Senin, 27 Maret 2017

YOUTH SERVICE : “Virus 4G Yang Melanda Generasi Post modern"




http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=14
        
“Virus 4G Yang Melanda Generasi Post modern"

(Nats: Kejadian 13:1-13)

            Para teolog membagi sejarah gereja ke dalam beberapa masa. Zaman keemasan—Para Rasul dan Bapa-bapa Gereja (+- 30 M – 500 M), Abad kegelapan (500 M - 1500 M), Abat Pertengahan (1500 M - 1700 M), Modern (1700 M – 1900 M) dan Post Modern (1900 M - Saat ini). Kita sekarang berada di era Post Modern. Suatu era yang dijuluki sebagai era digital. Era dimana berkat sekaligus kutuk menyatu dalam satu kemasan yang memikat dan mengikat generasi saat ini.

          Gambaran umum generasi digital di zaman postmodern saat ini, memiliki beberapa ciri yang mirip dengan kehidupan metropolis Kota Sodom dan Gomora (Baca : Kej. 13:1-13) Kisah klasik ini merupakan salah satu "nubuat" bagi keadaan manusia akhir zaman, dan generasi Gereja juga terlibat didalamnya. Kehidupan manusia post modern ditandai dengan symbol “4G” yang merupakan plesetan dari kuatnya jaringan internet yang mempengaruhi kehidupan generasi muda Gereja saat ini. Symbol ini sengaja penulis gunakan sebagai perwakilan perkembangan zaman dari era modern kepada postmodern. Apa dan bagaimana virus “4G” ini menyerang generasi muda gereja saat inI?

          Singkatan “4G” merupakan symbol dari empat unsur kebudayaan manusia post modern yaitu: Gaya—Gadget—Gelo—Godless. “Gaya” berhubungan dengan life style (Baca Yehezkiel 16:49-50). Life style manusia postmo, ditandai dengan tiga hal: (1). kecongkakan, (2). Makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup (Luk.12:19), (3). Tidak memiliki belas kasih (egois). Hidup hanya bagi diri sendiri. 
          Baru-baru ini, dalam sebuah postingan status yang diunggah oleh pengguna Facebook, Darra Muthiia Hennaart, Kamis (7/12) itu menceritakan kisah seorang bapak-bapak datang ke toko handphone membeli smartphone Android untuk anaknya. Demi membelikan keinginan anaknya , bapak – bapak itu membawa sekantong plastik berisi uang pecahan Rp 2.000an. Dalam pengakuan bapak – bapak itu, dia rela menabung uang recehan demi bisa membelikan anaknya yang masih SMP sebuah HP Android. Mirisnya ,  anaknya tak mau sekolah jika tak dibelikan smartphone yang sedang ngtrend saat ini.”[1] Contoh lain dari trend busana.  Generasi delapan puluhan akan memiliki tren busana yang berbeda dengan generasi dua ribuan. Ada yang mengarah ke tren kebarat-baratan, dengan moto makin minim makin gaul, dan juga sebaliknya makin panjang makin "menawan". Semua Tergantung komunitas mana seseorang bergaul. Begitu juga dengan gaya rambut (jambul katulistiwa, poni dora, AS Army, Punk Rock, dll), tas, sepatu, hingga mainan, semuanya memiliki perbedaan dan terus berkembang. Jika dahulu, permainan anak-anak lelaki terbuat dari kaleng bekas minuman, maka sekarang sudah serga digital—Gadget. Yang lebih menyedihkan, beberapa wanita menyiksa dirinya dengan diet ekstreme hanya demi untuk “menjaga penampilan”. Zaman ini seperti telah berhasil menjerat leher generasi muda, dan dipaksa untuk mengikuti life style yang sedang berkembang. Pergaulan selalu membuat anak muda kristiani mengalami tekanan sosial yang hebat, baik secara fisik maupun mental, karena dituntut oleh komunitas postmo untuk tampil sesuai dengan aturan main yang ada.

          “Gadget” berbicara mengenai perkembangan teknologi. (Luk. 17:28-29). Ciri kedua dari kehidupan manusia postmo adalah pemuja teknologi. Manusia postmo tidak dapat hidup tanpa teknologi. Mereka dapat hidup tanpa Tuhan namun tidak dapat hidup tanpa teknologi. Teknologi telah berubah dari “Pelayan” menjadi “Tuan”.
          Kemajuan teknologi bagaikan “berkat” sekaligus “Kutuk” bagi manusia. Hari ini kita dapat mengakses segala macam informasi—baik yang positif maupun yang negatif—di seluruh dunia hanya dengan satu cara, “KLIK”. Kita juga sudah dapat menyembuhkan orang dengan teknologi kedokteran yang paling canggih. Namun dengan teknologi yang sama juga kita dapat membunuh orang dengan mudah. Perang yang tiada akhir, ancaman nuklir, bom atom, senjata, radiasi kimia, dan polusi udara, iar serta tanah akibat industri, merupakan konsekwensi dari kemajuan teknologi yang dengan lapang dada, harus diterima sebagai kutuk bagi manusia.
          Beranjak ke hal yang lebih spesifik, terdapat fenomena yang lucu sekaligus tragis. Manusia yang menciptakan teknologi, kini justru diperbudak oleh teknologi. Perhatikan Handphone yang ada di tangan Saudara. Bagaimana kita memperlakukannya? Kita bekerja keras dan menabung untuk membeli yang tercanggih, terbaru, dan terkeren. Kita mengganti cassing dan membeli soft case yang terbaik, kita mengisi pulsa setiap bulan, kita membawanya kemanapun kita pergi, bahkan ketika di dalam toilet. Kita menatapnya dengan tidak bosan-bosan, kadang dengan senyuman, tawa, marah, dan sedih. Dia rusak, kita bersedih, bahkan mungkin hingga lupa makan dan mandi. Yang lebih memprihatinkan, tanpa sadar kita telah menjadikan dia sebagai pengganti Tuhan. Bahkan Tuhan pun tidak pernah kita perlakukan sespesial Handphone kita. Tanyalah pada diri sendiri, berapa lama waktu yang diberikan untuk berdoa, dengan berapa lama menggunakan Handphone.

           “G yang ketiga adalah “Gelo”. Gelo merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang berarti “gila”. Gelo dalam konteks ini berhubungan dengan filosofi hidup yang liar. “Liar” karena tidak ada standar benar dan salah yang mutlak (Baca : Kej. 19:4, 8b—kata “Pakai” dan “Perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik” adalah gambaran dari rusaknya moralitas manusia Post modern). Perihal Benar dan Salah tergantung kesepakatan bersama. Ini adalah filosofi hidup manusia Post modern (Bdk. kolose 2:8 ; 2 Tim. 4:3 ; Rm. 12:2). 
          Jumat, 26 Juni 2016, Mahkama Agung Amerika Serikat mengambil keputusan untuk menetapkan legalitas mengenai perkawinan sesama jenis di 50 negara bagian. Dan baru-baru ini, seorang Pendeta dipenjarakan karena menolak menikahkan pasangan Gay “Kristen”. Perhatikan bahwa apa yang dulu dianggap taboo, kini menjadi hal yang lumrah dan justru dianggap benar dan wajar. Contoh lainya yang sedang ramai adalah kasus e-KTP, korupsi berjamaat di beberapa instansi pemerintah, dan bahkan di instansi Kepolisian dan Mahkama Agung. Atau yang lebih kecil lagi adalah ketika pada saat ujian sekolah, Saudara bersepakat untuk mencontek masal, maka sebenarnya kita sedang membenarkan “kesalahan” menjadi “kebenaran” dengan persetujuan bersama. Apa yang salah, kini menjadi benar karena kesepakatan bersama. Inilah filosofi gelo di era post modern.

          Dan “G” yang terakhir adalah “Godless”. Godless berbicara mengenai ilah-ilah zaman yang nampak pada penyembahan diri dengan konsep hedonisme (Luk. 17:28-29). Di masyarakat post modern terdapat satu istilah, “We are the God’s”. Dalam ayat tersebut, tidak terdapat keterangan mengenai hubungan spiritual dengan Tuhan, sebaliknya yang ada hanya kesibukan untuk menikmati kenikmatan duniawi. Masyarakat postmodern juga demikain. Kesenangan menjadi tujuan hidup dan pencapaian tertinggi manusia postmodern (Bdk. dengan Kej. 19:9). Bahkan Tuhan juga dijadikan alat untuk mencapai kesenangan diri (tujuan mengikut Tuhan hanya berkat, dan berkat). Kesenangan diri telah menjadi tuhan bagi masyarakat Post modern.

          Gambaran sederhana ini telah menjadi perwakilan bagi isu krusial dimana generasi gereja saat ini seharusnya dibuat gelisah (sebagai tanda ketidak-nyamanan), karena jika tidak, maka sudah dapat dipastikan keadaan kita yang telah tergerus oleh arus postmo. Kritik ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk membatasi Saudara untuk menikmati apa yang pantas kita peroleh melalui jerih payah dan berkat Tuhan, namun kritik ini lebih mengarah kepada suatu usaha untuk melihat “dunia lain” di dalam dunia ini yang mengikat kita, namun tidak kita sadari.

            Bagaimana kita mengatasi hal tersebut? Kita dapat belajar dari Lot dan Rasul Paulus dalam dua hal, Berkomunitas dan Berkomitmen yang benar. Pertama, Berkomunitas yang benar (Kej. 12:4 ; 1 Kor. 15:13). Komunitas membentuk cara pandang kita terhadap Allah dan dunia. Salah satu survey mengatakan bahwa 90% anak-anak remaja yang bermasalah Karena mereka bertumbuh dan berinteraksi dalam komunitas yang bermasalah. Terapat dua komunitas yang dapat menolong kita untuk hidup benar, yaitu:   Berkomunitas dengan Allah (Mzm. 19:62), dan   Berkomunitas dengan saudara seiman (Mrm. 19:63 ; Ibr. 10:25). Kedua, Berkomitmen yang benar (Kol. 2:6-8). Komunitas membentuk cara pandang dan berprilaku, sedangkan komitmen yang teguh di dalam iman, memampukan kita untuk tetap bertahan di jalur Tuhan untuk membawa pengaruh positif bagi dunia yang korup.

Penutup.

          Kemajuan teknologi dan perkembangan budaya sesungguhnya merupakan anugerah Tuhan bagi manusia yang patut kita nikmati. Namun menikmati berkat Tuhan ini tidak lantas mengubah dan mengorbankan iman serta tujuan hidup kita dari Tuhan kepada Mamon. Mohonlah pimpinan Tuhan senantiasa, dan mulailah membatasi diri dari pengaruh negatif  teknologi yang dapat menjerumuskan kita dalam ikatan-ikatan mamon yang mematikan. Kiranya Tuhan menolong kita. Amin!

Salam,
yb.


                [1] Palingseru.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar