Rabu, 05 Juli 2023

Teologi Kematian Tuhan dalam Tiga Dimensi: Modernisme, Postmodernisme Nietzschean dan Teologi Kristen

 


~Yosep Belay~
email: yosep.belay@gmail.com

 

Pendahuluan

            Dikursus mengenai ketuhanan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah panjang kehidupan manusia. “Tuhan” adalah terma fundamental dimana manusia memikirkan secara serius dan mempertaruhkan kehidupannya pada sosok yang ia sebut sebagai “Tuhan.” Konsepsi mengenai Tuhan digambarkan dalam berbagai macam gagasan, sesuai “inspirasi” budaya dan filosofis yang mendorongnya. Sebuah realitas yang terus menantang umat manusia untuk berpikir mengenai oknum transendental tersebut meskipun dunia terus berlari dengan kecepatan teknologi yang paling mutakhir. Dalam buku terkenalnya Can Man Live Without God, Ravi Zacharias bertanya, “Apakah manusia bisa hidup tanpa Allah?” Ia kemudian melanjutkan, “Pertanyaan ini bukan saja harus dijawab oleh mereka yang bersumpah bahwa mereka anti-ketuhanan, tetapi juga oleh banyak dari mereka yang menjalankan kehidupan ini seakan tidak ada Allah dan bahwa keberadaan-Nya tidak menjadi masalah.”[1] Packer bahkan mengingatkan bahwa, “kita sedang bersikap kejam terhadap diri sendiri jika kita berusaha hidup di dunia ini tanpa tahu apa pun tentang Allah yang menjadi pemilik dan pemelihara dunia ini.”[2] Pertanyaan mengenai Allah merupakan pertanyaan eksistensial yang menantang hakikat, makna dan tujuan hidup semua manusia.

            Kesalahan dalam menjawab pertanyaan itu akan berdampak pada reduksi nilai-nilai eksistensial manusia yang serius. Keseriusan ini ditunjukkan berulangkali oleh para nabi seperti Elia dan Yesaya yang mengajukan tiga pertanyaan kepada Israel: Siapakah yang disembah—Allah atau para ilah? Kepada siapakah mereka percaya dan bersandar—Kepada Allah atau kuasa-kuasa adidaya atau kekuatan militer? Dan bagaimana mereka melayani Allah di zamannya—Melalui kekuatan sendiri atau bersandar pada Allah meskipun Anda sendiri lemah? Jawaban-jawaban yang salah terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mendatangkan bencana atas Israel.[3]

            Meskipun secara eksplisit jawaban dari pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan jelas menentukan hidup-matinya manusia, namun dalam pergulatan otonomi eksistensialnya, manusia pada akhirnya mengharapkan (bahkan memaksakan diri) untuk “membunuh” Tuhan. Ini bukanlah sebuah gagasan baru karena spirit ini telah dijumpai dalam perlawanan di Eden. Spirit otonomi Edenik[4] ini kembali dalam wajah baru budaya kontemporer baik dalam filsafat dan budaya modernisme maupun postmodernisme. Menariknya, ide mengenai “harapan” akan kematian Tuhan itu juga merupakan bagian terpenting dalam diskursus teologi Kristen (yang menyinggung empat tema besar doktrinal—Kristologi, antropologi, hamartologi dan soteriologi). Sebagai orang percaya, kita benar-benar “mengharapkan” dan menaruh pengharapan sepenuhnya dalam bentuk ironi paradoksal pada pengenapan janji Allah (Kej. 3:15, “Sang Keturunan”) di dalam karya dan kematian Kristus (manusia sejati dan Allah sejati—kematian dalam dimensi misterion dan paradoksal). Kematian-Nya berdampak pada kelahiran dan kehidupan baru bagi kita, orang percaya.  Dengan kata lain dalam konteks teologi “kematian Tuhan” pada batasan tertentu memiliki kesamaan sekaligus perbedaan antara wacana filsafat dan budaya modernisme, postmodernisme Nietzschean dan teologi Kristen. Dialektika tersebut menjadi bahasan ringkas artikel ini untuk menyajikan wacana teologi, filosofis dan reflektif atas teologi kematian Tuhan dalam ruang wacana yang lebih luas.

Wacana Kematian Tuhan dalam Modernisme

            Modernisme secara umum dapat dipahami sebagai suatu gerakan atau iklim gagasan, terutama dalam bidang seni, sastra, atau arsitektur yang mendukung perubahan dengan meninggalkan gagasan-gagasan lama atau tradisional, dan mendukung kemajuan avant-garde. Lebih khusus lagi, kepatuhan pada ide dan cita-cita Pencerahan.[5] James Kenneth Dew Jr. dan Stewart E. Kelly menjeslkan pokok gagasan Pencerahan bahwa,

Inti dari Pencerahan adalah komitmen terhadap sains dan kemajuan manusia yang signifikan yang dimungkinkannya. Keyakinan (semakin populer) adalah bahwa sains harus dilihat "sebagai ukuran dari semua kebenaran manusia." Beberapa orang merujuk pada konsepsi Pencerahan sains sebagai model heroik, karena sains dan kejeniusan ilmiah dijadikan ikon pahlawan bagi budaya. Model heroik ini “menyamakan sains dengan alasan: tidak tertarik, tidak memihak, dan jika diikuti dengan cermat, jaminan kemajuan di dunia ini.” Jadi sains memberi kita model yang sangat baik untuk pengetahuan manusia sementara juga mempromosikan kemajuan yang akan membawa kemajuan bagi umat manusia modern. Newton, Francis Bacon (1561–1626), Robert Boyle (1627–1691), William Harvey (1578–1657), dan praktisi metode ilmiah lainnya yang tak terhitung banyaknya dianggap membantu masyarakat modern bergerak maju menuju tujuan sains dan meninggalkan otoritas tradisional seperti gereja Kristen, baik Protestan maupun Katolik.[6]

 

Dengan landasan dan cita-cita Pencerahan yang menuhankan sains, modernisme melanjutkan ide itu untuk kemudian menekankan pada kematian tuhan sebagai akibat dari kemandiriannya (kemajuan sains dan teknologi—saintisme). Tuhan kini tidak diperlukan lagi; ia telah mati. Dua fondasi yang membentuk karakteristik modern ada pada era Renaisans dan Pencerahan menekankan posisi akal dan otonomi manusia yang terlepas dari dogma gereja. Bentuk pergerakan sekularisasi yang Frame jelaskan sebagai masa kegelapan (dan bukan Pencerahan) karena meninggalkan terang kebenaran Allah, memaksakan natur akal yang saling bertentangan, penekanan pada otonomi dan bertentangan dengan worldview Kristen yang sebelumnya justru memimpin kebudayaan Eropa,

The modern philosophers found it no easier than the Greeks to impose autonomous rational thought on a world of recalcitrant fact. They disagreed over many things, particularly the relative roles of reason and sense. But even when (as in Hume) modern philosophers veered toward skepticism, they grasped tightly to the claim of autonomy and showed no interest in compromising that fundamental point. They did not call out to God for intellectual salvation. Such was the period from 1600 to 1800, often called the Enlightenment or the age of reason.326 From a Christian view, it was a time of darkness rather than enlightenment, but these names have become conventional  labels for this period in history.[7]

Dalam konteks ini, sekelompok pemikir Pencerahan berusaha membebaskan diri dari gereja, dogma dan penyataan Kitab Suci. Akal dan semangat empirisisme kemudian ditempatkan sebagai instrument yang menggantikan Alkitab dan dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran.[8] Metode yang mulai terlihat dari Bacon, Descartes hingga Kant. Atau seperti penjelasan Kant yang disimpulkan oleh John Robertson,

Dalam esainya Was ist Aufklärung? (Apa itu Pencerahan?) (1784), Kant mendefinisikan Aufklärung sebagai kebebasan untuk menggunakan nalar seseorang di depan umum dengan tujuan membebaskan umat manusia dari ketidakdewasaan yang dipaksakan sendiri. Dengan 'nalar', Kant memikirkan filosofi yang diadukan dalam Critique of Pure Reason (1781), di mana dia berpendapat bahwa akal, menguraikan apriori, proposisi kategoris sebab dan substansi, adalah prasyarat pemahaman kita tentang fisik dan dunia moral.[9]

Jadi akal yang otonom memainkan peranannya pada iklim intelektual Pencerahan. Dari landasan filsafat modern ini kemudian melahirkan pola-pola teologi Liberal di kemudian hari seperti yang dijelaskan Frame, “That change was that in the late seventeenth century, many professing Christians adopted the modern style of philosophizing and reconstructed their whole theology so as to agree with its assumptions. The movement began with a new way of reading the Bible, not as the revealed Word of God, but as a merely human document containing errors as well as religious wisdom.”[10]

            Secara ringkas James Kenneth Dew Jr. dan Stewart E. Kelly memberikan setidaknya lima inti dari keyakinan modernisme, namun penulis hanya menyinggung tiga diantaranya yang relevan dengan pembahasan ini. Ketiga pokok tersebut antara lain:[11] Pertama, pemikiran modernis memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap akal manusia dan kemampuan manusia untuk mengetahui realitas dengan pasti. Dalam berbagai cara Descartes (1595–1650), Locke (1632–1704), Newton (1642–1727), dan filsuf Prancis (di antaranya Voltaire [1694–1778] adalah yang paling terkenal) menganut apa yang oleh Alister McGrath disebut sebagai kemahakuasaan nalar manusia. Jadi rasionalisme sains memainkan peranan yang penting pada pola pemikiran modern. Kedua, umumnya pemikir Pencerahan berkomitmen pada kemajuan luas yang menurut mereka dimungkinkan oleh sains. Sains memungkinkan Revolusi Industri dan berkontribusi pada kemajuan medis yang besar; dan mengikuti petunjuk Descartes. Dari penekanan yang kuat pada harapan-harapan ini maka kaum modernis percaya bahwa sains membuat kepercayaan pada Tuhan Kristen tidak diperlukan lagi. Tuhan ditempatkan sebagai instrumen untuk mengisii ruang yang kini diambil alih oleh sains. Ketiga, mayoritas intelektual Pencerahan melihat budaya Eropa sebagai puncak peradaban modern. Menyusul penolakan mereka terhadap dosa asal, mereka (dengan nyaman) melihat diri mereka sebagai orang yang rasional, berpendidikan, berbudaya, sopan, dan maju secara ilmiah. Dikombinasikan dengan pertumbuhan kekayaan dan kemakmuran materi negara-negara Eropa, faktor-faktor ini memberi mereka banyak hal yang bisa dibanggakan. Di sini konteks sosial ekonomi yang ditunjang dari kemajuan sains dan teknologi membentuk budaya baru yang kemudian menempatkan hal-hal religius sebagai sesuatu yang tidak lagi diperlukan.

            Karena penekanan yang radikal pada kemajuan dan kemandirian manusia modern dengan iman dan pengharapan mereka pada sains dan teknologi, maka Tuhan tidak lagi diperlukan. Bagi para modernis, Tuhan hanyalah semacam hipotesis yang semakin tidak relvan dengan zaman. Ia hanya digunakan sebagai semacam penyebab pertama bagi eksistensi alam. Meskipun kalangan modernis menggunakan istilah “Tuhan”, namun terma tersebut hanya merupakan gagasan kosong hipotesis untuk mengisi gap pada teori mengenai misteri sains yang belum terjawab. Dapat disimpulkan bahwa dalam tataran teoritis, kalangan modernis dapat dikategorikan sebagai penganut deisme,[12] namun dalam tataran praktis, mereka cenderung pragmatis dengan ciri saintisme (ateisme praktis). Dalam hal ini Tuhan telah mati, atau setidaknya Ia telah ditelan oleh harapan-harapan Pencerahan perihal kemandirian akal serta kemajuan sains dan teknologi modern sehingga manusia modern tidak lagi hidup tanpa agama dan tuhan. Seperti dalam penutup buku dari Christopher Hitchens, seorang ateis yang mengatakan bahwa, kita membutuhkan Pencerahan yang diperbarui, yang akan mendasarkan dirinya pada proposisi studi yang tepat tentang umat manusia… dengan satu-satunya syarat bahwa kita membuang semua agama dari wacana.[13]

            Apa yang menjadi penyebab dari “kematian Tuhan” dalam dunia modern ini adalah merupakan pemisahan radikal dari natur otonom antara “iman” dan “akal” serta aktualisaisnya dalam praktik sains modern pada kebudyaaan. Penolakkan Pencerahan terhadap karakteristik wawasan dunia Kristen di Eropa mendorong para pemkirnya untuk mengambil jalannya sendiri tanpa pimpinan Tuhan sehingga sekularisai melanda eropa dengan distingsi yang eksplisit antara akal dan spiritualitas. Charles Taylor menjelaskan ini demikian,

Jika kita kembali ke beberapa abad yang lalu dalam peradaban kita, kita melihat bahwa Tuhan hadir dalam pengertian di atas dalam seluruh rangkaian praktik sosial—bukan hanya politik—dan di semua tingkat masyarakat: misalnya, ketika mode lokal berfungsi. pemerintah adalah paroki, dan paroki pada dasarnya masih merupakan komunitas doa; atau ketika serikat mempertahankan kehidupan ritual yang lebih dari pro forma; atau ketika satu-satunya mode di mana masyarakat dalam semua komponennya dapat menampilkan dirinya sendiri adalah pesta keagamaan, seperti, misalnya, prosesi Corpus Christi. Dalam masyarakat tersebut, Anda tidak dapat terlibat dalam aktivitas publik apa pun tanpa "bertemu Tuhan" dalam pengertian di atas. Tetapi situasinya benar-benar berbeda hari ini… Dalam masyarakat-masyarakat awal ini, agama ada “di mana-mana”, terjalin dengan segala sesuatu yang lain, dan tidak ada akal merupakan "ruang" tersendiri.[14]

Wacana Kematian Tuhan dalam Postmodernisme Nietzschean

            Berbeda dengan modernisme yang memandang masa depan umat manusia dengan opimisisme sains modern, postmodernisme meratapi harapan-harapan itu sebagai omomg kosong kuasa, politik, ideologi dan mengkritisinya dalam bentuk parodi. Jadi meskipun modernism hendak melengserkan model keTuhanan dalam Kekristenan, namun secara tak terhindarkan sains modern muncul sebagai ideologi baru yang dituhankan oleh masyarakat modern. Ini yang kemudian dirombak oleh postmodernis, tak terkecuali Nietzsche. Nietzsche si pembunuh tuhan itu terkenal dengan pernyataannya “God is dead.” Pernyataan ini ia tuangkan dalam salah satu bukunya The Gay Scince. Gambaran mengenai kamatian Tuhan itu diilustrasikan Nietzsche dengan seorang gila yang berlari di tengah kerumunan dan berteriak mengumumkan kematian Tuhan, “The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is God?” he cried; “I will tell you. We have killed him —you and I. All of us are his murderers. …God is dead. God remains dead. And we have killed him.”[15] Dalam paragraf ini Nietzsche memulai retorikanya dengan semacam perumpamaan: “Pernahkah kalian mendengar kisah tentang...” Ia bertutur dengan menggunakan kisah seperti pada umumnya guru-guru kebijaksanaan menyampaikan ajaran-ajaran mereka dengan menggunakan perumpamaan. Secara kontras, bila Yesus mengabarkan Kabar Baik lewat perumpamaan-perumpamaan-Nya, maka Nietzsche memberikan sebuah perlawanan terhadap Kabar Baik itu. Ilustrasi ini merupakan perumpamaan kontra yang isinya kabar kematian Tuhan.[16] Sebuah narasi perlawanan terhadap gagasan ketuhanan Kristen dan modernisme. Meskipun Nietzsche mengumumkan mengenai kematian Tuhan, namun serangkaian pertanyaan krusial yang ia lontaskan sebagai konsekuensi logis juga hadir membayangi pikiran Nietzsche sebagaimana yang nampak dalam kutipannya tersebut. Kaufman memberikan penjelasan mengenai hal ini,

Iman kepada Tuhan mati sebagai fakta budaya, dan "makna" hidup apa pun dalam arti tujuan supernatural hilang. Sekarang terserah kepada manusia untuk memberikan makna hidupnya dengan meninggikan dirinya di atas hewan dan semua yang terlalu manusiawi. Apa lagi sifat manusia selain eufemisme untuk kelembaman, pengondisian budaya, dan siapa kita sebelum kita membuat sesuatu dari diri kita sendiri? Apa yang disebut sifat manusia kita adalah hal yang harus kita atasi dengan baik; dan orang yang telah mengatasinya, Zarathustra, memanggil sang overman.[17]

            Ketika Tuhan mati maka kegelapan eksistenial seketika itu juga hadir. Manusia kehilangan pegangan hidup, tanpa arah, tanpa makna dan tanpa tujuan hidup. Harapan-harapan fundamental mengenai keyakinan transcendental hilang seketika. Dengan matinya tuhan maka manusia menghadapi suatu bencana eksistensial—kekosongan! Kematian  tuhan akan menyebabkan “logika raksasa kekagetan, penggelapan, dan gerhana matahari”—kematian-Nya merupakan terbitnya nihilisme!  Meski demikian, Tuhan memang harus tetap dibunuh karena pada dasarnya tidak ada Tuhan, “tuhan” yang ada saat ini adalah konsepsi manusia-manusia lemah dan bermental budak yang tidak mampu menghadapi realitas sehingga menciptakan “tuhan” bagi dirinya. Tuhan-tuhan ini kemudian berbalik menguasai manusia, mengasingkan dirinya sendiri dan dunianya. Jenis tuhan-tuhan demikian diagungkan sebagai kebenaran tertinggi yang pada akhirnya membuat manusia tenggelam dalam kebohongan citraanya sendiri.[18]

            Nietzsche menjelaskan gagasan mengenai Tuhan lebih lanjut  bahwa, “Tuhan” adalah kata untuk “Ya benar” bagi semua hal seperti “hukum”, “kehendak Tuhan”, “kitab suci”, “inspirasi.” Semua hanyalah kata-kata untuk kondisi-kondisi dimana pendeta (baik pendeta Kristen maupun pendeta-filosofis/filsuf, pen.) meraih kekuasaan, dan dengan mana dia mempertahankan kekuasaannya.[19] Apa yang kita sebut sebagai “Tuhan” bagi Nietzsche tidak lain hanyalah ide-ide yang dikonsepsikan demi tujuan kekuasaan. Secara umum bisa dikatakan bahwa Tuhan yang mati dalam pemikiran Nietzsche menunjuk pada Tuhan idée fixe. Pertama, ia merujuk Tuhan kristiani yang dibunuh. Kedua, Ia menunjuk pula segala bentuk konsep dan abstraksi metafisis yang dikembangkan oleh tradisi Eropa: tradisi platoniko kristiani.[20] Menurut Nietzsche alasan orang tetap meyakini Tuhan atau kebenaran adalah karena kegamangan mereka dalam menghadapi realitas situasi; suatu bentuk penipuan diri. Akan lebih baik jika kita menghadapi dan benar-benar menghayati sifat kesementaraan eksistensi dan ketakbermaknaan hidup yang nyata.[21] Kehidupan pasca kematian tuhan digambarkan Nietzsche dengan sikap yang sangat radikal, “Kalian manusia-manusia atas, dulu Tuhan ini adalah bahaya kalian yang terbesar. Hanya sejak dia sudah terbaring dalam kubur maka kalian dibangkitkan kembali.[22] Kematian tuhan diperlukan untuk “kelahiran baru” bagi manusia-atas ala Nietzsche.

            Seperti yang telah disinggung, Nietzsche menekankan pada realitas kematian tuhan yang mendatangkan kehidupan bagi ubermensch, semacam model antroposentrisme radikal.[23] Tuhan harus mati agar manusia (overman/manusia-atas) dapat “hidup.” Tetapi jika menggunakan nalar teologi kematian Tuhan Nietzsche yang menganggap setiap bentuk keyakinan ideologis sebagai “Tuhan” yang diciptakan manusia, maka bagaimana mungkin Nietzsche dapat menghindar dari bentuk ideologi lainnya (baca: tuhan) yang ia ciptakan sebagai wacana tandingannya itu? Jadi Nietzsche hanya mengekspresikan penolakkannya mengenai bentuk-bentuk gagasan mengenai Tuhan yang ada, kemudian ia mengembangkan “model teologi proper” yang sesuai seleranya. Dia berteologi secara negatif dalam bentuk teologi kematian Tuhan yang cendrung dogmatik. Ini berbeda dengan gaya modernisme yang cenderung pragmatic. Kehidupan pasca Tuhan dimana manusia tidak lagi membutuhkan-Nya karena telah mampu bereksistensi secara mandiri dalam dunia yang telah mapan dengan segala komponennya yang dianggap mampu “menyelamatkan.”

Wacana Kematian Tuhan dalam Teologi Kristen

            Ketika berbicara mengenai kematian Kristus di kayu salib, umumnya kita merujuk pada karya Kristus yang terkorelasi dengan doktrin Kristologi serta soteriologi. Namun seperti kontroversi beberapa waktu lalu mengenai perihal “apakah yang mengalami kematian di kayu salib itu manusia ataukah ke-Allahan Kristus?” Menjawab pertanyaan ini membutuhkan kajian yang mendalam dan hati-hati sehingga tidak dapat dijawab secara sederhana. Namun seperti yang ditunjukkan Moltman, isu ini tidak hanya mengacu pada diskusi doctrinal namun juga meluas dalam tataran filosofis dan kebudayaan. Dampak sekularisasi yang semakin gencar mengakibatkan, “Over recent years, many Christians and theologians have been made uneasy by the controversy over the existence of God and belief in God. Longfamiliar religious notions have been shattered, and many people feel disoriented when faced with the slogans ‘God is dead’ and ‘God cannot die’.”[24] Jadi bukan hanya dalam hal dogmatika, namun juga dalam implikasi praktisnya pada pemahaman yang lebih luas seperti halnya gagasan modernisme dan postmodernisme di atas.

            Harus diakui bahwa dalam mendiskusikan tema ini, bagaimana pun, kita tidak dapat menembus dimensi misteri Allah itu karena dalam karya pendamaian Kristus yang bersifat substitutif pun, merupakan penyataan Kitab Suci dalam dimensi misteri Allah. Hal ini dijelaskan Bavinck, “A realistic-mystical understanding of Christ’s substitution—our participation in his death through mystical union—is fully scriptural (Rom. 6–8; Gal. 2:20; Eph. 2:6; Col. 2:11; 3:3; etc.).”[25] Terdapat dimensi misteri dan paradoksal baik dalam perbincangan doktrin dasar substitusi maupun ketika menyentuh dwi natur Kristus saat kematian-Nya. Seperti penjelasan Kitab Suci dimana di dalam diri Kristus, kita menyatu dalam kematian dan kebangkitan-Nya, maka demikian pula dalam dwi natur-Nya dimana dalam tubuh manusia-Nya yang lemah dan mati, keilahian-Nya juga berpartisipasi di dalam penderitaan dan kematian-Nya itu. Ada korelasi dan komunikasi antar natur dalam peristiwa salib. Korelasi antara peristiwa kematian Kristus dalam kemanusiaan-Nya (Fil. 2:8; 1 Ptr. 3:18—dimensi sejarah) dan misteri paradoksal (dimensi transendental Allah) dimana keilahian-Nya ikut “menderita” dan “mati” di dalam kemanusiaan Kristus karena dwi natur itu menyatu dalam satu Pribadi. Kasatuan natur yang tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan ini dalam wacana Kristologi diistilahkan dengan communicatio ideomatum (communication of attributes). Sementara Calvin dalam tulisannya menggunakan istilah Idiomatum Koinonia. Perihal dwi natur Kristus, Calvin menjelaskan,

Thus, also, the Scriptures speak of Christ: they sometimes attribute (attribuunt) to him what must be referred (referri) solely to his humanity, sometimes what belongs (competant) uniquely to his divinity; and sometimes what embraces both natures but pertains to neither alone. And they so earnestly express this union of the two natures that is in Christ as sometimes to interchange them. This figure of speech is called by the ancient writers ἰδιωμάτων κοινωνία [i.e. the communion of properties][26]

Seperti manusia dalam dua unsurnya, dan seperti Perichoresis dalam Trinitas Imanen, demikian juga communicatio idiomatum dalam dwi natur Kristus. Masing-masing natur dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Hal ini dijelaskan lebih lanjut Randall Otto saat memberikan komentar mengenai konsep hypostatic union, “‘Perichoresis thus signifies the attribution of one nature’s prerogatives to the other, subsequently termed communicatio idiomatum [communication of attributes], by virtue of the interpenetration, but not commingling, of these [two] natures.”[27] Di dalam Pribadi Kristus, dwi natur-Nya saling berinteraksi tanpa percampuran dan pemisahan sehingga dalam momen salib dapat dikatakan juga bahwa ke-Allahan-Nya “menderita” dan “mati” di dalam kemanusiaan-Nya, sama dengan kemanusiaan-Nya disembah dan ditinggikan dalam ke-Allahan-Nya. Ini juga berkaitan dengan doktrin Inkarnasi dan soteriologi sebagai tujuan akhir dari karya Kristus itu sendiri. Ia harus Allah sejati dan manusia sejati dan kesejatian itu haruslah disertai masing-masing atribut yang lengkap. Untuk hal ini Francesca Aran Murphy memberikan komentar lanjutan perihal pandangan Athanasius,

Only a Saviour who was on the uncreated side of the now firmly established ontological divide could save us, because salvation now entailed the transformation of the human nature which had first been transformed in the person of Christ himself. For when the Logos assumed a human body, he became the single subject by the communicatio idiomatum of all that his body experienced. It therefore follows that by participating in the deified humanity of the Logos (brought about by baptism and the Eucharist and maintained by imitation, or the moral life) we also participate in his (p. 161) impassable divinity, because his flesh has been endowed with divinity just as his divinity has been endowed with humanity. As a result of this communication of divine life, we advance from the corruptibility and mortality of the created to share in the incorruption and immortality of the uncreated, and so arrive at the contemplation of the Father.[28]

Keilahian Kristus telah dianugerahi kemanusiaan-Nya, sama dengan kemanusiaan-Nya telah dianugerahi keilahian-Nya. Dua natur ini merupakan pokok fundamental dalam doktrin Kristologi dan soteriologi sekaligus menjadi penggambaran dari proses deifikasi umat Tuhan dimana kita yang fana kemudian mengambil bagian dari keilahian dan kekudusan-Nya sebagai Allah sebagaiana penjelasan mystical union Bavinck di atas. Di dalam kematian dan kebangkitan-Nya kita memperoleh hidup yang kekal (Rm. 6:3-10). Karena konsep communicatio idiomatum dan pemahaman yang clear  akan dwi natur Kristus maka teologi “Kematian Tuhan” dalam konsep kekristenan tidak boleh dipahamai atau dikacaukan dalam kerangka pikir yang tidak sesuai dengan pemahamn dasar tersebut. Kematian Tuhan dalam konsep teologi Kristen merujuk pada karya Kristus yang melaluinya anugerah keselamatan Allah dinyatakan bagi manusia berdosa. Hal ini sepenuhnya berdimensi spiritual dan bukan dalam konsep humanisme dan saintisme ala modernisme atau humanisme radikal—overman ala Nietzschean.

Penutup

            Gagasan teologi kematian Tuhan ini bertolak dari pengharapan yang sama mengenai “kematian Tuhan” namun dengan konsep, presuposisi, moralitas dan tujuan akhir yang sangat berbeda. Dalam modernisme dan postmodernisme, Tuhan harus mati agar manusia menjadi hidup bagi dirinya sendiri tanpa campur tangan-Nya yang membebaninya. Tuhan ala modernisme hanya sebagai instrumen pengisi kekosongan eksistensial manusia sampai ia, manusia itu, menemukan kemandiriannya yang otonom sehingga Tuhan tidak lagi diperlukan. Sementara pada model postmodernis Nietzschean, Tuhan menjadi penghambat bagi kemajuan manusia. Tuhan menjadikan manusia bermental budak sehingga tidak dapat megembangkan dirinya menjadi manusia super (overman). Itu sebabnya Tuhan-tuhan harus mati agar manusia (overman) hidup. Berbeda dengan keduanya, bagi teologi Kristen, Tuhan (Yesus) memang harus mengalami kematian agar manusia (orang percaya) menjadi hidup dan menjadi ciptaan yang baru (2 Kor. 5:17). Ini sebuah paradoks teologi Salib menurut Luther dimana Allah berkarya dalam logika yang non linier tetapi dalam dimensi paradoksal. Suatu karya “kematian Allah” yang menghidupkan umat-Nya dengan tujuan agar mereka tidak lagi hidup bagi dirinya, seperti modernism atau hidup bebas dan brutal seperti overman Nietzsche, tetapi bagi kemuliaan Allah (Rm. 6:3-4; Gal. 2:20). Model kehidupan baru yang dipersembahkan bagi Allah dalam bingkai moralitas dan etika Kerajaan Allah.

            Menyadari tiga prinsip dalam teologi kematian Tuhan yang berbeda ini, sebagai umat Tuhan kita perlu waspada agar tidak terjebak pada pola modernisme maupun postmodernisme Nietzschean yang cenderung ateistik. Yang pertama ateis praktis dan kedua ateis dogmatis. Kematian Kristus yang menghidupkan kita, tidak menjadikan kita orang-orang Kristen yang bermental pragmatis dan cengeng yang hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, berkat-berkat dan kesenangan-kesenangan hidup. Jika makna dan tujuan dari kematian Kristus hanya dipahami demikian, maka pemahaman kita sebagai seorang kristiani sama dengan pola-pola kaum modernis yang hanya berfokus pada hal-hal pragmatis. Atau seperti penegasan Paulus bahwa orang-orang demikian adalah “orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 Kor. 15:19). Sebaliknya, jika kematian Kristus dipahami sebagai model liberasi radikal yang menihilkan iman, moralitas, dan tanggungjawab (anomianism), maka secara implisit kita terjebak dalam ateisme ekstrim ala overman Nietzschean. Kematian Tuhan Yesus Kristus memang memerdekakan kita dari dosa, tetapi hal itu juga menghantarkan kita sebagai hamba-hamba kebenaran (Rm. 18). Kematian-Nya di atas kayu salib sekaligus mendatangkan kehidupan bagi kita, kehidupan yang dipersembahkan bagi kemuliaan Allah Tritunggal.

Selamat Paskah, Soli Deo Gloria!



                [1] Ravi Zacharias, Can Man Live Without God, pen., Wim Salampessy (Batam: Interaksara, 1999), 17.

                [2] J.I. Packer, Knowing God, pen., Johny The (Yogyakarta: Andy Offset, 2009), 5.

                [3] OS Guinness, Renaisans, pen., Timotius Lo (Malang: Literatur SAAT, 2017), 41.

                [4] Perlawanan Adam dan Hawa terhadap Allah (Kej. 3) tidak hanya berkaitan dengan perspektif teologis, namun juga berkaitan dengan fenomena budaya dan eksistensial manusia yang otonom. Dengan kata lain, dalam rangka penegakkan prinsip otonominya sebagai manusia maka Adam dan Hawa perlu mengadakan perlawanan terhadap Allah dan hukum-Nya yang menindas dan tidak memberikan ruang untuk berekspresi. Ini merupakan bentuk antroposentrisme radikal yang kembali nampak dalam wajah modernisme dan juga gagasan ubermencsh (overman) Nietzschean.

                [5] Simon Blackburn, Oxford Dictionary Of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 668.

                [6] James Kenneth Dew Jr. and Stewart E. Kelly, Understanding Postmodernism: A Christian Perspective (Downers Grove: InterVarsity Press, 2017), 34.

                [7] John M. Frame, A History Of Western Philosophy and Theology (New Jersey: P&R Publishing, 2015), 263.

                [8] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global: Menggali Perang Agama-agama dalam Masyarakat Modern, pen., Agustinus Setiawidi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 385. 

                [9]John Robertson, The Enlightenment: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 29.

                [10] John M. Frame, A History Of Western Philosophy and Theology, 264.

                [11] James Kenneth Dew Jr. and Stewart E. Kelly, Understanding Postmodernism: A Christian Perspective (Downers Grove: InterVarsity Press, 2017), 29.

                [12] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global, 391.

                [13] Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York: Allen & Unwin in 2007), 294.

                [14] Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 1-2.

                [15] Friedrich Nietzsche, The Gay Scince (New York: Vintage Books, 1974), 125.

                [16] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 337.

                [17] Walter Kaufmann,  Thus Spoke Zarathustra: First Part. Translator's Notes, 3.

                [18] Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 76-77.

                [19] Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, 286.

                [20] Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 336.

                [21] Roy Jackson, Friedrich Nietzsche, 2.

                [22] Friedrich Nietzsche, Zarathustra, 379.

                [23] Beberapa filsuf menghubungkan gagasan ubermensch ini dengan gaya berfilsafat eksistensialisme. namun penulis cenderung menggunakan terma antroposentrisme radikal sebagai bentuk kontras/negasi terhadap pandangan theosentrisme baik dalam konteks teologi Kristen maupun filsafat yang ia kritisi. Penekanan penulis pada istilah antroposentrisme radikal hendak menunjukkan bahwa konsep manusia-atas (ubermensch) merupakan gagasan perlawanan terhadap superioritas Tuhan dalam hidup manusia sehingga manusia perlu membunuh Tuhan. Dengan matinya Tuhan maka manusia itu terbebas sekaligus bebas mengekspresikan dirinya tanpa ada tanggungjawab moral dan nilai-nilai primodial tertentu (‘Tuhan”) yang dahulu membelenggunya.

                [24] Jürgen Moltmann, The Crucified God, 40th Anniversary Edition (Minneapolis: Fortress Press, 2015), 244.

                [25] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Abridged in One Volume, John Bolt (Ed.), (Grand Rapids: Baker Academic 2011), 445.

                [26] Calvin, Inst. II, c. 14, §1 (III, 459.29; Battles, I, 4823, slightly altered), in Richard Cross, Communicatio Idiomatum: Reformation Christological Debates (Oxford: Oxford University Press, 2019), 123.

                [27] Randall Otto in Oliver D. Crisp, Divinity and Humanity: The Incarnation Reconsidered (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 4. 

                [28]Francesca Aran Murphy (Ed.),  The Oxford Handbook of Christology (Oxford: Oxford University Press 2015 207-208.

____________________________
Cat. Artikel ini telah diterbitkan pada 
R E F O R M A N D A e - b u l l e t i n, 2023.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar