhir dari kehidupan demikian dikatakan sebagai suatu keberuntungan, karena kita akan menikmati buah dari apa yang telah kita tabur sepanjang kehidupan kita di dunia. Sebaliknya jika kehidupan kita di dunia ini hanya berorientasikan pada hal-hal yang tidak berfaedah, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang Tuhan berikan, maka sudah pasti apa yang kita tabur kelak akan penuh dengan ratap tangisan.

         Maka marilah kita mengajukan pertanyaan ini dengan serius, apakah kita telah siap menghadapi kematian? Salam...

Cimahi, 12/8/2017
Yosep Belay.


___________

Daftar Pustaka.

 Alkitab [TB], (Jakarta: LAI, 2012).

 Billy Graham, Menghadapi Kematian dan Kehidupan Sesudahnya—Terj. Billy Mathias (Bandung: LLB, 1992).

 Erwin W. Lutzer, One Minute After You Die—Terj.Wim Salampessy (Batam: Gospel Press, 2002).

 Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian—Terj Lily Wijaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).

 Ichwei G. Indra, Tanatologi Alkitabiah (Bandung: LLB, 2016).

 Muhammad Damm, Kematian: Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan (Depok: Kepik, 2011).

 Ron Rhodes, The Wonder Of Heaven—Terj. Yohanes Effendi. S (Yogyakarta: Andi, 2013).

 https://id.wikipedia.org/wiki/Blaise_Pascal.

 http://www.beritasatu.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar