KRISTUS DAN KAUM LGBT
[Dialektika Sains, Etika dan Teologi Kristen]
[Dialektika Sains, Etika dan Teologi Kristen]
Oleh : Yosep Belay
Abstaksi.
Fenomena penyimpangan seksual
dalam masyarakt global kini semakin nampak secara eksplisit dalam beragam corak,
kegiatan, maupun komunitas. Hal-hal yang dahulu dipandang taboo, seiring
perkembangan dan penemuan-penemuan sains modern, perlahan kemudian mulai
diterima dalam masyarakat. Namun konfirmasi-konfirmasi sains modern yang
menjadi dasar pijakan kaum LGBT saat ini bukan tanpa hambatan. Suara perlawanan
yang lantang digemakan paling umum datang dari kalangan agamawan. Selain itu
konsekuensi etis serta dampak moral yang mengancam menjadi peringatan serius
bagi legalitas LGBT. Tulisan singkat ini secara umum menyajikan ragam sudut
pandang dari segi Sains, Etika, dan Teologi Kristen, serta mencoba memberikan
solusi praktis bagi kaum LGBT dari sudut pandang teologi Kristen.
Pendahuluan.
Perilaku seksual yang
menyimpang merupakan fenomena yang telah
hadir dalam kebudayaan manusia semenjak dahulu. Meski demikian, karena
penyimpangan seksual tersebut dipandang sebagai hal yang tabu dalam masyarakat,
maka sangsi yang keras kerap kali menyebabkan penyimpangan-penyimpangan
demikian jarang terdengar dan berkembang secara terbuka. Namun menjelang akhir
tahun 1990-an, komunitas tersebut memulai kiprah mereka dengan memperkenalkan
identitas diri melalui istilah LGBT.[1]
LGBT merupakan istilah yang merujuk pada komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender dalam mengaktualisasikan diri serta memperjuangkan hak-hak mereka, agar dapat diterima secara normal dalam kehidupan sosial masyarakat umum. Perjuangan ini kemudian membuahkan hasil ketika dikukuhkan keputusan oleh komisi HAM PBB pada tanggal 24 September 2014, menjadi “HAM yang universal” melalui serangkaian penelitian terhadap penemuan serta saran-saran dari lembaga Psikiatrik.
Perkembangan ini terus
mengarah pada dukungan penuh kepada kelompok LGBT. Salah satunya ketika
pemerintah Amerika Serikat melegitimasi perkawinan sejenis melalui keputusan
Mahkama Agung pada Jumat, 26 Juni 2015. Sementara di Indonesia beberapa
sumber menyebut bahwa fenomena LGBT
sudah dimulai pada dekade 60-an. Lalu, berkembang pada dekade 80-an, 90-an, dan
meledak pada era milenium saat ini sejalan dengan dukungan Internasional yang
mulai tampak.
Ledakan tersebut kemudian
memicu kontroversi hingga timbulnya perdebatan-perdebatan diantara pihak-pihak
yang pro maupun kontra (kalangan Agamawan dan Psikolog—Psikiatri), karena
secara tidak langsung, eksistensi kelompok tersebut merupakan antitesis dari
wawasan dunia religius yang telah diterima secara umum mengenai konsep
Heteroseksual manusia.
LGBT dari Sudut Pandang Sains
Perkembangan ilmu pengetahuan
memainkan peranan yang cukup krusial pada kehidupan manusia. Perkembangan ini,
pada akhirnya memberikan banyak masukan yang positif namun sekaligus negatif
melalui kajian-kajian neurosains. Hal ini di kemudian
hari berkembang pada penelitian mengenai penyimpangan perilaku seksual yang
dipandang memiliki hubungan erat dengan hormonal yang mepengaruhi kerja otak manusia, sehingga menyebabkan
penyimpangan-penyimpangan.
Ioanes Rakhmat yang mewakili pandangan sainstisme materialis mengemukakan pendapatnya dengan meminjam sejumlah penemuan dari para
ahli. Ia kemudian mengemukakan hal mendasar bahwa
kalangan pembenci LGBT (khusunya
kalangan Agamawan) tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga kesehatan yang diakui dunia dan
nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka sudah menemukan banyak bukti klinis lintas ilmu bahwa LGBT sama normalnya
dan sama sehatnya dengan heteroseksual.
Sikap tersebut merupakan
pernyataan yang bertolak dari pengkajian sains modern saat ini. Dalam
kajiannya, ia melanjutkan
dengan mengutip beberapa ahli neurosis yang menyakini bahwa terdapat semacam “gen
gay” yang juga memiliki eksistensi sendiri dalam pribadi manusia. Hipotesis ini
bukan hanya menjadi angin segar bagi kalangan LGBT, namun juga merupakan suatu bentuk
kritikan keras terhadap kalangan agamawan yang kontra terhadap penyimpangan
tersebut.
Beberapa sumber berita online yang mendukung penelitian
mengenai “gen gay” seperti theconversation.com dan hallosehat.com
juga menyatakan hal yang sejalan dengan asumsi Ioanes Rakhmat meskipun masih dengan penjelasan yang terbatas. Hipotesis ini terlihat melalui penelitian yang dikemukakan oleh LeVay. LeVay meneliti kesamaan
bentuk otak pria penyuka pria (gay) dengan wanita penyuka pria, dan
kesamaan ini juga ditemukan pada struktur otak dari wanita penyuka wanita
(lesbian) dengan pria penyuka wanita.
Kesamaan yang muncul itu menurutnya adalah salah satu ukuran sel pada hipotalamus yang berada pada otak (LeVay,
1991). Namun LeVay mengalami kebingungan dengan sebuah pertanyaan, “Apakah otak yang menentukan orientasi seksual
atau pengalaman seksuallah yang mempengaruhi konsepsi otak?”. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang masih
mejadi perdebatan di kalangan para saintis, karena meskipun memiliki kemiripan, namun penelitian ini masih prematur
untuk digunakan sebagai sebuah konklusi bagi tesis tentang adanya “gen gay”.
Sementara pihak yang kontra
terhadap pandangan populer dari kajian Ioanes Rakhmat ternyata juga banyak.
Fitri dan Julianti mengemukakan pendapat mereka dengan mengutip beberpa ahli
(Kaplan, Sadok, & Grabb, 1994; Davison & Neale, 2001) mengatakan bahwa
penyimpangan seksual serta gangguan identitas gender disebabkan oleh dua hal,
pertama dalah gangguan hormonal dan perkembangan psikososial pada seseorang.
Namun penekanan pada gangguan hormonal hingga kini masih merupakan permasalahan
yang diperdebatkan.
Kartini Kartono yang merupakan
salah satu Guru besar Psikologi juga menegaskan hal serupa. Ia mengemukan empat
hal penyebab penyimpangan seksualitas dan gender. Pertama, faktor herediter
berupa ketidak seimbangan hormon-hormon seks. Kedua, pengaruh lingkungan yang
tidak baik. Ketiga, petualangan homoseksual yang bertolak dari pengalaman
serupa. Keempat, pengalaman traumatis terhadap lawan jenis sehingga menimbulkan
hasrat pada sesama jenis.
Supratiknya juga mengungkapkan
alasan-asalan serupa. Faktor penyebab homoseksualitas bermacam-macam, mulai
dari kekurangan hormon lelaki pada masa pertumbuhan, mengalami pengalaman
homoseksual, pengalaman traumatis terhadap heteroseksual, dan faktor internal
lainnya seperti dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang didominasi oleh figur
Ibu yang dominan.
Dari penjabaran tersebut
secara sederhana dapat dilihat bahwa terdapat dua kubu yang saling kontra dalam
pandangan sains modern mengenai LGBT. Masing-masing memiliki argumentasinya
sendiri melalui serangkaian penelitian, metode serta presuposisinya.
Keterbatasan sains serta manusia sebagai pihak pengembangnya, serta
presaposisi-presaposisi yang seringkali ditunggangi oleh sentimen-sentimen
tertentu pada akhirnya tidak selalu seiya
sekata. Dalam konteks demikian
kebenaran teoritis dari kajian sains mengenai LGBT tidak menyediakan alternatif
yang pasti bagi komunitas LGBT selain hanya serangkaian keterangan-keterangan
yang kontroversial.
Konfrontasi Etis atas Asumsi Sains
Asumsi-asumsi sains tersebut dapat
kita uji secara kritis melalui beberapa cara, salah satunya dengan mengadakan
konfrontasi etis atas asumsi tersebut. Jika benar terdapat semacam
“gen gay”, maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita ajukan adalah apakah juga
ada “gen lesbian”, “gen biseksual”, “gen pedofilia”, “gen
inses”, “gen poligami”, dan “gen animal sex”? Atau lebih jauh, apakah juga ada gen-gen
penyimpangan seksual lainnya seperti yang sedang trend di Jepang saat ini,
menikah dengan boneka sex atau tokoh animasi? Pertanyaan ini akan menjadi
pertanyaan penting karena mengandung konsekwensi etis yang sulit diterima dalam
relasi sosial masyarakat global.
Misalnya, jika dijawab “Ya”,
terdapat gen-gen demikian. Maka secara alamiah penyimpangan-penyimpangan itu
bukanlah suatu yang abnormal melainkan normal, dengan demikian para pelaku
kejahatan seksual--pedofil misalnya--akan menggunakan argument “gen alamiah”
ini sebagai pembenaran suatu kasus seksual yang ia buat.
Tentu merupakan sesuatu yang berbahaya jika perilaku-perilaku
abnormal ini didukung oleh penafsiran sains yang keliru dan berkembang pada
pengesahan undang-undang suatu Negara. Bayangkan jika anak-anak kita menjadi bagian dari “rantai makanan”
kesesatan ilmiah tersebut?! Betapa mengerikan. Argumentasi ini tidak didasari atas sikap sentimen, namun semata-mata
merupakan konsekuensi logis dan etis dari suatu kebudayaan menyimpang yang
diterima dalam relasi sosial secra legal. Konsekuensi logis etis mengakibatkan
suatu dilema “bola salju” yang mematikan bagi eksistensi dan tatanan sosial,
hukum, etika, dan moralitas manusia.
Kemudian, penyelidikan
ilmiah dalam kasus LGBT juga menggunakan pendekatan pada serangkaian uji coba
yang dilakukan dengan beberapa jenis hewan. Pada beberapa kasus dijumpai bahwa
memang terdapat beberapa spesies yang melakukan hubungan sesama jenis. Kerangka
pemikiran ini yang kemudian sampai pada polarisasi yang diadopsi bagi
kasus-kasus LGBT manusia. Namun hal ini pun sangat tidak logis dan tidak
ilmiah. Menggunakan contoh kasus hewan dan menarik konklusi serta korelasinya
dengan kasus LGBT pada manusia merupakan suatu kesesatan ilmiah.
Argumentasi
ini dapat diuji secara sederhana dalam perbandingan praktik LGBT itu sendiri
pada manusia dan hewan. Tentu saja fenomena-fenomena hewan penyuka sesama jenis
harus dibatasi sampai di situ. Artinya, tidak ada contoh kasus hewan yang
melakukan kegiatan seksual secara “biseks” atau “pedofil” bukan? Maka contoh
kasus yang diangkat sebagai data analisa dan pembenaran bagi LGBT salah total.
Stuktur otak dan jadwal seks hewan pun dikendalikan oleh sebuah siklus yang
teratur, sementara manusia tidak. Bahkan untuk penyimpangan seksual LGBT justru
menujukan gejala yang berbeda seperti candu, agresif, dan beberapa kasus justru
berakhir pada tindakan kriminal yang sadis.
Sebaliknya,
jika hewan dijadikan sebagai data analisa ilmiah dan dapat diterapkan pada
pembenaran kasus-kasus LGBT seperti “pola hewan penyuka sesama
jenis”, maka bagaimanakah kita memahami pola hewan yang melakukan hubungan
seksual secara inses (aktivitas seksual sedarah)? Apakah pola-pola tersebut
juga dapat diterapkan kepada manusia? Tentu saja tidak. Sebaliknya, hewan-hewan itu
justru tidak pernah mempraktekkan penyimpangan-penyimpangan seksual yang over dosis seperti pada manusia (biseks,
pedofil, dan boneka/animasi seks). Hewan, meskipun tetap hewan tetapi mereka
lebih “manusia dari manusia”. Hal ini sekali lagi
menunjukan bahwa akurasi dari analisa ilmiah juga tidak selalu tepat, baik
secara metodologi maupun sisi etisnya.
Presuposisi
sains modern yang memandang manusia sebagai “hewan berpikir” yang berevolusi,
telah menyebabkan polarisasi pada kajian-kajian sains yang dianalisa dari
sample hewan. Pola-pola demikian bukan hanya merendahkan hakikat manusia namun
juga menjungkir balikkan etika sosial dalam tatanan komunal, karena mengandung semacam
filsafat yang mengendalikan asumsi-asumsi serta jawaban-jawaban yang
dihasilkan.
LGBT dari Sudut Pandang Iman Kristen
Pendekatakan iman Kristen tentu tidak
dapat dipisahkan dari sumber kebenaran yang dirujuk yang dalam hal ini adalah kitab
suci. Alkitab menjadi standar serta tolak ukur dalam pendekatan iman kristen
terhadap LGBT. Kebenaran yang dinyatakan oleh kitab suci menerangkan dengan
tegas bahwa penyimpangan-penyimpangan seksual demikian merupakan dampak dosa
yang melahirkan dosa. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat berikut,
Imamat 18:22, 20:13, Roma 1:24-27, 1 Korintus 6:9-10. Secara eksplisit,
pandangan Iman Kristen terhadap LGBT sudah sangat jelas, yaitu dengan menolak
penyimpangan tersebut.
Alasan penolakan biblikal terhadap
penyimpangan seksual kaum LGBT harus diperhatikan dengan seksama. Beberapa alasan menurut penulis
adalah, Pertama, karena Firman Tuhan menjelaskan bahwa penyimpangan seksual
tersebut merupakan suatu tindakan dosa (lihat ayat-ayat di atas). Kedua, karena
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk hidup bermoral yang bereproduksi
secara heteroseksual (Kej. 1:27-18). Ketiga, Penyimpangan tersebut merupakan
dampak kejatuhan manusia dalam dosa (Rom. 3:25), bukan karena adanya semacam
“gen gay”. Dosa menjadikan manusia diperbudak oleh keinginan-keinginan liarnya,
sehingga pemikiran yang tidak kudus tersebut kemudian berkembang dan terkonsep
dalam otak sebagai suatu prilaku dan gaya hidup yang menyimpang namun dianggap
wajar (bdk. dgn. analisa teori Psikososial di atas). Lantas bagaimana dengan
kelainan hormonal? Meskipun Alkitab tidak memberikan keterangan secara rinci
(tentu saja Alkitab bukan buku panduan sains) namun secara implisit hal ini
dinyatakan sebagai dampak dosa yang berakibat pada kerusakan, gangguan, sakit-penyakit,
dan bahkan kematian pada manusia (Kej. 3) yang di dalamnya juga memuat sejumlah
konsekuensi pada gangguan hormonal.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa meskipun
sikap tegas ditujukan kitab suci terhadap penyimpangan-penyimpangan seksualitas
yang merupakan tindakan dosa, namun anugerah dan kasih Tuhan tetap terulur bagi
pribadi penderitanya selama ia bertobat.
Hal ini sejalan dengan teladan Kristus dalam menjangkau mereka yang terhilang
(Bdk. dgn, Yoh. 8:1-11). Teladan ini memperjelas batasan mengenai penghukuman
terhadap dosa, dan pertobatan, pengampunan, serta penerimaan kasih Kristus terhadap
pendosa.
Titik Singgung Integratif Teologi dan Psikologi
Sains modern memang dibutuhkan untuk
menganalisa data-data dan fenomena-fenomena mengenai penyimpangan-penyimpangan
tersebut. Namun karena kasus-kasus penyimpangan seksual bukan hanya berbicara
mengenai persoalan hormonal dan laboratorium, namun juga perilaku, moralitas,
etika, dan spiritual. Maka kalangan ilmuan harus mengkajinya dari sudut pandang
disiplin ilmu yang lain pula. Pada titik ini, filsafat dan teologi memiliki
peran utama di dalamnya.
Dalam bukunya Psikologi Yang Sebenarnya, Heath
menganalisa pandangan dari beberapa ahli Psikologi dalam mengembangkan terapi
psikologi klinis. Ia kemudian mengutip terapi Glasser yang dikenal dengan
sebutan Reality Therapy (terapi
kenyataan). Seperti nama dari terapi ini, fokus utama dari terapi ini adalah
untuk mengajak orang hidup sesuai dengan kenyataannya, bukan mimpi, bukan
ilusi, bukan angan-angan, dan reaksi-reaksi yang mengkambing-hitamkan orang
lain atas keterpurukan dirinya.
Fakta-fakta bahwa penyebab
LGBT sebagian besar berasal dari faktor ekternal dalam relasi sosial (kecuali
gangguan hormonal yang mungkin dapat diatasi melalui terapi hormonal),
merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari selain harus dihadapi dan diubah. Sebagaimana faktor-faktor tertentu dapat membentuk seseorang menjadi LGBT, memberikan
gambaran bahwa LGBT merupakan suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan
pula.
Ada saat dimana mereka (LGBT) hidup normal, sampai suatu ketika mereka
mengalami relasi yang keliru, sehingga lambat laun berubah menjadi seorang LGBT. Dengan kata lain LGBT bukanlah bawaan gen,
tetapi dampak dari suatu relasi sosial yang keliru. Terapi kenyataan memberikan
dorongan kepada para LGBT untuk berusaha keluar dari tekanan masa lalu tersebut
dengan menghadapinya, bukan menghindar,
bukan mengkambing-hitamkan masa lalu dan orang lain, dan bukan pula mencari
pembenaran.
Kalangan LGBT yang ingin
keluar dari keterpurukan tersebut, harus mulai membenahi diri dengan berusaha
keluar dari keterikatan tersebut, mengenakan nilai-nilai baru yang
bertanggung-jawab sesuai dengan kenyataan gender heteroseksual, serta berusaha
menemukan mentor, dan komunitas-komunitas baru yang dapat mendukung selama
melewati masa-masa sukar tersebut.
Meskipun hal tersebut baik,
namun menurut Heath, terdapat hal mendasar yang hilang dalam terapi tersebut,
yaitu kesadaran akan tanggung-jawab moral kepada Tuhan. Selain permasalahan
moral, kaum LGBT juga pada akhirnya juga memiliki permasalahan spiritual. Maka
pembenahan tidak hanya menyentuh segi klinis, etika, dan moral, namun juga segi
spiritualitasnya.
Selain belajar untuk mengenal
lingkungan, menerima kenyataan, dan menganalisa permasalahan, orang tersebut
juga harus memiliki kesadaran akan tanggung-jawabnya kepada Tuhan. Dengan
kesadaran demikian, orang-orang tersebut akan berjuang lebih keras untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik dihadapan manusia dan Tuhan.
Hal ini merupakan konsepsi
integral antara kajian teologis dan psikologi yang kemudian dipraktekkan dalam
kehidupan yang bertanggung-jawab kepada Tuhan. Pendekatan ini merupakan suatu
pola pendekatan yang cukup baik selama tidak terdapat sikap/reaksi yang
diskriminatif dari para konselor/mentor yang berbasis agamawan.
Pendekatan integratif antara
teologi dan psikologi sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan gambar diri
kalum LGBT yang rusak. Gambar diri yang rusak ini hanya dapat dijumpai dalam
konsepsi teologis yang mencerminkan citra Allah yang mulia pada manusia. Tentu
konsepsi demikian tidak dijumpai dalam sains modern yang memandang manusia dari
sudut evolusionis, maka pada titik ini, teologi menjangkau manusia dan
meletakkannnya pada tempat yang semestinya di hadapan Tuhan.
Kristus Sebagai Jawaban Bagi Kaum LGBT
Selain hal-hal mendasar diatas, secara spesifik, gambaran konsep kristologis
dan soteriologis yang benar dapat menjadi jalan keluar yang tepat bagi kaum
LGBT. Ketika mencermati permasalahan ini dalam terang firman Tuhan, kaum LGBT
akan menyadari satu hal penting bahwa hanya di dalam Kristuslah, penerimaan
dalam kasih, serta penebusan dosa seksual mereka telah dibayar lunas oleh
Kristus. Penebusan Kristus bersifat final dan universal bagi semua dosa umat
manusia, termasuk dosa-dosa LGBT.
Di dalam Kristus, bukan hanya terdapat
jalan keluar, namun juga pemulihan, jaminan keselamatan serta masa depan yang
penuh dengan pengharapan bagi kaum LGBT. Di sisi lain, peran aktif gereja juga
sangat diperlukan. Gereja sebagai wadah yang mempresentasikan karya dan kasih
Kristus harus menempatkan diri pada posisi yang benar. Sikap dan teladan
Kristus, seharusnya juga diterapkan dalam kehidupan praktis umat Tuhan dalam
melakukan pendekatan bagi kalangan LGBT, sehingga penanganan akan penyimpangan
tersebut dapat direstorasi oleh suatu budaya dan gaya hidup yang baru—gaya
hidup kristiani.
Selain
umat Tuhan, tentu saja para aktifis dan konselor Kristen juga harus memiliki
pemahaman yang cukup, data yang memadai, dan sikap yang elegan dalam pendekatan
konseling mereka. Dengan pemahaman yang integratif antara teologi dan
psikologi, pelayanan konseling dapat memanfaatkan data-data serta metode
psikologi yang relevan dan alkitabiah dalam menangai permasalahan kaum LGBT
sehingga dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.
Penutup.
Pendekatan Kristosentris merupakan
penanganan yang paling unggul jika dibandingkan dengan pendekatan psikologi
sekuler, setidaknya karena dua alasan
utama; Pertama karena sudut pandang tentang manusia yang berbeda antara sains
(evolusionis) dan teologi Kristen (gambar dan citra Allah). Kedua, perihal
kebutuhan mendasar LGBT bukanlah “pembenaran” namun “pemulihan”. Dalam kajian
demikian, Kristus merupakan pusat dan jawaban dari kebutuhan mendasar kaum LGBT.
Hanya dengan penerimaan dan kasih Kristuslah (tanpa mengurangi makna dan dampak
dosa seksual), kaum LGBT dapat memperoleh pembaharuan hidup yang sesungguhnya,
dimana “Gambar diri” yang telah rusak tersebut, diperbaharui sesuai dengan rupa
dan gambar Allah dalam Kristus. Kiranya tulisan singkat ini dapat menjadi
berkat bagi jemaat Tuhan.
Dari penjabaran singkat ini kiranya
menjadi jelas bahwa LGBT bukanlah merupakan suatu gen bawaan yang normal
layaknya Heteroseksual. LGBT merupakan penyimpangan yang diakibatkan oleh dosa,
dengan serangkaian perkembangan perilaku yang berakar dalam perbuatan yang
terpola dalam suatu kebiasaan. Untuk itu penanganan akan penyimpangan ini harus
bersifat integratif antara teologi dan psikologi, meskipun penanganannya akan
kembali bermuara pada prinsip dasar Theosentris. Dalam penanganan demikian,
analisa klinis psikologi dapat menolong para konselor Kristen untuk melakukan
pendekatan klinis terhadap konseli, dan melakukan penanganan dengan pendekatan
teologis yang berpusat pada Kristus.
Kepustakaan.
Alkitab Terjemahan Baru (TB) (Jakarta:
LAI, 2008).
A. Supratiknya,
Mengenal Perilaku Abnormal
(Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Kartini Kartono,
Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Bandung: Mandar Maju, 1989).
Mario Beauregard
dan Denise O’Leary, The Spritual Brain [terj.] (Jakarta:
Obor, 2009).
W. Stanley Heath, Psikologi
Yang Sebenarnya (Yogyakarta: Andi, 1997).
[1]
Penggunaan istilah LGBT secara umum tidak selalu
diterima dengan baik oleh komunitas internal mereka karena masih terdapat
perdebatan-perdebatan mendasar mengenai segi orientasi dari masing-masing
kelompok. Misalnya kaum Gay, Lesbian, dan Biseksual, lebih cendrung kepada
orientasi seksual, sementara kaum Transgender, lebih merujuk kepada orientasi
gender dan bukan seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar