Selasa, 06 November 2018

STUDI FILSAFAT : DIALEKTIKA TEOLOGI DAN EPISTEMOLOGI



DIALEKTIKA TEOLOGI KRISTEN DAN EPISTEMOLOGI

Oleh : Yosep Belay

Abstraksi
Dilaektika dalam ilmu Teologi dan Epistemologi merupakan dua hal yang saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan tidak dapat dipisahkan. Teologi dalam konsepsi agama apa pun pastilah memiliki semacam prinsip dasar epistemologi yang mendahuluinya sehingga menghasilkan serangkaian keyakinan teologis yang diyakini dan dihidupi, tak terkecuali dalam konsep teologi Kristen.

Tulisan singkat ini mencoba untuk membedah kedua disiplin ilmu tersebut untuk melihat titik singgung dan pisah dari keduanya, serta mencoba untuk memberikan suatu sintesa pada dunia ide dalam teologi Kristen.

Pendahuluan.

          Akal budi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia merupakan alat yang disediakan untuk mengenal-Nya, mempermuliakan-Nya, serta berrelasi dengan dunia disekitar manusia itu. Dengan akal, kita mampu menganalisa kebenaran firman Tuhan dan dengan akal pula kita memahami suatu kebenaran yang pada akhirnya kita pegang sebagai pedoman hidup. Akal budi menjadi instrumen mendasar dalam kajian Teologi dan Epistemologi.

          Mengenal akan Tuhan berarti kita berbicara mengenai suatu pemahaman/pengetahuan Teologis, sementara bagaimana kita dapat mengenal Tuhan dan apa yang menjadi keyakinan kita itu, itulah yang disebut sebagai Epistemologis. Kedua hal ini berkaitan satu dengan yang lain baik dalam usaha pengenalan iman Orang percaya maupun dalam praktek disiplin ilmu sekuler lainnya.

          Secara etimologi (asal usul kata), istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yang disusun oleh dua kata dasar yaitu, Episteme dan Logos. Kata pertama berarti pengetahuan (knowledge) dan yang kedua adalah ilmu atau teori. Dengan demikian epistemologi dapat disimpulkan sebagai teori pengetahuan atau suatu teori yang mengkaji dan berusaha untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Singkatnya, epistemologi merupakan suatu studi komprehensif tentang bagaimana manusia dapat mengetahui tentang suatu pengetahuan, dan apakah pengetahuan yang ia tahu itu layak menjadi suatu pengetahuan atau tidak.

          Sementara “Teologi” juga dibentuk dari akar kata Yunani dengan dua kata dasar yaitu Theos dan Logos. Theos berarti “Tuhan”, sementara Logos memiliki makna yang sama dengan istilah pertama di atas yaitu “Ilmu, teori, atau kata”. Secara sederhana Teologi berarti “Pengetahuan/teori tentang Tuhan”. Namun pemahaman demikian terlalu umum karena istilah “teologi” dapat disandangkan kepada siapa saja yang sedang berbicara mengenai isu ke-Tuhanan, baik bagi mereka yang ber-Tuhan maupun tidak. Hal ini menggambarkan suatu pesan implisit bahwa semua manusia dalam konteks ini dapat menjadi seorang teolog, namun tidak semua adalah teolog.

          Seperti teologi, epistemologi pun bereksistensi dalam dialektik dunia ide dan tindakan praktek manusia. Tidak ada manusia yang tidak memiliki semacam prinsip dasar epistemologi. Karena ia memiliki semacam pengetahuan tentang dirinya dan dunia di sekitarnya, maka pastilah ia juga  memiliki semacam epistemologi sebagai metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Entahkah benar maupun keliru.   

Epistemologi dalam Konsepi Filsafat

          Pada umumnya Epistemologi manusia dihubungkan dengan dua aliran besar filsafat. Pertama, Empirisisme dan kedua, Rasionalisme. Istilah “Empirisismeini berasal dari kata Yunani empeiria (=pengalaman), emperikos (=berpengalaman). Sejak abat ke-19 dan seterusnya, kata tersebut telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetuhuan yang mutlak. Ciri khas dari empirisisme adalah pembuktian suatu klaim pengetahuan/kebenaran yang diakui valid, hanya jika dapat dikonfirmasikan melalui data dan fakta empiris/pengalaman indrawi. Tiga tokoh utama dalamm kajian filsafat modern yang menggagas konsep ini adalah John Locke, David Hume dan Aguste Comte.

          Epistemologi yang kedua adalah “Rasionalisme”. Jika Empirisisme bertumpu pada bukti-bukti data empiris sebagai petunjuk menuju suatu kebenaran dari pengetahuan yang valid, Rasionalisme (Rasio = akal budi + "Isme" = mazab) justru sebaliknya bertumpu pada penalaran rasio manusia sebagai penentu kebenaran dari suatu pengetahuan yang diterima. Rasiolaisme modern tidak dapat dilepaskan dengan nama Rene Descartes dengan slogannya, Cogito ergo sum, "aku berpikir maka aku ada".

          Kedua klaim epistemologi ini berusaha untuk menemukan suatu pengetahuan dan kebenarannya dengan dua metode yang berbeda. Empirisisme menggunakan data empiris/pengalaman indrawi sebagai penentu kebenaran sedangkan Rasionalisme menggunakan akal pikiran sebagai penentu suatu kebenaran. Kecenderungan dasar epistemologi demikian yang mengakibatkan penolakan para saintis terhadap keyakinan-keyakinan doktrinal Agama mengenai Tuhan karena dianggap tidak dapat dibuktikan dengan data indrawi serta tidak masuk akal. 

Korelasi Teologi Kristen dan Epistemologi

          Teologi dan epistemologi merupakan dua disiplin ilmu yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Di dalam suatu kajian teologi pasti terdapat suatu epistemologi sebagai metodenya. Karena sifat epistemologi sebagai metode untuk mencapai suatu pengetahuan yang valid, maka apapun disiplin ilmu yang dibangun, pastilah memuat semacam epistemologi di dalamnya termasuk Teologi.

          Dalam disiplin ilmu Teologi, kajian-kajian Empiris dan Rasional (Bedakan dengan "Isme"1[1] yang merupakan suatu akstreme) tetap digunakan. Hal ini terlihat jelas dari berbagai hal, salah satu yang paling jelas adalah pada peristiwa kebangkitan dan penampakan Tuhan Yesus kepada Tomas dalam Injil Yohanes 20:26-29,

        Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu danTomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang    dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" Kemudian Ia berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah. "Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!" Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya."
          Dalam peristiwa ini Tomas mewakili kaum Empiris sekaligus Rasionalis dan juga skeptis. Ia membutuhkan bukti nyata dan yang masuk akal sebelum mempercayai kebangkitan Tuhan Yesus.  Dan hal ini pun ditanggapi oleh Tuhan Yesus dengan menantangnya untuk membuktikan kebenaran faktual melalu penelitian singkat pada bekas luka-luka Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa konsep Epistemologi dalam kajian filsafat dan sains modern sesungguhnya tidak bertentangan dengan iman Kristen, bahkan telah hadir dalam suatu metologi penelitian empiris dan rasional yang sangat eksplisit. Selain itu, kekristenan juga dituntut untuk mengkritisi semua kebenaran secara kristis (1 Tes. 5:21), serta memperoleh pertimbangan-pertimbangan rasional atas apa yang dipercayai. Prinsip dasar ini membuktikan bahwa iman Kristen bukanlah “suatu lompatan dalam kegelapan”, namun merupakan iman yang didasari atas pertimbangan fakta-fakta logis.

          Meski demikian, Teologi tidak selalu berjalan beriringan dengan Epistemologi dalam konsep filsafati karena terdapat beberapa bagian yang tidak dapat dijangkau oleh epistemologi. Misalnya mengenai konsep Kristologi (natur Ilahi dan natur Insani dalam satu Pribadi), Tritunggal, Roh Kudus sebagai Pribadi, hal-hal yang akan datang (akhir zaman) dan juga menyangkut eksistensi kekekalan. Hal-hal ini tidak terjangkau oleh indrawi dan akal manusia karena sifat dari pengetahuan tersebut yang melampaui akal serta indra (supra) manusia. sebagaimana yang diungkapkan Pemazmur, Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya (Maz. 139:6). Maka dalam kajian Teologis, Epistemologi yang digunakan bukan hanya pada pengalaman indrawi dan keakuratan rasio manusia, namun juga suatu konsep epistemologi yang "Supra rasio" dan "Supra Empiris".

          Titik singgung dan perbedaan yang kedua terletak pada sumber otoritas dari kedua disiplin ilmu. Teologi bercirikan/berpusat pada Allah (Tehosentris), sementara Epistemologi berpusat pada manusia. Teologi, Allah menyatakan pewahyuan kebenaran kepada manusia, sementara epistemologi, manusia mencari kebenaran berdasarkan serangkaian metode serta analisa-analisa data. Hal ini yang kemudian menyebabkan persamaan pada titik singgung objek kajian, sekaligus perbedaan pada titik jangkau keduanya mengenai isu kebenaran dari kedua disiplin ilmu.

          Pada titik yang tidak terjangkau oleh kajian epistemologi tersebut, Iman berdiri sebagai jembatan (Bdk. dgn. Ibr. 11:3) untuk menggapai apa yang tidak tergapai oleh keterbatasan epistemologi manusia. Meskipun hal ini ditentang oleh kalangan pengkaji filsafat dan saintis sekuler (yang bertolak dari dua metodologi filsafat di atas), namun mereka pun tidak dapat membantah akan keterbatasan rasio untuk menggapai suatu bentuk pengetahuan valid yang eksis di atas pengetahuan manusia. Bukankah pengetahuan manusia itu terbatas? Dengan demikian maka pastilah terdapat suatu pengetahuan lain di atas pengetahuan manusia yang terbatas tersebut. Dan pengetahuan yang sempurna ini adalah pengetahuan Allah. untuk itu epistemologi Kristen tidak berhenti pada kedua bentuk epistemologi yang umum digunakan, namun melanjutkan pada epistemologi yang berpusat pada pengetahuan Allah, epistemologi supra rasio.

Penutup.

          Pemahaman yang benar akan eksistensi kita sebagai manusia ciptaan yang berdosa dan terbatas, serta pentingnya iman sebagai pondasi yang menghubungkan antara apa yang tidak tergapai oleh kajian filsafat epistemologi, akan membawa kita pada kerendahan hati dan kekaguman pada Tuhan. Sebaliknya, mencoba keluar dari konsepsi iman sebagai instrumen epistemologi Kristen yang supra rasio, kemudian menggantinya dengan serangkaian metodedologi filsafat dalam bentuk dan aliran apapun, akan berdampak pada kesesatan dan ateisme.

Kepustakaan.
          Alkitab Terjemahan Baru (TB) (Jakarta: LAI, 2008).
          Akyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
          Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen. Vol. 1. pen. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno (Surabaya: Momentum, 2011).
          Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).
          Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002).




          [1] Istilah “Isme” pada akhir kata dalam kedua konsep filsafat tersebut (Empiris-isme dan Rasional-isme)  menerangkan suatu mazab filsafat. Dengan demikan, kedua aliran tersebut menekankan pada suatu objek tertentu (Fakta empiris bagi empirisisme dan Rasio manusia bagi Rasionalisme) sebagai penentu dari suatu kebenaran yang diterima dan diyakini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar