Senin, 25 Juni 2018

RENUNGAN : ROTI TERAKHIR YANG TIDAK BERAKHIR [ELIA, Bag. 2]


Nas      : 1 Raja. 17:11-13,   “…..Ketika perempuan itu pergi mengambilnya (air yang diminta oleh Elia), ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti." Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."  Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. ….”

Bacaan : 1 Raja-raja 17: 7-16.

______________

            Merenungkan bagaimana cara Tuhan memelihara Elia dalam masa-masa yang krisis, sangatlah mengagumkan sekaligus paradoksal. Mengagumkan karena pertolongan Tuhan itu  datang dari mujizat-Nya yang ajaib, serta paradoksal, karena sarana yang Tuhan gunakan sebagai instrumen untuk memberkati Elia itu justru mereka yang juga sedang berada dalam krisis yang sama dengan Elia, bahkan dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Cara yang mengherankan dimana Tuhan tidak mengutus Elia untuk pergi kepada raja, atau bangsawan, atau orang-orang kaya di daerah itu, akan tetapi kepada seorang Janda miskin yang seharusnya membutuhkan uluran tangannya, membuat kita perlu berhati-hati untuk tidak membatasi kuasa Tuhan dalam konsep pikiran kita. Itulah Tuhan kita yang dasyat, Ia memiliki cara-cara yang ajaib, suatu cara yang anti mainstream! Jika kebanyakan dari kita memiliki konsep dasar serta harapan bahwa uluran tangan kasih Tuhan itu selalu datang dari mereka yang “berada”, maka kisah Elia dan janda di Sarfat ini justru memberikan suatu pengajaran yang sama sekali lain bagi kita. Suatu pengajaran yang perlu kita simak dengan seksama.
             
            Ketika menerima pesan Tuhan, Elia kemudian berangkat ke Sarfat, suatu wilayah di daerah Sidon untuk menjumpai janda yang akan memberinya makan. Terdapat beberapa pesan kebenaran yang luar biasa pada percakapan ini. Pertama,  ketika Elia meminta minuman dan roti pada janda ini, Elia menggunakan satu kalimat dengan kata depan yang unik, “Cobalah ambil bagiku” (ay. 10-11). Kata “Cobalah” memberikan indikasi bahwa Elia pun sebenarnya tidak berharap banyak dari sang janda. Dapat kita bayangkan keadaan seorang janda miskin yang tidak memiliki apa-apa lagi, mungkin juga hanya makan sehari sekali, sedang terhuyun-huyun mondar-mandir memungut kayu bakar untuk memasak makanan terakhir bersama anaknya! Inilah realitas yang dihadapi Elia, maka adalah memang wajar jika Elia memulai permintaannya itu dengan kata “Cobalah”, dengan harapan kalau pun masih ada air atau roti, ya puji Tuhan, namun kalau pun tidak, maka kehendak Tuhanlah yang jadi. Itu sebabnya dalam ayat 13, Elia hanya meminta untuk dibuatkan sepotong  “roti bundar kecil”, Elia tidak berharap banyak. Saudara, Tuhan tidak pernah meminta sesuatu yang tidak kita miliki. Ia meminta apa yang ada pada kita, itu pun hanya sepotong “roti bundar kecil” dari sebagain besar roti yang telah kita makan. Sayangnya, persembahan yang kita berikan bukanlah sepotong “roti bundar kecil”, akan tetapi sebagian besar dari kita memberikan “sisa-sisa roti”. Lihatlah betapa pelitnya kita untuk memberi kepada Tuhan dibandingkan untuk menghabiskan berkat-Nya di mall-mall dan tempat rekreasi untuk kesenangan pribadi. Jika dalam keadaan cukup saja kita masih pelit untuk memberi, maka bagaimana mungkin kita dapat memberi dalam kekurangan? Pesan firman ini merupakan suatu pelajaran bagi kita untuk bercermin pada Sang janda tersebut yang tetap memberi kepada Elia (yang merupakan perwakilan Tuhan), meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan. Perhatikan, hanya setelah memberi barulah tepung dan minyak dalam tempayan janda tersebut tidak pernah kering! Bukankah firman Tuhan mengatakan bahwa “Berilah dan kamu akan diberi”? (Luk. 6:38).  Kata “cobalah” merupakan suatu peringatan dan tantangan bagi kita untuk terus belajar memberi bagi Tuhan dan pekerjaan-Nya meskipun sedang dalam keadaan kekurangan.

            Pesan kebenaran yang kedua adalah Tuhan bukan hanya memelihara dan menyelamatkan hidup Elia dari kelaparan, namun sekaligus Ia menyelamatkan kehidupan Janda dan anaknya di sarfat itu! Peristiwa kelaparan di Israel tersebut merupakan momentum penting bagi Elia dan janda di sarfat. Mereka sama-sama berjumpa dan menyaksikan kebesaran kuasa Tuhan. Bagi Elia, janda tersebut menjadi sarana berkat yang Tuhan pakai bagi dirinya. Saudara, terkadang Tuhan membawa kita dalam posisi yang sulit dan membingungkan seperti Elia. Tuhan tidak memakai orang-orang yang menurut pandangan kita memiliki semua hal yang dapat menolong kita. Sebaliknya, Tuhan justru memakai orang-orang yang senasib dengan kita; sama-sama bergumul, sama-sama bermasalah, sama-sama kekurangan, tetapi mengapa? Agar Saudara dan saya tidak berharap pada manusia tetapi tetap bersandar pada Tuhan. Sementara bagi janda tersebut kedatangan Elia menyampaikan firman Tuhan merupakan momentum (waktunya) pertolongan Tuhan bagi dirinya dan keluargnya! Terdapat pesan yang sangat penting bagi kita perihal momentum Tuhan bagi janda tersebut. Pertama, di dalam kesesakan yang parah sekalipun Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Ia selalu mengutus hamba-Nya untuk memberikan kekuatan dan penghiburan bagi kita. Kedua, waktu Tuhan selalu tetap, tidak pernah terlambat. Pada saat janda tersebut berjumpa dengan Elia, dikatakan di sana bahwa tepung dalam temapaynnya adalah segenggam tepung terakhir yang akan diolah dan dimakan, setelah itu mereka mati. Namun, sebaliknya, justru hari itu merupakan permulaan mereka untuk hidup baru! Suatu kehidupan yang mengandalkan Tuhan, bukan mengandalkan pengharapan pada “tepung di tempayan” yang sudah habis. Perhatikan, terdapat dua hal yang terjadi. Pertama, Tuhan memberikati kebutuhan jasmaninya, dan kedua, Tuhan memulihkan iman dan pengharapannya. Jawaban janda tersebut memberikan indikasi yang kuat akan pembaharuan imannya, "Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar." (ay. 24). Janda tersbut bukan hanya diselamatkan dari krisis jasmani, akan tetapi juga krisis rohani! Imannya kembali dipulihkan ketika berjumpa dengan Tuhan melalui pelayanan Elia.

            Bacaan ini memberikan tiga pesan penting bagi kita; Pergumulan hidup merupakan momentum perjumpaan kita dengan Tuhan, maka tidak perlu khawatir untuk menghadapi tantangan hidup karena Tuhan pasti ada di sana, dan Ia memiliki rencana yang baik bagi kita—suatu rancangan untuk memperbaharui kehidupan kita, baik jasmani maun rohani. Kedua, Tuhan selalu memperhatikan kehidupan kita, Ia tidak meninggalkan kita. Pertolongan-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Ketiga, merupakan suatu tantangan bagi kita untuk tetap memiliki prinsip hidup yang terus menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan meskipun keadaan kurang baik. Seperti Elia, kita belajar untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam keadaan sulit, dan seperti janda di Sarfat kita belajat untuk berani memberi meskipun kekurangan. Percayalah, ketika kita memulai memberi bagi pekerjaan Tuhan, maka “Roti yang kita makan bukanlah roti yang terakhir, namun roti yang tidak akan berakhir”. Amin!

Tuhan Yesus memberkati Saudara.
Salam,
yb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar