Rabu, 14 Februari 2018

APOLOGETIKA KRISTEN : METODOLOGI


METODOLOGI APOLOGETIKA KRISTEN
Oleh : Yosep Belay
 

          Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan beberapa metodologi Apologetika yang telah dipergunakan secara umum dalam study apologetika, dengan tujuan agar para pembaca dapat menggunakan salah satu metode yang ada, dalam usaha untuk berapologetika.
Pengertian Metodologi.
          Kata “Metode” berasal dari bahasa Yunani, metha (melalui atau melewati) dan hodos (jalan atau cara). Secara singkat metode dapat diartikan sebagai jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan tertentu[1]. Sedangkan Metodologi adalah  ilmu tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian[2]. Dari pengertian diatas maka peran “metode” dalam apologetika sangatlah penting karena menjadi instrument penuntun Apologis dalam melakukan pembelaan. Harus diperhatikan bahwa terdapat perbedaan pandangan diantara para Apologet mengenai metode-metode yang mereka gunakan, meskipun tidak ada metode yang baku, namun para apologis juga tidak dapat melepaskan diri dari suatu metode, baik metode yang telah terstruktur secara sistematis, maupun tidak (yang hanya “mengalir” saja). Maka dapat dilihat bahwa unsur metodologis memainkan peranan yang sangat penting dalam suatu dialog apologetis.

Metodologi Apologetika.

Metodologi dalam apologetika erat kaitannya dengan presuposisi[3] dari para apologis. Presuposisi-presuposisi tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang konsep pemikiran, permasalahan, dan kontekstualisasi sehingga “mengalir keluar” melalui suatu metode tertentu.  Mengutip Steven B. Cowan, Bedjo membagi apologetika dalam lima metode utama, yaitu Clasiccal, Evidential, Cumulative Case, Presupposisitional, dan Reformed Epistemology[4].

1.   Metode “Clasiccal”. Ciri metode ini terletak pada titik tolak penjabaran bukti, atau jika meminjam istilah Nash, maka apologetika tersebut tergolong dalam apologetika negatif. Para pengguna metode ini akan berusaha untuk memaparkan setiap bukti-bukti historis dan catatan Alkitab mengenai klaim kebenaran Kristen untuk membuktikan bahwa teisme Kristen adalah konsep teisme yang terbaik. Metode ini sering digunakan oleh para Rasul dan Bapa-bapa Gereja. Dalam perkembangannya, metode Clasiccal atau pembuktian ini dikembangkan dan digunakan oleh tokoh-tokoh Apologis modern seperti: McDowell, Montgomery, Hackett, Gestner, dan Sproul[5]

2.   Metode “Evidential”. Secara umum, metode ini memiliki kesamaan dengan metode Classical[6]. Menurut Lee, perbedaan hanya terletak pada cara  pandang terhadap mujizat. Classical percaya bahwa mujizat memprasuposisi keberadaan Allah, sedangkan Evidential menggunakan mujizat sebagai salah satu bukti keberadaan Allah. Perbedaan lainnya terletak pada penyuguhan bukti pembelaan. Classical terbatas pada catatan historical dan Alkitab, sedangkan Evidential melanjutkan dengan hasil-hasil penelitian dan pembuktian ilmu pengetahuan modern.

3.   Metode “Cumulative Case”. Metode ini memilki ciri khas yaitu berupa verifikasi. Wawasan dunia Kristen disajikan sebagai satu-satunya klaim yang mampu menjawab tantangan serta isu-isu yang menyangkut klaim keagamaan, ketuhanan, dosa, manusia, dan alam semesta.  

4.   Metode “Presuppositional”. Ciri khas metode ini terletak pada presuposisi mutlak Iman Kristen. Para penganut metode tersebut akan memulai pembelaan dengan keyakinan penuh bahwa kebenaran mendasar iman Kristen merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dan dan menolak setiap kebenaran diluarnya karena merupakan kesesatan. Lebih lanjut, setiap klaim kebenaran akan diuji berdasarkan kesaksian Alkitab sebagai satu-satunya alat uji kebenaran. Hal lain yang mendasari klaim dalam metode ini adalah keyakinan dalam konsep dasar dosa bahwa kejatuhan dan kerusakan total manusia telah berdampak pada interpretasi yang pasti keliru terhadap realitas. Para Apologis yang menggunakan metode ini adalah Cornelius Van Til[7], Greg Bahnsen, John Frame, dan Richard L. Pratt.

5.   Metode “Reformed Epistemology”. Metode Reformed Epistemology lebih bersifat defensive. Ciri mendasar metode ini adalah kebergantungan mutlak pada sifat Allah yang merupakan kebenaran mutlak tanpa harus ada pembuktin. Keyakinan tersebut yang menjadi titik tolak dalam apologetika, sehingga fokus utama dari metode ini bukan lagi mengenai “pembuktian” tetapi kepada “penyerangan”. 

 Apologetika Induktif Dan Deduktif.

Secara sederhana dapat penulis simpulkan dalam dua ketegori metode secara umum, yaitu metode Apologetika Induktif dan Apologetika Deduktif. Metode Induktif mewakili Presuppositional dan Reformed Epistemology sedangkan Deduktif mewakili Classical, Evidential, dan Cumulative Case. Perbedaan mendasar antara metode dua metode ini terletak pada titik tolak argumentasinya. Kalangan  Reformed (Induktif) memulai dengan presuposisi Biblikal kepada isu kontemporer, sedangkan kalangan Injili lainnya (Deduktif) memulai dengan isu kontemporer kepada argumentasi Biblikal. Meskipun terdapat beberapa perbedaan pandangan  masing-masing Teolog, namun pada prinsipnya memiliki satu muara yang sama, yaitu pembelaan dan pertanggung-jawaban Iman Kristen berdasarkan kebenaran Firman Tuhan dengan penggunaan unsur-unsur logika yang ketat dan rasional.  Perbedaan hanya terletak pada kerangka dasar dan alur pemikiran. 

Apologetika kontekstual.

Berbeda dengan metode-metode diatas, Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli tidak menfokuskan apologetika dalam suatu metode yang kaku. Mereka berpendapat demikian, 

kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang. Kami coba menggunakan standar-standar rasionalitas yang masuk akal dan prinsip-prnsip logika yang diterima secara universal dalam pembahasan-pembahasan kami[8]. 

Pandangan tersebut disebabkan oleh ruang lingkup dan kontekstualisasi kegiatan apologetika itu sendiri. Sebagai contoh mereka mengatakan, “Seseorang tidak boleh menggunakan argumentasi-argumentasi sama yang digunakan dalam berdiskusi dengan wanita India ketika berhadapan dengan seorang remaja Africa-America dari Los Angeles”[9]. Pertimbangan-pertimbangan demikian yang menjadi dasar utama metode apologetika yang mereka kembangkan.

          Secara sederhana, dapat penulis simpulkan bahwa metode yang digunakan oleh kedua tokoh ini lebih cendrung kontekstualisasi. Apologis yang menggunakan metode ini terlebih dahulu mempelajari lawannya, baik dalam segi Agama, filsafat, budaya, karakter, dan intelekualnya, kemudian barulah melakukan apologetika. Namun dalam buku yang ditulis oleh kedua tokoh tersebut penulis menjumpai bahwa setiap sub bab dari satu isu yang dibahas, di jabarkan dengan menggunakan metode Classical. Hal ini terlihat dari setiap pembahasan yang merupakan bentuk lain dari usaha pembuktian klaim kebenaran Iman Kristen. Keragaman pembelaan ini justru lebih memperjelas kontekstulaisasi dari metode yang mereka gunakan.

Memperhatikan perbedaan tersebut maka tidaklah berlebihan jika penulis mengklasifikasikan metode apologetika yang digunakan oleh Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli sebagai Apologetika kontekstual

Posisi Penulis—Apologetika Sintesis. 

Secara pribadi, penulis mengembangkan dan menggunakan metode Sintesis yang merupakan gabungan dari metode Presuppositional (Induktif), Classical/Evidential (Deduktif), dan kontekstual. Kontekstual yang penulis maksudkan berkaitan erat dengan “konteks” dimana konteks yang dimaksud menerangkan siapa yang menjadi “lawan” si Apologis dan kemudian menentukan metode apa (Presuppositional atau Classical/Evidential) yang akan ia gunakan. Konteks tersebut dibagi menjadi dua bagian.

1.   Konteks Internal. Dalam kerangka ini “lawan” yang dihadapi oleh apologis adalah keraguan, kekeliruan, dan ketidak pemahaman dari orang-orang yang terbatas dalam lingkungan komunitas Kristen. Memperhatikan hal ini, maka penekanan dan metode yang tepat adalah dengan menggunakan metode Induktif, dimana pembuktian yang digunakan bertolak dari metode presuppositional—induktif, mengingat “lawan” dari Apologis pada umumnya merupakan Orang percaya yang tidak lagi meragukan dan mempertanyakan sifat final dari doktrin Kristen, hanya saja, kurang memahami lebih dalam mengenai suatu konsep pengajaran Iman. Dalam konteks komunitas ini, pertanyaan yang diajuakn lebih cendrung mengarah kepada “pendalaman Iman” dan bukan bersifat “penyerangan”.

2.   Konteks Eksternal. Menggunakan metode ClassicalDeduktif  karena kegiatan apologetika berhadapan dengan orang-orang yang tidak percaya dimana mereka menuntut semacam “netralitas”[10] dari argumentasi. Dengan demikian maka Apologis harus memulai dengan isu yang ada (Deduktif) kemudian terus mengerucut kepada argumentasi dan pembuktian, serta usaha-usaha untuk menawarkan kekristenan sebagai klaim kebenaran yang mutlak.

Pada prinsipnya, tidak ada metode yang baku dalam usaha berapologetika, setiap metode tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Metode hanyalah instrumen yang menghantarkan kita pada suatu dialog yang terlaksana secara maksimal, sementara peran Roh Kudus adalah penggerak sentral dalam mempertobatkan individu yang dilayani. Metode tidak boleh menggantikan peran Allah. Soli Deo Gloria!


[1] Mudrajad Kuncoro, Menulis Skripsi/Tesis dalam 60 hari (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2015), 139.
[2] Ibid.

[3] Presuposisi adalah ide-ide yang menjadi suposisi-suposisi yang dimiliki terlebih dahulu. Lihat: W. Andrew Hoffecker dan G.K. Beale, Building Christian Wordview, Vol. 1 (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed,1986 ), 205. Hal tersebut bukan hanya berlaku dalam bidang apologetika, namun juga diseluruh displin Ilmu pengetahuan. Suatu presuposisi akan selalu menjadi titik tolak serta pondasi pijakan seseorang (baik ilmuan, filsuf, bahkan Orang awam sekalipun) dalam membangun serta mengembangkan suatu arguemntasi.
[4] Bedjo Lee, Makalah Seminar Apologetika (Surabaya: STRIS—LRII). Catatan kaki, hal.1. Lihat : fportfolio.petra.ac.id.

[5] John M. Frame , The doctrine of the Knowledge of God... 314.
[6] Dalam komentarnya terhadap pemikiran Van Til, Frame tidak membedakan kedua istilah metode tersebut. Lihat, John M. Frame, Cornelius Van Til: an Analysis of His Thought (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1998), 138.
[7] Van Til merupakan pelopor dari metode ini. Di kemudian hari metode ini dikembangkan oleh muridnya Frame dan Pratt, dan dipergunakan secara umum oleh sebagian besar Apologis Reformed. Dalam konteks apologetika local, salah satu tokoh Apologis yang menyakini metode ini adalah Bedjo Lee.  Lihat. Bedjo Lee, Makalah Seminar Apologetika (Surabaya: STRIS—LRII), 3.
[8]  Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics... 26-27.
[9] Ibid.
[10] Unsur “Netralitas” mendapat kritikan tajam dari Frame, karena menurutnya dalam suatu perdebatan tidaklah mungkin terdapat unsur netral yang benar-benar netral, karena setiap apologis (baik yang theis maupun atheis) selalu berdiri pada suatu presuposisi yang pada dasarnya tidaklah netral.
            Penulis juga sependapat dengan argumentasi Frame dalam pengertian “presuposisi awal dari para apologis”, namun unsur “netral” yang penulis maksudkan bukan dalam pengertian “presuposisi awal” yang kaku, tetapi hanya terbatas pada “prolog” dalam memulai argumentasi. Berusaha untuk menempatkan kerangka pemikiran dari sudut pandang lawan, dan memulai dengan menempatan diri secara “netral”, tidak perlu ditafsirkan sebagai suatu bentuk “ketidak setiaan” terhadap presuposisi teologi dan core doktrin Kristen, hal ini hanya menyangkut kontekstualisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar