PENGANTAR APOLOGETIKA KRISTEN
Oleh: Yosep Belay.
Secara umum, istilah apologetika sering
dikaitkan dengan pembelaan Socrates dalam merumuskan pandangan dan tindakannya.[1] Namun, perkembangan tata bahasa dan penggunaan istilah apologetika secara luas menyebabkan istilah ini mengalami
pergeseran makna. Pratt mengatakan bahwa apologetika seringkali disalah mengerti. Istilah ini biasanya dipahami
sebagai permintaan maaf saat kita bersalah kepada seorang teman atau kepada
orang yang kita kasihi dan kita merasa perlu untuk mengatakan “saya minta maaf”.[2] Pemaknaan
apologetika yang keliru tersebut perlu penulis jelaskan dan batasi dalam tulisan ini, yaitu hanya pada penggunaan secara teknis atas dasar pertimbangan etimologi agar tidak keliru.
Di kalangan akademisi teologi, para Teolog pun memilki pengertian yang berbeda-beda mengenai makna apologetika (namun tentu tidak dalam pengertian “permintaan maaf”). Pratt misalnya, ia membedakan istilah apologi dengan apologetika.
Menurutnya, “apologi” adalah pebelaan yang diberikan sedangkan “apologetika”
adalah suatu study yang secara langsung mempelajari bagaimana mengembangkan dan
menggunakan pembelaan itu.[3] Tak jauh berbeda, mengutip Verkuyl, Indra
mengatakan “apologi adalah
pertanggung jawaban atas isi iman kita terhadap mereka yang bertanya, sedangkan
apologetika adalah pemikiran secara
ilmiah tentang cara bagaimana kita menjawab pertanyaan tentang isi iman kita.”[4] Sejalan dengan dua Teolog diatas, Sproul mendefinisikan Apologetika sebagai “Suatu pernyataan
yang nalar atau suatu pembelaan verbal.”[5] Ia kemudian menyimpulkan
maknanya dengan lebih spesifik sebagai suatu usaha untuk “…mempertahankan dan
berargumentasi untuk sudut pandang tertentu.”[6] Namun berbeda, baik dengan Sproul, maupun yang lainnya, Frame
mendefinisikan Apologetika sebagai “Aplikasi Alkitab kepada mereka yang tidak
percaya”[7], karena ia percaya bahwa
Apologetika merupakan salah satu bagian dari Teologi Kristen yang bersumber
dari pengajaran Alkitab. Meskipun terdapat perbedaan pandangan dari masing-masing Teolog, namun pada prinsipnya memiliki satu muara yang sama, yaitu pembelaan
dan pertanggung-jawaban Iman Kristen.
Kata “Kristen” hanya muncul tiga kali
didalam Alkitab, yaitu didalam
Kisah Para Rasul 11:26, 26:28; 1 Petrus 4:16. Istilah ini merupakan istilah
yang digunakan oleh masyarakat kafir pertamakali di Antiokhia sebagai suatu
bentuk sindiran bagi para pengikut Kristus[8] yang kemudian terus mengalami
perkembangan makna hingga kini. Dalam kerangka pemikiran modern saat ini, istilah “Kristen” dipahami sebagai suatu system
organisasi/lembaga keagamaan
yang didasari atas unsur-unsur pengajaran doktrinal[9] yang mendasar
mengenai pengharapan iman yang berpusat pada Pribadi serta karya agung dari Tuhan Yesus Kristus.
Dengan demikian,
makna penting dari istilah “Kristen” memilki dua muatan makna, makna dalam pengertian praktis sebagai suatu bentuk hubungan intim setiap pribadi Orang percaya dengan Tuhan Yesus,
dan makna dalam unsur lain, yaitu merupakan kelembagaan yang
memuat sejumlah tata aturan dan dogma (sekaligus
memuat hal-hal yang erat kaitannya dengan syarat kelengkapan suatu agama dalam
konteks bernegara di Indonesia sesuai dengan undang-undang yang ada).
Dengan meneliti kedua istilah diatas maka penulis mengambil
kesimpulan dengan mengkorelasikan keduanya dalam satu sintesa yaitu, “Apologetika Kristen” sebagai suatu bentuk pembelaan dan
pertanggung jawaban Iman Kristen—baik eksternal, maupun internal—yang bertolak dari prinsip-prinsip kebenaran
Alkitab terhadap
pernyataan menyimpang yang mengancam serta merusak unsur-unsur iman Kristen dengan rasio yang dikuduskan. Atau seperti pandangan Frame, Apologetika Kristen merupakan “Ilmu yang mengajar orang Kristen
bagaimana memberi pertanggung jawaban tentang pengharapannya.”[10]
Apologetika
Dalam Perjanjian Baru.
Apologetika bukanlah hal
yang baru dalam dunia
Perjanjian Baru. Kata apologia sendiri di dalam Alkitab digunakan sebanyak delapan kali, yaitu, dalam
Kisah Para Rasul. 22:1; 25:16; 1 Korintus 9:3; 2 Korintus 7:11; Filipi. 1:7,
16; 2 Timotius 4:16; 1 Petrus 3:15. Sedangkan kata kerja apologeomai muncul sebanyak 10
kali dalam Lukas 12:11; 21:14; Kisah Para Rasul 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2,
24; Roma. 2:15; dan 2 Korintus 12:19.[11] Kemudian
kegiatan apologetika sendiri telah hadir semenjak berita Injil dideklarasikan
untuk mengkonfrontasi
setiap wawasan dunia yang menyimpang. Dengan kata lain, apologetika telah ada semenjak Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya. Stott
melihat hal tersebut dan menyorotinya dari sisi yang berbeda, Ia menjelaskan
demikian,
Gambaran yang popular tentang Krisus sebagai “Yesus
yang lemah lembut dan rendah hati” jelas tidak tepat … (karena) … Ia tidak menahan diri
ketika tiba waktunya untuk menyingkap kesalahan … Para penulis Alkitab memperlihatkan betapa Ia kerap
berdebat dengan para pemimpin agama di masa-Nya.[12]
Salah satu contoh[13]
apologetika yang dilakukan Tuhan Yesus dapat dilihat dalam Injil Matius pasal
22:23-33 (Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40). Pada peristiwa tersebut, Tuhan Yesus
mengkonfrontasikan kekeliruan presuposisi kalangan saduki yang berpendapat bahwa “tidak
ada kebangkitan” dengan dua kunci, yaitu keliru presuposisi mereka mengenai “Kitab Suci dan kuasa Allah!”.
Jadi jelas bahwa prinsip-prinsip utama apologetika telah ada secara implisit
dalam konsep pemberitaan dan pelayanan Tuhan Yesus.
Contoh lainya dalam
pelayanan para Rasul dapat dijumpai seperti apologetika Rasul Petrus pada peristiwa pentakosta (Kisah Para
Rasul 2:14-40) dan apologetika Rasul Paulus di hadapan raja Agripa (Kisah Para
Rasul 26:1-29). Kedua contoh tersebut merupakan gambaran yang cukup jelas mengenai beberapa
kasus apologetika dalam Perjanjian Baru, dimana apologetika telah dipergunakan
sebagai instrument yang saling melengkapi pada saat pemberitaan dan pertanggung
jawaban
berita Injil.
Pentingnya Apologetika.
Pada
umumnya, kendala Orang percaya untuk
berapologetika adalah sudut pandang dan prasangka yang keliru mengenai
apologetika. Alasan yang
sama juga dikemukakan oleh Pratt, menurutnya,
Alasan lain yang sering kali dipakai untuk mengabaikan
apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan orang-orang
terlatih … oleh karena itu banyak orang Kristen yang
berpikir bahwa tugas mereka hanya untuk mengabarkan Injil dan kalau ada
pertanyaan mengenai kredibilitas dari iman Kristiani maka mereka akan membawa
orang itu kepada Pendeta mereka, yang dianggap sebagai “tenaga ahli”[14]
Apologetika
selalu dipahami sebagai kegiatan intelektual yang rumit sehingga Orang percaya awam kurang tertarik dengan
apologetika. Disamping itu, dalam konteks berbudaya, khusunya “etika toleran”
dalam konteks masyarakat Indonesia, sifat apologetika yang sarat akan
konfrontasi serta menyentuh
unsur mendasar
dari keyakinan
seseorang, dan kondisi emosinal Apologis yang tidak stabil, dipandang sebagai suatu
kegiatan yang berbahaya karena rentan terjadi konflik
horisnotal.
Tentu
saja hal ini keliru, karena persepsi demikian juga mengakibatkan efek samping
yang tak kalah
memprihatinkan, yaitu dasar iman yang rapuh (karena tidak memiliki isi),
sikap kompromi, dan pada tahap yang lebih serius mengakibatkan kesesatan.
Disamping itu, konflik wawasan dunia tidak mungkin dapat dihindari mengingat
orang percaya harus hadir menjadi pembawa berita Injil didalam dunia yang
memiliki worldview yang pada
prinsipnya berbeda. Untuk itu,
baik secara sistematis maupun tidak, baik dengan pemahaman yang mendalam,
maupun sempit—cepat atau lambat—orang
percaya akan terlibat dalam kegiatan berapologetika. Maka tidak ada jalan lain selain memeprsiapkan diri
dengan baik seperti yang ditegaskan oleh Stott, “ketekunan tanpa pengetahuan
sama buruknya dengan pengetahuan tanpa ketekuanan”[15].
Alasan
lain yang juga ikut mempengaruhi kurangnya minat orang percaya untuk mendalami
apologetika adalah kekeliruan penafsiran atas salah satu ayat yaitu dalam
Matius 10:19, “Apabila mereka menyerahkan
kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu
katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga”.
Penafsiran yang keluar dari konteks tersebut menyebabkan Orang percaya tidak
ingin repot-repot mempersiapkan diri. Mengomentari hal ini, Pratt menegaskan
bahwa:
Sangat penting
untuk dimengerti bahwa jaminan akan diberikannya kekuatan dari Roh Kudus jangan
diartikan sebagai pengganti dari ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan
mempersiapkan diri untuk berapologetika. Walaupun kita dianjurkan untuk tidak
khawatir akan makanan dan pakaian (lih. Mat. 6:25 dan selanjutnya), kita tetap
dianjurkan untuk tetap bekerja dan berjerih payah untuk mendapatkan semuanya
itu. Demikian juga dengan berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab
kita untuk mempersiapkan diri.[16]
Dengan
demikian maka, baik kekeliruan dalam penafsiran maupun penekanan yang tidak
sehat terhadap pimpinan Roh Kudus, pada prinsipnya akan menyebabkan Orang
percaya menjadi “mandul” dalam mempertanggung jawabkan Iman, dan akan lebih cendrung untuk
menghindar dari pertanyaan-pertanyaan sulit.
Disamping
kendala-kendala diatas, Pratt juga memberikan beberapa alasan mendasar mengenai pentingnya apologetika bagi
Orang percaya. Ia mengatakan bahwa, dengan mempelajari apologetika maka orang
percaya akan mampu mempertahankan Imannya, penginjilan menjadi lebih
bersemangat dan efektif, mampu mempresentasikan Iman Kristen kapanpun—dihadapan
siapupun, serta mampu menghilangkan keraguan yang menghalangi pertumbuhan Iman[17].
Dilain
pihak, menyoroti aspek lain dari pentingnya apologetika, Sproul menjelaskan
demikian,
Di satu
sisi, sebagaimana yang Calvin katakan,
kemenangan (apologis Kristen) itu bisa menghentikan gonggongan orang tidak
percaya; dan disisi lain, kemenangan intelektual memberikan jaminan dan
perlindungan bagi orang Kristen yang masih bayi secara rohani yang belum siap
untuk menjawab hujam kritikisme dari kaum akademisi dan skeptis. Kemenangan
secara intelektual bisa menjadi suatu peneguhan bagi iman Kristen.[18]
Apologetika menjadi penting karena bukan hanya
menyangkut kegiatan si Apologis yang mempertahankan Imannya, namun juga
memiliki efek samping kepada Orang percaya lain yang masih “bayi”, dimana
mereka diteguhkan dan dikuatkan dengan jawaban dan argumentasi yang memuaskan.
Meringkas alasan
pentingnya apologetika, Peter Kreeft
dan Ronald K. Tacelli mendasari atas ketaatan orang percaya kepada kehendak
Allah melalui Firman-Nya. Mereka menjelaskan, “Penolakan untuk memberi
pertanggung jawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidak taatan kepada Allah”[19]. Kemudian dari sisi
praktisnya, disoroti dari dua hal penting yaitu, “untuk meyakinkan orang yang tidak percaya
dan untuk mengajar dan membangun orang percaya”[20].
Menyadari
akan alasan-alasan mendasar diatas maka study apologetika sangatlah penting
karena memiliki dampak secara langsung bagi kehidupan dan pertumbuhan iman
Orang percaya.
Peran dan Fungsi
Apologetika.
Apologetika memiliki
beberapa peran dan fungsi sesuai dengan konteks penggunaannya. Frame
mengemukana tiga alasan mendasar mengenai peranan dan fungsi apologetika dalam
Iman Kristen[21].
Tiga hal tersebut yaitu,
1.
Apologetika sebagai pembuktian. Dalam konteks ini
apologetika berfungsi sebagai pembuktian, apologetika menyediakan penjelasan-penjelasan
yang rasional kepada pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain, apologetika sebagai pembuktian berkaitan erat
dengan “usaha untuk menjelaskan” prinsip-prinsip Iman, baik kepada Orang
percaya yang kurang memahami, maupun kepada pihak lawan. (Bdk. Yohanes 14:11; 20:24-31; 1 Korintus
15:1-11).
2.
Apologetika sebagai pembelaan. Pada bagian ini, apologetika
berperan memberikan jawaban dan pembelaan terhadap serangan-serangan dari pihak
lawan. Disini apologetika berkaitan dengan “pertahanan” Iman. (bdk. Filipi 1:7,
ay.16).
3.
Apologetika sebagai penyerangan. Frame dengan tegas
mengatakan “Tuhan tidak hanya memanggil umatNya untuk menjawab
keberatan-keberatan dari mereka yang tidak percaya, tetapi juga melanjutkannya
dengan serangan terhadap kepalsuan”[22] (Bdk. 2
Korintus 10:5). Sebagai bentuk serangan, apologetika berfungsi untuk
meruntuhkan worldview lawan yang
menyimpang, karena Alkitab menyatakan pemikiran non-Kristen adalah kebodohan (1
Korintus 1: 18-2:16; 3:18-23) dan salah satu fungsi lain dari apologetika
adalah untuk menyatakan kebodohan tersebut.
Berbeda dengan Frame,
Sproul mengemukan peranan yang berbeda. Menurut Sproul, apologetika memilki
peran penting dalam dua hal,
1. Apologetika sebagai instrument “prapenginjilan”.
Sproul mengatakan, “Sebelum kita bias mengajak orang kepada iman yang
menyelamatkan, kita haru memberikan informasi atau isi dari kepercayaan yang
kita ingin mereka percayai”[23].
Disini, apologetika berfungsi untuk mengkonfrontasikan setiap keyakinan yang
menyimpang dan kemudian membuka jalan bagi berita Injil.
2. Apologetika sebagai instrument “pascapenginjilan”.
Fungsi berikutnya, apologetika berperan menjaga dan melestarikan iman orang
percaya yang telah mengalami kelahiran baru dari pengaruh buruk
dan kesesatan.
Sedangkan menurut Nash,
peranan apologetika dibagi menjadi dua bagian yang secara umum digunakan oleh
Apologis[24]
(baik apologis Kristen maupun non-Kristen), yaitu:
1. Apogetika negatif. Dalam konteks ini, Apologis menanggung beban pembuktian, atau
lebih dikenal sebagai apologetika bertahan. Pada kerangka ini apologetika
berfungsi untuk mempertahankan prinsip-prinsip Iman Kristen dari serangan dan
sanggahan pihak lawan.
2. Apologetika positif. Merupakan apologetika penyerangan
(defensive). Disini Apologis mempergunakan metode dan prinsip-prinsip
apologetika dalam memberikan argumentasi-argumentasi untuk meruntuhkan
preposisi dan klaim-klaim yang dipegang lawan.
Namun baik apologetika negative maupun positif,
keduanya perlu dikuasai dengan baik oleh Apologis karena didalam kegiatan
berapologetika akan selalu terjadi argumentasi dua arah. Untuk itu baik sebagai
bentuk penyerangan (Positif), maupun pertahanan (Negatif), prinsip dan metode
dasar apologetika perlu diperhatikan.
Penutup.
Seperti yang telah disampaikan bahwa jatuh bangunnya iman Kristen berkaitan erat dengan pemahaman mengenai konten iman itu sendiri, yang mana berhubungan erat dengan pembelajaran, pemberitaan dan pertanggung-jawaban berita Injil. Maka kegiatan berapologetika tidak dapat dipisahkan dalam iman kristiani, sebagaimana tanggung-jawab yang diemban untuk menjadi saksi Kristus dalam segala keadaan. Kiranya Roh Kudus memimpin, mencerahkan, dan memampukan kita untuk berapologetika dalam kebenaran yang bermartabat, sehingga hanya nama Kristus yang dipermuliakan. Soli Deo Gloria!
[1]Sinclair B. Ferguson, David F. Wrigth, J. I. Packer, New Dictionary of Theology—Jilid 1 (De
Monfort, Leicester: Inter-Varsity Press, 1998), 52.
[2]
Richard L. Pratt Jr, Every Trought
Captive: A Study Manual for the Defense of Christian Truth (Philipsburg,
N.J.: Presbyterian and Reformed, 1979),2.
[4] Ichwei G. Indra, Perjumpaan Iman Kristen dan Kebudayaan
(Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001), 11.
[5]
R.C.Sproul, Defending Your Faith:
An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003),1.
[6]
Ibid.
[7] John M.
Frame , The doctrine of the Knowledge of
God
(Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1987),
148. Meskipun
berbeda dalam definisi namun Pratt memiliki presuposisi yang sama dengan Frame.
Dalam hal tersebut, kedua tokoh Apologis ini mewakili sebagain besar pemikiran
Apologis Reformed yang mendasari argumentasi dari Alkitab. Lihat pembahasannya dalam metode apologetika pada bab. II.
[9]
Tidak semua Teolog dan Orang percaya setuju dengan definisi penulis
tersebut, terutama dalam pengertian “doktrinal” yang kaku. Misalnya, Elmer L. Towns. Ia menulis “kata Kristen bukanlah tentang
doktrin, atau segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Orang-orang itu disebut Kristen karena mampunyai hubungan dengan Yesus
Kristus.” Elmer L. Towns, Core
Christianity:What is Chirtianity All About? (Chattanooga, Tennessee: AMG,
2007), 1. Tentu pendapat tersebut tidaklah
keliru jika ditinjau dari segi praktika, namun
disisi lain pandangan ini juga memiliki kelemahan karena pada dasarnya Iman Kristen
dibangun diatas dogma-dogma yang
didasari atas Firman Allah. Mempercayai Kristus sebagai juruselamat
dan membangun hubungan pribadi dengan-Nya juga merupakan suatu dogma,
dengan demikian tidak ada relasi dengan Tuhan tanpa didasari oleh dogma. Namun untuk membatasi
pembahasan agar tetap terfokus maka maksud penggunaan istilah “Kristen” dalam tulisan ini
hanya dalam batasan tertentu—bukan dalam pengetian “praktis” atau hubungan
intim dengan Tuhan—tetapi dalam konteks teknis yang menyangkut core dogma Iman Kristen. (Beberapa
argumentasi yang baik, lihat: John RW. Stott, Christ The
Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013),
15-16; R.C.Sproul, Defending Your Faith:
An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003), 22; Dan juga, Bernhard Lohse, Epochen der
Dogmengeschichte (Kreus Verlag: Stuttgardt, 1963), 1-10).
[10] John M.
Frame, Apologetics to the Glory of God:
An Introduction (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed:1994), 3. Pandangan tersebut juga sejalan
dengan pendapat Sproul. Sproul mengatakan bahwa tugas utama Apologetika
Kristen adalah menyediakan pembelaan terhadap kebenaran yang diklaim oleh iman
secara intelektual. R.C.Sproul, Defending
Your Faith…, 1.
[11] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid II. (Malang : Literatur SAAT, 2003),
103-104.
[12] John RW. Stott, Christ The
Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013),
43.
[13] Tentu
terdapat banyak contoh lain, namun contoh kasus ini dipilih oleh penulis karena
memilki kelengkapan kriteria untuk
sebuah study kasus apologetik tradisional yang cukup baik
dalam masa pelayanan Tuhan Yesus.
[15] John RW. Stott, Your Mind Matters
(England: InterVarsity Press, 1992), 5.
[19] Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1994), 25.
[20] Ibid.
[22] Ibid.
[24] Ronald
H. Nash, Faith and Reason: Searching for
a Rational Faith (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House,
1988), 20-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar