Menggugat: “Tuhan
Beranak, Siapa Bidannya?”
Oleh : Yosep Belay
http://revtrev.com/archive/why-did-jesus-call-himself... |
Pertanyaan yang menjadi judul di atas,
merupakan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tokoh agama
sebagai bentuk kritik terhadap konsep “Anak Allah” yang disandang Kristus. Sama
seperti ketidakpahaman kaum bidat, pertanyaan tersebut mungkin mewakili
sebagian besar pandangan kalangan agamawan “rasionalis” abat ini, yang entah
dengan sengaja maupun tidak merupakan suatu bentuk serangan terhadap Iman Kristen. Namun sayangnya, pertanyaan
retoris tersebut justru mengkonfirmasikan kedangkalan pemahaman mereka terhadap
Iman Kristen, khususnya konsep Kristologi.
Benarkah
Allah (Kristen) beranak?
Pernyataan
“Allah beranak” merupakan suatu bentuk pernyataan yang bertolak dari dua hal,
pertama kegagalan teologis (khususnya gramatikal) dalam konsep teologis, dan kedua
pendekatan rasionalitas yang salah tempat.
1.
Kekagalan Teologis.
Kegagalan untuk memahami konsep
teologi suatu keyakinan merupakan faktor terbesar dalam kegagalan studi
perbandingan agama. Hal ini menyebabkan kebanyakan para teolog dan orang awam selalu
menafsirkan suatu doktrin atau ajaran agama lain dengan menggunakan “kaca mata
kuda” yang subjektif. Yang paling menyedihkan terkadang mereka menganggap
dirinya lebih tahu dan paham akan ajaran agama lain, sehingga dengan mudahnya
mengeluarkan argumen-argumen yang tendensius dan sesat.
Penggunaan istilah seperti “Anak”,
“Bapa”, “Firman”, “Tritunggal”, dll, memang
tidak sempurna karena pada prinsipnya tidak ada bahasa manusia yang dengan
tepat dapat mendefinisikan natur kejamakan pribadi Allah (Allah = Elohim. Ibr.
memiliki makna jamak) serta relasi-Nya dengan Sang Firman secara sempurna.
Istilah-istilah tersebut hanya menggambarkan secara figuratif dalam pemaknaan
teologis, namun memiliki kecukupan dalam segi pewahyuan bagi manusia.
Adalah merupakan suatu kesesatan jika
kekristenan mengajarkan bahwa “Allah beranak” dalam pengertian yang harfiah,
sehingga Kristus adalah “Anak Allah”. Hal tersebut bukan hanya kesesatan, akan
tetapi lebih dari pada itu merupakan kekurang-ajaran dan dosa yang besar
terhadap Allah!. Gelar “Anak Allah” dalam konsep Iman Kristen merupakan suatu
gelar yang umum bagi Umat Allah, dimana gelar tersebut menggambarkan relasi kekeluargaan
yang intim dengan Allah (Kel. 4:22; Hos. 11:1; 2Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Namun
perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun Umat Tuhan hingga saat ini yang
memahami gelar “Anak Allah” tersebut dalam pengertian harfiah bahwa ia adalah
“anak biologis Allah”.
Bagaimana dengan Kristus? Berbeda
dengan Umat Allah dalam Perjanjian Lama dan Orang beriman dalam Perjanjian Baru
yang menyandang gelar “anak Allah”, Yesus Kristus sangat unik karena Ia disebut
sebagai ANAK TUNGGAL ALLAH (Yoh. 1:18, 3:16, 3:18; 1Yoh. 4:9). Perhatikan bahwa
bagi umat Allah, Alkitab menyebut mereka dengan sebutan “anak-anak Allah”,
namun dengan penekanan yang berbeda kepada Yesus Kristus, Alkitab bersaksi
bahwa Ia adalah “Anak Tunggal Allah”. Alkitab membedakan secara tegas antara
gelar sebagai “anak Allah” kepada Kristus dan Umat Tuhan. Umat Tuhan adalah
“anak-anak Allah” karena mereka percaya dan beriman kepada-Nya, akan tetapi
Kristus berbeda, Kristus adalah satu-satunya Anak Allah yang memang memiliki
hakikat Ilahi yang setara dengan Allah (Yoh. 1;1), karena Ia adalah Sang Logos
(Firman Allah) yang berasal dari Allah sendiri (Yoh. 8:42; Yes. 55:11).
Sederhananya, kita menjadi “anak
Allah” karena Iman, namun Kristus tidak, karena Ia adalah Sang Firman yang
adalah Allah sendiri. Analoginya demikian, ketika saya menuangkan ide pemikiran
saya ke dalam catatan, maka “Ide” yang dahulunya “bersama-sama” dengan saya,
kini telah tertuang “keluar” ke dalam suatu catatan (tentu saja analogi
tersebut tidak sempurna). Demikian juga Kristus. Ia yang adalah Firman Allah, yang
kini menjadi manusia. Namun berbeda
dengan suatu “ide” yang keluar kemudian menjadi catatan pada suatu benda mati, Kristus
dalam natur Ilahi-Nya sama sekali tidak mengurangi kekuasaan dan kedaulatan-Nya
ketika Inkarnasi, hanya saja Ia membatasi dalam ketaatan yang mengagumkan
kepada Bapa (Fil. 2: 6-8). Ia adalah Allah sejati dan Manusia sejati. Ia
memiliki sifat Allah, dan juga manusia secara bersamaan namun tidak berbaur.
Sebagai Allah, Ia TIDAK DILAHIRKAN, Ia kekal, namun sebagai manusia, Ia masuk
kedalam ruang dan waktu, 2000 tahun lalu (Ibr. 1:2). Hal ini merupakan suatu
paradoks dan suatu misteri Ilahi yang melampaui akal budi manusia yang memang
dinyatakan oleh Allah sendiri melalui kebenaran Firman-Nya dalam Alkitab.
Maka istilah “Anak Allah” tersebut merupakan
pemaknaan teologis dan bukan dalam pengertian biologis. Sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pemaknaan harfiah dan prinsip logis, seolah-olah karena
terdapat premis “Anak Allah” maka konsekwensi logis dari hal tersebut
mengakibatkan “Allah harus beranak”. Hal ini merupakan kesesatan dan kegagalan
pemahaman teologis, karena Iman kristen tidak pernah mengajarkan hal demikian,
bahkan menentang hal tersebut karena sesat!.
2. Rasionalis Salah Tempat.
Kalimat tanya
tentang “Kalau Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” merupakan kritikan yang
sarat akan pemaknaan rasional dan logis, namun salah tempat. Kekristenan yang
ortodoks akan mentertawakan kebodohan dari pernyataan demikian, karena tentu
saja hal tersebut jauh dari konsep Iman kristiani yang sesungguhnya. Analisa
rasional dan logis tidak selalu menjadi landasan yang valid dalam mencari
kebenaran dalam teks-teks kitab suci. Teks-teks Alkitab memiliki gendre dan
gaya bahasa yang beragam, maka dalam beberapa gaya bahasa tertentu, hal
tersebut tidak dapat terapkan dan diartikan secara harfiah.
Ketika saya mengatakan
bahwa “Allah adalah gunung batu dan kota benteng”, maka secara harfiah,
kalangan rasional-logis akan mencemooh pernyataan tersebut karena secara logis,
hal tersebut keliru dan sesat pikir, namun kalangan sastrawan yang mengerti
akan gendre sastra akan dengan mudah menangkap pesan dari pernyataan tersebut
sebagai suatu gambaran figuratif mengenai kekuatan Allah yang dasyat, dimana
tentu saja hal tersebut tidaklah keliru.
Seperti
contoh diatas, maka pernyataan “Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” yang
ditujukan bagi konsep Allah dan kristologi dalam teologi Kristen, merupakan
pernyataan yang gagal paham secara rasional (karena tentu saja Allah tidak beranak),
gagal paham secara gramatikal (karena gagal memahami gendre sastra Alkitab),
dan gagal paham secara teologis dalam konsep teologi Kristen (karena memahami
Kristus secara salah dimana Ia dipahami sebagai “Anak Allah” dalam pengertian harfiah
dan natural, seolah-olah Allah menikah dengan Ibu Maria dan menghasilkan Kristus
sebagai keturunan biologis-Nya).
Soli Deo
Gloria!.
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu
bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah”
(Yoh. 1:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar