Minggu, 26 Maret 2017

Wacana Kritik - III


Menggugat: “Tuhan Beranak, Siapa Bidannya?”
Oleh : Yosep Belay


http://revtrev.com/archive/why-did-jesus-call-himself...
          Pertanyaan yang menjadi judul di atas, merupakan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tokoh agama sebagai bentuk kritik terhadap konsep “Anak Allah” yang disandang Kristus. Sama seperti ketidakpahaman kaum bidat, pertanyaan tersebut mungkin mewakili sebagian besar pandangan kalangan agamawan “rasionalis” abat ini, yang entah dengan sengaja maupun tidak merupakan suatu bentuk serangan  terhadap Iman Kristen. Namun sayangnya, pertanyaan retoris tersebut justru mengkonfirmasikan kedangkalan pemahaman mereka terhadap Iman Kristen, khususnya konsep Kristologi. 

Benarkah Allah (Kristen) beranak?

          Pernyataan “Allah beranak” merupakan suatu bentuk pernyataan yang bertolak dari dua hal, pertama kegagalan teologis (khususnya gramatikal) dalam konsep teologis, dan kedua pendekatan rasionalitas yang salah tempat.

1. Kekagalan Teologis.

          Kegagalan untuk memahami konsep teologi suatu keyakinan merupakan faktor terbesar dalam kegagalan studi perbandingan agama. Hal ini menyebabkan kebanyakan para teolog dan orang awam selalu menafsirkan suatu doktrin atau ajaran agama lain dengan menggunakan “kaca mata kuda” yang subjektif. Yang paling menyedihkan terkadang mereka menganggap dirinya lebih tahu dan paham akan ajaran agama lain, sehingga dengan mudahnya mengeluarkan argumen-argumen yang tendensius dan sesat.
          Penggunaan istilah seperti “Anak”, “Bapa”, “Firman”, “Tritunggal”, dll,  memang tidak sempurna karena pada prinsipnya tidak ada bahasa manusia yang dengan tepat dapat mendefinisikan natur kejamakan pribadi Allah (Allah = Elohim. Ibr. memiliki makna jamak) serta relasi-Nya dengan Sang Firman secara sempurna. Istilah-istilah tersebut hanya menggambarkan secara figuratif dalam pemaknaan teologis, namun memiliki kecukupan dalam segi pewahyuan bagi manusia. 

          Adalah merupakan suatu kesesatan jika kekristenan mengajarkan bahwa “Allah beranak” dalam pengertian yang harfiah, sehingga Kristus adalah “Anak Allah”. Hal tersebut bukan hanya kesesatan, akan tetapi lebih dari pada itu merupakan kekurang-ajaran dan dosa yang besar terhadap Allah!. Gelar “Anak Allah” dalam konsep Iman Kristen merupakan suatu gelar yang umum bagi Umat Allah, dimana gelar tersebut menggambarkan relasi kekeluargaan yang intim dengan Allah (Kel. 4:22; Hos. 11:1; 2Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun Umat Tuhan hingga saat ini yang memahami gelar “Anak Allah” tersebut dalam pengertian harfiah bahwa ia adalah “anak biologis Allah”. 

          Bagaimana dengan Kristus? Berbeda dengan Umat Allah dalam Perjanjian Lama dan Orang beriman dalam Perjanjian Baru yang menyandang gelar “anak Allah”, Yesus Kristus sangat unik karena Ia disebut sebagai ANAK TUNGGAL ALLAH (Yoh. 1:18, 3:16, 3:18; 1Yoh. 4:9). Perhatikan bahwa bagi umat Allah, Alkitab menyebut mereka dengan sebutan “anak-anak Allah”, namun dengan penekanan yang berbeda kepada Yesus Kristus, Alkitab bersaksi bahwa Ia adalah “Anak Tunggal Allah”. Alkitab membedakan secara tegas antara gelar sebagai “anak Allah” kepada Kristus dan Umat Tuhan. Umat Tuhan adalah “anak-anak Allah” karena mereka percaya dan beriman kepada-Nya, akan tetapi Kristus berbeda, Kristus adalah satu-satunya Anak Allah yang memang memiliki hakikat Ilahi yang setara dengan Allah (Yoh. 1;1), karena Ia adalah Sang Logos (Firman Allah) yang berasal dari Allah sendiri (Yoh. 8:42; Yes. 55:11).

          Sederhananya, kita menjadi “anak Allah” karena Iman, namun Kristus tidak, karena Ia adalah Sang Firman yang adalah Allah sendiri. Analoginya demikian, ketika saya menuangkan ide pemikiran saya ke dalam catatan, maka “Ide” yang dahulunya “bersama-sama” dengan saya, kini telah tertuang “keluar” ke dalam suatu catatan (tentu saja analogi tersebut tidak sempurna). Demikian juga Kristus. Ia yang adalah Firman Allah, yang kini menjadi manusia.  Namun berbeda dengan suatu “ide” yang keluar kemudian menjadi catatan pada suatu benda mati, Kristus dalam natur Ilahi-Nya sama sekali tidak mengurangi kekuasaan dan kedaulatan-Nya ketika Inkarnasi, hanya saja Ia membatasi dalam ketaatan yang mengagumkan kepada Bapa (Fil. 2: 6-8). Ia adalah Allah sejati dan Manusia sejati. Ia memiliki sifat Allah, dan juga manusia secara bersamaan namun tidak berbaur. Sebagai Allah, Ia TIDAK DILAHIRKAN, Ia kekal, namun sebagai manusia, Ia masuk kedalam ruang dan waktu, 2000 tahun lalu (Ibr. 1:2). Hal ini merupakan suatu paradoks dan suatu misteri Ilahi yang melampaui akal budi manusia yang memang dinyatakan oleh Allah sendiri melalui kebenaran Firman-Nya dalam Alkitab.

          Maka istilah “Anak Allah” tersebut merupakan pemaknaan teologis dan bukan dalam pengertian biologis. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemaknaan harfiah dan prinsip logis, seolah-olah karena terdapat premis “Anak Allah” maka konsekwensi logis dari hal tersebut mengakibatkan “Allah harus beranak”. Hal ini merupakan kesesatan dan kegagalan pemahaman teologis, karena Iman kristen tidak pernah mengajarkan hal demikian, bahkan menentang hal tersebut karena sesat!. 

2. Rasionalis Salah Tempat.
 
          Kalimat tanya tentang “Kalau Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” merupakan kritikan yang sarat akan pemaknaan rasional dan logis, namun salah tempat. Kekristenan yang ortodoks akan mentertawakan kebodohan dari pernyataan demikian, karena tentu saja hal tersebut jauh dari konsep Iman kristiani yang sesungguhnya. Analisa rasional dan logis tidak selalu menjadi landasan yang valid dalam mencari kebenaran dalam teks-teks kitab suci. Teks-teks Alkitab memiliki gendre dan gaya bahasa yang beragam, maka dalam beberapa gaya bahasa tertentu, hal tersebut tidak dapat terapkan dan diartikan secara harfiah.
          Ketika saya mengatakan bahwa “Allah adalah gunung batu dan kota benteng”, maka secara harfiah, kalangan rasional-logis akan mencemooh pernyataan tersebut karena secara logis, hal tersebut keliru dan sesat pikir, namun kalangan sastrawan yang mengerti akan gendre sastra akan dengan mudah menangkap pesan dari pernyataan tersebut sebagai suatu gambaran figuratif mengenai kekuatan Allah yang dasyat, dimana tentu saja hal tersebut tidaklah keliru. 

          Seperti contoh diatas, maka pernyataan “Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” yang ditujukan bagi konsep Allah dan kristologi dalam teologi Kristen, merupakan pernyataan yang gagal paham secara rasional (karena tentu saja Allah tidak beranak), gagal paham secara gramatikal (karena gagal memahami gendre sastra Alkitab), dan gagal paham secara teologis dalam konsep teologi Kristen (karena memahami Kristus secara salah dimana Ia dipahami sebagai “Anak Allah” dalam pengertian harfiah dan natural, seolah-olah Allah menikah dengan Ibu Maria dan menghasilkan Kristus sebagai keturunan biologis-Nya).
          Soli Deo Gloria!.

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah”
(Yoh. 1:1).
         

           
                     
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar