Rabu, 31 Januari 2018

RENUNGAN : KEMAH DAN MEZBAH.

Nats : Kejadian 33:18-20 (TB) ".... Kemudian dibelinyalah dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, sebidang tanah, tempat ia memasang kemahnya, dengan harga seratus kesita. Ia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: "Allah Israel ialah Allah."
_______

              Warisan merupakan konsep dan pola yang lumrah dalam praktek kehidupan manusia. Kita semua memperoleh warisan dari generasi sebelum kita, dan kita pun akan mewariskan sesuatu pada generasi setelah kita, baik warisan yang berbentuk materi (benda), maupun non materi (iman, teladan, pemikiran). Dalam praktek kehidupan keluarganya, Abraham juga mewariskan dua hal yang luar biasa pada keturunannya, Yakub, yaitu Kemah dan Mezbah.

             Kemah dan Mezbah merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Abraham. Jika Saudara membaca kisah perjalanan Abraham, Saudara pasti akan menjumpai keterangan bahwa setelah Abraham membangun kemah, Ia kemudian membangun Mezbah. Hal ini yang juga di Kemudian hari terlihat dalam kehidupan Yakub, cucunya. Di dalam ayat di atas, kita menjumpai pola yang sama dalam perjalanan hidup Yakub, Kemah dan Mezbah yang tidak terpisahkan. Dua tanggung-jawab yang tidak dapat diabaikan oleh orang tua secara umum, dan secara khusus bagi pribadi Anak-anak Tuhan. "Kemah" berbicara mengenai tanggung-jawab dalam keluarga. Pemenuhan kebutuhan jasmani, psikologis, dan perlindungan bagi anggota keluarga menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Sedangkan "Mezbah" berbicara mengenai tanggung-jawab spiritual yang sama pentingnya dalam keluarga. Iman yang dipraktekkan dan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di mana ada kemah, di situ pasti ada mezbah. Mezbah keluarga menjadi penentu masa depan keluarga-keluarga umat Tuhan.

           Saudara, banyak orang yang mungkin saja berhasil membangun "kemah"nya tanpa ada mezbah. Namun kemah yang dibangun tanpa ada mezbah bagaikan rumah yang didirikan di atas pasir, semegah apapun kelihatannya, namun tidak akan bertahan lama, capat atau lambat, bangunannya pasti tumbang karena pondasi yang salah. Kemah dan Mezbah merupakan konsep dasar Alkitab mengenai bagaimana seharusnya umat Tuhan membangun kehidupan jasmani dan rohaninya. Untuk itu kita tidak dapat membangun kemah tanpa mezbah. Perihal kemah, sebagian besar dari kita mungkin saja telah terpenuhi, namun bagaimana dengan mezbah (doa) pribadi dan keluarga kita? Rahasia Yakub dapat membangun kemahnya adalah karena Ia terlebih dulu membangun mezbah pribadi dengan Tuhan. Mari perhatikan dan perbaharui mezbah pribadi kita. Amin!

Salam,
yb.

Selasa, 30 Januari 2018

RENUNGAN : PNIEL: PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

Nats : Kejadian 32:27-28 (TB) Bertanyalah orang itu kepadanya: "Siapakah namamu?" Sahutnya: "Yakub." Lalu kata orang itu: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang."

_______

           "Dia jamah sg’nap hidupku, Dan b’ri damai di hatiku, Semua t’lah berubah dan aku tau, Yesus jamah ‘ku jadi baru". Penggalan syair lagu lawas ini merupakan salah satu lagu favorit yang selalu membekas di hati penulis. Suatu kesan yang kuat tentang kenangan bagaimana Tuhan memanggil dan mengubah hidup saya--Perjumpaan yang membuat kehidupan saya menjadi baru.

             Dalam bacaan di atas secara dramatis, kehidupan Yakub juga diubahkan oleh Tuhan dalam suatu perjumpaan pribadi. Transfomasi ini ditandai dengan pergantian namanya dari "Yakub" menjadi "Israel". "Yakub" yang berarti "penipu" kini telah berubah ketika ia berjumpa dan bergumul dengan Tuhan. Di dalam Anugerah-Nya, Yakub diubahkan dan kini menjadi "Israel" seorang "pangeran dan pemenang" (arti kata "Israel" ad/. Pangeran/Pemenang). Namun perhatikan dengan baik bahwa sebelum Yakub keluar menjadi seorang pemenang, Ia terlebih dulu "bergumul dengan Tuhan". Kalimat tanya tentang "Siapakah namamu?" Menuntun suatu pengakuan yang jujur dari Yakub. Dan ketika ia menjawab bahwa namanya "Yakub" maka dengan kata lain, Yakub sedang mengakui secara jujur di hadapan Tuhan bahwa Ia adalah seorang penipu! Yang membutuhkan anugerah dan berkat Tuhan. Suatu pengakuan jujur yang menjadi langkah iman menuju transformasi hidupnya.

            Saudara, Pertobatan yang sejati dimulai dari perjumpaan pribadi dengan Tuhan, yang Kemudian direspon dengan kesadaran akan siapa diri kita, serta kesediaan untuk mengakuinya di hadapan Allah. Ini merupakan perjumpaan yang mengubahkan. Suatu awal kehidupan baru dalam iman sehingga Hidup kita tidak sama lagi! Seperti Yakub, marilah kita dengan rendah hati merespon panggilan Tuhan dalam setiap momentum perjumpaan yang Ia sediakan, dan semoga hidup kita senantiasa diperbaharui. Amin! Tuhan memberkati Saudara.

Salam,
Yb.

Kamis, 25 Januari 2018

RENUNGAN: KOMITMEN IMAN YANG RADIKAL

Nats: Kejadian 24:6-7 (TB) Tetapi Abraham berkata kepadanya: "Awas, jangan kaubawa anakku itu kembali ke sana. TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah memanggil aku dari rumah ayahku serta dari negeri sanak saudaraku, dan yang telah berfirman kepadaku, serta yang bersumpah kepadaku, demikian: kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri ini ..."

_______

            Memang pantas jika penghormatan sebagai "Bapa orang beriman" disandangkan kepada Abraham. Ia bukan hanya beriman dan hidup oleh iman, namun juga secara konsisten mempertahankan imannya hingga di akhir hidup. Semenjak Ia dipanggil Tuhan untuk memperoleh janji berkat, iman Abraham tidak pernah kendor.

       Dalam bacaan ini, Abraham kembali mengulangi janji firman Tuhan yang telah Ia terima kurang lebih 65 tahun, dari semenjak ia meninggalkan keluarganya hingga Ia mengutus orang kepercayaannya untuk meminang jodoh bagi anaknya. Enam puluh lima tahun, Abraham masih memegang teguh janji Tuhan, dan patuh kepada-Nya. Perhatikan kata Abraham berikut ini, "Awas, jangan kaubawa anakku itu kembali ke sana." Jangan ... kembali ke sana!, Inilah bentuk komitmen iman yang radikal. Ketika Ia dipanggil Tuhan untuk keluar dari kehidupan lamanya, Ia tidak akan pernah kembali lagi. Ia menyadari bahwa tempatnya dan tempat bagi keturunannya adalah tanah Kanaan. Suatu kehidupan yang berkenan sesuai kehendak Tuhan, dan bukan kehidupan lamanya. Sekali Ia memutuskan untuk mengiring Tuhan, maka tidak ada jalan lain selain terus maju.

         Setelah mengikut Tuhan, godaan kehidupan lama kita sering kali terlihat begitu memikat hati, sehingga kadang kita tergoda untuk kembali ke "kubangan" yang jorok itu. Namun ketika kita dipanggil untuk keluar dari sana, Tuhan juga menyediakan pertolongan-Nya untuk memampukan kita terus maju. Melalui bacaan hari ini, mari kita sama-sama belajar dari Abraham tentang bagaimana seharusnya umat Tuhan tetap memiliki komitmen iman yang radikal, dengan prinsip iman bahwa "Sekali aku melangkahkan kakiku mengikut Tuhan, aku akan melanjutkannya hingga di garis akhir."
Tuhan Yesus memberkati dan memampukan kita selalu. Amin!

Salam,
Yb.

Rabu, 24 Januari 2018

RENUNGAN: JEHOVAH-JIREH

Nats: Kejadian 22:14 (TB) Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan."

_____

          Salah seorang hamba Tuhan pernah bersaksi tentang bagaimana Tuhan menolong keluarganya ketika mereka sama sekali tidak memiliki bahan makanan, dengan cara yang tak terpikirkan--sementara berdoa, tiba-tiba ada yang menghantarkan dan meletakan beras sekarung di depan pintu rumah mereka. Saudara juga mungkin telah mendengar (atau juga pernah mengalami) banyak kesaksian yang sama dengan berbagai macam kisah yang luar biasa seperti ini.

          Abraham dalam bacaan di atas juga mengalami pengalaman yang sama. Namun ada beberapa hal yang, jika disimak, Saudara akan menjumpai pesan luar biasa mengenai iman Abraham. Pertama, Iman, perkataan iman dan tindakan iman yang mantab! Dalam perjalanan menuju tempat yang ditunjukan Tuhan, Abraham mengatakan dua kalimat iman yang sama sebanyak dua kali, yaitu "Tuhan yang menyediakan". Kalimat pertama diucapkan pada saat Ia ditanya oleh Ishak pada saat sedang menuju ke gunung Tuhan, dan Kalimat kedua diucapkannya setelah ia menyaksikan pertolongan Allah dan selesai mempersembahkan korban bakaran bagi Tuhan. Selum dan sesudah! Artinya Abraham bukan sekedar beriman tetapi juga memperkatakan iman dan bertindak dalam iman. Mata imannya telah melihat lebih jauh ke depan, bahkan ketika masih dalam perjalanan, Ia telah yakin bahwa Allah pasti menyediakan! Dan terbukti ketika ia dicegah untuk mempersembahkan Ishak dan digantikan dengan domba yang disediakan Tuhan. Suatu iman, perkataan, dan tindakan iman yang konsisten meskipun Abraham belum sampai dan belum melihat pertolongan Allah, tetapi dengan iman ia sesungguhnya sudah menang di hadapan-Nya. Sebelum bertanding, Abraham sesungguhnya sudah menang dalam imannya. Luar biasa! Iman demikian sangat langka, tetapi inilah gambaran dan teladan dari iman kristiani yang perlu kita teladani.

        Kedua, Jehovah-jireh, Allah yang menyediakan! Perhatikan kalimat penting dalam ayat ini, "di atas gunung TUHAN, akan disediakan". Saudara, konteks ayat ini adalah perjalanan ibadah Abraham di gunung Tuhan. "Di atas gunung Tuhan" adalah tempat dan waktu perkenanan ketika Abraham berjumpa dengan Tuhan dalam penyembahan. Dalam tempat demikian lah berkat Tuhan dicurahkan--tempat di mana hanya ada kita dan Tuhan. Tuhan tidak pernah berhutang bagi siapapun yang datang kepada-Nya. Hanya di atas gunung-Nya, tempat kudus-Nya, dan dengan korban syukur serta penyembahan lah, Ia, Jehovah-jireh, Allah yang menyediakan, akan menjawab kita. "Allah yang menyediakan" memiliki implikasi bahwa Dia Allah yang memelihara dan menyediakan apa yang kita, Anak-anak-Nya butuhkan.

         Iman, perkataan iman, tindakan iman, ketaatan dalam penyembahan telah membuka mata iman Abraham untuk mengenal lebih jauh tentang Allahnya. Allah yang bukan hanya memelihara hidupnya, namun juga menyediakan apa yang dia butuhkan pada saat yang tepat. seperti Abraham, marilah kita menjumpai Tuhan di atas "gunung-Nya" dengan iman dan penyembahan yang sejati, dan semoga Ia berkenan menjawab pergumulan kita. Amin!

Salam...
yb.

Minggu, 21 Januari 2018

RENUNGAN : BUKAN SEMBARANG PERCAYA


Nats: Kejadian 15:6 (TB) Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.

_________

           Abraham merupakan tokoh sentral dari tiga agama besar dunia; Yudaisme, Kristen, dan Islam. Ia adalah tokoh yang sangat dihormati karena melaluinyalah semua bangsa di dunia memperoleh berkat Tuhan (Kej.22:18). Dalam keyakianan iman Kristen Abraham dikenal sebagai “sahabat Allah” (2 Taw. 20:7), dan juga “bapa orang beriman” (Rm. 4:11). Iman Abraham bukan sembarang iman. Lahir dan dibesarkan dari lingkungan keluarga pagan, meninggalkan sanak kelurga, hidup dengan berpindah-pindah tempat sesuai perintah Tuhan tanpa protes, Istri yang mandul, bergumul dengan janji Tuhan yang bertahun-tahun tak kunjung digenapi, hingga mempertaruhkan anak kandung satu-satunya demi imannya, namun tidak sedikitpun dari hal-hal ini mampu mengendorkan iman percaya Abraham kepada Tuhan.

 .         Paul Copan, seorang Apologet Kristen memberikan komentar yang sangat menggugah hati penulis. Copan menulis bahwa alasan mendasar mengapa Abraham disebut sebagai bapa Orang percaya adalah karena dia rela mempertaruhkan pengharapan masa lalulunya, (dengan cara ia meninggalkan keluarganya), dan juga masa depannya, (dengan cara ia rela mempersembahkan anak tunggalnya) ke dalam tangan Tuhan. Dengan demikian secara kasat mata Abraham hidup tanpa mengandalkan siapapun, hidupnya benar-benar hanya digantungkan kepada Tuhan! Di dalam ayat ini, firman Tuhan memberikan satu kesaksian iman yang sangat luar biasa. Frasa “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN” memberikan kesan yang sangat mendalam tentang iman Abraham. Pertama, kalimat “Lalu percayalah Abram” tidak sedang menggambarkan bahwa Abraham baru percaya kepada Tuhan pada peristiwa ini. Melainkan Abraham terus percaya kepada Tuhan secara konsisten seperti pada saat ia dipanggil pertama kalinya (Lihat: versi NKJV, “believed”). Iman yang konsisten adalah alasan pertama. Kedua, Abraham memiliki objek iman yang benar. Sekali lagi mari kita memperhatikan frasa ini dengan seksama, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN”. “percaya kepada TUHAN” adalah kuncinya! Beriman, taat, tulus, dan setia, itu adalah unsur-unsur dalam agama yang sangat baik, namun perhatikan, kebaikan-kebaikan itu jika ditujukan kepada objek yang keliru maka semuanya sia-sia! Penyembahan, ibadah, kebaikan, ketulusan, kemurahan, ketaatan yang sempurna sekalipun jika ditujukan kepada objek yang bukan Allah, maka tentu saja keliru. Lantas bagaimana mengenal Allah Abraham yang benar itu? Saudara dapat menjumpainya dalam Pribadi Agung Kristus dan firman-Nya. Satu-satunya jalan menuju kepada Bapa di sorga (Yoh. 14:6). Objek dari iman dan penyembahan kita menentukan hasil akhir dari apa yang kita yakini, oleh sebab itu selagi ada kesempatan bergumullah dengan serius tentang iman Saudara. Dan ketiga, adalah perkenan Allah. “…maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”. Frasa ini merupakan konklusi dan hasil akhir dari dua hal di atas. Iman yang sejati serta objek yang benar menghasilkan perkenanan Allah pada Abraham. Demikian halnya dengan kita. Hanya melalui kedua hal ini, kita dapat sampai kepada anugerah dan perkenanan Allah.

 .        Saudara terkasih, Abraham digelari bapa orang percaya karena Abraham tidak sekedar percaya, Ia tidak sembarang percaya, dan dia tahu kepada siapa ia percaya! Inilah bentuk dan makna dari iman kristiani yang sejati. Kepercayaan yang bukan hanya percaya, namun juga mempercayakan hidup kita sepenuhnya ke dalam tangan kasih Tuhan. Hiduplah dengan keyakinan iman Abraham yang bukan sembarang percaya. Amin.

Salam,
Yb.

Sabtu, 20 Januari 2018

RENUNGAN: OASES DI PADANG TANDUS

Nats: Ratapan 3:22-23 (TB) Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu.

_____

         Membaca sepintas tentang nama kitab ini, kita langsung memperoleh gambaran singkat mengenai isi kitabnya. "Ratapan", tentu bukanlah suatu kata yang menyenangkan bagi kita.  Kitab ini merupakan bentuk ekspresi emosional dari pergumulan dan penderitaan yang tak kunjung usai, dimana Yeremia, sang Nabi yang tidak pernah lelah mengkhotbahkan pesan Tuhan dengan tangisan, bahwa selalu ada pengharapan di dalam Tuhan.

          Lima pasal dalam kitab ini, semuanya berisi kepedihan, ratap, tangisan serta doa. Namun ketika sampai pada ayat di atas (3:22-23), kita Seolah-olah mendapat kekuatan baru. Ayat ini bagaikan oases di tengah padang pasir tandus! Terdapat dua pesan Tuhan dalam ayat ini. Pertama,  "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN ... besar kesetiaan-Mu". Saudara, ayat ini menggambarkan dengan tegas mengenai  Allah kita yang setia. Meskipun umat-Nya sedang dalam penghukuman karena pelanggaran mereka, namun Allah tidak pernah meninggalkan mereka (ayat 32). Pengutusan Yeremia merupakan bukti bahwa Allah turut hadir dalam pergumulan umat-Nya. Ia seolah-olah juga ikut dalam pembuangan di Babel, dan menderita bersama mereka. Sebagaimana yang juga nyata dalam pelayanan Kristus--Imanuel, Allah yang bukan hanya berserta kita, namun juga turut merasakan penderitaan kita (Ibr. 4:15). Itu sebabnya, ketika pergumulan melanda, kita dapat dengan teguh meyakini Kebenaran ini. Kebenaran mengenai Allah kita yang setia, yang juga mendampingi kita menghadapi pergumulan hidup.


          Kedua, "...tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi". Saudara, kata "Rahmat" dalam ayat ini berasal dari kata Ibrani "Rakh'-am" yang berarti "Belas kasih" yang tiada tara. Maka dalam konteks ini dapat berarti bahwa Allah menyediakan belas kasih-Nya setiap hari bagi umat-Nya. Jika ditambahkan dengan kalimat "selalu baru setiap pagi", maka hal ini memberikan indikasi bahwa Allah ingin kita memulai sesuatu yang baru bersama-Nya. Seolah-olah Ia mau mengatakan bahwa Ia menyediakan pengampunan sekaligus Ia mau memulai sesuatu yang baru lagi bersama kita. Luar biasa! Setiap pagi Ia menyediakan pengampunan, Ia menunggu, Ia terus memanggil Saudara dan saya lewat berbagai macam cara, agar kita dengan kesadaran dan kerendahan hati mau menghampiri Anugerah-Nya.

           Melalui ayat ini, kita sama-sama belajar mengenai kesetiaan dan belas kasih Allah bagi kita yang tidak terbatas. Bagaikan oases yang menyenangkan jiwa, Pengharapan tersebut menjadikan kita kuat dalam menghadapi pergumulan hidup karena kita tahu bahwa kita tidak pernah berjuang sendiri karena kasih Allah serta kemurahan-Nya senantiasa memimpin hidup kita. Amin!

Salam,
yb.







Jumat, 19 Januari 2018

RENUNGAN: MENARA BABEL MODERN

Nats : Kejadian 11:4 (TB) Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."

_____

         Menara Babel merupakan symbol perlawanan manusia purba terhadap Allah. Namun secara naluriah, manusia yang berdosa memang memiliki kecenderungan akan hal ini seperti yang juga tampak pada manusia modern saat ini. Beberapa ciri yang tetap relevan bagi kita mengenai Orang-orang yang hidupnya jauh dari Tuhan serta buah yang dihasilkan dalam kehidupan mereka, secara eksplisit dijabarkan dalam ayat ini. Sedikitnya terdapat tiga ciri yang dapat kita pelajari, yaitu,

        1. "Mendirikan menara yang puncaknya sampai ke langit". Suatu Kesombongan intelektual yang ingin menyamakan diri dengan Allah. Kata langit dalam ayat ini menggunakan kata "shâmayim", yang juga dapat berarti "Sorga". Maka dalam konteks ini terlihat dengan jelas bahwa keangkuhan intelektual di zaman purba pun sama mengerikan dengan para ateis zaman ini yang seolah-olah sedang membangun menara babel untuk mengkudeta Tuhan. Perhatikan, kecardasan intelektual kita harus didasari atas sikap hati yang Takut akan Tuhan. Tanpa sikap hati yang benar, hidup kita akan disesatkan.

      2. "Marilah kita mencari nama". Ciri berikutnya adalah suka mencari pengakuan dari orang lain atas kehebatan mereka. Virus ini merupakan virus yang paling mematikan namun tidak pernah disadari banyak orang, bahkan hamba Tuhan sekalipun. Saudara, jika Saudara memperhatikan status-status di media sosial, dengan mudah Saudara akan menjumpai pesan implisit tentang berbagai macam gambaran status yang ingin menunjukan bahwa "Gw gitu loh". Tak jarang praktik demikian juga bahkan melanda Anak-anak Tuhan. Mulai dari kesaksian tentang kebaikan Tuhan dan ternyata berakhir dengan "Pamer aset pribadi". Saya mohon maaf jika terlalu keras. Tapi inilah sebuah fakta yang miris. Kesaksian hidup kita harus meninggikan Tuhan, bukan meninggikan diri sendiri, apalagi hanya demi "mencari nama" alias pencitraan. Sangat berbahaya.

      3. "Supaya kita jangan terserak Ke seluruh bumi". Kalimat ini merupakan gambaran dari betapa malasnya manusia untuk beranjak dari kenyamanan hidup. Dalam ayat ini mereka ingin membangun kota dan menara untuk tempat tinggal mereka. Suatu kota metropolitan yang nyaman sehingga tidak perlu berdoa memohon-mohon kepada Tuhan. Perhatikan kata "kita" dalam ayat ini. Terdapat empat kali kata "kita" dalam hubungannya dengan usaha mereka. Apa artinya? Artinya adalah mereka merasa dirinya mampu melakukan segala sesuatu tanpa Tuhan, dan Hari-hari ini Manusia modern sedang digiring ke arah sana.

         Di sisi lain, kita Anak-anak Tuhan dituntut untuk berjuang keras untuk melawan Hal ini. Saudara, jika dengan jujur kita bertanya, "berapa banyak dari saudara yang bersedia meninggalkan kenyamanan hidup perkotaan dan pergi melayani di tempat-tempat/lingkungan para "sampah masyarakat"? Terlalu berat kaki kita untuk melangkah ke sana! Namun bukankah Ke tempat demikian Yesus melangkahkan kaki-Nya? Bukankah Ia rela meninggalkan kenyamanan takhta kemuliaan-Nya untuk menghampiri Saudara dan saya yang adalah "miskin dan papah"?

         Kecerdasan Intelektual, kesuksesan, dan penghormatan akan datang sendirinya ketika kita mengutamakan Tuhan. Prinsip dasar Seorang anak Tuhan merupakan antitesis (bertolak belakang) dari prinsip kehidupan dunia sekuler. Kita sedang berenang melawan arus, dan siapa yang tidak berenang, maka sudah pasti dia akan hanyut terbawa arus.

Tuhan Yesus memberkati kita!
Salam,
yb.

RENUNGAN: KASIH KARUNIA

Nats : Kejadian 6:8-9 (TB) Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.
Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.

_____

          Dalam suatu diskusi ringan, Sahabat-sahabat CS Lewis sedang memikirkan tentang hal apa yang menjadi ciri khas sekaligus menjadi pembeda bagi iman Kristen dan keyakinan lain. Lewis yang kebetulan lewat dan mendengar percakapan tersebut, sambil lalu, Ia menjawab, "oh, itu pasti Kasih Karunia."

        Kasih karunia bukankah konsep yang baru hadir pada zaman Perjanjian Baru. Alkitab secara eksplisit maupun implisit menerangkan bahwa sudah sejak zaman PL, konsep Kasih karunia Allah telah dinyatakan. Salah satunya dalam ayat ini. Jika Saudara menyimak dengan seksama, maka Saudara akan memperoleh suatu hal yang sangat luar biasa. Perhatikan susunan antara kedua ayat ini. Ayat 8, tertulis bahwa Nuh mendapat Kasih karunia TUHAN. Kemudian ayat 9, dilanjutkan dengan kesaksian hidup Nuh yang tidak bercela serta bergaul dengan Tuhan. Apa yang menjadikan hal ini istimewa? Saudara, urutan dari kedua ayat ini yang membuat suatu kerangka iman yang istimewa. Ayat 8, memberikan pesan penting bagi kita bahwa seperti Nuh, tahap perjalanan iman umat Tuhan harus dimulai dari "memperoleh Kasih karunia Allah." Hanya dengan memperoleh Kasih karunia Allah, maka kita dapat melangkah ke ayat 9, hidup dalam kebenaran dan bergaul erat dengan Tuhan. Nuh tidak akan mungkin dapat hidup berkenan kepada Allah, jikalau ia tidak memperoleh Kasih karunia Allah. Kasih karunia bukan reward, tetapi gift. Perkenanan Allah kepada Nuh bukan berdasar pada "kebaikan" Nuh, tetapi semata-mata berdasar pada kemurahan hati-Nya.

           Memperoleh kasih karunia Allah berarti hidup Saudara ada dalam pimpinan, penyertaan, perlindungan, dan perkenanan Allah. Sebaliknya, Tanpa kasih karunia, maka jangan harap kita dapat hidup berkenan kepada Allah. Kasih karunia Allah itu hanya dapat dijumpai dalam pribadi agung Kristus (baca: Yoh. 1:17). Suatu berkat yang tiada tara. Kasih karunia Allah yang bukan hanya menyelamatkan, namun juga memimpin hidup kita menuju kekekalan. Namun karena Kasih karunia tersebut adalah suatu pemberian maka berdoalah sungguh-sungguh agar Tuhan menganugerahi kasih karunia kepada Saudara. Amin.

Salam,
yb.

RENUNGAN: MASALAH = MASANYA ALLAH BEKERJA

"MASALAH = MASANYA ALLAH BEKERJA (1)"

Kejadian 7:17 (TB) Empat puluh hari lamanya air bah itu meliputi bumi; air itu naik dan mengangkat bahtera itu, sehingga melampung tinggi dari bumi.

_____

             Menjalani hidup bersama dengan Tuhan, tantangan hidup seperti masalah, sakit penyakit, pergumulan hidup memang masih tetap ada, tapi perhatikan satu hal dalam ayat ini. Pergumulan Nuh dan keluarga dalam menghadapi badai air bah yang diijinkan Tuhan, bukan menenggelamkannya namun justru mengangkatnya lebih tinggi. Air bah mengangkat bahtera Nuh sangat tinggi!

          Permasalahan dan pergumulan Anak-anak Tuhan adalah proses yang Tuhan ijinkan untuk mengangkat kita lebih tinggi. Suatu level iman yang dimanis. Semakin besar pergumulan, maka bersama Tuhan pasti terjadi terobosan yang semakin besar pula. Pada pasal 8:11, setelah air bah surut, Nuh melepaskan burung merpati untuk mengecek keadaan banjir, alhasil burung tersebut pulang dengan membawa "sehelai daun zaitun yang segar". Tuhan menyediakan sesuatu yang baru, yang segar setelah Saudara selesai bertanding dalam pertandingan iman.

          Sertakan Tuhan selalu dalam perjalanan hidup kita. Jangan pesimis, tetap optimis! Salam. (yb)

_____
1. Judul ini diambil dari khotbah Pdt. Hengky Setiawan, Gembala penulis.

Selasa, 16 Januari 2018

BEDAH BUKU : “SEJARAH PEMIKIRAN REFORMASI”—Alister E. McGrath.


[BAG. 1] Bab III: Humanisme dan Reformasi.

Oleh : Yosep Belay.

 

I. PENDAHULUAN.

          Suatu peristiwa selalu memilki latar belakang yang mendasari terjadinya peristiwa tersebut, demikian halnya dengan peristiwa Reformasi Gereja pada abat ke-16. Reformasi gereja tidak terjadi begitu saja tanpa ada latar belakang yang menyebabkan peristiwa transformasi ini. McGrath, menganalisa latar belakang ini dan mendapati bahwa salah satu faktor pendorong yang menyebabkan Reformasi gereja adalah gelombang pemikiran Humanisme[1] yang melanda Eropa pasca Renaisans[2] di Italia. Humanisme memainklan peranan yang besar terhadap gerekan reformasi gereja. Dampak dari arus gerakan ini bukan hanya mempengaruhi bidang seni, sosial, budaya, politik, dan ilmu pengetahuan, namun juga dalam pemikiran teologis, khususnya pada gereja-gereja reformasi. Demikian penjelasan McGrath seperti yang akan penulis jabarkan dalam makalah singkat ini.

II. HUMANISME DAN REFORMASI.

          Bab ke-3 dalam buku ini membahas mengenai korelasi penting antara Humanisme dan Reformasi. McGrath membagi bab ini kedalam enam poin penting, yaitu: Konsep Renaisans, Konsep Humanisme, Ad Fontes—Kembali ke sumber-sumber Asli, Humanisme di Eropa bagian utara, Erasmus dari Rotterdam, dan Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi. 

II.1. Konsep Renaisans.

          Pada bagian pertama sub bab ini, McGrath menjelaskan secara singkat mengenai konsep dasar serta latar belakang timbulnya gerakan Renaisans. Renaisans yang dipandang sebagai suatu gerakan “kebangkitan kembali” telah menjadi titik awal kebangkitan sejarah Eropa dan dunia. Suatu kebangkitan yang dirindukan oleh masyarakat Eropa seperti kejayaan-kejayaan kerajaan Eropa tempo dulu yang sangat kaya akan budaya, dan pengetahuan. 

          Mengutip Burckhardt, McGrath mengatakan bahwa Renaisans merupakan titik tolak perubahan yang akhirnya melahirkan era baru yaitu modernitas. Pada zaman inilah Eropa mengalami kemajuan yang signifikan dihampir segala bidang. Namun pada zaman ini juga permulaan munculnya arus pemikiran liberal dan kritik terbuka terhadap kitab suci dan gereja.

          Beberapa faktor penting yang menjadi pendorong terjadinya Renaisans di Italia adalah kekayaan kebudayaan peninggalan Romawi, Kekosongan para pemikir intelektual, kestabilan politik, kemakmuran ekonomi, dan masuknya pada intelektual Yunani ke barat sebagai dampak dari kejatuhan Byzantium. 

II.2. Konsep Humanisme.

          Istilah Humanisme bagi kita—generasi abat ke-21—memang tidak asing lagi. Namun tanpa memahami konteks dan makna dari istilah tersebut pada zaman reformasi maka sudah pasti akan mengalami kesesatan dalam berasumsi. Contoh kekeliruan ini, dapat dijumpai dalam tulisan seorang filsuf Katholik saat ini, yaitu Romo Frans Magnis-Suseno, yang mengkritisi secara keliru dengan menganggap bahwa Humanisme gereja Reformasi (secara spesifik kepada Martin Luther), adalah sama dengan Humanisme dalam artian paham filsafat kafir antroposentris[3].

          Meluruskan kekeliruan-kekeliruan umum tentang konsep Humanisme tersebut, McGrath mencoba menelusuri sejarah penggunaan kata dan Humanisme. Dalam analisanya, ia menjumpai bahwa istilah Humanisme pada abat pertengahan ternyata memiliki konsep dan makna yang jauh berbeda dengan konsep Humanisme pada zaman ini. Mengutip beberapa pandangan McGrath menulis bahwa Humanisme adalah suatu gerakan ilmiah dimana orang-orang humanis tersebut meneliti kembali karya-karya sastra dan seni klasik Yunani-Romawi. Dengan kata lain Humanisme adalah suatu program  kebudayaan yang mengacu kepada penelitian karya dan seni klasik untuk kemudian dikembangkan dikemudian hari. 

          Dari penjabaran singkat ini, maka jelas terlihat bahwa pemaknaan Humanisme pada abat pertengahan dengan zaman ini sangatlah berbeda. Humanisme pada abat pertengahan merupakan suatu gerakan pembaharuan kebudayaan yang terbatas pada karya sastra klasik (menyangkut tulis menulis dan berturur), sedangkan Humanisme pada zaman ini bermakna suatu rangkaian nilay filsafat yang berpusat pada manusia. Manusia yang independen menjadi subjek sekaligus objek penentu bagi dirinya sendiri.

II.3. Ad Fontes—Kembali kepada sumber-sumber asli.

          Gerakan kaum Humanis yang semakin maju, mengakibatkan kesempatan untuk kembali menemukan apa yang ditutupi oleh filter komentar abat pertengahan mengenai Alkitab dan sumber-sumber Kristiani perdana semakin terbuka. Program dan rencana besar kaum Humanis ini dapat diringkas dalam satu istilah, Ad Fontes—kembali kepada sumber-sumber asli. Suatu usaha untuk kembali meneliti sumber-sumber naskah kekristenan perdana.

          Ad fontes menuntun orang-orang Renaisans untuk berjumpa dengan Kristus secara pribadi melalui teks-teks Alkitab sebagaimana jemaat perdana berjuma dengan-Nya. Ad fontes bukan hanya sekedar slogan, Ad fontes adalah suatu garis-kehidupan bagi orang-orang yang putus asa menghadapi keadaan gereja dalam abat pertengahan dengan harapan, era kejayaan gereja perdana dapat sekali lagi menjadi kenyataan.

II.4. Humanisme di Eropa bagian utara.

          Pergerakan arus Renaisans di Italia berdampak hingga ke negara-negara Eropa bagian utara seperti Jerman, Swis, Prancis, dan Inggris. Swis—menekankan gerakan humanis pada moralitas Kristen yang menjadi pedoman hidup. Prancis, menekankan Ad fontes pada bidang hukum, yang mana akan melahirkan tokoh reformasi Yohanes Calvin.  Sedangkan di Inggris, renaisans mempengaruhi bidang pendidikan dimana berpusat pada Cambridge University, yang mana banyak dipengaruhi oleh sebagian besar pengajar yang berasal dari Italia. 

          Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya Renaisans pada neraga-negara Eropa utara adalah kunjungan-kunjungan oleh kaum intelektual ke Italia, surat menyurat antar kaum Humanis, dan juga penerbitan buku-buku kalangan Humanis Italia di Negara bagian Utara seperti di Basel, Swis.

          Pada umumnya ciri gerakan Renaisans di Eropa Utara tidak jauh berbeda dengan di Italia, yaitu minat terhadap sastra dan kebudayaan klasik, hanya saja salah satu ciri yang paling menonjol adalah program keagamaan yang diarahkan kepada “Kelahiran kembali”, atau dalam bahasa Latin “Chritianismus renascens”—kekristenan yang dilahirkan kembali. Gerakan ini merupakan benih dimana pada puncaknya dikumandangkan oleh Martin Luther.

II.5. Erasmus dari Rotterdam.

          Kalau ada tokoh yang menonjol melebihi para humanis eropa utama maka ia adalah Erasmus dari Rotterdam, demikian kalimat pembuka pada sub bab ini. Meskipun pengaruhnya pada Luther dan Calvin tidak begitu besar, namun bagi para reformator lain seperti Zwingli dan Bucer, Erasmus memiliki kontribusi yang sangat besar.

          Karya-karya pemikiran Erasmus telah menjadi penyemangat yang membangkitkan semangat reformasi individual. Karyanya yang paling berpengaruh terbit pada permulaan abat ke-16 yaitu pada tahun 1503 dengan judul “Enchiridion Militis Christiani” (Handbook of the Christian Soldier). Karya ini mencapai puncak gemilangnya pada tahun 1515, dimana karya tersebut telah mampu mengubah secara radikal persepsi diri para pembaca (dari kalangan intelektual hingga masyarakat awam) terhadap Iman dan gereja. Pengajarannya yang langsung bersumber pada Kitab suci memberikan warna baru yang segar bagi kekeringan rohani pada masa itu.

          Dalam karyanya tersebut, Erasmus menekankan beberapa hal penting yang sekaligus menjadi kritikan tajam bagi gereja abat pertengahan;
a.    Kitab Suci sebagai penuntun hidup yang transformative. Membaca kitab suci berarti mentransformasi diri melalui Lex Christi (Hukum Kristus).
b.   Vitalitas masa depan kekristenan terletak pada kaum awam, bukan pada rohaniawan.
c.    Menekankan pemahaman kekristenan yang tidak merujuk pada gereja—ibadahnya, imamnya, atau lembaganya, akan tetapi kaum awam dapat secara langsung berhubungan dengan Tuhan. (sebagai contoh pengakuan dosa dalam tradisi katholik).
d.   Kehidupan saleh (membiara) bukanlah bentuk tertinggi dari kehidupan kristiani. Orang awam yang membaca Kitab Suci juga adalah sama setianya pada panggilan imannya sebagaimana seorang biarawan.

                Pada titik ini, Ad fontes dapat dijangkau oleh kaum awam dan dapat secara langsung berjumpa dan disegarkan oleh Tuhan, daripada harus pergi ke kolam yang mampet dari agama abat pertengahan.

          Selain karya tulis Erasmus diatas, untuk pertama kalinya ia juga menerbitkan terjemahan sebagian besar PB Yunani, sehingga pertama kali pula para teolog mendapatkan kesempatan untuk mebandingkan teks PB Yunani dan teks PB latin (Vulgata). Dengan mengutip teks PB karya Lorenzo Valla, Erasmus memperlihatkan bahwa sejumlah besar teks PB Vulgata tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kritikan Erasmus ini sontak menimbulkan reaksi dari kalangan katolik konservatif yang ingin mempertahankan tradisi gereja yang telah diterima.

          Dan karya tambahan lainnya adalah penelitian dan penerbitan ulang karya Bapa-bapa gereja yang penting seperti karya Ambrosius, Agustinus, dan Hieronimus. Dengan terbitnya karya-karya ini, kaum humanis dan teolog dapat mengkritisi tulisan-tulisan teolog terdahulu (pra-reformasi) yang juga banyak mengutip karya-karya para Patriakh, dimana terkadang keliru karena lepas dari konteks yang sebenarnya.

II.6. Humanisme dan Reformasi—Suatu evaluasi.

          Pada umumnya reformasi Swis dan reformasi Wittenberg bertolak dari prinsip humais yang sama yaitu Ad Fontes yang didasari pada teks Alkitab, namun berbeda dalam penekanannya. Reformasi Swis (generasi pertama—Zwingli) menekankan pada moralitas. Dengan demikian, kitab suci menjadi landasan dan penekanan penting bagi moralitas gereja dan umat (generasi kedua—Calvin, pada ajaran). Sedangkan reformasi Wittenberg—Matin Luther, menekankan pada Anugerah keselamatan. Kitab suci menjadi pedoman dasar dimana manusia menjumpai anugerah Allah.

          Dilain pihak, meskipun pemikiran kaum humanis memiliki kontribusi yang yang besar bagi perintisan dan perkembangan reformasi gereja, namun dibeberapa bidang juga terdapat ketidak sepahaman antara keduanya. McGrath merinci lima area perdebatan tersebut sebagai berikut; 1. Sikap terhadap Teologi Skolatik, 2. Sikap terhadap kitab suci, 3. Sikap terhadap Bapa-bapa gereja, 4. Sikap terhadap pendidikan, 5. Sikap terhadap retorika. Puncak perdebatan ini terjadi pada tahun 1525, ketika Zwingli dan Luther sama-sama menyerang Erasmus mengenai konsep “kebebasan kehendak” yang dipandang keliru.

III. KESIMPULAN.

          Setelah menganalisa megenai hubungan antara Humanisme dan Reformasi maka beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan dari tulisan ini adalah,

1.   Semangat Humanis dalam konteks reformasi bukan hanya memainkan peranan penting pada saat reformasi, namun juga pada era saat ini dan masa depan dalam artian “penyelidikan seksama terhadap teks-teks klasik”. Dengan kata lain, sastra memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan teologi, dengan demikian maka penelitian sastra menjadi hal yang sangat penting dalam perumusan dan penafsiran teks-teks Alkitab.

2.   Sebagaimana semagat Humanis yang tidak boleh ditinggalkan, maka demikian juga dengan semangat Reformasi. Reformasi tidak boleh dipandang sebagai suatu sejarah gereja yang statis dan telah selesai tanpa refleksi. Peristiwa reformasi gereja harus dipandang sebagai suatu semangat pembaharuan, baik pembaharuan yang bersifat pribadi maupun komunal.

3.   Terlepas dari controversial peristiwa reformasi gereja—baik yang pro, maupun kontra—namun peristiwa ini telah membuktikan satu hal penting yaitu, peranan Allah dalam sejarah gereja-Nya. Spanjang zaman, Allah selalu mengirimkan hamba-hambanya untuk membenahi ketidak benaran gereja. Dan reformasi gereja adalah salah satu bagian dari karya Allah untuk menyelamatkan generasi gereja di masa depan. 

Amin…





            [1] Dengan bijak, McGrath  membedakan antara pemahaman Humanisme abat ke-20 yang sarat akan konsep atheisme, dengan Humanisme abat pertengahan (khusunya dalam gereja) yang memfokuskan diri pada semangat pembaharuan nilay-nilay sprirtual gereja yang telah rusak oleh otoritas gereja. Pesan implisit dari analisa McGrath ini, memberikan satu landasan yang sangat baik untuk para pembaca abat ini yang mungkin saja memiliki kecurigaan dan konsep yang keliru mengenai makna Humanisme, terutama pada saat Reformasi Gereja. (Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi... 50.)

                [2] Renaissance (:Prancis) berasal dari kata “rinascita” (:Italia) yang artinya kelahiran kembali. Merupakan masa  transformasi yang dimulai pada abat ke-14 hingga ke-16 dalam bidang seni hingga berlanjut pada perkembangan pemikiran manusia yang bebas dan otonom dengan meninggalkan prinsip lama memeto mori (ingatlah bahwa engkau akan mati) dan beralih kepada semboyan baru carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup). Sutarjo Adisusilo, JR, Sejarah Pemikiran Barat: Dari yang Klasik Sampai yang Modern (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 68. Lihat juga, W. Andrew Hoffecker dan Gery Scott, Building Christian Worldview, vol.1: God, Man, and Knowledge (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed:1986), 149-150.

            [3] Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius,2006), 50-51.





[BAG.2] Bab IX. Ajaran Tentang Gereja.



BAB I. PENDAHULUAN.

          Aspirasi mendasar dari gerakan Reformasi, pada umumnya dikenal—umat kristiani saat ini—dengan penekanan pada konsep keselamatan (sola gratia), iman (sola fide), dan kitab suci (sola skriptura), namun satu hal penting lainnya yang terlupakan adalah konsep gereja yang dirintis oleh para Reformator (khususnya Luther dan Calvin). Perjuangan mereka dalam merumuskan konsep gereja—menurut penulis—merupakan perjuangan yang justru lebih berat dibandingkan dengan rumusan-rumusan teologis yang mengkritisi unsur magisterial gereja abat pertengahan. Hal ini disebabkan karena dalam konteks teologis, gereja roma telah memiliki pandangan baku  (Agustinus) mengenai gereja, dimana hanya didalam gereja romalah manusia dapat sampai kepada keselamatan. Itu sebabnya, mengutip B.B. Warfield, McGrath mengatakan bahwa reformasi merupakan kemenangan ajaran Agustinus tentang anugerah, atas ajaran Agustinus tentang gereja.

          Disisi lain, alasan mendasar dari perumusan ulang  konsep eklesiologi adalah karena dampak dari sikap penolakan keras gereja roma terhadap gerakan reformasi, hingga pada puncaknya, dengan berat hati para reformator terpaksa[1] memisahkan diri dari gereja roma dan membentuk komunitas gereja baru, yaitu gereja reformasi yang Pro-Testamental.

          Tulisan singkat ini menyajikan pergumulan para reformator (Luhter dan Calvin) dalam merumuskan konsep eklesiologi, serta perbedaan pandangan mereka dengan gereja roma, dan kalangan reformasi radikal.  


BAB II.
GEREJA DALAM PANDANGAN ROMA KATOLIK, REFORMASI RADIKAL (ANABAPTIS), DAN LUTHER DAN CALVIN.
         
          Melihat konteks dan latar belakang Luther sebagai sang Reformator yang dididik dengan ajaran katholik yang kuat, akan membawa para pembaca pada satu keadaan dilematis yang sangat menyedihkan. Hal ini dikarekanan Gerekan Reformasi yang digagas Luther sedanag berdiri ditengah dua kekuatan besar yang menekan sekaligus, yaitu Gereja Roma, dan kaum Reformasi radikal—Anabaptis. Selain itu, dilema lainnya adalah Luther harus memilih salah satu diantara dua ajaran Agustinus yang justru Ia jadikan rujukan, apakah ajaran mengenai Anugerah atau Gereja, sebagaimana yang akan dibahas. 

II.1. Gereja dalam konsep Roma katolik.

          Konsep dasar “gereja” dalam teologi katolik, akan selalu merujuk pada penafsiran krusial atas pengakuan Petrus dalam Lukas 9:18-21. Selain dasar tersebut, salah satu pilar pengajaran tentang gereja juga dapat dijumpai dari hasil pemikiran Agustinus. Perumusan tersebut digagas Agustinus pada saat Ia berusaha untuk mengatasi kamun Donatis (kelompok yang memisahkan diri dari gereja, karena menolak menerima pelayanan para imam yang telah melakukan perbuatan dosa). Ia (Agustinus) menegaskan bahwa gereja adalah satu-satunya pihak yang berhak melayani sakramen, sehingga dikemudian hari, gereja dipahami (dibakukan secara ekstrem) sebagai institusi yang dapat menentukan keselamatan seseorang. Dengan kata lain, diluar gereja katolik, tidak ada keselamatan. 

          Agustinus juga berpendapat (yang ia kembangkan dari pemikiran Calixtus dan Cyprianus) bahwa perpecahan dalam gereja tidak perlu terjadi hanya karena ada oknum imam yang berbuat dosa, karena pada akhirnya orang percaya (yang dipilih) akan hidup berdampingan dengan “orang percaya” (yang tidak dipilih), layaknya gandum dan ilalang hingga hari penghakiman Tuhan. Demikian halnya kehidupan jemaat didalam gereja. Disini Agustinus berdiri sebagai penggagas kesatuan gereja yang universal, tanpa denominasi.

          Dengan demikian maka dapat disimulkan bahwa Gereja dalam konsep teologi katolik adalah merupakan suatu lembaga historis, kelihatan, yang mempunyai kesinambungan dengan gereja apostolic, dan berhak menjalankan sakramen yang sah. Kaum Skismatik (kelompok yang memisahkan diri dari gereja katolik) tidak memilki tempat bagi pelayanan sakramen dan keselamatan yang sah. Pada titik ini, Orang katolik menertawakan gerakan Reformasi Luther, karena dianggap sebagai sebuah gerakan Skisma yang justru tidak sesuai dengan ajaran Agustinus tentang gereja. 

II.2. Gereja dalam konsep Reformasi radikal (Anabaptis).

          Reformasi radikal yang dikenal dengan sebutan Anabaptis[2] adalah gerakan reformasi Swiss generasi kedua setelah Zwingli. Gerakan ini diprakarsai oleh Conrad Grebel (seorang anggota terkemuka gereja di Zurich). Kelompok ini mengkritisi gereja katolik dan para Reformator Magesterial (Zwingli dan Luther, dan juga terhadap Calvin). Menurut  mereka sebagaimana gereja katolik dalam banyak hal telah gagal dalam mengkristenkan orang-orang kafir, demikian juga Luther dan Zwingli juga telah gagal dalam usaha mereka untuk memperbaharui gereja.
          Konsep gereja menurut kelompok Anabaptis didasarkan atas kritikan mereka terhadap hubungan Gereja dan Negara (sama halnya dengan kalangan Donatis yang ditentang Agustinus), baik kepada gereja katolik, maupun kalangan Reformasi. Mereka menekankan bahwa keanggotaan gereja terbatas hanya pada orang yang mengikatkan diri secara sadar kepada Kristus (itu sebabnya mereka menolak pembaptisan anak, karena anak belum mampu secara sadar beriman kepada kristus), dan sekaligus menolak keanggotaan gereja yang diperoleh dengan mudah melalui negara[3]

          Gereja dalam pandagan Anabaptis lebih bersifat personal, artinya gereja yang sejati menyatakan hubungan pribadi orang percaya dengan Kristus secara sadar, dan terbatas pada urusan rohani, tidak terdistorsi oleh persoalan dan ambisius kenegaraan—sebagaimana Konstantinus mencampur adukan permasalahan Negara dengan Agama, demikian juga dengan gereja pada abat pertengahan. Hal ini juga menyebabkan kelompok Anabaptis menolak monopoli gereja katolik sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menyandang predikat sebagai “Gereja Allah”. Bagi mereka, gereja yang benar ada disorga, didunia hanya merupakan replikanya. Anabaptis konsisten dengan pandangan mereka tentang gereja personal yang tidak boleh bersifat Institusional—suatu pergerakan yang memiliki kecendrungan yang sama dengan kaum Donatis.

II.3. Gereja dalam konsep Luther dan Calvin.

          Pandangan tentang eklesiologi oleh generasi pertama Reformator seperti Luther, memiliki beberapa perbedaan dan penekanan jika dibandingkan dengan Calvin, generasi kedua. Hal ini disebabkan karena Luther pada prinsipnya hanya berfokus pada reformasi magisterial, dan sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan gereja roma. Keinginan untuk tidak memisahkan diri dari gereja Roma menjadi pagar pembatas ajarannya dimana hanya dibatasi pada perihal ajaran gereja yang menyimpang. Pengembangan ajaran Reformasi mengenai gereja, baru terlihat pada generasi kedua, khusunya oleh Yohanes Calvin.

II.3.1. Luther.

          Pandangan Luther tentang konsep “gereja” sangat sederhana namun sangat keras dan tegas. Luther melihat konsep gereja Allah yang sejati dihubungkan dengan pemberitaan Injil yang sejati pula. Menurutnya, dimana ada Firman Allah yang sejati, disana pasti ada iman yang sejati pula, dan dimana ada iman yang sejati, disitulah gereja Allah yang sejati. Sebaliknya, jika didalam suatu gereja, Injil yang sejati tidak hadir disana, dan hanya ada pengajaran-pengajaran manusia, maka dapat dipastikan bahwa disana tidak ada orang-orang Kristen yang hidup, tidak peduli berapa banyak, besar, dan kudusnya kehidupan mereka. Konsep gereja menurut Luther, lebih menekankan kepada perihal Fungsional daripada sudut kesinambungan Historis (sebagaimana pandangan Katolik). Kesinambungan historis bagi Luther hanya merupakan suatu kebetulan semata.

          Dapat dilihat bahwa perumusan dan sikap Luther tersebut meninggalkan dua kesan yang kuat, pertama, tesis tersebut merupakan kritik tajam terhadap teologi, serta prilaku menyimpang dari oknum-oknum korup di gereja roma. Dan kedua, sikap Luther yang moderat terhadap institusi gereja roma. Poin kedua inilah yang menjadi kritikan tajam dikemudian hari oleh kalangan Radikal—Anabaptis.
          Seperti yang telah disinggung penulis diatas bahwa Luther berdiri diatas dua tekanan yang sama radikalnya. Disatu sisi, Ia mengkritisi konsep teologi menyimpang gereja Roma dan kecendrung melegitimasi institusi yang telah korup akibat dari para pemimpin gereja yang juga korup, tetapi secara implicit, Ia tetap menerima Institusi gereja sebagai lembaga yang juga merupakan anugerah Allah dimana Ia pun menerima anugerah itu. Hal ini  menjadi permasalahan yang dilematis bagi Luther. Sebagai akibat dari dilematis ini, Luther memperlembut penafsiran-penafsirannya terhadap konsep gereja, sehingga meninggalkan kesan yang kabur.

II.3.2. Calvin.

          Jika Luther prihatin dengan pertanyaan: “Bagaimana aku dapat menemukan Allah yang Maha pemurah?”, maka para penggantinya bergumul dengan pertanyaan: “Dimanakah aku dapat menemukan gereja yang benar?”. Pergumulan ini jugalah yang digumuli oleh Calvin. Calvin memberikan sumbangsih yang besar dalam tulisan-tulisannya, untuk menjawab persoalan tersebut. Ia melangkah lebih jauh, dengan meletakan posisi gereja reformasi yang sekaligus sebagai jawaban atas gereja Katolik dan sayap Radikal.
Hakikat gereja.

          Langkah pertama Calvin mengenai hakikat gereja, masih merupakan kesinambungan dari Luther namun sedikit berbeda. Hakekat gereja yang sejati menurutnya harus memenuhi dua unsur penting, yaitu pemberitaan Firman Allah yang murni dan pelayanan sakramen (yang hanya dinyatakan oleh Tuhan Yesus). Pada titik ini, seperti halnya Luther, Calvin menarik kesimpulan bahwa gereja Katolik tidak memenuhi definisi minimal dari syarat mutlak tersebut, maka dalam hal ini orang-orang Protestan dapat dibenarkan. 

          Hakikat gereja diatas merupakan jawaban bagi Katolik, sedangkan bagi kaum Radikal, Calvin melakukan pembelaan terhadap konsep Institusi gereja dengan tetap berpaut pada kesaksian Kitab suci dan tradisi pandangan para partiakh. Menurutnya, kelembagaan gereja bukanlah hal yang buruk, karena hal tersebut memang ditentukan oleh Tuhan. Calvin melanjutkan dengan mengangkat sejumlah kesaksian Alkitab yang berbicaya mengenai pelayanan para Tua-tua, diaken, gembala, pengajar, dll, yang memang ditentukan untuk memimpin dan melayani jemaat. Maka secara tersirat hal tersebut memang berbentuk suatu institusi, walaupun dalam konsep yang sederhana. perkembangan pemikirannya makin terlihat ketika Calvin, sambil memberitakan Firman Allah, ia juga mengembangkan Firman Allah tersebut sebagai pondasi dasar pemerintahan gereja—suatu terobosan baru yang menegaskan sikapnya terhadap kedua kelompok rivalnya[4]

          Melangkah lebih jauh sebagai sikap tegasnya terhadap kaum radikal, (dengan meminjam konsep gereja milik Cyprianus), Calvin menegaskan bahwa “Kamu tidak dapat memiliki Allah sebagai bapamu, kecuali kamu memiliki gereja sebagai ibumu!”. Hanya melalui gereja sebagai “Ibu”, maka orang percaya “dikandung”, “dilahirkan”, “dirawat”, dan “dididik” dalam kebenaran. Diluar gereja tidak ada pengampunan dosa dan keselamatan. Sikap tersebut bukan hanya merupakan jawaban bagi kaum Radikal, akan tetapi merupakan siakp konfirmasi atas kesalah-pahaman gereja Katolik atas para Reforator yang dipandang sebagai kaum anti institusi (dalam pengertian individualis yang liar). 

          Calvin juga menjawab kritikan kaum Radikal yang memandang pemisahan secara serius antara Gerja dan Negara, dimana mereka memandang perihal urusan kenegaraan sebagai suatu perbutan daging yang tidak boleh hadir dalam kehidupan orang percaya. Menurut Calvin, Gereja dan Negara bukanlah “dua dunia yang kotradiktif”, kedua institusi tersebut merupakan dua hal yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Allah tidak hanya bertindak didalam gereja, namun Ia juga berkarya didalam dunia, termasuk institusi dan urusan kenegaraan[5].

Secara Teologis.

          Sedangkan dalam konteks teologis, Calvin memberikan rumusan yang tegas tentang konsep gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Disatu sisi, gereja merupakan kumpulan dari orang-orang percaya, suatu kelompok yang kelihatan. Pada kelompok ini, Calvin tetap memilih konsep Agustinus bahwa, dalam kelompok gereja yang kelihatan ini terdapat ilalang dan gandum, hal tersebut memang merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipisahkan. Disisi lain, gereja juga merupakan persekutuan orang-orang kudus dan yang terpilih, dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak kelihatan. Walaupun bukan suatu rumusan yang baru, namun rumusan ekklesiologi tersebut sangat baik.
Kelembagaan.

          Terobosan lain yang kontroversial adalah pemerintahan gereja yang berbentuk konsistori (Majelis jemaat), dimana hal tersebut merupakan sesuatu yang baru. Majelis jemaat terdiri dari dua belas tua-tua yang diangkat kalangan awam dengan  tujuan untuk menjaga disiplin gereja. 

          Menurut asumsi penulis, hal ini mungkin saja muncul karena pengaruh dua hal, pertama, pengalaman dari kegagalan para rohaniawan katolik, dan bobroknya moralitas gereja abat pertengahan, dan kedua, perkembangan dan bentuk disiplin gereja-gereja Swiss dari generasi pertama reformasi yang memang sangat konsern terhadap kekudusan kehidupan kristiani yang ketat, dimana kemudian diwariskan kepada generasi kedua gereja. Dan sangat mungkin juga, tujuan lain dari system konsistori tersebut untuk mengendalikan gejala-gejala penyimpangan penafsiran dari kaum awam, seperti yang terjadi pada kaum Anababtis (penafsiran dan pengajaran yang sesat dan menyimpang oleh beberapa tokoh Anababtis).


BAB III.
KESIMPULAN.

          Melalui pandangan Cyprianus—konsep gereja sebagai Ibu—maka Calvin memberikan jawaban dan sikap tegas gereja Reformasi terhadap gereja Katolik dan Radikal. Bagi gereja Katolik, jawaban terletak pada kegagalan gereja sebagai “Ibu”. Dalam hal ini gereja telah gagal dalam hal-hal yang krusial—Firman Allah dan sakramen yang sebagain besar telah terdistorsi oleh ajaran manusia (non Skriptural—tidak ditetapkan oleh Tuhan Yesus). Sedangkan bagi kelompok Radikal, tidak ada pertumbuhan yang sehat diluar sang “Ibu yang mendidik”. Kelembagaan gereja (dan juga Negara dalam pengertian  khusus) adalah bentuk yang Tuhan telah tentukan untuk mendidik dan memimpin semua orang percaya dalam disiplin dan kekudusan hidup. Maka bagaimanapun kelembagaan diperlukan sebagai alat yang dikuduskan Tuhan untuk pertumbuhan orang pilihan-Nya. 

          Generasi Kristen modern yang tutup mata terhadap sejarah reformasi, akan cendrung gagal melihat esensi dan pesan transformatif dari para reformator. Spirit ini begitu kuat terasa ketika penulis mencoba melihat kembali perjuangan mereka di tengah tekanan dari gereja roma dan sayap reformasi radikal. Refleksi dari perjuangan mereka, khususnya konsep eklesiologi yang “Reformata Semper Reformanda”, seharusnya menghasilkan perenungan yang mendalam, yang kemudian berbuah dalam tindakan konkret, dimana baik gereja dalam konteks pribadi maupun gereja dalam konteks komunitas orang-orang percaya secara universal, mampu memperlihatkan jati dirinya sebagai terang dunia. Soli Deo Gloria.

         










                [1] Luther pada prinsipnya menolak memisahkan diri dari gereja roma. Ia memegang teguh pandangan Agustinus yang menolak dengan tegas skismatik dalam gereja. Usaha-usaha tersebut terus diprakarsa oleh gereja Lutheran, salah satunya pada pengakuan Augsburg (1530), namun usaha-usaha tersebut tidak berhasil, hingga konsili Trente (1545) sebagai jawaban Katolik atas Reformasi.
            [2] Sebutan Anabaptis ini disandangkan kepada mereka karena pengajaran dan penekanan mereka terhadap baptisan ulang, dan menolak pembaptisan anak. Karena ajaran ini, maka kalangan Anabaptis sangat dibenci baik oleh kalangan gereja Katolik, maupun Gereja Reformasi yang menjalankan baptisan anak.

                [3] Percampuran kekuasaan Gereja dan Negara pada saat itu yang menyebabkan banyak orang yang menjadi Kristen hanya karena Kristen menjadi agama Negara, adalah suatu hal yang keliru dalam pandangan kelompok Anabaptis. Pandangan umum mereka tentang pemisahan gereja dan negara, masih dapat ditemui hingga saat ini, baik yang diajarkan melalui mimbar, maupun paham teologis secara personal.
                [4] Pada titik ini, perbedaan antara Luther dan Calvin terlihat semakin jelas. Jika Luther memandang kesinambungan kelembagaan historis gereja katolik sebagai sesuatu yang hanya kebetulan, maka Calvin memandangnya berbeda, kelembagaan gereja bagi Calvin dinyatakan dan memilki dasar Kitab Suci.

            [5] Catatan tambahan. Calvin mengembangkan konsep Predestinasi dengan toleransi, dimana dengan konsep Predestinasi, orang percaya dan terpilih yang  adalah “gandum“,  tidak perlu merasa khawatir untuk hidup berdampingan dengan “ilalang”.