[BAG. 1] Bab III: Humanisme dan Reformasi.
I. PENDAHULUAN.
Suatu peristiwa selalu memilki latar belakang yang mendasari terjadinya
peristiwa tersebut, demikian halnya dengan peristiwa Reformasi Gereja pada abat
ke-16. Reformasi gereja tidak terjadi begitu saja tanpa ada latar belakang yang
menyebabkan peristiwa transformasi ini. McGrath, menganalisa latar belakang ini
dan mendapati bahwa salah satu faktor pendorong yang menyebabkan Reformasi
gereja adalah gelombang pemikiran Humanisme
yang melanda Eropa pasca Renaisans di
Italia. Humanisme memainklan peranan yang besar terhadap gerekan reformasi
gereja. Dampak dari arus gerakan ini bukan hanya mempengaruhi bidang seni, sosial,
budaya, politik, dan ilmu pengetahuan, namun juga dalam pemikiran teologis,
khususnya pada gereja-gereja reformasi. Demikian penjelasan McGrath seperti
yang akan penulis jabarkan dalam makalah singkat ini.
II. HUMANISME DAN REFORMASI.
Bab ke-3 dalam buku ini
membahas mengenai korelasi penting antara Humanisme dan Reformasi. McGrath
membagi bab ini kedalam enam poin penting, yaitu: Konsep Renaisans, Konsep Humanisme, Ad Fontes—Kembali ke sumber-sumber
Asli, Humanisme di Eropa bagian utara, Erasmus dari Rotterdam, dan Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi.
II.1. Konsep Renaisans.
Pada bagian pertama sub bab
ini, McGrath menjelaskan secara singkat mengenai konsep dasar serta latar
belakang timbulnya gerakan Renaisans. Renaisans yang dipandang sebagai suatu
gerakan “kebangkitan kembali” telah menjadi titik awal kebangkitan sejarah
Eropa dan dunia. Suatu kebangkitan yang dirindukan oleh masyarakat Eropa seperti
kejayaan-kejayaan kerajaan Eropa tempo dulu yang sangat kaya akan budaya, dan
pengetahuan.
Mengutip Burckhardt, McGrath
mengatakan bahwa Renaisans merupakan titik tolak perubahan yang akhirnya melahirkan
era baru yaitu modernitas. Pada zaman inilah Eropa mengalami kemajuan yang
signifikan dihampir segala bidang. Namun pada zaman ini juga permulaan
munculnya arus pemikiran liberal dan kritik terbuka terhadap kitab suci dan
gereja.
Beberapa faktor penting yang
menjadi pendorong terjadinya Renaisans di Italia adalah kekayaan kebudayaan
peninggalan Romawi, Kekosongan para pemikir intelektual, kestabilan politik,
kemakmuran ekonomi, dan masuknya pada intelektual Yunani ke barat sebagai dampak
dari kejatuhan Byzantium.
II.2. Konsep Humanisme.
Istilah Humanisme bagi kita—generasi abat ke-21—memang tidak asing lagi.
Namun tanpa memahami konteks dan makna dari istilah tersebut pada zaman
reformasi maka sudah pasti akan mengalami kesesatan
dalam berasumsi. Contoh kekeliruan
ini, dapat dijumpai dalam tulisan seorang filsuf Katholik saat ini, yaitu Romo
Frans Magnis-Suseno, yang mengkritisi secara keliru dengan menganggap bahwa Humanisme
gereja Reformasi (secara spesifik kepada Martin Luther), adalah sama dengan
Humanisme dalam artian paham filsafat kafir antroposentris.
Meluruskan
kekeliruan-kekeliruan umum tentang konsep Humanisme tersebut, McGrath mencoba
menelusuri sejarah penggunaan kata dan Humanisme. Dalam analisanya, ia menjumpai bahwa istilah Humanisme pada abat pertengahan ternyata memiliki konsep dan makna
yang jauh berbeda dengan konsep Humanisme pada zaman ini. Mengutip beberapa
pandangan McGrath menulis bahwa Humanisme adalah suatu gerakan ilmiah dimana
orang-orang humanis tersebut meneliti kembali karya-karya sastra dan seni
klasik Yunani-Romawi. Dengan kata lain Humanisme adalah suatu program kebudayaan yang mengacu kepada penelitian
karya dan seni klasik untuk kemudian dikembangkan dikemudian hari.
Dari penjabaran singkat ini,
maka jelas terlihat bahwa pemaknaan Humanisme pada abat pertengahan dengan
zaman ini sangatlah berbeda. Humanisme pada abat pertengahan merupakan suatu
gerakan pembaharuan kebudayaan yang terbatas pada karya sastra klasik
(menyangkut tulis menulis dan berturur), sedangkan Humanisme pada zaman ini bermakna suatu rangkaian nilay filsafat yang berpusat
pada manusia. Manusia yang independen menjadi subjek
sekaligus objek penentu bagi dirinya
sendiri.
II.3. Ad Fontes—Kembali kepada sumber-sumber asli.
Gerakan
kaum Humanis yang semakin maju, mengakibatkan kesempatan untuk kembali
menemukan apa yang ditutupi oleh filter komentar abat pertengahan mengenai
Alkitab dan sumber-sumber Kristiani perdana semakin terbuka. Program dan
rencana besar kaum Humanis ini dapat diringkas dalam satu istilah, Ad Fontes—kembali kepada sumber-sumber asli.
Suatu usaha untuk kembali meneliti sumber-sumber naskah kekristenan
perdana.
Ad fontes
menuntun orang-orang Renaisans untuk berjumpa dengan Kristus secara pribadi
melalui teks-teks Alkitab sebagaimana jemaat perdana berjuma dengan-Nya. Ad fontes bukan hanya sekedar slogan, Ad fontes adalah suatu garis-kehidupan
bagi orang-orang yang putus asa menghadapi keadaan gereja dalam abat
pertengahan dengan harapan, era kejayaan gereja perdana dapat sekali lagi menjadi
kenyataan.
II.4. Humanisme di Eropa bagian utara.
Pergerakan
arus Renaisans di Italia berdampak
hingga ke negara-negara Eropa bagian utara seperti Jerman, Swis, Prancis, dan
Inggris. Swis—menekankan gerakan humanis pada moralitas Kristen yang menjadi
pedoman hidup. Prancis, menekankan Ad
fontes pada bidang hukum, yang mana akan melahirkan tokoh reformasi Yohanes
Calvin. Sedangkan di Inggris, renaisans
mempengaruhi bidang pendidikan dimana berpusat pada Cambridge University, yang
mana banyak dipengaruhi oleh sebagian besar pengajar yang berasal dari Italia.
Beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya Renaisans pada neraga-negara Eropa utara adalah kunjungan-kunjungan
oleh kaum intelektual ke Italia, surat menyurat antar kaum Humanis, dan juga
penerbitan buku-buku kalangan Humanis Italia di Negara bagian Utara seperti di
Basel, Swis.
Pada umumnya ciri gerakan Renaisans di
Eropa Utara tidak jauh berbeda dengan di Italia, yaitu minat terhadap sastra
dan kebudayaan klasik, hanya saja salah satu ciri yang paling menonjol adalah program
keagamaan yang diarahkan kepada “Kelahiran kembali”, atau dalam bahasa Latin “Chritianismus renascens”—kekristenan
yang dilahirkan kembali. Gerakan ini merupakan benih dimana pada puncaknya
dikumandangkan oleh Martin Luther.
II.5. Erasmus dari Rotterdam.
Kalau ada tokoh yang menonjol melebihi
para humanis eropa utama maka ia adalah Erasmus dari Rotterdam, demikian
kalimat pembuka pada sub bab ini. Meskipun pengaruhnya pada Luther dan Calvin
tidak begitu besar, namun bagi para reformator lain seperti Zwingli dan Bucer,
Erasmus memiliki kontribusi yang sangat besar.
Karya-karya pemikiran Erasmus telah
menjadi penyemangat yang membangkitkan semangat reformasi individual. Karyanya
yang paling berpengaruh terbit pada permulaan abat ke-16 yaitu pada tahun 1503 dengan
judul “Enchiridion Militis Christiani”
(Handbook of the Christian Soldier). Karya ini mencapai puncak gemilangnya
pada tahun 1515, dimana karya tersebut telah mampu mengubah secara radikal
persepsi diri para pembaca (dari kalangan intelektual hingga masyarakat awam)
terhadap Iman dan gereja. Pengajarannya yang langsung bersumber pada Kitab suci
memberikan warna baru yang segar bagi kekeringan rohani pada masa itu.
Dalam karyanya tersebut, Erasmus
menekankan beberapa hal penting yang sekaligus menjadi kritikan tajam bagi
gereja abat pertengahan;
a.
Kitab Suci sebagai
penuntun hidup yang transformative. Membaca kitab suci berarti mentransformasi
diri melalui Lex Christi (Hukum
Kristus).
b.
Vitalitas masa depan
kekristenan terletak pada kaum awam, bukan pada rohaniawan.
c.
Menekankan pemahaman
kekristenan yang tidak merujuk pada gereja—ibadahnya, imamnya, atau lembaganya,
akan tetapi kaum awam dapat secara langsung berhubungan dengan Tuhan. (sebagai
contoh pengakuan dosa dalam tradisi katholik).
d.
Kehidupan saleh
(membiara) bukanlah bentuk tertinggi dari kehidupan kristiani. Orang awam yang
membaca Kitab Suci juga adalah sama setianya pada panggilan imannya sebagaimana
seorang biarawan.
Pada
titik ini, Ad fontes dapat dijangkau
oleh kaum awam dan dapat secara langsung berjumpa dan disegarkan oleh Tuhan,
daripada harus pergi ke kolam yang mampet dari agama abat pertengahan.
Selain karya tulis Erasmus diatas,
untuk pertama kalinya ia juga menerbitkan terjemahan sebagian besar PB Yunani,
sehingga pertama kali pula para teolog mendapatkan kesempatan untuk
mebandingkan teks PB Yunani dan teks PB latin (Vulgata). Dengan mengutip teks
PB karya Lorenzo Valla, Erasmus memperlihatkan bahwa sejumlah besar teks PB
Vulgata tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kritikan Erasmus ini sontak
menimbulkan reaksi dari kalangan katolik konservatif yang ingin mempertahankan
tradisi gereja yang telah diterima.
Dan karya tambahan lainnya adalah
penelitian dan penerbitan ulang karya Bapa-bapa gereja yang penting seperti
karya Ambrosius, Agustinus, dan Hieronimus. Dengan terbitnya karya-karya ini,
kaum humanis dan teolog dapat mengkritisi tulisan-tulisan teolog terdahulu
(pra-reformasi) yang juga banyak mengutip karya-karya para Patriakh, dimana
terkadang keliru karena lepas dari konteks yang sebenarnya.
II.6. Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi.
Pada umumnya reformasi Swis dan
reformasi Wittenberg bertolak dari prinsip humais yang sama yaitu Ad Fontes yang didasari pada teks
Alkitab, namun berbeda dalam penekanannya. Reformasi Swis (generasi
pertama—Zwingli) menekankan pada moralitas. Dengan demikian, kitab suci menjadi
landasan dan penekanan penting bagi moralitas gereja dan umat (generasi
kedua—Calvin, pada ajaran). Sedangkan reformasi Wittenberg—Matin Luther,
menekankan pada Anugerah keselamatan. Kitab suci menjadi pedoman dasar dimana
manusia menjumpai anugerah Allah.
Dilain pihak, meskipun pemikiran kaum
humanis memiliki kontribusi yang yang besar bagi perintisan dan perkembangan
reformasi gereja, namun dibeberapa bidang juga terdapat ketidak sepahaman
antara keduanya. McGrath merinci lima area perdebatan tersebut sebagai berikut;
1. Sikap terhadap Teologi Skolatik, 2. Sikap terhadap kitab suci, 3. Sikap
terhadap Bapa-bapa gereja, 4. Sikap terhadap pendidikan, 5. Sikap terhadap
retorika. Puncak perdebatan ini terjadi pada tahun 1525, ketika Zwingli dan
Luther sama-sama menyerang Erasmus mengenai konsep “kebebasan kehendak” yang
dipandang keliru.
III. KESIMPULAN.
Setelah menganalisa megenai hubungan
antara Humanisme dan Reformasi maka beberapa
hal penting yang menjadi kesimpulan dari tulisan ini adalah,
1.
Semangat Humanis
dalam konteks reformasi bukan hanya memainkan peranan penting pada saat
reformasi, namun juga pada era saat ini dan masa depan dalam artian
“penyelidikan seksama terhadap teks-teks klasik”. Dengan kata lain, sastra
memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan teologi, dengan
demikian maka penelitian sastra menjadi hal yang sangat penting dalam perumusan
dan penafsiran teks-teks Alkitab.
2.
Sebagaimana semagat
Humanis yang tidak boleh ditinggalkan, maka demikian juga dengan semangat
Reformasi. Reformasi tidak boleh dipandang sebagai suatu sejarah gereja yang
statis dan telah selesai tanpa refleksi. Peristiwa reformasi gereja harus
dipandang sebagai suatu semangat pembaharuan, baik pembaharuan yang bersifat
pribadi maupun komunal.
3.
Terlepas dari
controversial peristiwa reformasi gereja—baik yang pro, maupun kontra—namun
peristiwa ini telah membuktikan satu hal penting yaitu, peranan Allah dalam
sejarah gereja-Nya. Spanjang zaman, Allah selalu mengirimkan hamba-hambanya
untuk membenahi ketidak benaran gereja. Dan reformasi gereja adalah salah satu
bagian dari karya Allah untuk menyelamatkan generasi gereja di masa depan.
Amin…
[BAG.2] Bab IX. Ajaran Tentang Gereja.
BAB I. PENDAHULUAN.
Aspirasi mendasar dari
gerakan Reformasi, pada umumnya dikenal—umat kristiani saat ini—dengan
penekanan pada konsep keselamatan (sola gratia), iman (sola fide), dan kitab
suci (sola skriptura), namun satu hal penting lainnya yang terlupakan adalah
konsep gereja yang dirintis oleh para Reformator (khususnya Luther dan Calvin).
Perjuangan mereka dalam merumuskan konsep gereja—menurut penulis—merupakan
perjuangan yang justru lebih berat dibandingkan dengan rumusan-rumusan teologis
yang mengkritisi unsur magisterial gereja abat pertengahan. Hal ini disebabkan
karena dalam konteks teologis, gereja roma telah memiliki pandangan baku (Agustinus) mengenai gereja, dimana hanya
didalam gereja romalah manusia dapat sampai kepada keselamatan. Itu sebabnya, mengutip B.B.
Warfield, McGrath mengatakan bahwa reformasi merupakan kemenangan ajaran
Agustinus tentang anugerah, atas ajaran Agustinus tentang gereja.
Disisi lain, alasan mendasar
dari perumusan ulang konsep eklesiologi adalah
karena dampak dari sikap penolakan keras gereja roma terhadap gerakan reformasi,
hingga pada puncaknya, dengan berat hati para reformator terpaksa memisahkan
diri dari gereja roma dan membentuk komunitas gereja baru, yaitu gereja
reformasi yang Pro-Testamental.
Tulisan singkat ini
menyajikan pergumulan para reformator (Luhter dan Calvin) dalam merumuskan
konsep eklesiologi, serta perbedaan pandangan mereka dengan gereja roma, dan kalangan
reformasi radikal.
BAB II.
GEREJA DALAM PANDANGAN ROMA KATOLIK, REFORMASI RADIKAL (ANABAPTIS), DAN LUTHER DAN
CALVIN.
Melihat
konteks dan latar belakang Luther sebagai sang Reformator yang dididik dengan
ajaran katholik yang kuat, akan membawa para pembaca pada satu keadaan
dilematis yang sangat menyedihkan. Hal ini dikarekanan Gerekan Reformasi yang
digagas Luther sedanag berdiri ditengah dua kekuatan besar yang menekan
sekaligus, yaitu Gereja Roma, dan kaum Reformasi radikal—Anabaptis. Selain itu,
dilema lainnya adalah Luther harus memilih salah satu diantara dua ajaran
Agustinus yang justru Ia jadikan rujukan, apakah ajaran mengenai Anugerah atau
Gereja, sebagaimana yang akan dibahas.
II.1. Gereja
dalam konsep Roma katolik.
Konsep
dasar “gereja” dalam teologi katolik, akan selalu merujuk pada penafsiran
krusial atas pengakuan Petrus dalam Lukas 9:18-21. Selain dasar tersebut, salah
satu pilar pengajaran tentang gereja juga dapat dijumpai dari hasil pemikiran
Agustinus. Perumusan tersebut digagas Agustinus pada saat Ia berusaha untuk
mengatasi kamun Donatis (kelompok yang memisahkan diri dari gereja, karena
menolak menerima pelayanan para imam yang telah melakukan perbuatan dosa). Ia
(Agustinus) menegaskan bahwa gereja adalah satu-satunya pihak yang berhak
melayani sakramen, sehingga dikemudian hari, gereja dipahami (dibakukan secara
ekstrem) sebagai institusi yang dapat menentukan keselamatan seseorang. Dengan kata
lain, diluar gereja katolik, tidak ada keselamatan.
Agustinus juga berpendapat (yang ia
kembangkan dari pemikiran Calixtus dan Cyprianus) bahwa perpecahan dalam gereja
tidak perlu terjadi hanya karena ada oknum imam yang berbuat dosa, karena pada
akhirnya orang percaya (yang dipilih) akan hidup berdampingan dengan “orang
percaya” (yang tidak dipilih), layaknya gandum dan ilalang hingga hari
penghakiman Tuhan. Demikian halnya kehidupan jemaat didalam gereja. Disini
Agustinus berdiri sebagai penggagas kesatuan gereja yang universal, tanpa
denominasi.
Dengan demikian maka dapat disimulkan
bahwa Gereja dalam konsep teologi katolik adalah merupakan suatu lembaga
historis, kelihatan, yang mempunyai kesinambungan dengan gereja apostolic, dan
berhak menjalankan sakramen yang sah. Kaum Skismatik (kelompok yang memisahkan
diri dari gereja katolik) tidak memilki tempat bagi pelayanan sakramen dan
keselamatan yang sah. Pada titik ini, Orang katolik menertawakan gerakan
Reformasi Luther, karena dianggap sebagai sebuah gerakan Skisma yang justru
tidak sesuai dengan ajaran Agustinus tentang gereja.
II.2. Gereja dalam konsep Reformasi radikal
(Anabaptis).
Reformasi radikal yang dikenal dengan
sebutan Anabaptis
adalah gerakan reformasi Swiss generasi kedua setelah Zwingli. Gerakan ini diprakarsai
oleh Conrad Grebel (seorang anggota terkemuka gereja di Zurich). Kelompok ini mengkritisi
gereja katolik dan para Reformator Magesterial (Zwingli dan Luther, dan juga
terhadap Calvin). Menurut mereka
sebagaimana gereja katolik dalam banyak hal telah gagal dalam mengkristenkan
orang-orang kafir, demikian juga Luther dan Zwingli juga telah gagal dalam
usaha mereka untuk memperbaharui gereja.
Konsep gereja menurut kelompok
Anabaptis didasarkan atas kritikan mereka terhadap hubungan Gereja dan Negara
(sama halnya dengan kalangan Donatis yang ditentang Agustinus), baik kepada
gereja katolik, maupun kalangan Reformasi. Mereka menekankan bahwa keanggotaan
gereja terbatas
hanya pada orang yang mengikatkan diri secara sadar kepada Kristus (itu
sebabnya mereka menolak pembaptisan anak, karena anak belum mampu secara sadar
beriman kepada kristus), dan sekaligus menolak keanggotaan gereja yang
diperoleh dengan mudah melalui negara.
Gereja dalam pandagan Anabaptis lebih
bersifat personal, artinya gereja yang sejati menyatakan hubungan pribadi orang
percaya dengan Kristus secara sadar, dan terbatas pada urusan rohani, tidak
terdistorsi oleh persoalan dan ambisius kenegaraan—sebagaimana Konstantinus
mencampur adukan permasalahan Negara dengan Agama, demikian juga dengan gereja pada abat pertengahan.
Hal ini juga menyebabkan kelompok Anabaptis menolak monopoli gereja katolik
sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menyandang predikat sebagai “Gereja
Allah”. Bagi mereka, gereja yang benar ada disorga, didunia hanya merupakan
replikanya. Anabaptis konsisten dengan pandangan mereka tentang gereja personal
yang tidak boleh bersifat Institusional—suatu pergerakan yang memiliki
kecendrungan yang sama dengan kaum Donatis.
II.3. Gereja dalam
konsep Luther
dan Calvin.
Pandangan tentang
eklesiologi oleh generasi pertama Reformator seperti Luther, memiliki beberapa perbedaan
dan penekanan jika dibandingkan dengan Calvin, generasi kedua. Hal ini
disebabkan karena Luther pada prinsipnya hanya berfokus pada reformasi
magisterial, dan sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan gereja roma.
Keinginan untuk tidak memisahkan diri dari gereja Roma menjadi
pagar pembatas ajarannya dimana hanya dibatasi pada perihal ajaran gereja yang
menyimpang. Pengembangan ajaran Reformasi mengenai gereja, baru terlihat pada
generasi kedua, khusunya oleh Yohanes Calvin.
II.3.1.
Luther.
Pandangan Luther tentang konsep
“gereja” sangat sederhana namun sangat keras dan tegas. Luther melihat konsep gereja
Allah yang sejati dihubungkan dengan pemberitaan Injil yang sejati pula. Menurutnya,
dimana ada Firman Allah yang sejati, disana pasti ada iman yang sejati pula,
dan dimana ada iman yang sejati, disitulah gereja Allah yang sejati.
Sebaliknya, jika didalam suatu gereja, Injil yang sejati tidak hadir disana,
dan hanya ada pengajaran-pengajaran manusia, maka dapat dipastikan bahwa disana
tidak ada orang-orang Kristen yang hidup, tidak peduli berapa banyak, besar,
dan kudusnya kehidupan mereka. Konsep gereja menurut Luther, lebih menekankan
kepada perihal Fungsional daripada sudut
kesinambungan Historis
(sebagaimana pandangan Katolik).
Kesinambungan historis bagi Luther
hanya merupakan suatu kebetulan semata.
Dapat dilihat bahwa perumusan dan
sikap Luther tersebut meninggalkan dua kesan yang kuat, pertama, tesis tersebut
merupakan kritik tajam terhadap teologi, serta prilaku menyimpang dari oknum-oknum
korup di gereja roma. Dan kedua, sikap Luther yang moderat terhadap institusi
gereja roma. Poin kedua inilah yang menjadi kritikan tajam dikemudian hari oleh
kalangan Radikal—Anabaptis.
Seperti yang telah disinggung penulis
diatas bahwa Luther berdiri diatas dua tekanan yang sama radikalnya. Disatu
sisi, Ia mengkritisi konsep teologi menyimpang gereja Roma dan kecendrung
melegitimasi institusi yang telah korup akibat dari para pemimpin gereja yang
juga korup, tetapi secara implicit, Ia tetap menerima Institusi gereja sebagai lembaga
yang juga merupakan anugerah Allah dimana Ia pun menerima anugerah itu. Hal
ini menjadi permasalahan yang dilematis
bagi Luther. Sebagai akibat dari dilematis ini, Luther memperlembut
penafsiran-penafsirannya terhadap konsep gereja, sehingga meninggalkan kesan
yang kabur.
II.3.2.
Calvin.
Jika Luther prihatin dengan
pertanyaan: “Bagaimana aku dapat
menemukan Allah yang Maha pemurah?”, maka para penggantinya bergumul dengan
pertanyaan: “Dimanakah aku dapat menemukan
gereja yang benar?”. Pergumulan ini jugalah yang digumuli oleh Calvin.
Calvin memberikan sumbangsih yang besar dalam tulisan-tulisannya, untuk
menjawab persoalan tersebut. Ia
melangkah lebih jauh, dengan meletakan posisi gereja reformasi yang sekaligus sebagai
jawaban atas gereja Katolik dan sayap Radikal.
Hakikat gereja.
Langkah pertama Calvin mengenai
hakikat gereja, masih merupakan kesinambungan dari Luther namun sedikit berbeda.
Hakekat gereja yang sejati menurutnya harus memenuhi dua unsur penting, yaitu
pemberitaan Firman Allah yang murni dan pelayanan sakramen (yang hanya
dinyatakan oleh Tuhan Yesus). Pada titik ini, seperti halnya Luther, Calvin
menarik kesimpulan bahwa gereja Katolik tidak memenuhi definisi minimal dari
syarat mutlak tersebut, maka dalam hal ini orang-orang Protestan dapat
dibenarkan.
Hakikat gereja diatas merupakan
jawaban bagi Katolik, sedangkan bagi kaum Radikal, Calvin melakukan pembelaan
terhadap konsep Institusi gereja dengan tetap berpaut pada kesaksian Kitab suci
dan tradisi pandangan para partiakh. Menurutnya, kelembagaan gereja bukanlah
hal yang buruk, karena hal tersebut memang ditentukan oleh Tuhan. Calvin
melanjutkan dengan mengangkat sejumlah kesaksian Alkitab yang berbicaya
mengenai pelayanan para Tua-tua, diaken, gembala, pengajar, dll, yang memang
ditentukan untuk memimpin dan melayani jemaat. Maka secara tersirat hal
tersebut memang berbentuk suatu institusi, walaupun dalam konsep yang
sederhana. perkembangan pemikirannya makin terlihat ketika Calvin, sambil
memberitakan Firman Allah, ia juga mengembangkan Firman Allah tersebut sebagai
pondasi dasar pemerintahan gereja—suatu terobosan baru yang menegaskan sikapnya
terhadap kedua kelompok rivalnya.
Melangkah lebih jauh sebagai sikap
tegasnya terhadap kaum radikal, (dengan meminjam konsep gereja milik Cyprianus),
Calvin menegaskan bahwa “Kamu tidak dapat memiliki Allah sebagai bapamu,
kecuali kamu memiliki gereja sebagai ibumu!”. Hanya melalui gereja sebagai
“Ibu”, maka orang percaya “dikandung”, “dilahirkan”, “dirawat”, dan “dididik”
dalam kebenaran. Diluar gereja tidak ada pengampunan dosa dan keselamatan. Sikap
tersebut bukan hanya merupakan jawaban bagi kaum Radikal, akan tetapi merupakan
siakp konfirmasi atas kesalah-pahaman gereja Katolik atas para Reforator yang
dipandang sebagai kaum anti institusi (dalam pengertian individualis yang liar).
Calvin juga menjawab kritikan kaum
Radikal yang memandang pemisahan secara serius antara Gerja dan Negara, dimana
mereka memandang perihal urusan kenegaraan sebagai suatu perbutan daging yang
tidak boleh hadir dalam kehidupan orang percaya. Menurut Calvin, Gereja dan
Negara bukanlah “dua dunia yang kotradiktif”, kedua institusi tersebut
merupakan dua hal yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Allah tidak
hanya bertindak didalam gereja, namun Ia juga berkarya didalam dunia, termasuk
institusi dan urusan kenegaraan.
Secara Teologis.
Sedangkan dalam konteks teologis,
Calvin memberikan rumusan yang tegas tentang konsep gereja yang kelihatan dan
yang tidak kelihatan. Disatu sisi, gereja merupakan kumpulan dari orang-orang
percaya, suatu kelompok yang kelihatan. Pada kelompok ini, Calvin tetap memilih
konsep Agustinus bahwa, dalam kelompok gereja yang kelihatan ini terdapat ilalang dan gandum, hal tersebut memang merupakan suatu fakta yang tidak dapat
dipisahkan. Disisi lain, gereja juga merupakan persekutuan orang-orang kudus
dan yang terpilih, dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak kelihatan. Walaupun
bukan suatu rumusan yang baru, namun rumusan ekklesiologi tersebut sangat baik.
Kelembagaan.
Terobosan lain yang kontroversial
adalah pemerintahan gereja yang berbentuk konsistori (Majelis jemaat), dimana
hal tersebut merupakan sesuatu yang baru. Majelis jemaat terdiri dari dua belas
tua-tua yang diangkat kalangan awam dengan
tujuan untuk menjaga disiplin gereja.
Menurut asumsi penulis, hal ini
mungkin saja muncul karena pengaruh dua hal, pertama, pengalaman dari kegagalan
para rohaniawan katolik, dan bobroknya moralitas gereja abat pertengahan, dan
kedua, perkembangan dan bentuk disiplin gereja-gereja Swiss dari generasi
pertama reformasi yang memang sangat konsern terhadap kekudusan kehidupan
kristiani yang ketat, dimana kemudian diwariskan kepada generasi kedua gereja. Dan
sangat mungkin juga, tujuan lain dari system konsistori tersebut untuk
mengendalikan gejala-gejala penyimpangan penafsiran dari kaum awam, seperti
yang terjadi pada kaum Anababtis (penafsiran dan pengajaran yang sesat dan menyimpang
oleh beberapa tokoh Anababtis).
BAB III.
KESIMPULAN.
Melalui pandangan Cyprianus—konsep
gereja sebagai Ibu—maka Calvin memberikan jawaban dan sikap tegas gereja
Reformasi terhadap gereja Katolik dan Radikal. Bagi gereja Katolik, jawaban
terletak pada kegagalan gereja sebagai “Ibu”. Dalam hal ini gereja telah gagal
dalam hal-hal yang krusial—Firman Allah dan sakramen yang sebagain besar telah
terdistorsi oleh ajaran manusia (non Skriptural—tidak ditetapkan oleh Tuhan
Yesus). Sedangkan bagi kelompok Radikal, tidak ada pertumbuhan yang sehat
diluar sang “Ibu yang mendidik”. Kelembagaan gereja (dan juga Negara dalam
pengertian khusus) adalah bentuk yang
Tuhan telah tentukan untuk mendidik dan memimpin semua orang percaya dalam disiplin
dan kekudusan hidup. Maka bagaimanapun kelembagaan diperlukan sebagai alat yang
dikuduskan Tuhan untuk pertumbuhan orang pilihan-Nya.
Generasi Kristen modern yang tutup mata terhadap sejarah reformasi, akan cendrung
gagal melihat esensi dan pesan transformatif dari para reformator. Spirit ini
begitu kuat terasa ketika penulis mencoba melihat kembali perjuangan mereka di tengah tekanan dari
gereja roma dan sayap reformasi radikal. Refleksi dari
perjuangan mereka, khususnya konsep eklesiologi yang “Reformata Semper
Reformanda”, seharusnya menghasilkan perenungan yang mendalam, yang kemudian
berbuah dalam tindakan konkret, dimana baik gereja dalam konteks pribadi maupun
gereja dalam konteks komunitas orang-orang percaya secara universal, mampu memperlihatkan
jati dirinya sebagai terang dunia. Soli Deo Gloria.