Kamis, 27 September 2018

RENUNGAN : SALIB KRISTUS [:EKSPRESI KASIH KRISTIANI]

SALIB KRISTUS: EKSPRESI KASIH KRISTIANI

          Kasih dalam konsep iman Kristen memiliki keunikan tersendiri karena bersifat Teosentris. Pernyataan ini secara eksplisit mengungkapkan satu fakta bahwa kasih kristiani itu bersumber dari pribadi Allah sendiri sebagai manifestasinya, “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:16b). Frasa Allah adalah kasih pada ayat ini mengungkapkan sifat dan relasi Allah Tritunggal di dalam kekekalan dimana Allah Bapa-Anak-dan Roh Kudus saling berelasi dalam kasih, bahkan sampai pada pelayanan Kristus di dunia (Mat. 3:17; Yoh. 10:17; 14:31). Sementara di dalam dunia ciptaan, kasih Allah dinyatakan melalui pewahyuan umum (alam) dan khusus (kitab suci). Alkitab menggambarkan hal ini dengan berbagai macam demonstrasi kasih Allah bagi manusia berdosa seperti yang akan dibahas. Dari dasar kebenaran tersebut, kasih kristiani kemudian diaplikasikan dalam kehidupan umat Tuhan dan berlanjut pada dunia. Suatu pengajaran prinsipil yang hanya dijumpai dalam iman Kristen.

Dasar Kasih Kristiani.

          Kasih kristiani bersumber dari kasih Allah melalui Pribadi dan karya Kristus. Kristus menjadi sentralitas kasih kristiani bagi umat manusia karena melalui Kristus kasih Allah dinyatakan bagi dunia ciptaan-Nya yang telah korup. Kasih Allah ini dinyatakan melalui dua bukti faktual dalam sejarah peradaban umat manusia.

          Bukti Kasih Allah—Umum. Kronologis penciptaan, penyediaan, dan pemeliharaan alam semesta bagi kelangsungan hidup umat manusia adalah bukti kasih Allah yang paling nyata dan general. Dalam kasih umum ini semua manusia menerima belas kasih Allah yang sama. Baik penjahat maupun orang baik, baik umat Tuhan maupun ateis, semuanya menerima anugerah kasih umum ini—makanan, minuman, udara segar, panas-hujan, tempat peristirahatan, kesehatan, dsb. Hal ini seperti seorang ayah yang hendak menyediakan keperluan anaknya di suatu tempat peratauan, dimana ia terlebih dahulu menyediakan segala sesuatu dengan lengkap dan berlimpah, kemudian ia menempatkan anaknya di sana, sambil terus memperhatikan dan mencukupinya (Kej. 2:8). Meskipun banyak orang, terutama kalangan ateis yang menyangkal akan bukti kasih Allah ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka hidup menumpang dan berhutang pada kasih Allah itu.    

          Bukti Kasih Allah—Khusus (1 Yoh 14: 10; Yoh. 3:16).  Kasih umum merupakan bentuk kasih Allah yang universal bagi umat manusia, namun kasih khusus Allah bagi umat-Nya merupakan bentuk kasih yang eksklusif karena hanya tersedia bagi mereka yang menerima Kristus sebagai Juru-selamatnya. Bukti kasih Allah yang khusus ini dinyatakan melalui karya salib Kristus. Salib Kistus adalah dasar dan demonstrasi kasih Allah yang terbesar bagi umat-Nya dan bagi dunia.

          Ketika kita berbicara mengenai Salib Kristus, kita sesungguhnya tidak hanya sedang berbicara mengenai kasih Allah namun juga penghukuman Allah bagi dosa-dosa kita. Salib Kristus merupakan perjumpaan antara kasih Allah dan penghukuman-Nya. Seruan kemenangan, “Sudah Selesai!” yang membela bukit tandus di golgota itu merupakan seruan kasih Allah bagi Saudara dan saya. Di atas salib yang hina itu, 2000 tahun yang lalu, Kristus dengan penuh kasih telah memandang jauh kedepan bahwa nanti pada tahun 2018 bulan september, ada orang-orang seperti Saudara dan saya yang akan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Sudah selesai, sudah lunas! Ini bentuk kasih paling agung dan mulia, karena Kristus telah mati bagi kita bahkan ketika kita masih berdoa dan belum mengenal-Nya (Rm. 5:8). Tidak ada kasih yang paling mulia seperti itu! Banyak orang yang mungkin saja rela mati untuk orang-orang baik, namun tidak ada orang yang rela mati bagi para penjahat, pembunuh, perampok, pemerkosa, pezinah, bahkan bagi penjahat yang paling jahat, selain Kristus. Di dalam Kristus, kasih dan penerimaan Allah dinyatakan bagi dunia. Di dalam Kristus Allah menghukum dosa-dosa manusia yang paling jahat dan bejat, sambil membuka tangan-Nya untuk memeluk mereka! Satu hal yang lebih penting lagi adalah hanya di dalam kekristenanlah Allah di dalam Kristus dengan kasih dan kerelaan-Nya membayar harga bagi manusia berdosa. Kebenaran demikian tidak ada di dalam keyakinan manapun.  Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih Allah yang rela “mengorbankan diri” demi umat-Nya!  Hanya dengan dasar kasih Kristus ini, Saudara akan mampu mengasihi orang lain, bahkan musuh kita sekalipun (Mat. 5:44), selain karena Roh Kudus juga yang mendorong dan memampukan kita. Sebaliknya jika ada orang Kristen yang tidak memiliki kasih dan pengampunan, maka orang tersebut belum benar-benar memahami betapa besar kasih dan pengampunan Allah baginya melalui pengorbanan Kristus.  Titik tolak ini yang mendasari ekspresi kasih kristiani bagi dunia.

Objek Kasih Kristen (Mat. 22: 37-39).

          Jika di atas, salib Kristus menjadi pondasi bagi kasih kristiani, maka pada bagian objek kasih, salib Kristus menjadi peta dan arah dari kasih kristiani. Salib yang berbentuk palang vertikal dan horizontal menjadi arah dari objek kasih Kristen—ke atas dan ke samping.

          Vertical, kepada Allah (Mat. 22:37). Objek kasih Kristen yang pertama adalah Allah Tritunggal. Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus merangkum hukum Taurat ke dalam dua hukum, yaitu mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi Allah tentu bukanlah hal yang mudah, mempraktekkan hal ini bahkan menghabiskan keseluruhan hidup kita, serta dilakukan dengan segenap jiwa, kekuatan, dan akal budi. Belum lagi begitu banyak “allah-allah” lain dalam hidup ini yang “merengek membutuhkan perhatian”.  Namun inilah panggilan bagi semua umat Tuhan, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengasihi Allah. Bentuk kasih kita kepada Allah tentu saja beragam, namun satu hal yang paling utama di antaranya adalah melakukan apa yang Ia kehendaki! Hanya itu? Ya hanya itu! Mengasihi Allah berarti melakukan kehendak-Nya (Yoh. 14:15, 21, 23-24; 14;31).

          Horizontal, kepada sesama (Mat. 22:39). Terinspirasi dari kisah “Orang Samaria yang baik hati”, beberapa lembaga kemanusiaan menamai organisasi mereka dengan sebutan “The Good Samaritan”, sebagai bentuk ekspresi pelayanan kemanusiaan tanpa memandang latar belakang. Di dalam Lukas 10:36 perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Tuhan Yesus menjelaskan secara singkat tentang “siapakah sesama manusia itu” dalam bentuk pertanyaan, “Siapakah di antara ketiga orang ini (Imam, orang Lewi, dan orang Samaria), menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?". Pernytaan “sesama manusia” tersebut diukur dari sebuah kesadaran serta tindakan kasih bagi orang lain. Dan dalam kisah ini, justru orang Samarialah (tetangga/rival orang Yahudi yang tidak mengenal Allah) yang memiliki kesadaran akan belas kasih kepada sesamanya. Sementara Imam dan orang Lewi menjadi simbol terbalik dari tokoh-tokoh agamawan yang sibuk dengan segudang kegiatan agama, hukum dan pelayanan, namun hati nuraninya menjadi tumpul untuk mendengar rintihan penderitaan orang di sekitarnya. Mereka lupa bahwa mengasihi Tuhan yang tidak terlihat itu harus tercermin dalam kasih kepada sesama manusia yang melampaui batasan-batasan sosial (Mat. 25:40).

          Demikianlah praktek kasih Kristen yang horizontal, suatu bentuk pelayanan kasih yang nyata, tulus, dan melampaui batasan komunal. Sementara dalam konteks yang lebih sederhana, kisah dari Josh McDowell, seorang Apologet yang cinta keluarga ini mungkin akan memberikan sedikit gambaran yang lebih spesifik.

          McDowell dalam sebuah artikel menceritakan kisah inspiratif ketika bersama anaknya. McDowell menanyakan suatu pertanyaan kepada anaknya, “Nak, apakah kau tahu bahwa Ayah sangat mengasihi Ibu?”, jawab anaknya, “Ya, tentu saja saya tahu”. Ia kemudian bertanya lagi, “Darimana kau tahu?”, “Ayah sering mengatakannya kepada Ibu”, jawab anaknya. McDowell memotong, “Bagaimana jika suatu saat ayah menjadi bisu?”, jawab anaknya, “Ayah dapat menuliskannya kepada Ibu”. ”Lantas bagaimana jika ayah bisu dan tidak memiliki tangan serta kaki?”, tanya McDowell. “Saya yang akan mengatakannya kepada Ibu”, tegas sang Anak. Belum puas dengan jawaban itu McDowell melanjutkan bertanya, “Akan tetapi bagaimana kamu tahu bahwa Ayah mengasihi Ibu, karena Ayah tidak dapat mengungkapkannya kepada Ibu?”. Jawab anaknya, “Saya tahu dari cara ayah memperlakukan Ibu.”

          Kita dapat mengetahui kasih yang tulus dari seseorang dengan satu cara sederhana, yaitu cara ia memperlakukan kita. Kasih kristiani seharusnya demikian. Bukan bentuk kasih yang antroposentris tetapi Teosentris, bukan kasih “eros” yang egois, menuntut, dan berpusat pada diri sendiri, namun kasih “agape” yang memberi serta melayani tanpa pamrih sebagaima Tuhan telah mengasihi dan melayani kita (1 Yoh. 4:19). Kalimat yang inspiratif dari Ibu Teresa menggambarkan hal ini dengan baik, “…the fruit of faith is love, the fruit of love is service.” Buah dari iman adalah kasih, dan buah dari kasih adalah pelayanan. Kasih kristiani bukanlah berbentuk kata-kata “manis” namun harus tercermin dalam tindakan yang konkret dalam ketulusan (1 Yoh. 3:18), serta dengan penuh kesadaran bahwa Tuhan telah mengasihi kita terlebih dulu maka tidak ada alasan untuk kita tidak mengasihi Saudara dan sesama. Amin! (yb).

"Ketika kewajiban menyuruh kita untuk berhenti, kasih mendorong kita untuk terus maju”—Nn.

___________
Nb. Tulisan ini merupakan ringkasan khotbah yang disampaikan oleh penulis dalam Ibadah Youth GPI Immanuel Bdg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar