Perilaku seksual yang menyimpang
merupakan fenomena yang telah hadir
dalam kebudayaan manusia semenjak dahulu. Meski demikian, karena penyimpangan
seksual tersebut dipandang sebagai hal yang tabu dalam masyarakat, maka sangsi
yang keras kerap kali menyebabkan penyimpangan-penyimpangan demikian jarang
terdengar dan berkembang secara terbuka. Namun menjelang akhir tahun 1990-an,
komunitas tersebut memulai kiprah mereka dengan memperkenalkan identitas diri melalui
istilah LGBT(1).
LGBT merupakan istilah yang mewakili aspirasi dari komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender dalam memperjuangkan hak-hak mereka agar dapat diterima secara normal dalam kehidupan sosial masyarakat umum. Perjuangan ini kemudian membuahkan hasil ketika dikukuhkan keputusan oleh komisi HAM PBB pada tanggal 24 September 2014, menjadi “HAM yang universal” melalui serangkaian penelitian terhadap penemuan serta saran-saran dari lembaga Psikiatrik.
Perkembangan ini terus mengarah pada
dukungan penuh kepada kelompok LGBT. Salah satunya ketika pemerintah Amerika
Serikat melegitimasi perkawinan sejenis melalui keputusan Mahkama Agung pada
Jumat, 26 Juni 2015. Sementara di
Indonesia beberapa sumber menyebut bahwa
fenomena LGBT sudah dimulai pada dekade 60-an. Lalu, berkembang pada dekade
80-an, 90-an, dan meledak pada era milenium saat ini sejalan dengan dukungan
Internasional yang mulai tampak.
Ledakan tersebut kemudian memicu
kontroversi hingga timbulnya perdebatan-perdebatan diantara pihak-pihak yang
pro maupun kontra (kalangan Agamawan dan Psikolog—Psikiatri), karena secara
tidak langsung, eksistensi kelompok tersebut merupakan antitesis dari wawasan
dunia religius yang telah diterima secara umum mengenai konsep Heteroseksual
manusia.
LGBT dari Sudut Pandang Sains
Perkembangan ilmu pengetahuan memainkan
peranan yang cukup krusial pada kehidupan manusia. Perkembangan ini, pada
akhirnya memberikan banyak masukan yang positif namun sekaligus negatif melalui
kajian-kajian neurosains.
Hal ini di kemudian hari berkembang pada penelitian mengenai penyimpangan
perilaku seksual yang dipandang memiliki hubungan erat dengan hormonal yang mepengaruhi
kerja otak manusia,
sehingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan.
Ioanes Rakhmat yang mewakili pandangan sainstisme
materialis mengemukakan pendapatnya
dengan meminjam sejumlah penemuan dari para ahli.
Ia kemudian mengemukakan hal mendasar bahwa kalangan pembenci
LGBT (khusunya kalangan
Agamawan) tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga
kesehatan yang diakui dunia dan nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka
sudah menemukan banyak bukti klinis
lintas ilmu bahwa LGBT sama normalnya dan sama sehatnya dengan heteroseksual.
Sikap
tersebut merupakan pernyataan yang bertolak dari pengkajian sains modern saat
ini. Dalam kajiannya, ia melanjutkan dengan mengutip beberapa ahli neurosis
yang menyakini bahwa terdapat semacam “gen gay” yang juga memiliki eksistensi
sendiri dalam pribadi manusia. Hipotesis ini bukan hanya menjadi angin segar
bagi kalangan LGBT, namun juga merupakan suatu bentuk kritikan keras terhadap
kalangan agamawan yang kontra terhadap penyimpangan tersebut.
Beberapa
sumber yang mendukung penelitian mengenai “gen gay” juga menyatakan hal yang
sejalan dengan Ioanes Rakhmat (Lihat di sini: https://theconversation.com/born-this-way-an-evolutionary-view-of-gay-genes-26051 dan di sini, https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/penyebab-gay-genetik-dan-trauma/) meskipun masih
dengan penjelasan yang mengambang.
Hipotesis ini terlihat melalui penelitian yang dikemukakan oleh LeVay. LeVay
meneliti kesamaan
bentuk otak pria penyuka pria (gay) dengan wanita penyuka pria,
dan kesamaan ini juga ditemukan pada struktur otak dari wanita penyuka wanita
(lesbian) dengan pria penyuka wanita.
Kesamaan
yang muncul itu
menurutnya adalah
salah satu ukuran sel pada hipotalamus yang berada pada otak (LeVay, 1991). Namun
LeVay mengalami kebingungan dengan sebuah pertanyaan, “Apakah otak yang
menentukan orientasi seksual atau pengalaman seksuallah yang mempengaruhi
konsepsi otak?”. Keterbatasan-keterbatasan
inilah yang masih mejadi perdebatan di kalangan para saintis, karena meskipun
memiliki kemiripan, namun penelitian ini prematur untuk digunakan sebagai
sebuah konklusi bagi tesis adanya “gen gay”.
Sementara pihak yang kontra terhadap
pandangan populer dari kajian Ioanes Rakhmat ternyata juga banyak. Fitri dan
Julianti mengemukakan pendapat mereka dengan mengutip beberpa ahli (Kaplan,
Sadok, & Grabb, 1994; Davison & Neale, 2001) mengatakan bahwa
penyimpangan seksual serta gangguan identitas gender disebabkan oleh dua hal,
pertama dalah gangguan hormonal dan perkembangan psikososial pada seseorang.
Namun penekanan pada gangguan hormonal hingga kini masih merupakan permasalahan
yang diperdebatkan.
Kartini Kartono yang merupakan salah
satu Guru besar Psikologi juga menegaskan hal serupa. Ia mengemukan empat hal
penyebab penyimpangan seksualitas dan gender. Pertama, faktor herediter berupa
ketidak seimbangan hormon-hormon seks. Kedua, pengaruh lingkungan yang tidak
baik. Ketiga, petualangan homoseksual yang bertolak dari pengalaman serupa.
Keempat, pengalaman traumatis terhadap lawan jenis sehingga menimbulkan hasrat
pada sesama jenis.
Supratiknya juga mengungkapkan
alasan-asalan serupa. Faktor penyebab homoseksualitas bermacam-macam, mulai
dari kekurangan hormon lelaki pada masa pertumbuhan, mengalami pengalaman
homoseksual, pengalaman traumatis terhadap heteroseksual, dan faktor internal
lainnya seperti dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang didominasi oleh figur
Ibu yang dominan.
Dari penjabaran tersebut secara
sederhana dapat dilihat bahwa terdapat dua kubu yang saling kontra dalam
pandangan sains modern mengenai LGBT. Masing-masing memiliki argumentasinya
sendiri melalui serangkaian penelitian, metode serta presuposisinya.
Keterbatasan sains serta manusia
sebagai pihak pengembangnya, serta presaposisi-presaposisi yang seringkali
ditunggangi oleh sentiment-sentimen tertentu pada akhirnya tidak selalu “seiya
sekata”.Dalam konteks demikian kebenaran teoritis dari kajian sains mengenai
LGBT tidak menyediakan alternatif yang pasti bagi komunitas LGBT selain hanya
serangkaian keterangan-keterangan yang kontroversial.
Konfrontasi Etis atas Asumsi Sains
Jika benar terdapat semacam “gen gay”,
maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita ajukan adalah apakah juga ada “gen
lesbian”, “gen biseks”, “gen pedofilia”, “gen inses”, dan “gen animal
sex”? Atau lebih jauh, apakah juga ada
gen-gen penyimpangan seksual lainnya seperti yang sedang trend di Jepang saat
ini, menikah dengan boneka sex atau tokoh animasi? Pertanyaan ini akan menjadi
pertanyaan penting karena mengandung konsekwensi etis yang sulit diterima dalam
relasi sosial masyarakat global.
Misalnya, jika dijawab “Ya”, terdapat
gen-gen demikian. Maka secara alamiah penyimpangan-penyimpangan itu bukanlah
suatu yang abnormal melainkan normal, dengan demikian para pelaku kejahatan
seksual--pedofil misalnya--akan menggunakan argument “gen alamiah” ini sebagai
pembenaran suatu kasus seksual yang ia buat. Mungkin dengan santai mereka akan
menjawab, “Saya kan dilahirkan dengan gen pedofil, so what?”
Bayangkan jika perilaku-perilaku
abnormal ini didukung oleh penafsiran sains yang keliru dan berkembang pada
pengesahan undang-undang suatu Negara? Bayangkan jika anak-anak kita menjadi
bagian dari “rantai makanan” kesesatan ilmiah tersebut?! Betapa mengerikan. Argumentasi ini tidak didasari atas sikap sentimen, namun
semata-mata merupakan konsekwensi logis dan etis dari suatu kebudayaan menyimpang
yang diterima dalam relasi sosial.
Penyelidikan
ilmiah dalam kasus LGBT juga menggunakan pendekatan pada serangkaian uji coba
yang dilakukan dengan beberapa jenis hewan. Pada beberapa kasus dijumpai bahwa
memang terdapat beberapa spesies yang melakukan hubungan sesama jenis. Kerangka
pemikiran ini yang kemudian sampai pada polarisasi yang diadopsi bagi
kasus-kasus LGBT manusia. Namun hal ini pun sangat tidak logis dan tidak
ilmiah. Menggunakan contoh kasus hewan dan menarik konklusi serta korelasinya
dengan kasus LGBT pada manusia merupakan suatu kesesatan ilmiah.
Argumentasi
ini dapat diuji secara sederhana dalam perbandingan praktik LGBT itu sendiri
pada manusia dan hewan. Tentu saja fenomena-fenomena hewan penyuka sesama jenis
harus dibatasi sampai di situ. Artinya, tidak ada contoh kasus hewan yang
melakukan kegiatan seksual secara “biseks” atau “pedofil” bukan? Maka contoh kasus
yang diangkat sebagai data analisa dan pembenaran bagi LGBT salah total.
Stuktur otak dan jadwal seks hewan pun dikendalikan oleh sebuah siklus yang
teratur, sementara manusia tidak. Bahkan untuk penyimpangan seksual LGBT justru
menujukan gejala yang berbeda seperti candu, agresif, dan beberapa kasus justru
berakhir pada tindakan kriminal yang sadis.
Sebaliknya,
jika hewan dijadikan sebagai data analisa ilmiah dan dapat diterapkan pada
pembenaran kasus-kasus LGBT seperti “pola hewan penyuka sesama jenis”, maka bagaimanakah kita memahami pola hewan
yang melakukan hubungan seksual secara inses (aktivitas seksual sedarah)?
Apakah pola-pola tersebut juga dapat diterapkan kepada manusia? Tentu saja
tidak bukan? Hal ini sekali lagi menunjukan bahwa akurasi dari analisa ilmiah
juga tidak selalu tepat, baik secara metodologi maupun etis.
Presuposisi
sains modern yang memandang manusia sebagai “hewan berpikir” yang berevolusi,
telah menyebabkan polarisasi pada kajian-kajian sains yang dianalisa dari
sample hewan. Pola-pola demikian bukan hanya merendahkan hakikat manusia namun
juga menjungkir balikkan etika sosial dalam tatanankomunal manusia.
Sebuah Jawaban Integratif
Teologi—Psikologi
Sains modern memang dibutuhkan untuk menganalisa
data-data dan fenomena-fenomena mengenai penyimpangan-penyimpangan tersebut. Namun
karena kasus-kasus penyimpangan seksual bukan hanya berbicara mengenai hormonal
dan laboratorium, namun juga prilaku, moralitas, etika, dan spiritual. Maka kalangan
ilmuan harus mengkajinya dengan disiplin ilmu yang lain pula. Pada titik ini,
filsafat dan teologi memiliki peran utama di dalamnya.
Dalam bukunya Psikologi Yang Sebenarnya, Heath menganalisa pandangan dari beberapa
ahli Psikologi dalam mengembangkan terapi psikologi klinis. Ia kemudian
mengutip terapi Glasser yang dikenal dengan sebutan Reality Therapy (terapi kenyataan). Seperti nama dari terapi ini,
fokus utama dari terapi ini adalah untuk mengajak orang hidup sesuai dengan
kenyataannya, bukan mimpi, bukan ilusi, bukan angan-angan, dan reaksi-reaksi
yang mengkambing-hitamkan orang lain atas keterpurukan dirinya.
Fakta-fakta bahwa penyebab LGBT
sebagian besar berasal dari faktor ekternal dalam relasi sosial (kecuali gangguan
hormonal yang mungkin dapat diatasi melalui terapi hormonal), merupakan suatu realitas
yang tidak dapat dihindari selain harus dihadapi dan diubah. Sebagaimana
faktor-faktor tersebut membentuk seseorang menjadi LGBT, memberikan gambaran bahwa
LGBT merupakan suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan pula.
Ada saat dimana mereka (LGBT) hidup normal, sampai suatu ketika mereka mengalami relasi yang keliru, sehingga lambat laun berubah menjadi seorang LGBT. Dengan kata lain
LGBT bukanlah bawaan gen, tetapi dampak dari suatu relasi sosial yang keliru. Terapi
kenyataan memberikan dorongan kepada para LGBT untuk berusaha keluar dari
tekanan masa lalu tersebut dengan menghadapinya, bukan menghindar, bukan mengkambing-hitamkan masa lalu, atau bukan
mencari pembenaran.
Kalangan LGBT yang ingin keluar dari
keterpurukan tersebut, harus mulai membenahi diri dengan berusaha keluar dari
keterikatan tersebut, mengenakan nilai-nilai baru yang bertanggung-jawab sesuai
dengan kenyataan gender heteroseksual, serta berusaha menemukan mentor, dan komunitas-komunitas
baru yang dapat mendukung selama melewati masa-masa sukar tersebut.
Meskipun hal tersebut baik, namun
menurut Heath, terdapat hal mendasar yang hilang dalam terapi tersebut, yaitu kesadaran
akan tanggung-jawab moral kepada Tuhan. Selain permasalahan moral, kaum LGBT
juga pada akhirnya juga memiliki permasalahan spiritual. Maka pembenahan tidak
hanya menyentuh segi klinis, etika, dan moral, namun juga segi
spiritualitasnya.
Selain belajar untuk mengenal
lingkungan, menerima kenyataan, dan menganalisa permasalahan, orang tersebut
juga harus memiliki kesadaran akan tanggung-jawabnya kepada Tuhan. Dengan
kesadaran demikian, orang-orang tersebut akan berjuang lebih keras untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik dihadapan manusia dan Tuhan.
Hal ini merupakan konsepsi integral antara
kajian teologis dan psikologi yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan yang
bertanggung-jawab kepada Tuhan. Pendekatan ini merupakan suatu pola pendekatan
yang cukup baik selama tidak terdapat sikap/reaksi yang diskriminatif dari para
konselor/mentor yang berbasis agamawan.
Pendekatan integratif antara teologi
dan psikologi sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan gambar diri kalum LGBT
yang rusak. Gambar diri yang rusak ini hanya dapat dijumpai dalam konsepsi
teologis yang mencerminkan citra Allah yang mulia pada manusia. Tentu konsepsi
demikian tidak dijumpai dalam sains modern yang memandang manusia dari sudut
evolusionis, maka pada titik ini, teologi menjangkau manusia dan meletakkannnya
pada tempat yang semestinya di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, hanya dihadapan
Tuhan lah kaum LGBT dapat menyadari bahwa mereka berharga, diterima, dikasihi, diampuni,
dan diubahkan.
Catatan.
(1) Penggunaan istilah LGBT secara umum
tidak selalu diterima dengan baik oleh komunitas internal mereka karena masih
terdapat perdebatan-perdebatan mendasar mengenai segi orientasi dari
masing-masing kelompok. Misalnya kaum Gay, Lesbian, dan Biseksual, lebih cendrung
kepada orientasi seksual, sementara kaum Transgender, lebih merujuk kepada
orientasi gender dan bukan seksual.
Belum
lagi perkembangannya yang pada akhirnya mengarah pada perihal politis,
nilai-nilai, dan kenderungan untuk mengangkat suatu budaya baru, sehingga
komunitas tersebut semakin terlihat sebagai “masyarakat di dalam masyarakat”
yang mencoba untuk membela hak-hak kelompoknya. Suatu fenomena yang bukan lagi
bersinggungan dengan permasalah seksual semata, namun telah bersinggungan
dengan sebagian besar isu sosial lainnya.
Kepustakaan.
A. Supratiknya, Mengenal
Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Kartini Kartono,
Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Bandung: Mandar
Maju, 1989).
Mario Beauregard dan Denise O’Leary, The
Spritual Brain [terj.]
(Jakarta: Obor, 2009).
W. Stanley Heath, Psikologi Yang
Sebenarnya (Yogyakarta: Andi, 1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar