Kritik terhadap klaim empirisisme dan
saintisme telah banyak diajukan oleh para Filsuf, Teolog, maupun dari
kalangan Ilmuan sendiri. Tulisan-tulisan yang membahas mengenai hubungan
dua hal ini juga telah banyak beredar, namun sayang hanya sedikit
tulisan yang mengkritisi dari sudut epistemologi mengenai klaim-klaim
kebenaran yang diajukan oleh kedua mazab tersebut. Tulisan singkat ini
mencoba untuk mengisi kekosongan pada gap tersebut.
Setidaknya
terdapat tiga alasan mengapa tulisan ini disajikan. Pertama, kita sedang
hidup di dalam era sains modern dengan filosofinya yang seringkali
berbenturan dengan keyakinan-keyakinan dasar masyarakat timur yang
religius. Kedua, kita seringkali tertipu oleh klaim-klaim yang mengatas
namakan sains, namun ternyata merupakan sebuah filsafat, atau bahkan
hanya fiksi. Ketiga, sebagai kritik epistemologi dalam usaha untuk
menempatkan secara proporsional kedua kajian filosofi tersebut.
Berbicara
mengenai Empirisisme(1) kita pasti akan menyinggung pula mengenai
metodologi sains dan saintisme(2). Demikian pula sebaliknya, bebicara
mengenai sains dan saintisme, kajian-kajian empiris akan menjadi data
serta metodologi yang mendukung klaim kebenaran dalam sains dan
saintisme.
Maka pembahasan dan kritikan
terhadap empirisisme tidak dapat dipisahkan dari metodologi sains
modern, namun pada bahasan ini, penulis sengaja memisahkan keduanya agar
penjabarannya lebih spesifik dan jelas.
Empirisisme
Empirisisme
yang mengandalkan penelitian melalui pengamatan indrawi manusia, telah
mendatangkan banyak kritik. Salah satunya kritik yang diberikan oleh
Suriasumantri. Ia menjelaskan bahwa, indra manusia begitu terbatas dan
tidak dapat diandalkan secara mutlak dalam menganalisa suatu objek.
Kelemahan ini terlihat misalnya dalam contoh pengamatan-pengamatan
seperti, Sebuah tongkat lurus yang sebagiannya dimasukan kedalam air
akan terlihat bengkok.
Bila
kita naik kendaraan yang melaju kencang maka pepohonan akan terlihat
seperti berlari. Demikian juga dengan bumi yang sebenarnya mengelilingi
matahari namun justru terlihat sebaliknya. Dengan contoh-contoh
sederhana tersebut, klaim kebenaran empirisisme yang mengandalkan panca
indra tidak dapat secara mutlak menjangkau kebenaran fakta empiris.
Bahkan dengan tegas ia mengatakan, “panca indra kita bukan hanya
terbatas namun juga dapat menyesatkan.”
Menyuarakan
kritikan yang serupa Poespowardojo dan Seran yang menganalisa pemikiran
Karl Popper menjelaskan bahwa, pengalaman sebagai data indrawi yang
kita miliki tentang angsa tidak menjamin kebenaran kesimpulan bahwa
semua angsa berwarna putih (bukankah kita tidak memiliki semua data
tentang angsa karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan?).”
Keterbatasan
penelitian dan pengamatan terhadap data dan fakta, memberikan batasan
yang tegas tentang kebenaran indrawi. Keterbatasan-keterbatasan ini pada
akhirnya diselesaikan dengan prinsip generalisasi data yang harus
diakui sangat terbatas. Maka jelas bahwa pengalaman indrawi sebagai
sarana empirisisme dalam menganalisa data, tidak dapat diandalkan
keakuratannya secara mutlak.
Kemudian,
memasuki ranah nomena objek (Kritik Kant), empirisisme terbukti terbatas
dalam hipotesis-hipotesis yang subjektif. Rapar menjelaskan bahwa
kemampuan manusia untuk menangkap suatu objek secara utuh, tidaklah
mungkin. Manusia hanya sampai pada beberapa pengetahuan mengenai objek
tersebut, dengan demikian maka jelaslah bahwa amat sulit untuk mencapai
kebenaran yang lengkap dari objek tersebut.
Sejalan
dengan Rapar, Suriasumantri menjelaskan demikian, “Apakah pendekatan
empiris ini membawa kita lebih dekat kepada kebenaran? Ternyata juga
tidak, sebab gejala yang terdapat dalam pengalaman (indrawi) kita baru
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Fakta
yang ada sebagai dirinya sendiri tidaklah mampu berkata apa-apa.
Kitalah yang memberimereka sebuah arti.”
Apa
yang dijabarkan oleh empirisisme pada akhirnya hanyalah berupa kegiatan
filsafat yang subjektif dari seorang Ilmuan. Fakta sebenarnya mengenai
noumena dari objek tersebut tetaplah bisu. Dalam istilah Kant, “Ding an sich” (thing in itself) dimana realitas dari suatu objek pada dirinya sendiri (Ding an sich)
mustahil untuk benar-benar diketahui dan dihayati 100%, meskipun
realitas tersebut sudah dapat menjadi objek dari pikiran peneliti. Atau
dalam pemahaman Sartre, dimana realitas yang sesungguhnya dari “En Soi” (atau Ding an sich dalam terminologi Kant) tidak pernah dapat ditangkap secara sempurna oleh rasio manusia.
Pada
akhirnya kita dapat menyaksikan bahwa empirisisme secara metodologis
pun memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, baik itu objek
penelitian (fakta dan data) maupun subjek penelitinya (manusia sebagai
pengelola data). Karena tidak ada sesuatu yang bersifat final dan baku
dalam suatu metodologi (baik filsafat mapun sains), maka kita perlu
memahami bahwa kebenaran dalam prinsip dasar empirisime bersifat
terbuka, berkembang, dan memerlukan kritik sebagai koreksi, sebagaimana
metode Falsifikasi yang dirintis Popper.
Saintisme
Saintisme
merupakan bentuk lanjutan dari mazab Empirisisme, atau dapat disebut
sebagai neo empirisisme. Dalam beberapa tafsiran, saintisme sering kali
juga dipandang/disamakan dengan Positivisme karena sama-sama bertolak
dari metodologi yang memutlakan empirisisme sehingga menolak segala
sesuatu yang tidak memiliki data serta fakta empiris seperti klaim-klaim
teologis dan metafisika. Perbedaan keduanya hanya terletak pada bidang
kajian masing-masing, saintisme pada ilmu alam sementara positivisme
pada ilmu sosial.
Mengutip
Jean Peaget, Heath mengatakan, kekeliruan sains modern yang pertama
terletak pada tersamarnya istilah “Ilmiah” dan “Empiris”. Ia kemudian
menjelaskan bahwa, kalau tujuan kita ialah mencari pengetahuan, tentunya
kita harus berpikir secara ilmiah (logis), namun tidak wajar jika kita
mempersempit lingkup penelitian dan pemikiran kita untuk mengikuti
kriteria yang bersifat empiris semata-mata.
Kelemahan
pertama sains modern terletak pada hal ini. Sains modern (etah sengaja
ataupun tidak) telah mengabsolutkan metode empiris menjadi Sains
empirisisme. Rekayasa ini tanpa sadar telah mereduksi sifat ilmiah dan
menggantinya dengan suatu filsafat dengan topeng sains modern. Hal
tersebut terlihat dari berbagai macam penolakan dari kalangan saintisme
mengenai unsur-unsur supranatural dalam konsep agama-agama, yang
kemudian dipaksakan dengan alur logika mereka dimana klaim-klaim
demikian menjadi gugur karena tidak bersifat empiris.
Bukankah
menuntut klaim demikian justru kontradiktif dengan metodologi sains?
Bukankah menuntut suatu fenomena yang non empiris dengan data empiris
justru menjadi tidak logis? Namun inilah wajah dari saintisme modern
yang dirintis oleh kalangan ateis generasi kedua. Penekanan pada sikap
demikian bukanlah suatu kejujuran dari seorang saintis, akan tetapi
cendrung kepada suatu sikap sentimen dari kalangan pemuja saintisme.
Selain
itu, Heath juga menganalisa berbagai kelemahan yang terdapat dalam
metode sains modern yang senada dengan Suriasumantri. Ia menjelaskan
bahwa metode sains modern sesungguhnya tidak pernah lepas dari kegiatan
fisafat. Hal ini dapat dijumpai dengan langkah pertama mengenai
perenungan suatu objek, hingga langkah terakhir dalam mengambil
kesimpulan, yang pada hakekatnya merupakan kegiatan berpikir yang
didasari atas filsafat. Maka perlu dipertanyakan kembali, mungkin
terdapat semacam sains modern yang benar-benar murni tanpa unsur dan
kegiatan fisafat? Tentu saja tidak ada.
Permasalahan
berikutnya muncul ketika saintisme mengatas-namakan ilmu pengetahuan
kemudian mengklaim suatu ranah kajian ilmu yang bukan pada bidangnya.
Misalnya kajian-kajian teoritis mengenai asal mula kehidupan, alam
semesta, manusia, jiwa dan roh yang adalah milik disiplin keilmuan
non-empiris (Teologi dan Filsafat) namun kemudian disabotase oleh
saintisme dengan klaim-klaim yang seolah-olah “ilmiah”, namun tidak
lebih dari suatu spekulatif filosofis.
Contoh-contoh
demikian terlihat dengan jelas pada kajian-kajian saintisme sepeti
teori evolusi, big bang, lubang hitam yang dengan mengatas-namakan
sains, dipublikasikan sebagai kebenaran ilmu pengetahuan hanya karena
yang mengsung ide tersebut adalah seorang “ilmuan”. Ini merupakan bentuk
kamuflase saintisme dalam sains modern. Sebuah penyesatan terselubung
yang sangat halus.
Perlu diperjelas
bahwa kajian mengenai asal mula semesta, manusia, dan alam, merupakan
kajian yang meskipun bersifat empiris namun sekaligus bersifat nir
waktu. Sederhananya sains modern yang objektif harus membatasi diri
sekaligus dibatasi oleh ruang serta fakta dan data yang ada. Mencoba
untuk keluar dari “data” dan “waktu” saat ini, serta melompat ke jutaan
waktu lampau, itu bukanlah sains, tetapi suatu spekulasi saintis! Hal
ini lebih mirip dengan kisah “kantong ajaib Doraemon” yang
mondar-mandir sesuka hati melampaui dunia waktu. Ini adalah sebuah fiksi
ilmah, bukan fakta ilmiah.
Lantas jika
kalangan saintimse tidak dapat/dan tidak menyaksikan data dan
fakta-fakta pada kejadian asal mula tersebut maka apakah hipotesa mereka
tersebut dapat diterima sebagai suatu ilmu pengetahuan? Tentu tidak.
Hal demikian justru memperlihatkan suatu bentuk pelanggaran metodologis
yang serius namun tidak pernah/jarang disadari (atau mungkin juga
diabaikan) oleh kalangan akademisi. Kegagalan untuk mengkritisi hal-hal
demikian menyebabkan publik tidak lagi dapat membedakan antara fakta
ilmiah dan fiksi ilmiah.
Penutup
Permasalan-permasalahan
epistemologis dari para pemuja saintisme jaman ini tidak dapat
dipertahankan ketika diuji dengan prinsip-prinsip pokok epistemologi
yang ketat. Pembuktian ini memberikan satu konfirmasi bahwa empirisisme
dimana saintisme memperoleh dasar pijakan dan metodologinya harus puas
dengan data dan fakta empiris yang terbatas pada ruang dan waktu.
Mencoba
keluar dari metode eksperimentasi yang nir-empiris dan nir-waktu, akan
berakhir pada anti tesis dari hakikat dasar sains itu sendiri.
Keterbatasan dan pembatasan metodologis serta epistemologis tersebut
seharusnya menyadarkan para saintis untuk berlapang dada berbagi bidang
kajian dengan disiplin ilmu lainnya yang non empiris, sekaligus
menyadari bahwa kebenaran ilmu pengetahuan pun terbatas pada dirinya
sendiri, serta terbuka terhadap kritik dan perkembangan. (yb)_
Catatan.
(1) Empirisisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani empeiria (=pengalaman), emperikos
(=berpengalaman). Sejak abat ke-19 dan seterusnya, kata tersebut telah
digunakan untuk menunjuk pada macam-macam filsafat yang menekankan
pengalaman sebagai sumber pengetuhuan yang valid.
(2)
Sains dan Saintisme. Perlu diperhatikan bahwa istilah “Sains”
mememiliki perberbedaan yang signifikan dengan “Saintisme”. Sains
membatasi metodologinya dengan serangkaian analisa yang terbatas pada
data dan fakta empiris, maka meskipun terbatas namun sifat
objektifitasnya dapat diterima sebagai suatu kebenaran ilmu. Sementara
Saintisme bukan merupakan kegiatan ilmiah yang objektif karena
dikendalikan oleh pemikiran empirisisme radikal sehingga mengasilkan
suatu sistem pemikiran tertutup dan sikap sentimentil terhadap hal-hal
yang bersifat supranatural.
___________
Kepustakaan
- Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen. Vol. 1 (Surabaya: Momentum, 2011).
- Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
- Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012).
- Paul E. Litle, Akal dan Kekristenan (Bandung: Kalam Hidup, 1967)
- T.M. Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakekat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Kompas, 2015).
- W. Stanley Heath, Psikologi Yang Sebenarnya (Yogyakarta: Andi,1995).
- _____________, Sains, Iman, dan Teknologi (Yogyakarta: Andi,1997).
- Yakub B. Susabda, Teologi Modern—1 (Jakarta: LRII, 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar