Oleh : Yosep Belay.
“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,”
“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,”
(Matius 20:25-26)
“Yesus
Tidak Berpolitik Praktis, Tapi Yesus berpolitik etis”
(Prof.
Warsito Utomo)
Berbicara mengenai
politik berarti berbicara mengenai kekuasaan. Berbicara mengenai kekuasaan
berarti berbicara mengenai “Siapa” yang berkuasa. Dan berbicara mengenai
“Siapa” yang berkuasa berarti berbicara mengenai siapakah si “Siapa” itu
sehingga ia dapat dan layak berkuasa. Terdapat berbagai macam alasan mengapa
seseorang berkuasa, mulai dari SDM, kharisma, relasi, uang, ambisi, dll.
Hal-hal ini terlihat dengan jelas ketika kita memasuki masa-masa pesta
demokrasi. Segala macam cara dipergunakan untuk mencapai kursi kekuasaan. Mulai
dari cara-cara bijak; pemaparan program-program unggulan, hingga cara-cara
keji; fitnahan serta kampaye hitam. Di dalam konteks politik, kita nyaris tidak
dapat membedakan mana kawan—mana lawan, mana hitam—mana putih, mana
malaikat—mana setan, karena di dalam politik semua serba berubah, serba abu-abu,
tidak ada teman/seteru abadi, dan tentu saja tidak ada “partai malaikat vs partai
setan”, yang ada justru sebaliknya, “malaikat dan setan pun dapat dikoalisikan”
demi ambisi politis manusia.
Setidaknya seperti ungkapan salah
seorang guru besar Ilmu politik kemarin memberikan sedikit pencerahan bagi
kita. Kutipan kalimatnya kira-kira berbunyi demikian, “Indonesia ini tidak maju
karena oknum-oknum pejabat yang disumpah dibawah kitab suci itu tidak takut
Tuhan.” Suatu gambaran umum tentang keadaan politik bangsa ini yang nyaris dipenuhi
oleh para penjahat berdasi yang haus kekuasaan dan mata duitan. Jika agama dan
Tuhan saja sudah menjadi alat propaganda dan instrumen untuk mencapai tujuan
politik, maka siapakah yang mampu menghentikannya? Meskipun fakta ini tidak
mewakili pandangan universal mengenai kondisi politik di negeri ini, namun
setidaknya realitas gunung es yang sedang tampak dalam wajah perpolitikan saat
ini mengkonfirmasikan hal-hal tersebut. Lantas sebagai Anak-anak Tuhan
bagaimana seharunya kita menyikapi fenomena politik belakangan ini?
WACANA EKSEGETIKAL.
Dalam konteks iman Kristen, hubungan
antara politik dan kekristenan selalu mengalami pasang surut.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah umat Tuhan boleh terjun ke dunia politik
yang suram itu pun seringklai diperdebatkan. Akan tetapi perintah Tuhan untuk
menjadi terang dan garam dunia tentu saja tidak dibatasi dalam satu bidang,
karena perintah itu bersifat universal maka kita memahami bahwa sebagai umat
Tuhan, kita pun harus turut berpartisipasi dalam panggilan dan hak politik kita
sebagai warga negara. Dengan demikian, kita akan mampu membawa terang bagi
sistem-sistem dunia yang telah korup sehingga mengalami pencerahan dan
perubahan, secara khusunya bagi mereka yang terpanggil menjadi seorang Politisi.
Dalam ayat di atas Tuhan Yesus
memberikan satu pola dan gaya berpolitik yang sangat mengagumkan. Bukan dengan
pedang seperti Alexander agung, bukan dengan
kekerasan seperti Hitler dan para perintis Marxisme—Komunisme, bukan pula
dengan uang seperti para politikus zaman now, namun dengan melayani! Sekali
lagi, dengan gaya melayani. Suatu pola yang berbanding terbalik dengan semua
pola pendekatan politik di dunia ini. Tuhan Yesus mempraktekkan gaya politik
sungsang—politik etis! Politik etis berbicara mengenai dua hal mendasar yang
menjadi prinsipnya. Pertama, politik etis bukanlah politik praktis, karena
poltik etis tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan pencapaiannya akan tetapi
penekanan utama pada pelayanan kasih. Dalam politik etis, pelayanan humanisktik
merupakan tujuan utamanya. Penekanan ini terlihat dengan jelas dalam ayat di
atas, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu.” Di dalam kekristenan sekali lagi, kita dipanggil untuk mempraktikkan
gaya politik etis yang terbalik dengan dunia, “Siapa yang hendak menjadi
pemimpin, maka ia harus rela menjadi seorang pelayan”. Mengapa menjadi seorang
pemimpin harus mempraktekkan gaya seorang pelayan? Karena pemimpin yang
melayani adalah tipe dari seorang pemimpin yang tidak berpusat pada diri
sendiri, tetapi pada orang yang ia layani; Pemimpin yang melayani sudah pasti
menganggap orang yang dilayani adalah objek kasih maka mereka penting dan terutama;
Pemimpin yang melayani tidak akan memanfaatkan dan mengorbankan orang-orang
yang dia pimpin untuk kepentingannya; bahkan pemimpin yang melayani bersedia
berkorban bagi orang yang ia pimpin. Bukankah Tuhan Yesus juga menunjukan hal
yang sama bagi kita ketika Ia dengan sukarela meninggalkan kemuliaan-Nya di
Sorga demi melayani kita? Bukankah hal ini juga ditunjukan ketika Ia dengan
rendah hati mencuci kaki para murid-Nya? Konsep politik etis adalah gaya
berpolitik dengan hati nurani yang murni, untuk
itu di dalam konsep demikian tidak ada ruang bagi kemunafikan dan
kerakusan. Percaya atau tidak, praktik Politik etis akan menjadi dasar yang
kokoh bagi praktik politik praktis. Setidaknya, tidak ada rakyat yang rela
kehilangan seorang pemimpin yang dengan tulus melayani dan mengasihi mereka! Kecuali
bagi mereka yang memang bukan pemilih rasional (yang mungkin saja tergolong
pemilih “irasional”). Inilah ciri utama yang Tuhan Yesus kehendaki sebagai ciri
seorang politisi maupun pemimpin Kristen.
Kedua, politik etis merupakan politik
spiritual. Artinya, mempraktetkan konsep politik etis berarti mempraktekkan gaya
hidup kristiani yang dipertanggung-jawabkan secara langsung kepada Tuhan dalam
relasinya dengan penerapan politik praktis. Maka perhatikan, kekristenan tidak
pernah memisahkan secara dualisme antara politik dan spiritualitas. Semua
profesi dalam kehidupan umat Tuhan terkorelasi dengan Tuhan, tak terkecuali
dalam konteks politik. Hal ini merupakan prinsip dasar dari konsep teologi
reformasi—aspek teologis terkoneksi dengan aspek politis. Dengan demikian,
setiap umat Tuhan yang terjun ke dunia politik praktis harus memandang bidang
profesinya itu sebagai sebuah mandat budaya yang dipercayakan Tuhan pada
dirinya, dalam rangka memproklamirkan nilay-nilay kebenaran firman Tuhan untuk
memberkati masyarakat dan mempermuliakan Tuhan. Di sini kita melihat suatu
kebebanaran yang tak terpisahkan antara konsep berteologi dan konsep berpolitik.
Dengan kata lain, cara saudara berteologi akan sangat mempengaruhi cara-cara
berpolitik. Orang-orang yang meletakan konsep teologisnya dengan benar pada Tuhan
sebagai dasar pertanggung jawaban politik mereka, sudah pasti akan berjuang
untuk berdiri teguh dalam kebenaran-Nya dan tidak menyimpang pada kejahatan. Ini
merupakan kunci utama dari seorang Politikus Kristen yang sejati. Sebaliknya,
sekalipun Saudara memiliki sederet gelar dan bahkan gelar teologis sekalipun,
namun memiliki landasan yang bukan pada kebenaran firman Tuhan, maka sudah
pasti menyimpang. Suatu contoh buruk mengenai hal ini diperlihatkan beberapa
waktu lalu oleh seorang politikus muda bergelar Master teologi, yang juga
merupakan anak seorang Pendeta “besar”, namun harus tersandung kasus hoax dan
pencemaran nama baik. Sangat disayangkan. Penekanan penting ini perlu
diperhatikan dengan seksama, karena konsep teologis mempangaruhi konsep politik
kita, maka milikilah cara pandang teologis yang kokoh dalam kebenaran firman
Tuhan sebelum Saudara bertolak pada medan peperangan politik praktis. Intinya gaya
berpolitik etis dimulai dan dibangan dengan gaya teologi salib—Veritkal dan
Horisontal. Dimulai dari Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan, dengan aplikasi praktis
yang memberkati masyarakat dalam tindakan kasih yang konkret.
PENUTUP.
Politik merupakan suatu panggilan kodrati
umat manusia dalam kehidupan komunitas masyarakat, sebagai bentuk usaha
membangun peradaban manusia itu sendiri, namun karena manusia itu pun datang
dengan berbagai konsep, ideologi, wawasan dunia serta beragam kepentingan, maka
sebagai umat Tuhan, kita perlu meletakan dasar yang benar untuk membangun suatu
konsep berpolitik yang berlandaskan kebenaran firman Tuhan. Dari dua poin ini
kita melihat relevansi konsep politik etis sebagai suatu hal yang sangat
relevan bagi kondisi bangsa kita, dan praktik politik di mana pun. Suatu konsep
politik sungsang yang sudah dari jauh hari dinasehatkan Tuhan kepada
murid-murid-Nya. Politik etis adalah prinsip dasar dan seruan bagi kita untuk
mempraktekkan gaya berpolitik yang mempermuliakan Tuhan. Namun karena gaya
Politik Etis juga merupakan gaya berpolitik sungsang—suatu gaya politik anti
mainstrem—maka mintalah pimpinan dan kekuatan dari Tuhan selalu. Saya berdoa
semoga Saudara/i yang terpanggil untuk terjun dalam kancah Politik Praktis
senantiasa berpaut pada kebenaran firman Tuhan, dan semoga menjadi berkat bagi
Bangsa kita tercinta—Indonesia. Selamat melayani. Amin!
“Cara
Saudara berteologi akan mempengaruhi cara Saudara berpolitik.” (yb).
Salam!
___________
Sumber gambar : https://kumpulankhotbahalkitabiah.blogspot.com