Kamis, 29 November 2018

RENUNGAN : KEBEBALAN HATI

Amsal 26:11 (TB) Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya.

משלי 26:11 (WLC) כְּכֶלֶב שָׁב עַל־קֵאֹו כְּסִיל שֹׁונֶה בְאִוַּלְתֹּו׃
______

Kebebalan merupakan istilah yang digambarkan Alkitab untuk menunjukan suatu sikap penolakan terhadap hikmat dan didikan yang benar. Kebebalan juga menyebabkan sensivitas nurani manusia menjadi tumpul dan terbiasa dengan suatu pola hidup/kebiasaan buruk yang sulit diubah.

Penulis Amsal menganalogikan sikap kebebalan demikian dengan kebiasaan buruk anjing yang kembali ke muntahnya. Muntahan merupakan sesuatu yang menjijikan. Betapa lebih menjijikan ketika dimakan kembali oleh anjing. Kebebalan bagaikan rantai yang mengkang orang bebal untuk kembali ke "muntahnya". Meskipun hal-hal tersebut buruk, menjijikan, merugikan, dan bahakan suatu kejahatan namun bagi orang bebal hal itu menarik serta memikat hatinya sehingga matanya tidak dapat berpaling dari "muntahan" yang menjijikan itu. Kebebalan membelenggu hati dan pikirannya sehingga tidak ada nasihat dan didikan yang mampu menembus kupingnya.

Sebagai umat Tuhan kita pun tak luput dari kebebalan. Meskipun hanya dalam tingkatan yang ringan seperti tidak ingin dinasehati mengenai hal-hal sepele yang menyangkut kesehatan, kebersihan, dan disiplin-disiplin rohani lainnya. Namun kebebalan "kecil" yang dibiasakan akan menuntun kita pada kebebalan-kebebalan yang lebih besar dan serius. Yudas Iskariot menjadi binasa bukan ketika ia menerima uang suap dari ahli Taurat, tetapi ketika ia mulai membiasakan diri dengan kebebalan-kebebalan kecil pada saat menggerogoti uang kas. Para candu narkoba memumulai petualangan dengan menolak didikan dan mengijinkan kebebalan-kebebalan kecil hingga pada titik kritis mereka tidak lagi dapat keluar dari jerat. Inilah intinya. Maka membuka hati untuk menerima didikan dan teguran adalah cara terbaik untuk menjauhkan kita dari kebebalan. Teguran yang nyata adalah bentuk kasih yang sesungguhnya (Ams. 27:5), oleh sebab itu janganlah menghindar dari teguran dan didikan karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (Ibr. 12:6). Kiranya Roh Kudus membuka hati kita dan memampukan kita untuk menerima didikan dan hajaran Tuhan untuk memurnikan kita dari kebebalan. Amin! (yb)._

ISU APOLOGETIK : WHO MADE GOD?



“Siapa yang menciptakan Allah?”

Pernah mendengar pertanyaan mengenai “Siapakah yang menciptakan Allah?”. Pertanyaan ini merupakan salah satu dari beberapa pertanyaan favorit kalangan ateis untuk menggugat klaim Teisme. Menurut mereka (ateis), argumentasi hukum sebab-akibat yang digunakan sebagai dalil penciptaan (Causa prima Aristoletian) saharusnya digunakan secara konsisten juga bagi Allah. Itu sebabnya mereka kemudian mempertanyakan tesis kalangan Teisme sebagai berikut, “jika Allah menciptakan alam semesta, maka siapakah yang menciptakan Allah?”. 

          Pertanyaan demikian sesungguhnya merupakan pertanyaan yang keliru secara kategoris, setidaknya karena dua hal. Pertama, pertanyaan ini tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Mempertanyakan bahwa “Siapa yang menciptakan Allah” sama halnya dengan bertanya “Siapakah yang menciptakan pencipta?”. Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan blunder yang menyesatkan dan absurd karena tidak memiliki kejelasan titik pangkal serta makna. Jika ada pencipta yang ternyata juga dicipta, maka tidak ada pencipta yang layak disebut sebagai pencipta karena semua dicipta. Kata “ciptaan” dan “pencipta” tidak memiliki makna apapun dalam kalimat demikian. 

          Kedua, Allah tidak diciptakan. Ia telah ada dan selalu ada. Satu-satunya eksistensi yang memiliki kemutlakan eksistensi hanyalah Allah, Ia kekal dan tidak bergantung kepada siapa pun, itu sebabnya Ia tidak memerlukan pencipta. Hanya hal-hal yang memiliki awal seperti alam semesta yang memerlukan pencipta, sementara Allah tidak memiliki permulaan semacam itu maka Ia tidak dicipta dan memerlukan pencipta.

          Apabila Allah yang ada adalah Allah yang tidak memiliki permulaan, maka sangat tidak masuk akal untuk bertanya “Siapakah yang menciptakan Allah?”. Ini merupakan pertanyaan yang keliru secara logika. Pertanyaan demikian sama halnya dengan bertanya, “Siapakah yang menciptakan yang Tidak Diciptakan?” atau sama seperti kita bertanya, “Siapakah istri pria lajang itu?”.[1]



            [1] Diedit seperlunya dari argumentasi Norman L Geisler, Who Made God? [Siapa Yang Menciptakan Allah]: Jawaban-jawaban untuk Pertanyaan Sulit tentang Iman (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 21.

Senin, 26 November 2018

RENUNGAN : KEAGUNGAN KRISTUS SANG FIRMAN.



PRA NATAL : KEAGUNGAN KRISTUS SANG FIRMAN.

ν ρχ ν Λόγος, κα Λόγος ν πρς τν Θεόν, κα Θες ν Λόγος . ... Κα Λόγος   σρξ  γένετο κα σκήνωσεν  ν  μν, (ωάννης 1:1, 14).

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. ...Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,” (Yoh. 1:1, 14)

_________

          Isu kristologi sudah menjadi salah satu trending topik dalam diskusi teologis semenjak kehadiran dan pelayanan Kristus di dunia. Tidak ada tokoh di dunia ini yang paling terkenal, kontroversial, mengubah hidup jutaan manusia, serta diperdebatkan lebih dari dua millenium selain Yesus Kristus. Ia membuat ahli Taurat dan orang Farisi bertanya, “Siapakah Dia ini?” (Luk. 7:49), para Murid-Nya pun bertanya, “Siapakah gerangan Orang ini?” (Mrk. 4:41), Masyarakat umum juga ada yang menyebutnya sebagai, “Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi." (Mat. 16:14), namun lucunya Iblis tahu Siapa Dia, dan bahkan sujud menyembah di hadapan Yesus, “Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya, dan dengan keras ia berteriak: "Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!" (Mrk. 5:6-7). Lantas Siapakah Dia menurut Anda?

          Di jaman modern saat ini pun Pribadi Kristus masih saja diperdebatkan. Ada yang menganggap Ia sebagai tokoh moral, sang revolusioner dari Yudaisme, ada yang menganggap Ia Nabi, dll. Berbeda dengan anggapan orang luar mengenai Dia, CS Lewis bahkan membuat tiga pilihan radikal. Lewis mengatakan, jika Kristus bukan Tuhan, maka pasti Ia hanyalah orang gila yang tidak pantas dipercayai. Tidak ada tempat bagi keyakianan bahwa “Ia adalah seorang Nabi atau Moralis” karena seorang Nabi dan Moralis tidak akan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang hanya patut Allah nyatakan (mengampuni dosa, menerima peyembahan, memliki eksistensi kekal), seperti yang dikatakan oleh Kristus. Seorang Nabi dan Moralis yang benar tidak akan mengungkapkan suatu kebohongan karena bertentangan dengan nurani dan panggilan mereka. Klaim ini yang membuat Lewis mampu meletakan pondasi apologetik yang kokoh bagi konsep kristologi modern.

          Meski demikian, kontroversi itu akan tetap terus ada sampai Ia datang ke dua kalinya. Dalam konflik kristologi demikian sebagai umat Tuhan kita dituntut untuk mempertanggung-jawabkan apa yang kita yakini terutama mengenai Pribadi dan karya Kristus. Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan satu pernyataan Kristologi yang sempurna, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Tulisan Rasul Yohanes dilatar belakangi oleh konflik kristologi yang serius, maka Injilnya memberikan jawaban untuk melengkapi ketiga Injil lain bagi umat Tuhan pada saat itu dari perspektif “Kristologi tinggi”. Seperti halnya kita yang hidup di zaman yang skeptis serta sebagai persiapan masa pra Natal Kristus, ayat pertama dari Injil Yohanes menyatakan kebenaran kristologis yang menganggumkan. 

          Kebenaran mengenai keagungan Kristus pra inkarnasi, kasih-Nya kepada Saudara dan saya, dan kebenaran bahwa betapa keberdosaan kita sebagai manusia telah berdampak pada kematian kekal yang kemudian “memaksa” Kristus untuk datang ke dalam dunia bagi keselamatan kita. Kebenaran-kebenaran ini merupakan penyataan wahyu Allah yang sangat agung. Beragam agama-agama yang berkembang dalam kebudayaan manusia memiliki banyak kosep mengenai Allah yang penuh kasih dan pengampunan, namun satu hal terpenting yang kita perlu tahu bahwa hanya di dalam kekristenan lah Allah yang penuh kasih itu menyatakan kasih-Nya dengan bersedia berkorban bagi ciptaan-Nya yang bejat. Itulah Kristus, Sang Firman, Tuhan dan Juruselamat kita. Tidak ada konsep Allah yang penuh kasih dan rela berkorban sedemikian rupa dalam agama mana pun selain di dalam kekristenan.  

          Kebenaran ini juga secara tegas mengingatkan kita bahwa momentum Natal tidak hanya berfokus pada berita sukacita akan kedatangan Sang Penebus, namun juga berita dukacita mengenai kesadaran  dan konsekuensi dosa kita yang dipaku pada salib Kristus, sekaligus momentum refleksi pertobatan bagi kita. Natal secara paradoksal menyatakan kasih sekaligus penghukuman Allah yang digenapi melalui Kristus Yesus, Tuhan kita. Jika Saudara merasa bahwa kehidupan Saudara telah sempurna tanpa dosa dan pelanggaran, maka berita sukacita Natal ini tentu bukanlah untuk Anda, namun sebaliknya, jika kehidupan Saudara penuh dosa dan pelanggaran maka datanglah kepada-Nya karena, “Aku (Yesus Kristus) datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Mrk. 2:17). Selamat memasuki masa pra natal Kristus. (yb).

Kamis, 22 November 2018

RENUNGAN : KACA MATA KUDA



Nas     :   Amsal 16:2, Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. (TB)

_________

Pemikiran manusia selalu bertolak dari cara pandang pribadinya mengenai suatu hal, dan dengan cara pandangnya itu ia menentukan mana yang baik bagi langkah hidupnya. Dalam kajian filsafat cara pandang demikian dikenal dengan istilah “wawasan dunia”. Kita masing-masing memiliki semacam wawasan dunia yang membentuk cara berpikir, cara berperilaku, dan cara kita mengambil keputusan. Wawasan dunia yang beragam ini pula yang menyebabkan masing-masing orang memiliki nilai-nilai berbeda dalam hidupnya. Misalnya, ada yang menganggap berbohong itu dosa, namun jika dilakukan dalam situasi dan alasan tertentu maka hal itu dapat dibenarkan. Keterbatasan-keterbatasan wawasan dunia tersebut yang menyebabkan kita masing-masing tanpa sadar seringkali melakukan pembenaran-pembenaran pada tindakan kita. Bahanya jika pembenaran demikian diterapkan pada satu tindakan kejahatan.

          Amsal dalam bacaan di atas menyoroti kecenderungan sesat dari wawasan dunia kita yang menyimpang. Meskipun kita memiliki pertimbangan masing-masing dan memiliki penilaian terhadap suatu hal yang kita lakukan, betapa pun benar hal tersebut, namun perlu diuji kembali dalam terang kebenaran firman Tuhan. Keterbatasan kita menyebabkan setiap keputusan yang dibuat tidak selalu benar di hadapan Tuhan, meskipun hal itu “benar” menurut kita. Hal penting yang perlu kita pahami adalah realitas kebenaran bersifat tunggal, yaitu kebenaran Allah. Apa yang salah/dosa bagi Allah tidak pernah menjadi benar dalam situasi tertentu  dengan alasan apa pun seperti pertimbangan manusia. Tidak ada kebenaran “abu-abu” dalam kebenaran Allah. Itu sebabnya, Amsal memperingatkan kita untuk berhati-hati terhadap setiap keputusan-keputusan yang dibuat, karena apa yang benar menurut kita bisa jadi keliru menurut Tuhan.

           “Kaca mata kuda” kita yang terlihat selalu benar dan membenarkan pemahaman pribadi sering kali sesat karena dikendalikan oleh nafsu dan keinginan. Hal ini juga yang menyebabkan setiap motivasi (bahkan dalam dunia pelayanan) selalu menyimpang dan berorientasi pada kesenangan diri dan egosentirs. Kaca mata kuda ini perlu diganti dengan kaca mata kebenaran firman Tuhan karena “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Kebenaran firman Tuhan bukan hanya merupakan alat uji yang sempurna, namun juga terang yang menerangi kegelapan pikiran, hati, serta motif-motif tersebulung kita. Ini merupakan prinsip hidup, berpikir dan berperilaku seorang kristiani yang berpusat pada Allah. Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita mengganti kaca mata kuda itu? Kiranya Roh Kudus mencerahkan akal budi kita. Amin. (yb).__

Senin, 19 November 2018

STUDI INTEGRATIF : LGBT--Dialektika Sains, Etika dan Teologi.

Perilaku seksual yang menyimpang merupakan fenomena  yang telah hadir dalam kebudayaan manusia semenjak dahulu. Meski demikian, karena penyimpangan seksual tersebut dipandang sebagai hal yang tabu dalam masyarakat, maka sangsi yang keras kerap kali menyebabkan penyimpangan-penyimpangan demikian jarang terdengar dan berkembang secara terbuka. Namun menjelang akhir tahun 1990-an, komunitas tersebut memulai kiprah mereka dengan memperkenalkan identitas diri melalui istilah LGBT(1).

LGBT merupakan istilah yang mewakili aspirasi dari k
omunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender dalam memperjuangkan hak-hak mereka agar dapat diterima secara normal dalam kehidupan sosial masyarakat umum. Perjuangan ini kemudian membuahkan hasil ketika dikukuhkan keputusan oleh komisi HAM PBB pada tanggal 24 September 2014, menjadi “HAM yang universal” melalui serangkaian penelitian terhadap penemuan serta saran-saran dari lembaga Psikiatrik.

Perkembangan ini terus mengarah pada dukungan penuh kepada kelompok LGBT. Salah satunya ketika pemerintah Amerika Serikat melegitimasi perkawinan sejenis melalui keputusan Mahkama Agung pada Jumat, 26 Juni 2015. Sementara di Indonesia beberapa sumber  menyebut bahwa fenomena LGBT sudah dimulai pada dekade 60-an. Lalu, berkembang pada dekade 80-an, 90-an, dan meledak pada era milenium saat ini sejalan dengan dukungan Internasional yang mulai tampak.

Ledakan tersebut kemudian memicu kontroversi hingga timbulnya perdebatan-perdebatan diantara pihak-pihak yang pro maupun kontra (kalangan Agamawan dan Psikolog—Psikiatri), karena secara tidak langsung, eksistensi kelompok tersebut merupakan antitesis dari wawasan dunia religius yang telah diterima secara umum mengenai konsep Heteroseksual manusia.

LGBT dari Sudut Pandang Sains

Perkembangan ilmu pengetahuan memainkan peranan yang cukup krusial pada kehidupan manusia. Perkembangan ini, pada akhirnya memberikan banyak masukan yang positif namun sekaligus negatif melalui kajian-kajian neurosains. Hal ini di kemudian hari berkembang pada penelitian mengenai penyimpangan perilaku seksual yang dipandang memiliki hubungan erat dengan hormonal yang mepengaruhi kerja otak manusia, sehingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan.

Ioanes Rakhmat yang mewakili pandangan sainstisme materialis mengemukakan pendapatnya dengan meminjam sejumlah penemuan dari para ahli. Ia kemudian mengemukakan hal mendasar bahwa kalangan pembenci LGBT (khusunya kalangan Agamawan) tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga kesehatan yang diakui dunia dan nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka sudah menemukan banyak bukti  klinis lintas ilmu bahwa LGBT sama normalnya dan sama sehatnya dengan heteroseksual.
Sikap tersebut merupakan pernyataan yang bertolak dari pengkajian sains modern saat ini. Dalam kajiannya, ia melanjutkan dengan mengutip beberapa ahli neurosis yang menyakini bahwa terdapat semacam “gen gay” yang juga memiliki eksistensi sendiri dalam pribadi manusia. Hipotesis ini bukan hanya menjadi angin segar bagi kalangan LGBT, namun juga merupakan suatu bentuk kritikan keras terhadap kalangan agamawan yang kontra terhadap penyimpangan tersebut.
Beberapa sumber yang mendukung penelitian mengenai “gen gay” juga menyatakan hal yang sejalan dengan Ioanes Rakhmat (Lihat di sini: https://theconversation.com/born-this-way-an-evolutionary-view-of-gay-genes-26051 dan di sini, https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/penyebab-gay-genetik-dan-trauma/) meskipun masih dengan penjelasan yang mengambang. Hipotesis ini terlihat melalui penelitian yang dikemukakan oleh LeVay.  LeVay meneliti  kesamaan bentuk otak pria penyuka pria (gay) dengan wanita penyuka pria, dan kesamaan ini juga ditemukan pada struktur otak dari wanita penyuka wanita (lesbian) dengan pria penyuka wanita. 

Kesamaan yang muncul itu menurutnya adalah salah satu ukuran sel pada hipotalamus yang berada pada otak (LeVay, 1991). Namun LeVay mengalami kebingungan dengan sebuah pertanyaan, “Apakah otak yang menentukan orientasi seksual atau pengalaman seksuallah yang mempengaruhi konsepsi otak?”. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang masih mejadi perdebatan di kalangan para saintis, karena meskipun memiliki kemiripan, namun penelitian ini prematur untuk digunakan sebagai sebuah konklusi bagi tesis adanya “gen gay”.

Sementara pihak yang kontra terhadap pandangan populer dari kajian Ioanes Rakhmat ternyata juga banyak. Fitri dan Julianti mengemukakan pendapat mereka dengan mengutip beberpa ahli (Kaplan, Sadok, & Grabb, 1994; Davison & Neale, 2001) mengatakan bahwa penyimpangan seksual serta gangguan identitas gender disebabkan oleh dua hal, pertama dalah gangguan hormonal dan perkembangan psikososial pada seseorang. Namun penekanan pada gangguan hormonal hingga kini masih merupakan permasalahan yang diperdebatkan.

Kartini Kartono yang merupakan salah satu Guru besar Psikologi juga menegaskan hal serupa. Ia mengemukan empat hal penyebab penyimpangan seksualitas dan gender. Pertama, faktor herediter berupa ketidak seimbangan hormon-hormon seks. Kedua, pengaruh lingkungan yang tidak baik. Ketiga, petualangan homoseksual yang bertolak dari pengalaman serupa. Keempat, pengalaman traumatis terhadap lawan jenis sehingga menimbulkan hasrat pada sesama jenis.

Supratiknya juga mengungkapkan alasan-asalan serupa. Faktor penyebab homoseksualitas bermacam-macam, mulai dari kekurangan hormon lelaki pada masa pertumbuhan, mengalami pengalaman homoseksual, pengalaman traumatis terhadap heteroseksual, dan faktor internal lainnya seperti dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang didominasi oleh figur Ibu yang dominan.

Dari penjabaran tersebut secara sederhana dapat dilihat bahwa terdapat dua kubu yang saling kontra dalam pandangan sains modern mengenai LGBT. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri melalui serangkaian penelitian, metode serta presuposisinya.

Keterbatasan sains serta manusia sebagai pihak pengembangnya, serta presaposisi-presaposisi yang seringkali ditunggangi oleh sentiment-sentimen tertentu pada akhirnya tidak selalu “seiya sekata”.Dalam konteks demikian kebenaran teoritis dari kajian sains mengenai LGBT tidak menyediakan alternatif yang pasti bagi komunitas LGBT selain hanya serangkaian keterangan-keterangan yang kontroversial.

Konfrontasi Etis atas Asumsi Sains

Jika benar terdapat semacam “gen gay”, maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita ajukan adalah apakah juga ada “gen lesbian”, “gen biseks”, “gen pedofilia”, “gen inses”, dan “gen animal sex”?  Atau lebih jauh, apakah juga ada gen-gen penyimpangan seksual lainnya seperti yang sedang trend di Jepang saat ini, menikah dengan boneka sex atau tokoh animasi? Pertanyaan ini akan menjadi pertanyaan penting karena mengandung konsekwensi etis yang sulit diterima dalam relasi sosial masyarakat global.

Misalnya, jika dijawab “Ya”, terdapat gen-gen demikian. Maka secara alamiah penyimpangan-penyimpangan itu bukanlah suatu yang abnormal melainkan normal, dengan demikian para pelaku kejahatan seksual--pedofil misalnya--akan menggunakan argument “gen alamiah” ini sebagai pembenaran suatu kasus seksual yang ia buat. Mungkin dengan santai mereka akan menjawab, “Saya kan dilahirkan dengan gen pedofil, so what?”

Bayangkan jika perilaku-perilaku abnormal ini didukung oleh penafsiran sains yang keliru dan berkembang pada pengesahan undang-undang suatu Negara? Bayangkan jika anak-anak kita menjadi bagian dari “rantai makanan” kesesatan ilmiah tersebut?! Betapa mengerikan. Argumentasi ini tidak didasari atas sikap sentimen, namun semata-mata merupakan konsekwensi logis dan etis dari suatu kebudayaan menyimpang yang diterima dalam relasi sosial.  

Penyelidikan ilmiah dalam kasus LGBT juga menggunakan pendekatan pada serangkaian uji coba yang dilakukan dengan beberapa jenis hewan. Pada beberapa kasus dijumpai bahwa memang terdapat beberapa spesies yang melakukan hubungan sesama jenis. Kerangka pemikiran ini yang kemudian sampai pada polarisasi yang diadopsi bagi kasus-kasus LGBT manusia. Namun hal ini pun sangat tidak logis dan tidak ilmiah. Menggunakan contoh kasus hewan dan menarik konklusi serta korelasinya dengan kasus LGBT pada manusia merupakan suatu kesesatan ilmiah.

Argumentasi ini dapat diuji secara sederhana dalam perbandingan praktik LGBT itu sendiri pada manusia dan hewan. Tentu saja fenomena-fenomena hewan penyuka sesama jenis harus dibatasi sampai di situ. Artinya, tidak ada contoh kasus hewan yang melakukan kegiatan seksual secara “biseks” atau “pedofil” bukan? Maka contoh kasus yang diangkat sebagai data analisa dan pembenaran bagi LGBT salah total. Stuktur otak dan jadwal seks hewan pun dikendalikan oleh sebuah siklus yang teratur, sementara manusia tidak. Bahkan untuk penyimpangan seksual LGBT justru menujukan gejala yang berbeda seperti candu, agresif, dan beberapa kasus justru berakhir pada tindakan kriminal yang sadis.

Sebaliknya, jika hewan dijadikan sebagai data analisa ilmiah dan dapat diterapkan pada pembenaran kasus-kasus LGBT seperti “pola hewan penyuka sesama jenis”, maka bagaimanakah kita memahami pola hewan yang melakukan hubungan seksual secara inses (aktivitas seksual sedarah)? Apakah pola-pola tersebut juga dapat diterapkan kepada manusia? Tentu saja tidak bukan? Hal ini sekali lagi menunjukan bahwa akurasi dari analisa ilmiah juga tidak selalu tepat, baik secara metodologi maupun etis.

Presuposisi sains modern yang memandang manusia sebagai “hewan berpikir” yang berevolusi, telah menyebabkan polarisasi pada kajian-kajian sains yang dianalisa dari sample hewan. Pola-pola demikian bukan hanya merendahkan hakikat manusia namun juga menjungkir balikkan etika sosial dalam tatanankomunal manusia.

Sebuah Jawaban Integratif Teologi—Psikologi

Sains modern memang dibutuhkan untuk menganalisa data-data dan fenomena-fenomena mengenai penyimpangan-penyimpangan tersebut. Namun karena kasus-kasus penyimpangan seksual bukan hanya berbicara mengenai hormonal dan laboratorium, namun juga prilaku, moralitas, etika, dan spiritual. Maka kalangan ilmuan harus mengkajinya dengan disiplin ilmu yang lain pula. Pada titik ini, filsafat dan teologi memiliki peran utama di dalamnya.

Dalam bukunya Psikologi Yang Sebenarnya, Heath menganalisa pandangan dari beberapa ahli Psikologi dalam mengembangkan terapi psikologi klinis. Ia kemudian mengutip terapi Glasser yang dikenal dengan sebutan Reality Therapy (terapi kenyataan). Seperti nama dari terapi ini, fokus utama dari terapi ini adalah untuk mengajak orang hidup sesuai dengan kenyataannya, bukan mimpi, bukan ilusi, bukan angan-angan, dan reaksi-reaksi yang mengkambing-hitamkan orang lain atas keterpurukan dirinya.

Fakta-fakta bahwa penyebab LGBT sebagian besar berasal dari faktor ekternal dalam relasi sosial (kecuali gangguan hormonal yang mungkin dapat diatasi melalui terapi hormonal), merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari selain harus dihadapi dan diubah. Sebagaimana faktor-faktor tersebut membentuk seseorang menjadi LGBT, memberikan gambaran bahwa LGBT merupakan suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan pula.

Ada saat dimana mereka (LGBT) hidup normal, sampai suatu ketika mereka mengalami relasi yang keliru, sehingga lambat laun berubah menjadi seorang LGBT. Dengan kata lain LGBT bukanlah bawaan gen, tetapi dampak dari suatu relasi sosial yang keliru. Terapi kenyataan memberikan dorongan kepada para LGBT untuk berusaha keluar dari tekanan masa lalu tersebut dengan menghadapinya, bukan menghindar, bukan mengkambing-hitamkan masa lalu, atau bukan mencari pembenaran.

Kalangan LGBT yang ingin keluar dari keterpurukan tersebut, harus mulai membenahi diri dengan berusaha keluar dari keterikatan tersebut, mengenakan nilai-nilai baru yang bertanggung-jawab sesuai dengan kenyataan gender heteroseksual, serta berusaha menemukan mentor, dan komunitas-komunitas baru yang dapat mendukung selama melewati masa-masa sukar tersebut.

Meskipun hal tersebut baik, namun menurut Heath, terdapat hal mendasar yang hilang dalam terapi tersebut, yaitu kesadaran akan tanggung-jawab moral kepada Tuhan. Selain permasalahan moral, kaum LGBT juga pada akhirnya juga memiliki permasalahan spiritual. Maka pembenahan tidak hanya menyentuh segi klinis, etika, dan moral, namun juga segi spiritualitasnya.

Selain belajar untuk mengenal lingkungan, menerima kenyataan, dan menganalisa permasalahan, orang tersebut juga harus memiliki kesadaran akan tanggung-jawabnya kepada Tuhan. Dengan kesadaran demikian, orang-orang tersebut akan berjuang lebih keras untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dihadapan manusia dan Tuhan.

Hal ini merupakan konsepsi integral antara kajian teologis dan psikologi yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan yang bertanggung-jawab kepada Tuhan. Pendekatan ini merupakan suatu pola pendekatan yang cukup baik selama tidak terdapat sikap/reaksi yang diskriminatif dari para konselor/mentor yang berbasis agamawan.

Pendekatan integratif antara teologi dan psikologi sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan gambar diri kalum LGBT yang rusak. Gambar diri yang rusak ini hanya dapat dijumpai dalam konsepsi teologis yang mencerminkan citra Allah yang mulia pada manusia. Tentu konsepsi demikian tidak dijumpai dalam sains modern yang memandang manusia dari sudut evolusionis, maka pada titik ini, teologi menjangkau manusia dan meletakkannnya pada tempat yang semestinya di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, hanya dihadapan Tuhan lah kaum LGBT dapat menyadari bahwa mereka berharga, diterima, dikasihi, diampuni, dan diubahkan.




Catatan.

(1) Penggunaan istilah LGBT secara umum tidak selalu diterima dengan baik oleh komunitas internal mereka karena masih terdapat perdebatan-perdebatan mendasar mengenai segi orientasi dari masing-masing kelompok. Misalnya kaum Gay, Lesbian, dan Biseksual, lebih cendrung kepada orientasi seksual, sementara kaum Transgender, lebih merujuk kepada orientasi gender dan bukan seksual.

Belum lagi perkembangannya yang pada akhirnya mengarah pada perihal politis, nilai-nilai, dan kenderungan untuk mengangkat suatu budaya baru, sehingga komunitas tersebut semakin terlihat sebagai “masyarakat di dalam masyarakat” yang mencoba untuk membela hak-hak kelompoknya. Suatu fenomena yang bukan lagi bersinggungan dengan permasalah seksual semata, namun telah bersinggungan dengan sebagian besar isu sosial lainnya.



Kepustakaan.


A. Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

Fitri Fausiah dan Julianti Widury, Psikologi Abnormal: Klinis Dewasa (Jakarta: UI Pres, 2008).

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Bandung: Mandar Maju, 1989).

Mario Beauregard dan Denise O’Leary, The Spritual Brain [terj.] (Jakarta: Obor, 2009).

W. Stanley Heath, Psikologi Yang Sebenarnya (Yogyakarta: Andi, 1997).






Sumber: https://www.qureta.com/post/lgbt-dialektika-sains-etika-dan-teologi