Rabu, 14 Februari 2018

APOLOGETIKA KRISTEN : PRESUPOSISI


PRESUPOSISI APOLOGETIKA KRISTEN

 Yosep Belay





     Jika Wordlview seumpama kaca mata yang digunakan untuk memandang dunia, maka Presuposisi dapat diandaikan sebagai lenca kaca matanya.  Dengan "lensa tersebut" kita membangun pemahaman mengenai suatu objek. Demikian halnya dengan presuposisi, presuposisi mempengaruhi penafsiran, serta cara pandang semua orang tentang segala sesuatu di sekitarnya, termasuk iman dan keyakinan seseorang, baik disadari maupun tidak.  

Alkitab Sebagai Presuposisi Apologetika.

          Kekuatan serta ciri bangunan apologetika sangat dipengaruhi oleh pondasi dasar bangunannya.  Demikian halnya dengan apologetika Kristen, dasar Firman Tuhan yang kokoh akan menjamin kekuatan serta ciri yang berbeda menyangkut bangunan apologetika. Pratt mengatakan, “orang-orang Kristen yang bertujuan baik ada yang keliru dalam pandangan mereka mengenai karakter Alkitab sebagai fondasi dan cendrung membangun pembelaan mereka berdasarkan hikmat dan kemampuan berpikir manusia saja.[1] Seorang Apologis yang tidak memilki pondasi Firman Tuhan yang kokoh akan lebih cendrung untuk tertarik membangun bangunan apologetikanya diatas dasar kemampuan rasio sesuai bidang yang dikuasainya. Pembelaan demikian terkadang berhasil namun (karena kurangnya pemahaman dan presuposisi yang keliru mengenai Alkitab) tidak jarang justru membahayakan doktrin dasar Iman Kristen. Contoh-contoh klasik seperti, para Teolog yang bergumul dengan Liberalsme (Kierkegaard, Scleimacher, Bultman, dll) telah berusaha dengan gigih untuk membangun bangunan apologetika bedasarkan Filsafat, namun sayangnya usaha ini justru menghancurkan beberapa bagian doktrin dasar Iman Kristen lainya. Landasan yang salah ini masih sering dijumpai pada apologis Kristen saat ini. Untuk itu, memahami bahwa tidak ada dasar lain yang lebih kuat selain Alkitab akan menolong Apologis dalam membangun bangunan apologetika yang kokoh. Apologetika yang dibangun atas dasar hikmat manusia, menurut Pratt, bagaikan rumah yang dibangun di atas dasar pasir, tidak akan bertahan. Alkitab harus menjadi presuposisi dan dasar utama dalam setiap upaya apologetika Kristen.

Salah satu perintah Firman Tuhan yang paling terkenal dan menjadi landasan utama bagi semua Apologis dalam membangun Apologetika Kristen terdapat dalam  surat 1 Petrus 3:15[2],

Tetapi kuduskalah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!. Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yeng meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.


Ayat ini mengungkapkan tiga syarat penting bagi seorang Apologis (yang seharusnya juga bagi semua orang percaya). Pertama, menyangkut kematangan Iman. Kalimat pembuka dalam ayat ini “Tetapi kuduskalah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!”  bukan hanya merupakan sebuah perintah dan syarat utama untuk menjadi seorang Kristen, tetapi sekaligus merupakan presuposisi yang tidak dapat di kompromikan dalam apologetika. Kata “Kuduskanlah”, berarti memisahkan Kristus dan menempatkan Ia sebagai pengendali hidup Orang percaya. Ia bukan hanya dikuduskan sebagai Tuhan dalam hati, akan tetapi dikududkan juga dalam tindakan atau perbuatan konkret. Apologetika Kristen tidak akan pernah berhasil tanpa pengakuan dan pengudusan Kristus sebagai Tuhan dalam hati apologis. Dengan kata lain, presuposisi apologis modern saat ini haruslah kristosentris dan tetap bersandar secara mutlak pada kesaksian Alkitab mengenai ke-Tuhanan Kristus, sebagaimana presuposisi Rasul Petrus dan lainnya

          Kedua menyangkut kematangan pemahaman kognitif mengenai Iman Kristen. Hal ini terdapat pada batang kalimat, “...Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yeng meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu...”. Poin ini berbicara mengenai perintah untuk berapologetikia dan mempersiapkan diri dalam mempertanggung jawabkan iman. “kesiapan” untuk berapologetika selalu berkaitan erat dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam mengenai unsur-unsur iman. Hal ini melibatkan unsur-unsur kognitif dalam mempelajari dan menyampaikan pembelaan.  Sproul mengatakan, “sebelum kita bisa mengajak orang kepada iman yang menyelamatkan, kita harus memberikan informasi atau isi dari kepercayaan yang kita ingin mereka percayai, dan hal itu melibatkan rasio.”[3] Iman Kristen bukanlah semacam “lompatan dalam kegelapan”, namun merupakan Iman yang didasari atas kebenaran wahyu Allah yang tentu dapat dimengerti dan dipertanggung-jawabkan secara logis dan rasional, meskipun dibeberapa bagian mustahil dicapai oleh pemahaman rasio manusia (Ul. 29:29). Seorang apologis dapat digambarkan sebagai prajurit di medan perang, untuk itu tanpa persiapan yang matang ia tidak akan mungkin memenangkan pertempuran.

          Dan yang ketiga adalah menyangkut kematangan emosional dan etika. Seorang apologis yang baik, bukan hanya memiliki kematangan dalam iman dan intelektual, namun juga dalam segi emosional dan etika. Rasul Petrus mengatakan bahwa seorang apologis Kristen harus mempertanggung jawabkan imannya “dengan lemah lembut dan hormat. Seberapa hebat dan meyakinkan seorang apologis dalam berargumentasi, namun jika dikemas dengan “kemasan etika” yang buruk maka akan menjadi usaha yang sia-sia. Terlalu banyak contoh buruk mengenai penolakan terhadap berita Injil, bukan karena kontennya, melainkan karena etika pemberita. Ketiga prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, ketiganya merupakan suatu kesatuan yang harus menjadi kriteria utama bagi seorang Apologis Kristen.

          Selain ayat diatas, dasar berikutnya adalah dalam Mazmur 119:105,Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”. Firman Tuhan harus menjadi pondasi dalam segala hal, tak terkecuali dalam apologetika. Pratt mengatakan, “Alkitab adalah pondasi satu-satunya karena tanpa pondasi ini, maka segala usaha kita untuk membangun sesuatu diatasnya akan runtuh menjadi puing-puing”[4]. Hal ini yang menjadi titik perbedaan mendasar  antara kalangan Injili dengan liberal dan juga apologis sekuler lainnya.

Penutup.
            Alkitab merupakan dasar iman sekaligus pondasi dan presuposisi dalam Apologetika Kristen yang tidak dapat ditawar. Seperti sebuah alat penyaring, dengan Alkitab kita menyaring segala isu kontemporer yang berkembang di sekitar kita, kemudian membangun suatu pemahaman mengenai iman. Baik dalam konteks teologi maupun isu-isu sekuler, presuposisi akan memperngaruhi segala sesuatu. Di sini Alkitab tampil sebagai suatu pondasi yang tak tergoyahkan. Nilay kebenaran mutlak Alkitab sebagai firman Allah memberikan jaminan untuk suatu dasar presuposisi apologetika Kristen yang kuat, dibandingkan dengan wordlview sekuler manapun, karena bergantung pada kebenaran mutlak Allah.   


[1] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive...5.
[2] Alasan lain penggunaan ayat tersebut oleh penulis bukan hanya menyangkut “ayat favorit” dalam wacana apologetika Kristen, yang secara umum telah banyak digunakan, namun terlebih karena tema utama tulisan ini memiliki kesatuan dan tepat mengkaji  mengenai pengakuan ke-Tuhanan Kristus, dimana kalimat pembuka ayat tersebut merupakan suatu bentuk presuposisi mengenai ke-Ilahian Kristus yang mutlak diterima (oleh semua apologis Kristen) dan juga menjadi landasan utama bangunan apologetika Kristen. Tanpa menerima Ia sebagai Tuhan, maka tidak akan ada apologetika kristen yang benar-benar “Kristen”.
[3] R.C. Sproul, Defending Your Faith...21.

[4] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive... 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar