http://www.perkantasjatim.org/index.php?g=articles&id=14 |
“Virus 4G Yang Melanda Generasi Post modern"
(Nats: Kejadian 13:1-13)
Gambaran
umum generasi digital di zaman postmodern saat ini, memiliki beberapa ciri yang
mirip dengan kehidupan metropolis Kota Sodom dan Gomora (Baca : Kej. 13:1-13) Kisah
klasik ini merupakan salah satu "nubuat" bagi keadaan manusia akhir
zaman, dan generasi Gereja juga terlibat didalamnya. Kehidupan manusia post
modern ditandai dengan symbol “4G” yang merupakan plesetan dari kuatnya jaringan internet yang mempengaruhi kehidupan
generasi muda Gereja saat ini. Symbol ini sengaja penulis gunakan sebagai perwakilan
perkembangan zaman dari era modern kepada postmodern. Apa dan bagaimana virus
“4G” ini menyerang generasi muda gereja saat inI?
Singkatan
“4G” merupakan symbol dari empat unsur kebudayaan manusia post modern yaitu: Gaya—Gadget—Gelo—Godless. “Gaya”
berhubungan dengan life style (Baca
Yehezkiel 16:49-50). Life style manusia
postmo, ditandai dengan tiga hal: (1). kecongkakan, (2). Makanan yang
berlimpah-limpah dan kesenangan hidup (Luk.12:19), (3). Tidak memiliki belas
kasih (egois). Hidup hanya bagi diri sendiri.
Baru-baru ini, dalam sebuah postingan
status yang diunggah oleh pengguna Facebook, Darra Muthiia Hennaart, Kamis
(7/12) itu menceritakan kisah seorang bapak-bapak datang ke toko handphone
membeli smartphone Android untuk anaknya. Demi membelikan keinginan anaknya ,
bapak – bapak itu membawa sekantong plastik berisi uang pecahan Rp 2.000an.
Dalam pengakuan bapak – bapak itu, dia rela menabung uang recehan demi bisa
membelikan anaknya yang masih SMP sebuah HP Android. Mirisnya , anaknya tak mau sekolah jika tak dibelikan
smartphone yang sedang ngtrend saat ini.”[1] Contoh
lain dari trend busana. Generasi delapan
puluhan akan memiliki tren busana yang berbeda dengan generasi dua ribuan. Ada yang mengarah ke tren kebarat-baratan,
dengan moto makin minim makin gaul, dan juga sebaliknya makin panjang makin "menawan". Semua Tergantung komunitas mana seseorang bergaul. Begitu
juga dengan gaya rambut (jambul katulistiwa, poni dora, AS Army, Punk Rock, dll),
tas, sepatu, hingga mainan, semuanya memiliki perbedaan dan terus berkembang. Jika
dahulu, permainan anak-anak lelaki terbuat dari kaleng bekas minuman, maka sekarang
sudah serga digital—Gadget. Yang lebih
menyedihkan, beberapa wanita menyiksa dirinya dengan diet ekstreme hanya demi
untuk “menjaga penampilan”. Zaman ini seperti telah berhasil menjerat leher generasi muda, dan
dipaksa untuk mengikuti life style
yang sedang berkembang. Pergaulan selalu membuat anak muda kristiani mengalami
tekanan sosial yang hebat, baik secara fisik maupun mental, karena dituntut
oleh komunitas postmo untuk tampil sesuai dengan aturan main yang ada.
“Gadget” berbicara mengenai perkembangan
teknologi. (Luk. 17:28-29). Ciri kedua dari kehidupan manusia postmo adalah pemuja
teknologi. Manusia postmo tidak dapat hidup tanpa teknologi. Mereka dapat hidup
tanpa Tuhan namun tidak dapat hidup tanpa teknologi. Teknologi telah berubah
dari “Pelayan” menjadi “Tuan”.
Kemajuan
teknologi bagaikan “berkat” sekaligus “Kutuk” bagi manusia. Hari ini kita dapat
mengakses segala macam informasi—baik yang positif maupun yang negatif—di
seluruh dunia hanya dengan satu cara, “KLIK”. Kita juga sudah dapat
menyembuhkan orang dengan teknologi kedokteran yang paling canggih. Namun
dengan teknologi yang sama juga kita dapat membunuh orang dengan mudah. Perang yang
tiada akhir, ancaman nuklir, bom atom, senjata, radiasi kimia, dan polusi
udara, iar serta tanah akibat industri, merupakan konsekwensi dari kemajuan teknologi yang dengan
lapang dada, harus diterima sebagai kutuk bagi manusia.
Beranjak
ke hal yang lebih spesifik, terdapat fenomena yang lucu sekaligus tragis.
Manusia yang menciptakan teknologi, kini justru diperbudak oleh teknologi.
Perhatikan Handphone yang ada di tangan Saudara.
Bagaimana kita memperlakukannya? Kita bekerja keras dan menabung untuk membeli
yang tercanggih, terbaru, dan terkeren. Kita mengganti cassing dan membeli soft
case yang terbaik, kita mengisi pulsa setiap bulan, kita membawanya kemanapun
kita pergi, bahkan ketika di dalam toilet. Kita menatapnya dengan tidak
bosan-bosan, kadang dengan senyuman, tawa, marah, dan sedih. Dia rusak, kita
bersedih, bahkan mungkin hingga lupa makan dan mandi. Yang lebih
memprihatinkan, tanpa sadar kita telah menjadikan dia sebagai pengganti Tuhan.
Bahkan Tuhan pun tidak pernah kita perlakukan sespesial Handphone kita. Tanyalah
pada diri sendiri, berapa lama waktu yang diberikan untuk berdoa, dengan berapa
lama menggunakan Handphone.
“G yang ketiga adalah “Gelo”. Gelo merupakan istilah dalam bahasa
Sunda yang berarti “gila”. Gelo dalam
konteks ini berhubungan dengan filosofi hidup yang liar. “Liar” karena tidak
ada standar benar dan salah yang mutlak (Baca : Kej. 19:4, 8b—kata “Pakai” dan “Perbuatlah
kepada mereka seperti yang kamu pandang baik” adalah gambaran dari rusaknya moralitas manusia Post modern). Perihal
Benar dan Salah tergantung kesepakatan bersama. Ini adalah filosofi hidup
manusia Post modern (Bdk. kolose 2:8 ; 2 Tim. 4:3 ; Rm. 12:2).
Jumat,
26 Juni 2016, Mahkama Agung Amerika Serikat mengambil keputusan untuk
menetapkan legalitas mengenai perkawinan sesama jenis di 50 negara bagian. Dan
baru-baru ini, seorang Pendeta dipenjarakan karena menolak menikahkan pasangan
Gay “Kristen”. Perhatikan bahwa apa yang dulu dianggap taboo, kini menjadi hal
yang lumrah dan justru dianggap benar dan wajar. Contoh lainya yang sedang
ramai adalah kasus e-KTP, korupsi berjamaat di beberapa instansi pemerintah,
dan bahkan di instansi Kepolisian dan Mahkama Agung. Atau yang lebih kecil lagi
adalah ketika pada saat ujian sekolah, Saudara bersepakat untuk mencontek
masal, maka sebenarnya kita sedang membenarkan “kesalahan” menjadi “kebenaran”
dengan persetujuan bersama. Apa yang salah, kini menjadi benar karena
kesepakatan bersama. Inilah filosofi gelo
di era post modern.
Dan
“G” yang terakhir adalah “Godless”. Godless berbicara mengenai
ilah-ilah zaman yang nampak pada penyembahan diri dengan konsep hedonisme (Luk.
17:28-29). Di masyarakat post modern terdapat satu istilah, “We are the God’s”.
Dalam ayat tersebut, tidak terdapat keterangan mengenai hubungan spiritual
dengan Tuhan, sebaliknya yang ada hanya kesibukan untuk menikmati kenikmatan
duniawi. Masyarakat postmodern juga demikain. Kesenangan menjadi tujuan hidup
dan pencapaian tertinggi manusia postmodern (Bdk. dengan Kej. 19:9). Bahkan
Tuhan juga dijadikan alat untuk mencapai kesenangan diri (tujuan mengikut Tuhan
hanya berkat, dan berkat). Kesenangan diri telah menjadi tuhan bagi masyarakat Post modern.
Gambaran
sederhana ini telah menjadi perwakilan bagi isu krusial dimana generasi gereja
saat ini seharusnya dibuat gelisah (sebagai tanda ketidak-nyamanan), karena
jika tidak, maka sudah dapat dipastikan keadaan kita yang telah tergerus oleh
arus postmo. Kritik ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk membatasi Saudara
untuk menikmati apa yang pantas kita peroleh melalui jerih payah dan berkat
Tuhan, namun kritik ini lebih mengarah kepada suatu usaha untuk melihat “dunia
lain” di dalam dunia ini yang mengikat kita, namun tidak kita sadari.
Bagaimana kita mengatasi hal
tersebut? Kita dapat belajar dari Lot dan Rasul Paulus dalam dua hal, Berkomunitas dan Berkomitmen yang benar. Pertama, Berkomunitas yang benar (Kej. 12:4 ;
1 Kor. 15:13). Komunitas membentuk cara pandang kita terhadap Allah dan dunia.
Salah satu survey mengatakan bahwa 90% anak-anak remaja yang bermasalah Karena
mereka bertumbuh dan berinteraksi dalam komunitas yang bermasalah. Terapat dua komunitas yang dapat menolong kita untuk hidup benar, yaitu:
Berkomunitas dengan Allah (Mzm.
19:62), dan
Berkomunitas dengan saudara seiman
(Mrm. 19:63 ; Ibr. 10:25). Kedua, Berkomitmen yang benar (Kol. 2:6-8).
Komunitas membentuk cara pandang dan berprilaku, sedangkan komitmen yang teguh
di dalam iman, memampukan kita untuk tetap bertahan di jalur Tuhan untuk membawa pengaruh positif bagi dunia yang korup.
Penutup.
Kemajuan
teknologi dan perkembangan budaya sesungguhnya merupakan anugerah Tuhan bagi
manusia yang patut kita nikmati. Namun menikmati berkat Tuhan ini tidak lantas
mengubah dan mengorbankan iman serta tujuan hidup kita dari Tuhan kepada Mamon. Mohonlah pimpinan Tuhan senantiasa, dan mulailah membatasi diri dari pengaruh negatif teknologi yang dapat menjerumuskan kita dalam ikatan-ikatan mamon yang mematikan. Kiranya Tuhan menolong kita. Amin!
Salam,
yb.
yb.