DIALEKTIKA TEOLOGI KRISTEN DAN EPISTEMOLOGI
Oleh : Yosep Belay
Abstraksi
Dilaektika dalam ilmu
Teologi dan Epistemologi merupakan dua hal yang saling berkaitan, saling
mempengaruhi, dan tidak dapat dipisahkan. Teologi dalam konsepsi agama apa pun
pastilah memiliki semacam prinsip dasar epistemologi yang mendahuluinya
sehingga menghasilkan serangkaian keyakinan teologis yang diyakini dan
dihidupi, tak terkecuali dalam konsep teologi Kristen.
Tulisan singkat ini mencoba
untuk membedah kedua disiplin ilmu tersebut untuk melihat titik singgung dan
pisah dari keduanya, serta mencoba untuk memberikan suatu sintesa pada dunia
ide dalam teologi Kristen.
Pendahuluan.
Akal budi yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia merupakan alat yang disediakan untuk mengenal-Nya,
mempermuliakan-Nya, serta berrelasi dengan dunia disekitar manusia itu. Dengan
akal, kita mampu menganalisa kebenaran firman Tuhan dan dengan akal pula kita
memahami suatu kebenaran yang pada akhirnya kita pegang sebagai pedoman hidup.
Akal budi menjadi instrumen mendasar dalam kajian Teologi dan Epistemologi.
Mengenal akan Tuhan berarti kita
berbicara mengenai suatu pemahaman/pengetahuan Teologis, sementara bagaimana
kita dapat mengenal Tuhan dan apa yang menjadi keyakinan kita itu, itulah yang
disebut sebagai Epistemologis. Kedua hal ini berkaitan satu dengan yang lain
baik dalam usaha pengenalan iman Orang percaya maupun dalam praktek disiplin
ilmu sekuler lainnya.
Secara etimologi (asal usul kata), istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yang disusun
oleh dua kata dasar yaitu, Episteme dan Logos. Kata pertama berarti pengetahuan (knowledge) dan yang kedua adalah ilmu atau teori. Dengan demikian epistemologi dapat disimpulkan sebagai teori pengetahuan
atau suatu teori yang mengkaji dan berusaha untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakiki
dari pengetahuan manusia. Singkatnya,
epistemologi merupakan suatu studi komprehensif tentang bagaimana manusia dapat
mengetahui tentang suatu pengetahuan, dan apakah pengetahuan yang ia tahu itu
layak menjadi suatu pengetahuan atau tidak.
Sementara “Teologi” juga dibentuk dari
akar kata Yunani dengan dua kata dasar yaitu Theos dan Logos. Theos
berarti “Tuhan”, sementara Logos memiliki makna yang sama dengan istilah
pertama di atas yaitu “Ilmu, teori, atau kata”. Secara sederhana Teologi berarti
“Pengetahuan/teori tentang Tuhan”. Namun pemahaman demikian terlalu umum karena
istilah “teologi” dapat disandangkan kepada siapa saja yang sedang berbicara
mengenai isu ke-Tuhanan, baik bagi mereka yang ber-Tuhan maupun tidak. Hal ini
menggambarkan suatu pesan implisit bahwa semua manusia dalam konteks ini dapat
menjadi seorang teolog, namun tidak semua adalah teolog.
Seperti teologi, epistemologi pun
bereksistensi dalam dialektik dunia ide dan tindakan praktek manusia. Tidak ada
manusia yang tidak memiliki semacam prinsip dasar epistemologi. Karena ia
memiliki semacam pengetahuan tentang dirinya dan dunia di sekitarnya, maka
pastilah ia juga memiliki semacam
epistemologi sebagai metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tersebut. Entahkah benar maupun keliru.
Epistemologi dalam Konsepi Filsafat
Pada umumnya Epistemologi manusia
dihubungkan dengan dua aliran besar filsafat. Pertama, Empirisisme dan kedua,
Rasionalisme. Istilah “Empirisisme” ini berasal dari kata Yunani empeiria (=pengalaman), emperikos (=berpengalaman). Sejak abat
ke-19 dan seterusnya, kata tersebut telah digunakan untuk menunjuk pada
macam-macam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetuhuan yang mutlak. Ciri khas dari empirisisme
adalah pembuktian suatu klaim pengetahuan/kebenaran yang diakui valid, hanya
jika dapat dikonfirmasikan melalui data dan fakta empiris/pengalaman indrawi. Tiga tokoh utama dalamm kajian filsafat
modern yang menggagas konsep ini adalah John Locke, David Hume dan Aguste
Comte.
Epistemologi yang kedua adalah
“Rasionalisme”. Jika Empirisisme bertumpu pada bukti-bukti data empiris sebagai
petunjuk menuju suatu kebenaran dari pengetahuan yang valid, Rasionalisme
(Rasio = akal budi + "Isme" = mazab) justru sebaliknya bertumpu pada
penalaran rasio manusia sebagai penentu kebenaran dari suatu pengetahuan yang
diterima. Rasiolaisme modern tidak dapat dilepaskan dengan nama Rene Descartes
dengan slogannya, Cogito ergo sum, "aku
berpikir maka aku ada".
Kedua klaim epistemologi ini berusaha
untuk menemukan suatu pengetahuan dan kebenarannya dengan dua metode yang
berbeda. Empirisisme menggunakan data empiris/pengalaman indrawi sebagai
penentu kebenaran sedangkan Rasionalisme menggunakan akal pikiran sebagai
penentu suatu kebenaran. Kecenderungan dasar epistemologi demikian yang
mengakibatkan penolakan para saintis terhadap keyakinan-keyakinan doktrinal
Agama mengenai Tuhan karena dianggap tidak dapat dibuktikan dengan data indrawi
serta tidak masuk akal.
Korelasi Teologi Kristen dan Epistemologi
Teologi dan epistemologi merupakan dua
disiplin ilmu yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Di dalam suatu
kajian teologi pasti terdapat suatu epistemologi sebagai metodenya. Karena
sifat epistemologi sebagai metode untuk mencapai suatu pengetahuan yang valid,
maka apapun disiplin ilmu yang dibangun, pastilah memuat semacam epistemologi
di dalamnya termasuk Teologi.
Dalam disiplin ilmu Teologi,
kajian-kajian Empiris dan Rasional (Bedakan dengan "Isme"1[1]
yang merupakan suatu akstreme) tetap digunakan. Hal ini terlihat jelas dari
berbagai hal, salah satu yang paling jelas adalah pada peristiwa kebangkitan
dan penampakan Tuhan Yesus kepada Tomas dalam Injil Yohanes 20:26-29,
Delapan
hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu danTomas
bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan
berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" Kemudian Ia berkata kepada
Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah
tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi,
melainkan percayalah. "Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan
Allahku!" Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat
Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun
percaya."
Dalam peristiwa ini Tomas mewakili
kaum Empiris sekaligus Rasionalis dan juga skeptis. Ia membutuhkan bukti
nyata dan yang masuk akal sebelum mempercayai kebangkitan Tuhan Yesus. Dan hal ini pun ditanggapi oleh Tuhan Yesus
dengan menantangnya untuk membuktikan kebenaran faktual melalu penelitian
singkat pada bekas luka-luka Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa konsep Epistemologi
dalam kajian filsafat dan sains modern sesungguhnya tidak bertentangan dengan
iman Kristen, bahkan telah hadir dalam suatu metologi penelitian empiris dan
rasional yang sangat eksplisit. Selain itu, kekristenan juga dituntut untuk
mengkritisi semua kebenaran secara kristis (1 Tes. 5:21), serta memperoleh
pertimbangan-pertimbangan rasional atas apa yang dipercayai. Prinsip dasar ini
membuktikan bahwa iman Kristen bukanlah “suatu lompatan dalam kegelapan”, namun
merupakan iman yang didasari atas pertimbangan fakta-fakta logis.
Meski demikian, Teologi tidak selalu
berjalan beriringan dengan Epistemologi dalam konsep filsafati karena terdapat
beberapa bagian yang tidak dapat dijangkau oleh epistemologi. Misalnya mengenai
konsep Kristologi (natur Ilahi dan natur Insani dalam satu Pribadi),
Tritunggal, Roh Kudus sebagai Pribadi, hal-hal yang akan datang (akhir zaman)
dan juga menyangkut eksistensi kekekalan. Hal-hal ini tidak terjangkau oleh
indrawi dan akal manusia karena sifat dari pengetahuan tersebut yang melampaui
akal serta indra (supra) manusia. sebagaimana yang diungkapkan Pemazmur, Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu,
terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya (Maz. 139:6). Maka dalam
kajian Teologis, Epistemologi yang digunakan bukan hanya pada pengalaman
indrawi dan keakuratan rasio manusia, namun juga suatu konsep epistemologi yang
"Supra rasio" dan "Supra Empiris".
Titik singgung dan perbedaan yang
kedua terletak pada sumber otoritas dari kedua disiplin ilmu. Teologi
bercirikan/berpusat pada Allah (Tehosentris), sementara Epistemologi berpusat
pada manusia. Teologi, Allah menyatakan pewahyuan kebenaran kepada manusia,
sementara epistemologi, manusia mencari kebenaran berdasarkan serangkaian
metode serta analisa-analisa data. Hal ini yang kemudian menyebabkan persamaan
pada titik singgung objek kajian, sekaligus perbedaan pada titik jangkau
keduanya mengenai isu kebenaran dari kedua disiplin ilmu.
Pada titik yang tidak terjangkau oleh
kajian epistemologi tersebut, Iman berdiri sebagai jembatan (Bdk. dgn. Ibr.
11:3) untuk menggapai apa yang tidak tergapai oleh keterbatasan epistemologi manusia.
Meskipun hal ini ditentang oleh kalangan pengkaji filsafat dan saintis sekuler
(yang bertolak dari dua metodologi filsafat di atas), namun mereka pun tidak
dapat membantah akan keterbatasan rasio untuk menggapai suatu bentuk
pengetahuan valid yang eksis di atas pengetahuan manusia. Bukankah pengetahuan
manusia itu terbatas? Dengan demikian maka pastilah terdapat suatu pengetahuan
lain di atas pengetahuan manusia yang terbatas tersebut. Dan pengetahuan yang
sempurna ini adalah pengetahuan Allah. untuk itu epistemologi Kristen tidak
berhenti pada kedua bentuk epistemologi yang umum digunakan, namun melanjutkan
pada epistemologi yang berpusat pada pengetahuan Allah, epistemologi supra
rasio.
Penutup.
Pemahaman
yang benar akan eksistensi kita sebagai manusia ciptaan yang berdosa dan
terbatas, serta pentingnya iman sebagai pondasi yang menghubungkan antara apa
yang tidak tergapai oleh kajian filsafat epistemologi, akan membawa kita pada
kerendahan hati dan kekaguman pada Tuhan. Sebaliknya, mencoba keluar dari konsepsi
iman sebagai instrumen epistemologi Kristen yang supra rasio, kemudian
menggantinya dengan serangkaian metodedologi filsafat dalam bentuk dan aliran
apapun, akan berdampak pada kesesatan dan ateisme.
Kepustakaan.
Alkitab Terjemahan Baru (TB) (Jakarta:
LAI, 2008).
Akyar Yusuf Lubis, Filsafat
Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
Colin Brown, Filsafat
dan Iman Kristen. Vol. 1. pen. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno (Surabaya:
Momentum, 2011).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).
Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
[1]
Istilah “Isme” pada akhir kata dalam kedua konsep filsafat tersebut
(Empiris-isme dan Rasional-isme)
menerangkan suatu mazab filsafat. Dengan demikan, kedua aliran tersebut menekankan
pada suatu objek tertentu (Fakta empiris bagi empirisisme dan Rasio manusia
bagi Rasionalisme) sebagai penentu dari suatu kebenaran yang diterima dan
diyakini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar