METODOLOGI APOLOGETIKA KRISTEN
Oleh : Yosep Belay
Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan beberapa metodologi Apologetika yang telah
dipergunakan secara umum dalam study apologetika, dengan tujuan agar para
pembaca dapat menggunakan salah satu metode yang ada, dalam usaha untuk
berapologetika.
Pengertian Metodologi.
Kata
“Metode” berasal dari bahasa Yunani, metha
(melalui atau melewati) dan hodos
(jalan atau cara). Secara singkat metode dapat diartikan sebagai jalan atau cara yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan tertentu[1].
Sedangkan Metodologi adalah ilmu tentang
berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian[2]. Dari
pengertian diatas maka peran “metode” dalam apologetika sangatlah penting
karena menjadi instrument penuntun Apologis dalam melakukan pembelaan. Harus
diperhatikan bahwa terdapat perbedaan pandangan diantara para Apologet mengenai
metode-metode yang mereka gunakan, meskipun tidak ada metode yang baku, namun
para apologis juga tidak dapat melepaskan diri dari suatu metode, baik metode
yang telah terstruktur secara sistematis, maupun tidak (yang hanya “mengalir”
saja). Maka
dapat dilihat bahwa unsur metodologis memainkan peranan yang sangat penting
dalam suatu dialog apologetis.
Metodologi Apologetika.
Metodologi dalam
apologetika erat kaitannya dengan presuposisi[3]
dari para apologis. Presuposisi-presuposisi tersebut juga dipengaruhi oleh
berbagai macam latar belakang konsep pemikiran, permasalahan, dan
kontekstualisasi sehingga “mengalir keluar” melalui suatu metode tertentu. Mengutip Steven B. Cowan, Bedjo membagi
apologetika dalam lima metode utama, yaitu Clasiccal,
Evidential, Cumulative Case, Presupposisitional, dan Reformed Epistemology[4].
1. Metode “Clasiccal”.
Ciri metode ini terletak pada titik tolak penjabaran bukti, atau jika
meminjam istilah Nash, maka apologetika tersebut tergolong dalam apologetika negatif. Para pengguna metode ini akan
berusaha untuk memaparkan setiap bukti-bukti historis dan catatan Alkitab
mengenai klaim kebenaran Kristen untuk membuktikan bahwa teisme Kristen adalah konsep
teisme yang terbaik. Metode ini sering digunakan oleh para Rasul dan Bapa-bapa
Gereja. Dalam perkembangannya, metode Clasiccal
atau pembuktian ini dikembangkan
dan digunakan oleh tokoh-tokoh Apologis modern seperti: McDowell, Montgomery,
Hackett, Gestner, dan Sproul[5].
2. Metode “Evidential”.
Secara umum, metode ini memiliki kesamaan dengan metode Classical[6].
Menurut Lee, perbedaan hanya terletak pada cara pandang terhadap mujizat. Classical percaya bahwa mujizat
memprasuposisi keberadaan Allah, sedangkan Evidential
menggunakan mujizat sebagai salah satu bukti keberadaan Allah. Perbedaan
lainnya terletak pada penyuguhan bukti pembelaan. Classical terbatas pada catatan historical dan Alkitab, sedangkan Evidential melanjutkan dengan
hasil-hasil penelitian dan pembuktian ilmu pengetahuan modern.
3. Metode “Cumulative
Case”. Metode ini memilki ciri khas yaitu berupa verifikasi. Wawasan dunia
Kristen disajikan sebagai satu-satunya klaim yang mampu menjawab tantangan
serta isu-isu yang menyangkut klaim keagamaan, ketuhanan, dosa, manusia, dan
alam semesta.
4. Metode “Presuppositional”.
Ciri khas metode ini terletak pada presuposisi mutlak Iman Kristen. Para
penganut metode tersebut akan memulai pembelaan dengan keyakinan penuh bahwa
kebenaran mendasar iman Kristen merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dan dan
menolak setiap kebenaran diluarnya karena merupakan kesesatan. Lebih lanjut,
setiap klaim kebenaran akan diuji berdasarkan kesaksian Alkitab sebagai
satu-satunya alat uji kebenaran. Hal lain yang mendasari klaim dalam metode ini
adalah keyakinan dalam konsep dasar dosa bahwa kejatuhan dan kerusakan total
manusia telah berdampak pada interpretasi yang pasti keliru terhadap realitas. Para Apologis yang menggunakan metode ini adalah
Cornelius Van Til[7],
Greg Bahnsen, John Frame, dan Richard L. Pratt.
5. Metode “Reformed
Epistemology”. Metode Reformed
Epistemology lebih bersifat defensive. Ciri mendasar metode ini adalah
kebergantungan mutlak pada sifat Allah yang merupakan kebenaran mutlak tanpa
harus ada pembuktin. Keyakinan tersebut yang menjadi titik tolak dalam
apologetika, sehingga fokus utama dari metode ini bukan lagi mengenai
“pembuktian” tetapi kepada “penyerangan”.
Apologetika Induktif Dan Deduktif.
Secara sederhana dapat penulis simpulkan
dalam dua ketegori metode secara umum, yaitu metode Apologetika Induktif dan
Apologetika Deduktif. Metode Induktif mewakili Presuppositional dan Reformed Epistemology sedangkan Deduktif mewakili Classical, Evidential, dan Cumulative
Case. Perbedaan mendasar
antara metode dua metode ini terletak pada titik tolak argumentasinya.
Kalangan Reformed (Induktif) memulai
dengan presuposisi Biblikal kepada isu kontemporer, sedangkan kalangan Injili
lainnya (Deduktif) memulai dengan isu kontemporer kepada argumentasi Biblikal. Meskipun terdapat beberapa perbedaan pandangan masing-masing Teolog, namun pada prinsipnya memiliki satu muara yang sama, yaitu pembelaan
dan pertanggung-jawaban Iman Kristen berdasarkan
kebenaran Firman Tuhan dengan penggunaan unsur-unsur logika yang
ketat dan rasional. Perbedaan hanya terletak pada kerangka
dasar dan alur pemikiran.
Apologetika kontekstual.
Berbeda dengan metode-metode diatas, Peter
Kreeft dan Ronald K. Tacelli tidak menfokuskan apologetika dalam suatu metode
yang kaku. Mereka berpendapat demikian,
kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang. Kami coba
menggunakan standar-standar rasionalitas yang masuk akal dan prinsip-prnsip
logika yang diterima secara universal dalam pembahasan-pembahasan kami[8].
Pandangan tersebut disebabkan oleh ruang lingkup dan kontekstualisasi
kegiatan apologetika itu sendiri. Sebagai contoh mereka mengatakan, “Seseorang
tidak boleh menggunakan argumentasi-argumentasi sama yang digunakan dalam
berdiskusi dengan wanita India ketika berhadapan dengan seorang remaja
Africa-America dari Los Angeles”[9]. Pertimbangan-pertimbangan
demikian yang menjadi dasar utama metode apologetika yang mereka kembangkan.
Secara sederhana, dapat
penulis simpulkan bahwa metode yang digunakan oleh kedua tokoh ini lebih
cendrung kontekstualisasi. Apologis yang menggunakan metode ini terlebih dahulu
mempelajari lawannya, baik dalam segi Agama, filsafat, budaya, karakter, dan
intelekualnya, kemudian barulah melakukan apologetika. Namun dalam buku yang
ditulis oleh kedua tokoh tersebut penulis menjumpai bahwa setiap sub bab dari
satu isu yang dibahas, di jabarkan dengan menggunakan metode Classical. Hal ini terlihat dari setiap
pembahasan yang merupakan bentuk lain dari usaha pembuktian klaim kebenaran
Iman Kristen. Keragaman pembelaan ini justru lebih memperjelas kontekstulaisasi
dari metode yang mereka gunakan.
Memperhatikan perbedaan tersebut maka
tidaklah berlebihan jika penulis mengklasifikasikan metode apologetika yang
digunakan oleh Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli sebagai Apologetika kontekstual.
Posisi Penulis—Apologetika Sintesis.
Secara pribadi, penulis mengembangkan dan
menggunakan metode Sintesis yang
merupakan gabungan dari metode Presuppositional
(Induktif), Classical/Evidential (Deduktif), dan kontekstual.
Kontekstual yang penulis maksudkan berkaitan erat dengan “konteks” dimana konteks yang dimaksud menerangkan siapa yang menjadi “lawan” si Apologis
dan kemudian menentukan metode apa (Presuppositional
atau Classical/Evidential) yang akan ia gunakan. Konteks tersebut
dibagi menjadi dua bagian.
1. Konteks
Internal. Dalam kerangka ini
“lawan” yang dihadapi oleh apologis adalah keraguan, kekeliruan, dan ketidak
pemahaman dari orang-orang yang terbatas dalam lingkungan komunitas Kristen. Memperhatikan
hal ini, maka penekanan dan metode yang tepat adalah dengan menggunakan metode
Induktif, dimana pembuktian yang digunakan bertolak dari metode presuppositional—induktif, mengingat
“lawan” dari Apologis pada umumnya merupakan Orang percaya yang tidak lagi
meragukan dan mempertanyakan sifat final dari doktrin Kristen, hanya saja, kurang
memahami lebih dalam mengenai suatu konsep pengajaran Iman. Dalam konteks
komunitas ini, pertanyaan yang diajuakn lebih cendrung mengarah kepada
“pendalaman Iman” dan bukan bersifat “penyerangan”.
2. Konteks
Eksternal. Menggunakan metode Classical—Deduktif karena kegiatan
apologetika berhadapan dengan orang-orang yang tidak percaya dimana mereka
menuntut semacam “netralitas”[10] dari argumentasi. Dengan
demikian maka Apologis harus memulai dengan isu yang ada (Deduktif) kemudian
terus mengerucut kepada argumentasi dan pembuktian, serta usaha-usaha untuk
menawarkan kekristenan sebagai klaim kebenaran yang mutlak.
Pada prinsipnya, tidak ada metode yang
baku dalam usaha berapologetika, setiap
metode tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Metode hanyalah instrumen yang menghantarkan kita pada suatu dialog yang terlaksana secara maksimal, sementara peran Roh Kudus adalah penggerak sentral dalam mempertobatkan individu yang dilayani. Metode tidak boleh menggantikan peran Allah. Soli Deo Gloria!
[1]
Mudrajad Kuncoro, Menulis
Skripsi/Tesis dalam 60 hari (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2015), 139.
[3] Presuposisi adalah ide-ide yang
menjadi suposisi-suposisi yang dimiliki terlebih dahulu. Lihat: W. Andrew
Hoffecker dan G.K. Beale, Building Christian Wordview, Vol. 1 (Phillipsburg,
N.J.: Presbyterian and Reformed,1986 ), 205. Hal tersebut bukan hanya berlaku
dalam bidang apologetika, namun juga diseluruh displin Ilmu pengetahuan. Suatu
presuposisi akan selalu menjadi titik tolak serta pondasi pijakan seseorang
(baik ilmuan, filsuf, bahkan Orang awam sekalipun) dalam membangun serta
mengembangkan suatu arguemntasi.
[4]
Bedjo Lee, Makalah Seminar
Apologetika (Surabaya: STRIS—LRII). Catatan kaki, hal.1. Lihat :
fportfolio.petra.ac.id.
[6] Dalam komentarnya
terhadap pemikiran Van Til, Frame tidak membedakan kedua istilah metode
tersebut. Lihat, John M. Frame, Cornelius
Van Til: an Analysis of His Thought (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and
Reformed, 1998), 138.
[7] Van Til
merupakan pelopor dari metode ini. Di kemudian hari metode ini dikembangkan
oleh muridnya Frame dan Pratt, dan dipergunakan secara umum oleh sebagian besar
Apologis Reformed. Dalam konteks apologetika local, salah satu tokoh Apologis
yang menyakini metode ini adalah Bedjo Lee.
Lihat. Bedjo Lee, Makalah Seminar
Apologetika (Surabaya: STRIS—LRII), 3.
[10] Unsur “Netralitas” mendapat kritikan tajam
dari Frame, karena menurutnya dalam suatu perdebatan tidaklah mungkin terdapat
unsur netral yang benar-benar netral,
karena setiap apologis (baik yang theis maupun atheis) selalu berdiri pada
suatu presuposisi yang pada dasarnya tidaklah netral.
Penulis juga sependapat dengan argumentasi Frame dalam pengertian
“presuposisi awal dari para apologis”, namun unsur “netral” yang penulis
maksudkan bukan dalam pengertian “presuposisi awal” yang kaku, tetapi hanya
terbatas pada “prolog” dalam memulai argumentasi. Berusaha untuk menempatkan
kerangka pemikiran dari sudut pandang lawan, dan memulai dengan menempatan diri
secara “netral”, tidak perlu ditafsirkan sebagai suatu bentuk “ketidak setiaan”
terhadap presuposisi teologi dan core doktrin Kristen, hal ini hanya menyangkut
kontekstualisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar