Oleh : Yosep Belay.
BAB I. PENDAHULUAN.
Latar Belakang Masalah.
Peningkatan
dan pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta-Kharismatik[1] di
perkotaan memberikan dampak bagi kebutuhan akan pelayan mimbar dalam bidang
music gerejawi. Kebutuhan tersebut seringkali memaksa pejabat gereja mengambil
tindakan yang kompromi dalam merekrut para pemusik. Dilain pihak, para pemusik sering melihat hal tersebut sebagai suatu peluang untuk mendapatkan “berkat”.
Hal-hal tersebut yang kemudian hari menimbulkan berbagai macam persoalan.
Bulan
agustus lalu, publik dikagetkan dengan pengakuan FS dan FF yang mempublikasikan hubungan mereka secara resmi di depan media
masa[2]. Pengakuan tersebut bukan hanya mengagetkan kalangan selebriti dan para fans mereka, namun pemberitaan tersebut sekaligus menjadi pukulan
telak bagi dunia pelayanan gerejawi, terutama dalam bidang musik gereja.
Sebagaimana yang diketahui keduanya merupakan publik figur yang menjadi idola bagi banyak generasi muda gereja,
dan kalangan musisi gereja.
Kedua tokoh di atas
mewakili sekian banyak permasalahan dan pergumulan para pelayan musik gereja
saat ini. Dunia pelayanan
musik gerejawi, memang tidak sindah dan serohani yang dibayangkan. Berkecimpung
kurang lebih tujuh tahun dalam bidang musik gereja, Penulis mendapati berbagai
hal yang menjadi permasalahan dalam bidang musik. Kedangkalan pemahaman terhadap tata ibadah, liturgi,
pengaruh budaya, serta tekanan sosial ekomoni menjadi tantangan tersendiri bagi
para pelayan mimbar. Tak jarang isu-isu permasalahan serius seperti perselingkuhan, PK (persembahan kasih), persaingan antar
pelayan, dan masalah sepele mengenai kegemaran terhadap gendre musik tertentu, hingga mengikuti trend musik dan style (mode
pakaian) dari gereja-gereja
besar, menjadi hal yang lumrah dijumpai dalam komunitas pelayan mimbar saat
ini. Menyingkapi fenomena ini, dengan tepat Wilfred J. Samuel mengkritisi tata
ibadah gereja-gereja Kharismatik yang mulai kehilangan keseimbangan. Ia mengatakan,
”…dalam menegaskan unsur selebratif dalam ibadah, banyak jemaat Kharismatik dewasa ini telah kehilangan unsur
celebral (intelek) atau meditative dalam ibadah[3].
Penekanan yang berlebihan
pada “selebrasi” telah mengakibatkan gereja-gereja Kharismatik saat ini
kehilangan makna penting mengenai liturgi. Puji-pujian yang dinyanyikan menjadi rutinitas yang
membosankan dan hanya terbatas pada semacam terapi psikologis sesaat bagi
jemaat, seperti halnya musik dan lagu sekuler. Dilain pihak, para pemain musik dapat memainkan musik dan bernyanyi dengan meriah tentang Allah, namun
belum tentu mereka dapat
dengan sungguh merenugkan dan mengagungkan Allah[4]
dalam penyembahan dan sikap hati yang benar.
Menyadari
akan potensi besar yang rentan menggerogoti para pelayan musik gerejawi masa
kini, maka tidak ada jalan lain selain memperbaharui pemahaman para pelayan
dengan mengadakan berbagai macam pendekatan. Dalam makalah singkat ini, penulis
akan menganalisa dan menguraikan berbagai macam faktor-faktor penting mengenai
permasalahan yang ada, dan kemudian mencoba untuk mengajukan beberapa solusi
yang sesuai dengan prinsip-prinisp kebenaran Firman Tuhan.
BAB II. ISI
Landasan Teori dan Kajian Teologis.
Penggembalaan.
Mengutib
beberapa tokoh Bons-storm menulis, Pengembalaan menurut Thurneysen adalah
merupakan suatu penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat secara pribadi,
yaitu berita Injil yang dalam khotbah disampaikan kepada semua orang. Menurut
Dr. J.W. Herfst, penggembalaan ialah”menolong seiap orang untuk menyadari
hubungan dengan Allah, dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada
Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri. Sedangkan menurut Dr. H. Faber,
“Penggembalaan itu ialah tiap-tiap pekerjaan yang didalamnya si pelayan sadar
akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya atau khotbahnya, atas
kepribadian orang yang pada saat itu dihubunginya”[5]
Ia
kemudian menkonfimasikan dengan Alkitab dan memberi penjelasan bahwa hal-hal
tersebut tercermin dari gaya penggembalaan Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:1-21.
Dalam hal ini, maka seorang gembala yang baik haruslah mengenal dombanya,
memelihara, dan membimbing, agar selamat dan tidak sesat, serta kelaparan[6].
Pelayan Musik Gerejawi.
Pelayan
musik gerejawi yang penulis maksud adalah para pelayan (baik jemaat mapun
pendeta) yang memiliki kapasitas (baik skill maupun spiritual) dalam memainkan
alat musik—secara individu maupun team—serta
mampu menggubah setiap pujian menjadi
satu harmonisasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip liturgi, dengan tujuan
untuk mempermuliakan Tuhan dan memberkati jemaat. Dasar Alkitab dari pandangan
tersebut dapat dijumpai dalam, 1 Taw. 15:16, 16:42, 23:5 dan 2 Taw. 5:13, 7:6, 23:13,
29:26-27, 34:12. Juga pada beberapa bagian Mazmur dan tradisi gereja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembalaan tidak
hanya bersifat pasif dan satu arah dalah kegiatan khotbah mingguan. Tugas
penggembalaan pun menyinggung hingga berbagai aspek kehidupan jemaat, dan tak
terkecuali para pelayan musik gerejawi.
Analisa Permasalahan.
Seperti
yang telah disinggung di atas, berbagai macam faktor menjadi latar belakang yang
mengancam Gereja dan para pelayan musik, maka para para Gembala perlu menyadari
akan hal tersebut. Secara umum ada dua faktor penting yang mendorong terjadinya
berbagai permasalahan, yaitu faktor internal
dan eksternal, baik dalam konteks
pelayan musik sebagai petugas yang melayani maupun gereja sebagai penyelenggara
kebaktian.
Pribadi
pelayan.
Faktor Internal.
Faktor internal yang penulis maksudkan adalah faktor-faktor negatif dari dalam
pribadi pemusik, yang kemudian berpotensi memicu munculnya berbagai masalah
dalam diri pelayan. Sedikitnya ada lima faktor, yaitu: Spiritualitas, Karakter, Etika, Kerja sama team, Skill dan Talenta.
Faktor Ekternal.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah, kebutuhan ekonomi, popularitas, dan wadah
ekspresif (maksud-maksud terselubung untuk diperhatikan “seseorang”).
Gereja
sebagai Penyelenggara.
Faktor
Internal. Seperti halnya pelayan musik, dari sudut pandang gereja, berbagai
hal juga dapat memberikan dampak buruk bagi para pelayan musik. Faktor-faktor
pendorong seperti, Kebutuhan akan pelayan musik, Minimnya jemaat yang memiliki
talenta, Kurangnya pemahaman koordinator bidang musik mengenai musik dan
pemusik, serta Kondisi yang belum memungkinkan (misalnya gereja dalam
perintisan).
Faktor
Eksternal. Dan fakor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi rapuhnya dunia
pelayan musik gerejawi adalah, Adanya persaingan dibalik layar pada wilayah musik
dan pemusik, Terkena imbas dari fenomena “selebrasi” gereja-gereja besar, Maraknya
lagu-lagu rohani kontemporer yang kurang berbobot dalam makna teologis, menjadi
hal-hal yang akhirnya membuka peluang bagi para musisi sekuler[7] yang
hanya berfokus pada materi dan popularitas (sebagaimana filosofi musik
sekuler).
Dibagian
lain, baik pemusik maupun gereja lokal, saling berinteraksi dan mempengaruhi
satu sama lain. Pemusik yang memiliki skill namun minim spiritual akan cendrung
untuk memanfaatkan gereja yang membuka celah, demikian sebaliknya, gereja yang
terlalu “memanjakan” pemusik tanpa ada pembinaan serius akan mengakibatkan
motivasi yang melenceng bagi para musisi gereja.
Penyelesaian Masalah
dan Relevansi.
Menganalisa berbagai macam latar belakang
serta permasalahan-permasalahan yang ada maka satu-satunya penyelesaian yang
terbaik adalah dengan mengadakan penggembalaan. Penggembalaan yang dilakukan
dapat dibagi kedalam beberapa bagian kegiatan. Penulis mengelompokan
kegiatan-kegiatan tersebut kedalam dua kelompok. Pertama, Penggembalaan Kelompok, dan yang kedua Penggembalaan Pribadi.
Penggembalaan
Kelompok.
Penggembalaan kelompok meliputi
pembinaan secara umum kepada para Pelayan Musik—baik melalui mimbar, maupun
kegiatan khusus—yang meliputi pemahaman-pemahaman mendasar mengenai
Tata Ibadah, Liturgi, Etika Pelayan, Musik gerejawi, serta pemahaman umum
lainnya yang menyangkut kerja sama team dan pelatihan pengembangan talenta.
Penggembalaan
Pribadi.
Sedangkan dalam konteks penggembalaan
pribadi, penggembalaan yang dilakukan meliputi kegiatan seperti Konseling, Pembinaan
Spiritual, dan follow-up yang berkelanjutan bagi para pelayan musik secara
pribadi, baik oleh Gembala jemaat atau pembina yang ditugaskan.
Namun ada dua catatan penting yang
perlu diperhatikan. Pertama, Gereja perlu memiliki pemahaman yang cukup
mengenai musik gereja, liturgi, etika pelayanan dan mengadakan seleksi yang ketat
terhadap para pelayan musik baru. Hal-hal tersebut dapat mendukung kemajuan
program gereja dalam penggembalaan, baik penggembalaan kelompok, maupun
pribadi. Pembenahan dari kedua sisi tersebut (baik pihak Gereja maupun Pribadi
pelayan) akan memberikan dampak yang lebih baik dalam penata-layanan musik
gereja.
Catatan
yang kedua adalah, mengingat para pelayan musik bukan hanya sebagai “pelayan”
namun juga sebagai “model” yang menarik perhatian jemaat, maka baik
Spiritualitas, Karakter, Motivasi hati, Etika, dan maupun Skill masing-masing individu haruslah
menjadi bagian penting dari program pembenahan pelayan gereja.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN.
Kesimpulan.
Sebagai
bab penutup, beberapa hal yang menjadi kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1. Penggembalaan bagi para pelayan musik saat ini, merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh Gereja lokal. Hal ini disebabkan karena
berbagai macam latar belakang yang mendorong seseorang terjun ke dalam dunia
pelayanan musik.
2.
Dengan strategi dan metode
penggembalaan yang tepat, dapat meningkatkan kualitas bagi para pelayan musik,
baik yang telah aktif maupun para musisi baru.
3. Keseimbangan antara Spiritual,
Karakter, Etika, dan Skill, akan berdampak pada pelayanan musik yang
menyenangkan hati Tuhan dan memberkati jemaat.
Saran.
Saran-saran
praktis dari tulisan ini Penulis tujukan
kepada para Gembala Jemaat, Pelayan musik, dan Calon pelayan musik, agar dapat
mempertimbangkan dan memperhatikan dengan teliti mengenai pentingnya peranan
musik gereja dalam tata liturgi, serta pentingnya peranan seorang musisi
gerejawi dalam mempersiapkan diri untuk melayani.
Akhir kata, semoga makalah singkat ini
dapat memberkati para Hamba-Nya yang ingin terjun dalam bidang musik gerejawi.
Soli
Deo Gloria!.
KEPUSTAKAAN.
Alkitab (TB), LAI.
M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu?: Petunjuk Praktis
Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2011).
Wilfred J. Samuel—Terj.Liem Sien Kie, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecendrungan
Pasca-Kharismatik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
Yohanis Herman, Relvansi Liturgi
bagi Perumbuhan Gereja (Bandung: Kalam Hidup, 2013).
[1] Terlepas
dari berbagai macam kontroversi, baik yang positif maupun negative mengenai
pembukaan cabang-cabang suatu gereja diberbagai tempat, namun harus diakui
bahwa kesan pertama dari sudut kuantitas yang terlihat adalah “suatu
pertumbuhan”.
[3] Wilfred
J. Samuel—Terj.Liem Sien Kie, Kristen
Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecendrungan Pasca-Kharismatik
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 55-56. Kritikan serupa juga disampaikan oleh
seorang Dosen STT Pontianak. Beliau berargumen bahwa: “Dalam sejarah
perkembangan liturgy, diungkapkan bahwa munculnya aliran Kharismatik telah
menimbulkan adanya kesan yang dangkal karena terlalu menekankan aspek
horizontal, dan emosional”. Lihat: Yohanis Herman, Relvansi Liturgi bagi Perumbuhan Gereja (Bandung: Kalam Hidup,
2013), 20.
[5] M.
Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu?:
Petunjuk Praktis Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2011), 1.
[7] Para musisi yang aktif dalam
musik sekuler tanpa pemahaman, motivasi serta basic yang matang dalam tata
ibadah dan musik gerejawi.
____________
NB: Tulisan ini disadur dari tugas mata kuliah "Teologi Penggembalaan" penulis, pada tahun 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar