Nas : Mazmur 1: 1-2; 119:105 “Berbahagialah orang yang tidak berjalan
menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa,
dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya
ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
...... Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
__________
Berbanding terbalik dengan perolehan medali pada perhelatan ASEAN Games kemarin, hasil survei UNESCO yang dirilis tahun lalu tentang kegemaran membaca di Indonesia sungguh mengagetkan. Indonesia menduduki peringkat paling akhir se-ASEAN. Membaca memang sangat membosankan bagi sebagian besar orang. Bahkan di Kampus-kampus, tak terkecuali kampus Teologi, salah satu tugas favorit yang disuguhi oleh para dosen adalah tugas baca atau book review, yang bertujuan untuk memacu minta baca siswa. Hal serupa juga dapat dijumpai pada Umat Tuhan. Jika harus jujur, maka hanya sebagian kecil saja dari kita yang memiliki jadwal rutin membaca firman Tuhan setiap hari, padahal gereja lokal terkadang telah membuat jadwal bacaan untuk setahun penuh. Kita juga paham bahwa firman Tuhan adalah asupan rohani kita, namun kenyataannya berkata lain. Suatu keadaan yang sangat menyedihkan.
Firman Tuhan di atas memberikan nasehat mengenai dua sudut pandang kontras yang berakir dengan tindakan yang kontras pula. Pada ayat pertama pemazmur memberikan tiga bagi ciri umum orang pertama dengan tiga kata kunci; “Berjalan, berdiri, dan duduk” yang dihubungkan dengan “Orang fasik, orang berdosa dan kumpulan pencemooh”. Berjalan, berdiri dan duduk merupakan aktifitas keseharian kita yang berhubungan dengan orang lain. Keseharian aktifitas ini kemudian dihubungkan pemazmur dengan tiga ciri komunitas manusia, “Orang fasik, orang berdosa dan kumpulan pencemooh”. Dapat dibayangkan keseharian hidup kita dikelilingi oleh lingkungan demikian? Jika ada masalah kita meminta nasehat dari orang fasik, teman main kita sekumpulan berandalan, tempat nongkrong kita dengan para penggosip dan penfitnah. Saudara, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengubah hidup kita menjadi serupa dengan mereka (1 Kor. 15:33). Ikan di laut memang tidak menjadi asin meskipun hidup di laut yang asin, namun jangan lupa ketika ikan itu mati, ia dapat diubah menjadi ikan asin. Ketika hidup kita tidak lagi dipenuhi oleh firman Tuhan, maka secara rohani kita telah mati, dan kematian rohani inilah yang dapat mengubah hidup kita menjadi serupa dengan dunia. Hal ini bukan masalah “larangan” untuk tidak bergaul, namun “pengaruh” dari suatu pergaulan yang dapat mengubah kehidupan dan karakter seseorang. Karena pergaulan dalam suatu komunitas pasti menghasilkan suatu pengaruh dan perubahan, yang lama kelamaan akan membentuk kebiasaan, dan berakhir pada karakter seseorang. Maka pemazmur memulai perkataannya dengan kalimat negatif “Tidak!”—Tidak berjalan, tidak berdiri, tidak duduk. Dengan kata lain pemazmur ingin mengingatkan kita untuk tidak membangun komunitas dengan kelompok demikian.
Sebaliknya, bagian kedua pemazmur memberikan nasehat yang sangat sederhana, “...tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Ini perbedaan yang sangat kontras bukan hanya dengan kelompok orang fasik di atas, namun sekaligus dengan motivator dan psikologi modern! Orang fasik bertindak sesuai dengan kebebalan dan kejahatan pikirannya, motivator sekuler mengajak Saudara untuk mendorong kita bertindak sesuai dengan kemampuan kita—kita bisa!, slogannya, sementara psikologi modern mengajak kita untuk “melepaskan hasrat” yang membebani jiwa—hasrat yang tertekan akan mengganggu kesehatan jiwa, so, bebaskan! katanya. Suatu konsep yang berujung pada usaha peninggian egosentris, kehidupan rock n’ roll, dan tanpa Tuhan. Sangat mengerikan. Sementara sebagai orang percaya kita dinasehati untuk tidak memulai dengan kemampuan, skill dan talenta kita, tetapi memulai dengan kesukaan akan firman Tuhan, merenungkan, dan bertindak sesuai dengan firman itu (Mzm. 119:105). Untuk memperoleh kebahagiaan hidup yang sejati (kehidupan yang berkenan di hadapan Tuhan, bukan persoalan materi semata!), kita tidak dapat memulai dari “apa kata dunia, apa kata hati kita, dan apa kata orang” akan tetapi dari “apa kata Tuhan”. Maka tidak ada jalan lain selain membaca, merenungkan, dan melakukan kebenaran firman Tuhan. Kebenaran firman Tuhan bagaikan air yang jika dibaca akan terus mengalir membersihkan konsep pemikiran kita yang dangkal, jorok, egois, materialistis, penuh dosa, dan tidak berkenan kepada Tuhan (Yoh. 15:3), sehingga menghasilkan tindakan dan perbuatan baru sesuai kebenaran Allah. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa “tidak ada tindakan tanpa ide”. Jika isi kepala kita dikuasai oleh ide-ide berdosa dan kejahatan maka cepat atau lambat tindakan kita pun akan berbuah kejahatan, sebaliknya jika kita dipenuhi dengan firman Tuhan, maka buah yang kita hasilkan pun dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan dan orang banyak. Isilah selalu kehidupan kita dengan kebenaran firman Tuhan, agar ketika kita berjalan, berdiri, dan duduk, semuanya mencerminkan kebenaran firman Tuhan yang memberkati. Amin. (yb).
__________
Berbanding terbalik dengan perolehan medali pada perhelatan ASEAN Games kemarin, hasil survei UNESCO yang dirilis tahun lalu tentang kegemaran membaca di Indonesia sungguh mengagetkan. Indonesia menduduki peringkat paling akhir se-ASEAN. Membaca memang sangat membosankan bagi sebagian besar orang. Bahkan di Kampus-kampus, tak terkecuali kampus Teologi, salah satu tugas favorit yang disuguhi oleh para dosen adalah tugas baca atau book review, yang bertujuan untuk memacu minta baca siswa. Hal serupa juga dapat dijumpai pada Umat Tuhan. Jika harus jujur, maka hanya sebagian kecil saja dari kita yang memiliki jadwal rutin membaca firman Tuhan setiap hari, padahal gereja lokal terkadang telah membuat jadwal bacaan untuk setahun penuh. Kita juga paham bahwa firman Tuhan adalah asupan rohani kita, namun kenyataannya berkata lain. Suatu keadaan yang sangat menyedihkan.
Firman Tuhan di atas memberikan nasehat mengenai dua sudut pandang kontras yang berakir dengan tindakan yang kontras pula. Pada ayat pertama pemazmur memberikan tiga bagi ciri umum orang pertama dengan tiga kata kunci; “Berjalan, berdiri, dan duduk” yang dihubungkan dengan “Orang fasik, orang berdosa dan kumpulan pencemooh”. Berjalan, berdiri dan duduk merupakan aktifitas keseharian kita yang berhubungan dengan orang lain. Keseharian aktifitas ini kemudian dihubungkan pemazmur dengan tiga ciri komunitas manusia, “Orang fasik, orang berdosa dan kumpulan pencemooh”. Dapat dibayangkan keseharian hidup kita dikelilingi oleh lingkungan demikian? Jika ada masalah kita meminta nasehat dari orang fasik, teman main kita sekumpulan berandalan, tempat nongkrong kita dengan para penggosip dan penfitnah. Saudara, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengubah hidup kita menjadi serupa dengan mereka (1 Kor. 15:33). Ikan di laut memang tidak menjadi asin meskipun hidup di laut yang asin, namun jangan lupa ketika ikan itu mati, ia dapat diubah menjadi ikan asin. Ketika hidup kita tidak lagi dipenuhi oleh firman Tuhan, maka secara rohani kita telah mati, dan kematian rohani inilah yang dapat mengubah hidup kita menjadi serupa dengan dunia. Hal ini bukan masalah “larangan” untuk tidak bergaul, namun “pengaruh” dari suatu pergaulan yang dapat mengubah kehidupan dan karakter seseorang. Karena pergaulan dalam suatu komunitas pasti menghasilkan suatu pengaruh dan perubahan, yang lama kelamaan akan membentuk kebiasaan, dan berakhir pada karakter seseorang. Maka pemazmur memulai perkataannya dengan kalimat negatif “Tidak!”—Tidak berjalan, tidak berdiri, tidak duduk. Dengan kata lain pemazmur ingin mengingatkan kita untuk tidak membangun komunitas dengan kelompok demikian.
Sebaliknya, bagian kedua pemazmur memberikan nasehat yang sangat sederhana, “...tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Ini perbedaan yang sangat kontras bukan hanya dengan kelompok orang fasik di atas, namun sekaligus dengan motivator dan psikologi modern! Orang fasik bertindak sesuai dengan kebebalan dan kejahatan pikirannya, motivator sekuler mengajak Saudara untuk mendorong kita bertindak sesuai dengan kemampuan kita—kita bisa!, slogannya, sementara psikologi modern mengajak kita untuk “melepaskan hasrat” yang membebani jiwa—hasrat yang tertekan akan mengganggu kesehatan jiwa, so, bebaskan! katanya. Suatu konsep yang berujung pada usaha peninggian egosentris, kehidupan rock n’ roll, dan tanpa Tuhan. Sangat mengerikan. Sementara sebagai orang percaya kita dinasehati untuk tidak memulai dengan kemampuan, skill dan talenta kita, tetapi memulai dengan kesukaan akan firman Tuhan, merenungkan, dan bertindak sesuai dengan firman itu (Mzm. 119:105). Untuk memperoleh kebahagiaan hidup yang sejati (kehidupan yang berkenan di hadapan Tuhan, bukan persoalan materi semata!), kita tidak dapat memulai dari “apa kata dunia, apa kata hati kita, dan apa kata orang” akan tetapi dari “apa kata Tuhan”. Maka tidak ada jalan lain selain membaca, merenungkan, dan melakukan kebenaran firman Tuhan. Kebenaran firman Tuhan bagaikan air yang jika dibaca akan terus mengalir membersihkan konsep pemikiran kita yang dangkal, jorok, egois, materialistis, penuh dosa, dan tidak berkenan kepada Tuhan (Yoh. 15:3), sehingga menghasilkan tindakan dan perbuatan baru sesuai kebenaran Allah. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa “tidak ada tindakan tanpa ide”. Jika isi kepala kita dikuasai oleh ide-ide berdosa dan kejahatan maka cepat atau lambat tindakan kita pun akan berbuah kejahatan, sebaliknya jika kita dipenuhi dengan firman Tuhan, maka buah yang kita hasilkan pun dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan dan orang banyak. Isilah selalu kehidupan kita dengan kebenaran firman Tuhan, agar ketika kita berjalan, berdiri, dan duduk, semuanya mencerminkan kebenaran firman Tuhan yang memberkati. Amin. (yb).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar