PRESUPOSISI APOLOGETIKA KRISTEN
Yosep Belay
Jika
Wordlview seumpama kaca mata yang digunakan untuk memandang dunia, maka
Presuposisi dapat diandaikan sebagai lenca kaca matanya. Dengan "lensa tersebut" kita membangun pemahaman mengenai suatu objek. Demikian halnya dengan presuposisi, presuposisi
mempengaruhi penafsiran, serta cara pandang semua orang tentang segala sesuatu di sekitarnya,
termasuk iman dan keyakinan seseorang, baik disadari maupun tidak.
Alkitab Sebagai Presuposisi Apologetika.
Kekuatan serta ciri bangunan
apologetika sangat dipengaruhi oleh pondasi dasar bangunannya. Demikian halnya
dengan apologetika Kristen, dasar Firman Tuhan
yang kokoh akan menjamin kekuatan serta ciri yang berbeda menyangkut bangunan
apologetika. Pratt
mengatakan, “orang-orang Kristen yang bertujuan baik ada yang keliru dalam
pandangan mereka mengenai karakter Alkitab sebagai fondasi dan cendrung
membangun pembelaan mereka berdasarkan hikmat dan kemampuan berpikir manusia
saja.”[1] Seorang
Apologis yang tidak memilki pondasi Firman
Tuhan yang kokoh akan lebih cendrung untuk tertarik membangun bangunan
apologetikanya diatas dasar kemampuan rasio sesuai bidang yang dikuasainya. Pembelaan
demikian terkadang berhasil namun (karena kurangnya pemahaman dan presuposisi yang keliru mengenai Alkitab)
tidak jarang justru membahayakan doktrin dasar Iman Kristen. Contoh-contoh
klasik seperti, para Teolog yang bergumul dengan Liberalsme (Kierkegaard, Scleimacher, Bultman, dll) telah
berusaha dengan gigih untuk membangun bangunan apologetika bedasarkan Filsafat,
namun sayangnya usaha ini justru menghancurkan beberapa bagian doktrin dasar
Iman Kristen lainya. Landasan yang salah ini masih sering dijumpai pada apologis Kristen saat ini. Untuk itu, memahami bahwa tidak
ada dasar lain yang lebih kuat selain Alkitab akan menolong Apologis dalam
membangun bangunan apologetika yang kokoh. Apologetika yang dibangun atas dasar hikmat manusia,
menurut Pratt, bagaikan rumah yang dibangun di atas dasar pasir, tidak akan
bertahan. Alkitab harus menjadi presuposisi dan dasar utama dalam
setiap upaya apologetika
Kristen.
Salah satu perintah Firman
Tuhan yang paling terkenal dan menjadi landasan utama bagi semua
Apologis dalam membangun
Apologetika Kristen terdapat dalam surat 1
Petrus 3:15[2],
Tetapi kuduskalah Kristus di dalam hatimu sebagai
Tuhan!. Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab
kepada tiap-tiap orang yeng meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang
pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.
Ayat
ini mengungkapkan tiga syarat penting bagi seorang Apologis (yang seharusnya juga
bagi semua orang percaya). Pertama,
menyangkut kematangan Iman. Kalimat pembuka dalam ayat ini “Tetapi kuduskalah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!” bukan hanya merupakan
sebuah perintah dan syarat utama untuk menjadi seorang Kristen, tetapi
sekaligus merupakan presuposisi yang tidak dapat di kompromikan
dalam apologetika. Kata
“Kuduskanlah”, berarti memisahkan Kristus dan menempatkan Ia sebagai pengendali
hidup Orang percaya. Ia bukan hanya dikuduskan sebagai Tuhan dalam hati, akan
tetapi dikududkan juga dalam tindakan atau perbuatan konkret. Apologetika Kristen tidak akan pernah berhasil tanpa
pengakuan dan pengudusan Kristus sebagai Tuhan dalam hati apologis. Dengan kata lain, presuposisi apologis modern saat ini haruslah
kristosentris dan tetap
bersandar secara mutlak pada kesaksian Alkitab mengenai ke-Tuhanan Kristus,
sebagaimana presuposisi Rasul Petrus dan lainnya.
Kedua menyangkut kematangan pemahaman kognitif mengenai Iman Kristen. Hal ini
terdapat pada batang kalimat, “...Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab
kepada tiap-tiap orang yeng meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang
pengharapan yang ada padamu...”.
Poin ini berbicara mengenai perintah untuk berapologetikia dan mempersiapkan
diri dalam mempertanggung jawabkan iman. “kesiapan” untuk berapologetika selalu
berkaitan erat dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam mengenai
unsur-unsur iman. Hal ini melibatkan unsur-unsur kognitif dalam mempelajari dan
menyampaikan pembelaan. Sproul
mengatakan, “sebelum kita bisa mengajak orang kepada iman yang menyelamatkan,
kita harus memberikan informasi atau isi dari kepercayaan yang kita ingin
mereka percayai, dan hal itu melibatkan rasio.”[3] Iman
Kristen bukanlah semacam “lompatan dalam kegelapan”, namun merupakan Iman yang
didasari atas kebenaran wahyu Allah yang tentu dapat dimengerti dan
dipertanggung-jawabkan secara logis dan rasional, meskipun dibeberapa bagian
mustahil dicapai oleh pemahaman rasio manusia (Ul. 29:29). Seorang apologis
dapat digambarkan sebagai prajurit di medan perang, untuk itu tanpa persiapan yang
matang ia tidak akan mungkin memenangkan pertempuran.
Dan yang ketiga adalah menyangkut kematangan emosional dan etika. Seorang
apologis yang baik, bukan hanya memiliki kematangan dalam iman dan intelektual,
namun juga dalam segi emosional dan etika. Rasul Petrus mengatakan bahwa
seorang apologis Kristen harus mempertanggung jawabkan imannya “dengan lemah lembut dan hormat”.
Seberapa hebat dan meyakinkan seorang apologis dalam berargumentasi, namun jika
dikemas dengan “kemasan etika” yang buruk maka akan menjadi usaha yang sia-sia. Terlalu
banyak contoh buruk mengenai penolakan terhadap berita Injil, bukan karena
kontennya, melainkan karena etika pemberita. Ketiga prinsip tersebut tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain, ketiganya merupakan suatu kesatuan yang
harus menjadi kriteria utama bagi seorang Apologis Kristen.
Selain
ayat diatas, dasar berikutnya adalah dalam Mazmur 119:105,
“Firman-Mu itu pelita bagi
kakiku dan terang bagi jalanku”. Firman Tuhan harus menjadi pondasi dalam segala hal,
tak terkecuali dalam apologetika. Pratt mengatakan, “Alkitab adalah pondasi
satu-satunya karena tanpa pondasi ini, maka segala usaha kita untuk membangun
sesuatu diatasnya akan runtuh menjadi puing-puing”[4]. Hal
ini yang menjadi titik perbedaan mendasar antara kalangan
Injili dengan liberal dan juga apologis sekuler lainnya.
Penutup.
Alkitab merupakan dasar iman sekaligus pondasi dan presuposisi dalam Apologetika Kristen yang tidak dapat ditawar. Seperti sebuah alat penyaring, dengan Alkitab kita menyaring segala isu kontemporer yang berkembang di sekitar kita, kemudian membangun suatu pemahaman mengenai iman. Baik dalam konteks teologi maupun isu-isu sekuler, presuposisi akan memperngaruhi segala sesuatu. Di sini Alkitab tampil sebagai suatu pondasi yang tak tergoyahkan. Nilay kebenaran mutlak Alkitab sebagai firman Allah memberikan jaminan untuk suatu dasar presuposisi apologetika Kristen yang kuat, dibandingkan dengan wordlview sekuler manapun, karena bergantung pada kebenaran mutlak Allah.
[2] Alasan
lain penggunaan ayat tersebut oleh
penulis bukan hanya menyangkut “ayat favorit” dalam wacana apologetika
Kristen, yang secara umum telah banyak digunakan, namun terlebih karena tema
utama tulisan ini memiliki kesatuan dan tepat mengkaji mengenai
pengakuan ke-Tuhanan Kristus,
dimana kalimat pembuka ayat tersebut merupakan suatu bentuk presuposisi mengenai ke-Ilahian Kristus
yang mutlak diterima (oleh semua apologis Kristen) dan juga menjadi landasan
utama bangunan apologetika Kristen. Tanpa menerima Ia sebagai Tuhan, maka tidak
akan ada apologetika kristen yang benar-benar “Kristen”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar