Rabu, 25 April 2018

STUDI PASTORAL : Politik Sungsang [Sebuah Perspektif Teologis]


 Oleh : Yosep Belay.


“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,”
(Matius 20:25-26)

“Yesus Tidak Berpolitik Praktis, Tapi Yesus berpolitik etis”
(Prof. Warsito Utomo)



PENDAHULUAN.
          
         Berbicara mengenai politik berarti berbicara mengenai kekuasaan. Berbicara mengenai kekuasaan berarti berbicara mengenai “Siapa” yang berkuasa. Dan berbicara mengenai “Siapa” yang berkuasa berarti berbicara mengenai siapakah si “Siapa” itu sehingga ia dapat dan layak berkuasa. Terdapat berbagai macam alasan mengapa seseorang berkuasa, mulai dari SDM, kharisma, relasi, uang, ambisi, dll. Hal-hal ini terlihat dengan jelas ketika kita memasuki masa-masa pesta demokrasi. Segala macam cara dipergunakan untuk mencapai kursi kekuasaan. Mulai dari cara-cara bijak; pemaparan program-program unggulan, hingga cara-cara keji; fitnahan serta kampaye hitam. Di dalam konteks politik, kita nyaris tidak dapat membedakan mana kawan—mana lawan, mana hitam—mana putih, mana malaikat—mana setan, karena di dalam politik semua serba berubah, serba abu-abu, tidak ada teman/seteru abadi, dan tentu saja tidak ada “partai malaikat vs partai setan”, yang ada justru sebaliknya, “malaikat dan setan pun dapat dikoalisikan” demi ambisi politis manusia.


          Setidaknya seperti ungkapan salah seorang guru besar Ilmu politik kemarin memberikan sedikit pencerahan bagi kita. Kutipan kalimatnya kira-kira berbunyi demikian, “Indonesia ini tidak maju karena oknum-oknum pejabat yang disumpah dibawah kitab suci itu tidak takut Tuhan.” Suatu gambaran umum tentang keadaan politik bangsa ini yang nyaris dipenuhi oleh para penjahat berdasi yang haus kekuasaan dan mata duitan. Jika agama dan Tuhan saja sudah menjadi alat propaganda dan instrumen untuk mencapai tujuan politik, maka siapakah yang mampu menghentikannya? Meskipun fakta ini tidak mewakili pandangan universal mengenai kondisi politik di negeri ini, namun setidaknya realitas gunung es yang sedang tampak dalam wajah perpolitikan saat ini mengkonfirmasikan hal-hal tersebut. Lantas sebagai Anak-anak Tuhan bagaimana seharunya kita menyikapi fenomena politik belakangan ini?


WACANA EKSEGETIKAL.

          Dalam konteks iman Kristen, hubungan antara politik dan kekristenan selalu mengalami pasang surut. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah umat Tuhan boleh terjun ke dunia politik yang suram itu pun seringklai diperdebatkan. Akan tetapi perintah Tuhan untuk menjadi terang dan garam dunia tentu saja tidak dibatasi dalam satu bidang, karena perintah itu bersifat universal maka kita memahami bahwa sebagai umat Tuhan, kita pun harus turut berpartisipasi dalam panggilan dan hak politik kita sebagai warga negara. Dengan demikian, kita akan mampu membawa terang bagi sistem-sistem dunia yang telah korup sehingga mengalami pencerahan dan perubahan, secara khusunya bagi mereka yang terpanggil menjadi seorang Politisi.

          Dalam ayat di atas Tuhan Yesus memberikan satu pola dan gaya berpolitik yang sangat mengagumkan. Bukan dengan pedang seperti  Alexander agung, bukan dengan kekerasan seperti Hitler dan para perintis Marxisme—Komunisme, bukan pula dengan uang seperti para politikus zaman now, namun dengan melayani! Sekali lagi, dengan gaya melayani. Suatu pola yang berbanding terbalik dengan semua pola pendekatan politik di dunia ini. Tuhan Yesus mempraktekkan gaya politik sungsang—politik etis! Politik etis berbicara mengenai dua hal mendasar yang menjadi prinsipnya. Pertama, politik etis bukanlah politik praktis, karena poltik etis tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan pencapaiannya akan tetapi penekanan utama pada pelayanan kasih. Dalam politik etis, pelayanan humanisktik merupakan tujuan utamanya. Penekanan ini terlihat dengan jelas dalam ayat di atas, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” Di dalam kekristenan sekali lagi, kita dipanggil untuk mempraktikkan gaya politik etis yang terbalik dengan dunia, “Siapa yang hendak menjadi pemimpin, maka ia harus rela menjadi seorang pelayan”. Mengapa menjadi seorang pemimpin harus mempraktekkan gaya seorang pelayan? Karena pemimpin yang melayani adalah tipe dari seorang pemimpin yang tidak berpusat pada diri sendiri, tetapi pada orang yang ia layani; Pemimpin yang melayani sudah pasti menganggap orang yang dilayani adalah objek kasih maka mereka penting dan terutama; Pemimpin yang melayani tidak akan memanfaatkan dan mengorbankan orang-orang yang dia pimpin untuk kepentingannya; bahkan pemimpin yang melayani bersedia berkorban bagi orang yang ia pimpin. Bukankah Tuhan Yesus juga menunjukan hal yang sama bagi kita ketika Ia dengan sukarela meninggalkan kemuliaan-Nya di Sorga demi melayani kita? Bukankah hal ini juga ditunjukan ketika Ia dengan rendah hati mencuci kaki para murid-Nya? Konsep politik etis adalah gaya berpolitik dengan hati nurani yang murni, untuk  itu di dalam konsep demikian tidak ada ruang bagi kemunafikan dan kerakusan. Percaya atau tidak, praktik Politik etis akan menjadi dasar yang kokoh bagi praktik politik praktis. Setidaknya, tidak ada rakyat yang rela kehilangan seorang pemimpin yang dengan tulus melayani dan mengasihi mereka! Kecuali bagi mereka yang memang bukan pemilih rasional (yang mungkin saja tergolong pemilih “irasional”). Inilah ciri utama yang Tuhan Yesus kehendaki sebagai ciri seorang politisi maupun pemimpin Kristen.

          Kedua, politik etis merupakan politik spiritual. Artinya, mempraktetkan konsep politik etis berarti mempraktekkan gaya hidup kristiani yang dipertanggung-jawabkan secara langsung kepada Tuhan dalam relasinya dengan penerapan politik praktis. Maka perhatikan, kekristenan tidak pernah memisahkan secara dualisme antara politik dan spiritualitas. Semua profesi dalam kehidupan umat Tuhan terkorelasi dengan Tuhan, tak terkecuali dalam konteks politik. Hal ini merupakan prinsip dasar dari konsep teologi reformasi—aspek teologis terkoneksi dengan aspek politis. Dengan demikian, setiap umat Tuhan yang terjun ke dunia politik praktis harus memandang bidang profesinya itu sebagai sebuah mandat budaya yang dipercayakan Tuhan pada dirinya, dalam rangka memproklamirkan nilay-nilay kebenaran firman Tuhan untuk memberkati masyarakat dan mempermuliakan Tuhan. Di sini kita melihat suatu kebebanaran yang tak terpisahkan antara konsep berteologi dan konsep berpolitik. Dengan kata lain, cara saudara berteologi akan sangat mempengaruhi cara-cara berpolitik. Orang-orang yang meletakan konsep teologisnya dengan benar pada Tuhan sebagai dasar pertanggung jawaban politik mereka, sudah pasti akan berjuang untuk berdiri teguh dalam kebenaran-Nya dan tidak menyimpang pada kejahatan. Ini merupakan kunci utama dari seorang Politikus Kristen yang sejati. Sebaliknya, sekalipun Saudara memiliki sederet gelar dan bahkan gelar teologis sekalipun, namun memiliki landasan yang bukan pada kebenaran firman Tuhan, maka sudah pasti menyimpang. Suatu contoh buruk mengenai hal ini diperlihatkan beberapa waktu lalu oleh seorang politikus muda bergelar Master teologi, yang juga merupakan anak seorang Pendeta “besar”, namun harus tersandung kasus hoax dan pencemaran nama baik. Sangat disayangkan. Penekanan penting ini perlu diperhatikan dengan seksama, karena konsep teologis mempangaruhi konsep politik kita, maka milikilah cara pandang teologis yang kokoh dalam kebenaran firman Tuhan sebelum Saudara bertolak pada medan peperangan politik praktis. Intinya gaya berpolitik etis dimulai dan dibangan dengan gaya teologi salib—Veritkal dan Horisontal. Dimulai dari Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan, dengan aplikasi praktis yang memberkati masyarakat dalam tindakan kasih yang konkret.

PENUTUP.

          Politik merupakan suatu panggilan kodrati umat manusia dalam kehidupan komunitas masyarakat, sebagai bentuk usaha membangun peradaban manusia itu sendiri, namun karena manusia itu pun datang dengan berbagai konsep, ideologi, wawasan dunia serta beragam kepentingan, maka sebagai umat Tuhan, kita perlu meletakan dasar yang benar untuk membangun suatu konsep berpolitik yang berlandaskan kebenaran firman Tuhan. Dari dua poin ini kita melihat relevansi konsep politik etis sebagai suatu hal yang sangat relevan bagi kondisi bangsa kita, dan praktik politik di mana pun. Suatu konsep politik sungsang yang sudah dari jauh hari dinasehatkan Tuhan kepada murid-murid-Nya. Politik etis adalah prinsip dasar dan seruan bagi kita untuk mempraktekkan gaya berpolitik yang mempermuliakan Tuhan. Namun karena gaya Politik Etis juga merupakan gaya berpolitik sungsang—suatu gaya politik anti mainstrem—maka mintalah pimpinan dan kekuatan dari Tuhan selalu. Saya berdoa semoga Saudara/i yang terpanggil untuk terjun dalam kancah Politik Praktis senantiasa berpaut pada kebenaran firman Tuhan, dan semoga menjadi berkat bagi Bangsa kita tercinta—Indonesia. Selamat melayani. Amin!

“Cara Saudara berteologi akan mempengaruhi cara Saudara berpolitik.” (yb).

Salam!

         


___________
Sumber gambar : https://kumpulankhotbahalkitabiah.blogspot.com
         



Tidak ada komentar:

Posting Komentar