~Yosep
Belay~
email:
yosep.belay@gmail.com
Pendahuluan
Dikursus mengenai ketuhanan telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah panjang kehidupan manusia. “Tuhan”
adalah terma fundamental dimana manusia memikirkan secara serius dan
mempertaruhkan kehidupannya pada sosok yang ia sebut sebagai “Tuhan.” Konsepsi
mengenai Tuhan digambarkan dalam berbagai macam gagasan, sesuai “inspirasi”
budaya dan filosofis yang mendorongnya. Sebuah realitas yang terus menantang
umat manusia untuk berpikir mengenai oknum transendental tersebut meskipun
dunia terus berlari dengan kecepatan teknologi yang paling mutakhir. Dalam buku
terkenalnya Can Man Live Without God,
Ravi Zacharias bertanya, “Apakah manusia bisa hidup tanpa Allah?” Ia kemudian
melanjutkan, “Pertanyaan ini bukan saja harus dijawab oleh mereka yang
bersumpah bahwa mereka anti-ketuhanan, tetapi juga oleh banyak dari mereka yang
menjalankan kehidupan ini seakan tidak ada Allah dan bahwa keberadaan-Nya tidak
menjadi masalah.”[1]
Packer bahkan mengingatkan bahwa, “kita sedang bersikap kejam terhadap diri
sendiri jika kita berusaha hidup di dunia ini tanpa tahu apa pun tentang Allah
yang menjadi pemilik dan pemelihara dunia ini.”[2] Pertanyaan
mengenai Allah merupakan pertanyaan eksistensial yang menantang hakikat, makna
dan tujuan hidup semua manusia.
Kesalahan dalam menjawab pertanyaan
itu akan berdampak pada reduksi nilai-nilai eksistensial manusia yang serius. Keseriusan
ini ditunjukkan berulangkali oleh para nabi seperti Elia dan Yesaya yang
mengajukan tiga pertanyaan kepada Israel: Siapakah yang disembah—Allah atau
para ilah? Kepada siapakah mereka percaya dan bersandar—Kepada Allah atau
kuasa-kuasa adidaya atau kekuatan militer? Dan bagaimana mereka melayani Allah
di zamannya—Melalui kekuatan sendiri atau bersandar pada Allah meskipun Anda
sendiri lemah? Jawaban-jawaban yang salah terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut telah mendatangkan bencana atas Israel.[3]
Meskipun secara eksplisit jawaban
dari pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan jelas menentukan hidup-matinya
manusia, namun dalam pergulatan otonomi eksistensialnya, manusia pada akhirnya
mengharapkan (bahkan memaksakan diri) untuk “membunuh” Tuhan. Ini bukanlah
sebuah gagasan baru karena spirit ini telah dijumpai dalam perlawanan di Eden.
Spirit otonomi Edenik[4] ini
kembali dalam wajah baru budaya kontemporer baik dalam filsafat dan budaya
modernisme maupun postmodernisme. Menariknya, ide mengenai “harapan” akan
kematian Tuhan itu juga merupakan bagian terpenting dalam diskursus teologi
Kristen (yang menyinggung empat tema besar doktrinal—Kristologi, antropologi,
hamartologi dan soteriologi). Sebagai orang percaya, kita benar-benar “mengharapkan”
dan menaruh pengharapan sepenuhnya dalam bentuk ironi paradoksal pada pengenapan
janji Allah (Kej. 3:15, “Sang Keturunan”) di dalam karya dan kematian Kristus (manusia
sejati dan Allah sejati—kematian dalam dimensi misterion dan paradoksal).
Kematian-Nya berdampak pada kelahiran dan kehidupan baru bagi kita, orang
percaya. Dengan kata lain dalam konteks
teologi “kematian Tuhan” pada batasan tertentu memiliki kesamaan sekaligus
perbedaan antara wacana filsafat dan budaya modernisme, postmodernisme Nietzschean
dan teologi Kristen. Dialektika tersebut menjadi bahasan ringkas artikel ini untuk
menyajikan wacana teologi, filosofis dan reflektif atas teologi kematian Tuhan dalam
ruang wacana yang lebih luas.
Wacana Kematian Tuhan dalam
Modernisme
Modernisme
secara umum dapat dipahami sebagai suatu gerakan atau iklim gagasan, terutama
dalam bidang seni, sastra, atau arsitektur yang mendukung perubahan dengan
meninggalkan gagasan-gagasan lama atau tradisional, dan mendukung kemajuan
avant-garde. Lebih khusus lagi, kepatuhan pada ide dan cita-cita Pencerahan.[5] James
Kenneth Dew Jr. dan Stewart E. Kelly menjeslkan pokok gagasan Pencerahan bahwa,
Inti dari
Pencerahan adalah komitmen terhadap sains dan kemajuan manusia yang signifikan
yang dimungkinkannya. Keyakinan (semakin populer) adalah bahwa sains harus
dilihat "sebagai ukuran dari semua kebenaran manusia." Beberapa orang
merujuk pada konsepsi Pencerahan sains sebagai model heroik, karena sains dan
kejeniusan ilmiah dijadikan ikon pahlawan bagi budaya. Model heroik ini
“menyamakan sains dengan alasan: tidak tertarik, tidak memihak, dan jika
diikuti dengan cermat, jaminan kemajuan di dunia ini.” Jadi sains memberi kita
model yang sangat baik untuk pengetahuan manusia sementara juga mempromosikan
kemajuan yang akan membawa kemajuan bagi umat manusia modern. Newton, Francis
Bacon (1561–1626), Robert Boyle (1627–1691), William Harvey (1578–1657), dan
praktisi metode ilmiah lainnya yang tak terhitung banyaknya dianggap membantu
masyarakat modern bergerak maju menuju tujuan sains dan meninggalkan otoritas
tradisional seperti gereja Kristen, baik Protestan maupun Katolik.[6]
Dengan landasan dan cita-cita Pencerahan
yang menuhankan sains, modernisme melanjutkan ide itu untuk kemudian menekankan
pada kematian tuhan sebagai akibat dari kemandiriannya (kemajuan sains dan
teknologi—saintisme). Tuhan kini tidak diperlukan lagi; ia telah mati. Dua
fondasi yang membentuk karakteristik modern ada pada era Renaisans dan
Pencerahan menekankan posisi akal dan otonomi manusia yang terlepas dari dogma
gereja. Bentuk pergerakan sekularisasi yang Frame jelaskan sebagai masa
kegelapan (dan bukan Pencerahan) karena meninggalkan terang kebenaran Allah, memaksakan
natur akal yang saling bertentangan, penekanan pada otonomi dan bertentangan
dengan worldview Kristen yang
sebelumnya justru memimpin kebudayaan Eropa,
The
modern philosophers found it no easier than the Greeks to impose autonomous
rational thought on a world of recalcitrant fact. They disagreed over many
things, particularly the relative roles of reason and sense. But even when (as
in Hume) modern philosophers veered toward skepticism, they grasped tightly to
the claim of autonomy and showed no interest in compromising that fundamental
point. They did not call out to God for intellectual salvation. Such was the
period from 1600 to 1800, often called the Enlightenment or the age of
reason.326 From a Christian view, it was a time of darkness rather than
enlightenment, but these names have become conventional labels for this period in history.[7]
Dalam
konteks ini, sekelompok pemikir Pencerahan berusaha membebaskan diri dari
gereja, dogma dan penyataan Kitab Suci. Akal dan semangat empirisisme kemudian
ditempatkan sebagai instrument yang menggantikan Alkitab dan dipergunakan
sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran.[8] Metode
yang mulai terlihat dari Bacon, Descartes hingga Kant. Atau seperti penjelasan
Kant yang disimpulkan oleh John Robertson,
Dalam
esainya Was ist Aufklärung? (Apa itu
Pencerahan?) (1784), Kant mendefinisikan Aufklärung sebagai kebebasan untuk
menggunakan nalar seseorang di depan umum dengan tujuan membebaskan umat
manusia dari ketidakdewasaan yang dipaksakan sendiri. Dengan 'nalar', Kant
memikirkan filosofi yang diadukan dalam Critique
of Pure Reason (1781), di mana dia berpendapat bahwa akal, menguraikan
apriori, proposisi kategoris sebab dan substansi, adalah prasyarat pemahaman
kita tentang fisik dan dunia moral.[9]
Jadi
akal yang otonom memainkan peranannya pada iklim intelektual Pencerahan. Dari
landasan filsafat modern ini kemudian melahirkan pola-pola teologi Liberal di
kemudian hari seperti yang dijelaskan Frame, “That change was that in the late
seventeenth century, many professing Christians adopted the modern style of
philosophizing and reconstructed their whole theology so as to agree with its
assumptions. The movement began with a new way of reading the Bible, not as the
revealed Word of God, but as a merely human document containing errors as well
as religious wisdom.”[10]
Secara ringkas James Kenneth Dew Jr.
dan Stewart E. Kelly memberikan setidaknya lima inti dari keyakinan modernisme,
namun penulis hanya menyinggung tiga diantaranya yang relevan dengan pembahasan
ini. Ketiga pokok tersebut antara lain:[11] Pertama,
pemikiran modernis memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap akal
manusia dan kemampuan manusia untuk mengetahui realitas dengan pasti. Dalam
berbagai cara Descartes (1595–1650), Locke (1632–1704), Newton (1642–1727), dan
filsuf Prancis (di antaranya Voltaire [1694–1778] adalah yang paling terkenal)
menganut apa yang oleh Alister McGrath disebut sebagai kemahakuasaan nalar
manusia. Jadi rasionalisme sains memainkan peranan yang penting pada pola
pemikiran modern. Kedua, umumnya pemikir Pencerahan berkomitmen pada kemajuan
luas yang menurut mereka dimungkinkan oleh sains. Sains memungkinkan Revolusi
Industri dan berkontribusi pada kemajuan medis yang besar; dan mengikuti
petunjuk Descartes. Dari penekanan yang kuat pada harapan-harapan ini maka kaum
modernis percaya bahwa sains membuat kepercayaan pada Tuhan Kristen tidak
diperlukan lagi. Tuhan ditempatkan sebagai instrumen untuk mengisii ruang yang
kini diambil alih oleh sains. Ketiga, mayoritas intelektual Pencerahan melihat
budaya Eropa sebagai puncak peradaban modern. Menyusul penolakan mereka
terhadap dosa asal, mereka (dengan nyaman) melihat diri mereka sebagai orang
yang rasional, berpendidikan, berbudaya, sopan, dan maju secara ilmiah.
Dikombinasikan dengan pertumbuhan kekayaan dan kemakmuran materi negara-negara
Eropa, faktor-faktor ini memberi mereka banyak hal yang bisa dibanggakan. Di
sini konteks sosial ekonomi yang ditunjang dari kemajuan sains dan teknologi
membentuk budaya baru yang kemudian menempatkan hal-hal religius sebagai
sesuatu yang tidak lagi diperlukan.
Karena penekanan yang radikal pada kemajuan
dan kemandirian manusia modern dengan iman dan pengharapan mereka pada sains
dan teknologi, maka Tuhan tidak lagi diperlukan. Bagi para modernis, Tuhan
hanyalah semacam hipotesis yang semakin tidak relvan dengan zaman. Ia hanya
digunakan sebagai semacam penyebab pertama bagi eksistensi alam. Meskipun
kalangan modernis menggunakan istilah “Tuhan”, namun terma tersebut hanya
merupakan gagasan kosong hipotesis untuk mengisi gap pada teori mengenai
misteri sains yang belum terjawab. Dapat disimpulkan bahwa dalam tataran
teoritis, kalangan modernis dapat dikategorikan sebagai penganut deisme,[12]
namun dalam tataran praktis, mereka cenderung pragmatis dengan ciri saintisme
(ateisme praktis). Dalam hal ini Tuhan telah mati, atau setidaknya Ia telah ditelan
oleh harapan-harapan Pencerahan perihal kemandirian akal serta kemajuan sains
dan teknologi modern sehingga manusia modern tidak lagi hidup tanpa agama dan tuhan.
Seperti dalam penutup buku dari Christopher Hitchens, seorang ateis yang
mengatakan bahwa, ”kita membutuhkan Pencerahan yang diperbarui, yang akan
mendasarkan dirinya pada proposisi studi yang tepat tentang umat manusia…
dengan satu-satunya syarat bahwa kita membuang semua agama dari wacana.[13]
Apa yang menjadi penyebab dari
“kematian Tuhan” dalam dunia modern ini adalah merupakan pemisahan radikal dari
natur otonom antara “iman” dan “akal” serta aktualisaisnya dalam praktik sains
modern pada kebudyaaan. Penolakkan Pencerahan terhadap karakteristik wawasan
dunia Kristen di Eropa mendorong para pemkirnya untuk mengambil jalannya
sendiri tanpa pimpinan Tuhan sehingga sekularisai melanda eropa dengan
distingsi yang eksplisit antara akal dan spiritualitas. Charles Taylor
menjelaskan ini demikian,
Jika
kita kembali ke beberapa abad yang lalu dalam peradaban kita, kita melihat
bahwa Tuhan hadir dalam pengertian di atas dalam seluruh rangkaian praktik
sosial—bukan hanya politik—dan di semua tingkat masyarakat: misalnya, ketika
mode lokal berfungsi. pemerintah adalah paroki, dan paroki pada dasarnya masih
merupakan komunitas doa; atau ketika serikat mempertahankan kehidupan ritual
yang lebih dari pro forma; atau ketika satu-satunya mode di mana masyarakat
dalam semua komponennya dapat menampilkan dirinya sendiri adalah pesta
keagamaan, seperti, misalnya, prosesi Corpus Christi. Dalam masyarakat
tersebut, Anda tidak dapat terlibat dalam aktivitas publik apa pun tanpa
"bertemu Tuhan" dalam pengertian di atas. Tetapi situasinya
benar-benar berbeda hari ini… Dalam masyarakat-masyarakat awal ini, agama ada
“di mana-mana”, terjalin dengan segala sesuatu yang lain, dan tidak ada akal
merupakan "ruang" tersendiri.[14]
Wacana Kematian Tuhan dalam
Postmodernisme Nietzschean
Berbeda dengan modernisme yang
memandang masa depan umat manusia dengan opimisisme sains modern, postmodernisme
meratapi harapan-harapan itu sebagai omomg kosong kuasa, politik, ideologi dan mengkritisinya
dalam bentuk parodi. Jadi meskipun modernism hendak melengserkan model keTuhanan
dalam Kekristenan, namun secara tak terhindarkan sains modern muncul sebagai ideologi
baru yang dituhankan oleh masyarakat modern. Ini yang kemudian dirombak oleh
postmodernis, tak terkecuali Nietzsche. Nietzsche si pembunuh tuhan itu
terkenal dengan pernyataannya “God is dead.” Pernyataan ini ia tuangkan dalam
salah satu bukunya The Gay Scince.
Gambaran mengenai kamatian Tuhan itu diilustrasikan Nietzsche dengan seorang
gila yang berlari di tengah kerumunan dan berteriak mengumumkan kematian Tuhan,
“The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is
God?” he cried; “I will tell you. We have killed him —you and I. All of us are
his murderers. …God is dead. God remains dead. And we have killed him.”[15] Dalam
paragraf ini Nietzsche memulai retorikanya dengan semacam perumpamaan:
“Pernahkah kalian mendengar kisah tentang...” Ia bertutur dengan menggunakan
kisah seperti pada umumnya guru-guru kebijaksanaan menyampaikan ajaran-ajaran
mereka dengan menggunakan perumpamaan. Secara kontras, bila Yesus mengabarkan
Kabar Baik lewat perumpamaan-perumpamaan-Nya, maka Nietzsche memberikan sebuah
perlawanan terhadap Kabar Baik itu. Ilustrasi ini merupakan perumpamaan kontra
yang isinya kabar kematian Tuhan.[16] Sebuah
narasi perlawanan terhadap gagasan ketuhanan Kristen dan modernisme. Meskipun
Nietzsche mengumumkan mengenai kematian Tuhan, namun serangkaian pertanyaan
krusial yang ia lontaskan sebagai konsekuensi logis juga hadir membayangi
pikiran Nietzsche sebagaimana yang nampak dalam kutipannya tersebut. Kaufman
memberikan penjelasan mengenai hal ini,
Iman
kepada Tuhan mati sebagai fakta budaya, dan "makna" hidup apa pun
dalam arti tujuan supernatural hilang. Sekarang terserah kepada manusia untuk
memberikan makna hidupnya dengan meninggikan dirinya di atas hewan dan semua
yang terlalu manusiawi. Apa lagi sifat manusia selain eufemisme untuk
kelembaman, pengondisian budaya, dan siapa kita sebelum kita membuat sesuatu
dari diri kita sendiri? Apa yang disebut sifat manusia kita adalah hal yang harus
kita atasi dengan baik; dan orang yang telah mengatasinya, Zarathustra,
memanggil sang overman.[17]
Ketika Tuhan mati maka kegelapan
eksistenial seketika itu juga hadir. Manusia kehilangan pegangan hidup, tanpa
arah, tanpa makna dan tanpa tujuan hidup. Harapan-harapan fundamental mengenai
keyakinan transcendental hilang seketika. Dengan matinya tuhan maka manusia
menghadapi suatu bencana eksistensial—kekosongan! Kematian tuhan akan menyebabkan “logika raksasa
kekagetan, penggelapan, dan gerhana matahari”—kematian-Nya merupakan terbitnya
nihilisme! Meski demikian, Tuhan memang
harus tetap dibunuh karena pada dasarnya tidak ada Tuhan, “tuhan” yang ada saat
ini adalah konsepsi manusia-manusia lemah dan bermental budak yang tidak mampu
menghadapi realitas sehingga menciptakan “tuhan” bagi dirinya. Tuhan-tuhan ini
kemudian berbalik menguasai manusia, mengasingkan dirinya sendiri dan dunianya.
Jenis tuhan-tuhan demikian diagungkan sebagai kebenaran tertinggi yang pada
akhirnya membuat manusia tenggelam dalam kebohongan citraanya sendiri.[18]
Nietzsche menjelaskan gagasan
mengenai Tuhan lebih lanjut bahwa,
“Tuhan” adalah kata untuk “Ya benar” bagi semua hal seperti “hukum”, “kehendak
Tuhan”, “kitab suci”, “inspirasi.” Semua hanyalah kata-kata untuk kondisi-kondisi
dimana pendeta (baik pendeta Kristen maupun pendeta-filosofis/filsuf, pen.)
meraih kekuasaan, dan dengan mana dia mempertahankan kekuasaannya.[19] Apa
yang kita sebut sebagai “Tuhan” bagi Nietzsche tidak lain hanyalah ide-ide yang
dikonsepsikan demi tujuan kekuasaan. Secara umum bisa dikatakan bahwa Tuhan
yang mati dalam pemikiran Nietzsche menunjuk pada Tuhan idée fixe. Pertama, ia merujuk Tuhan kristiani yang dibunuh. Kedua,
Ia menunjuk pula segala bentuk konsep dan abstraksi metafisis yang dikembangkan
oleh tradisi Eropa: tradisi platoniko kristiani.[20] Menurut
Nietzsche alasan orang tetap meyakini Tuhan atau kebenaran adalah karena
kegamangan mereka dalam menghadapi realitas situasi; suatu bentuk penipuan
diri. Akan lebih baik jika kita menghadapi dan benar-benar menghayati sifat
kesementaraan eksistensi dan ketakbermaknaan hidup yang nyata.[21] Kehidupan
pasca kematian tuhan digambarkan Nietzsche dengan sikap yang sangat radikal,
“Kalian manusia-manusia atas, dulu Tuhan ini adalah bahaya kalian yang
terbesar. Hanya sejak dia sudah terbaring dalam kubur maka kalian dibangkitkan
kembali.[22]
Kematian tuhan diperlukan untuk “kelahiran baru” bagi manusia-atas ala Nietzsche.
Seperti yang telah disinggung, Nietzsche
menekankan pada realitas kematian tuhan yang mendatangkan kehidupan bagi ubermensch, semacam model antroposentrisme
radikal.[23]
Tuhan harus mati agar manusia (overman/manusia-atas) dapat “hidup.” Tetapi jika
menggunakan nalar teologi kematian Tuhan Nietzsche yang menganggap setiap
bentuk keyakinan ideologis sebagai “Tuhan” yang diciptakan manusia, maka
bagaimana mungkin Nietzsche dapat menghindar dari bentuk ideologi lainnya (baca:
tuhan) yang ia ciptakan sebagai wacana tandingannya itu? Jadi Nietzsche hanya
mengekspresikan penolakkannya mengenai bentuk-bentuk gagasan mengenai Tuhan
yang ada, kemudian ia mengembangkan “model teologi proper” yang sesuai
seleranya. Dia berteologi secara negatif dalam bentuk teologi kematian Tuhan
yang cendrung dogmatik. Ini berbeda dengan gaya modernisme yang cenderung
pragmatic. Kehidupan pasca Tuhan dimana manusia tidak lagi membutuhkan-Nya
karena telah mampu bereksistensi secara mandiri dalam dunia yang telah mapan
dengan segala komponennya yang dianggap mampu “menyelamatkan.”
Wacana Kematian Tuhan dalam Teologi
Kristen
Ketika
berbicara mengenai kematian Kristus di kayu salib, umumnya kita merujuk pada
karya Kristus yang terkorelasi dengan doktrin Kristologi serta soteriologi. Namun
seperti kontroversi beberapa waktu lalu mengenai perihal “apakah yang mengalami
kematian di kayu salib itu manusia ataukah ke-Allahan Kristus?” Menjawab
pertanyaan ini membutuhkan kajian yang mendalam dan hati-hati sehingga tidak
dapat dijawab secara sederhana. Namun seperti yang ditunjukkan Moltman, isu ini
tidak hanya mengacu pada diskusi doctrinal namun juga meluas dalam tataran filosofis
dan kebudayaan. Dampak sekularisasi yang semakin gencar mengakibatkan, “Over
recent years, many Christians and theologians have been made uneasy by the
controversy over the existence of God and belief in God. Longfamiliar religious
notions have been shattered, and many people feel disoriented when faced with
the slogans ‘God is dead’ and ‘God cannot die’.”[24] Jadi
bukan hanya dalam hal dogmatika, namun juga dalam implikasi praktisnya pada
pemahaman yang lebih luas seperti halnya gagasan modernisme dan postmodernisme
di atas.
Harus diakui bahwa dalam
mendiskusikan tema ini, bagaimana pun, kita tidak dapat menembus dimensi
misteri Allah itu karena dalam karya pendamaian Kristus yang bersifat substitutif
pun, merupakan penyataan Kitab Suci dalam dimensi misteri Allah. Hal ini
dijelaskan Bavinck, “A realistic-mystical understanding of Christ’s
substitution—our participation in his death through mystical union—is fully
scriptural (Rom. 6–8; Gal. 2:20; Eph. 2:6; Col. 2:11; 3:3; etc.).”[25]
Terdapat dimensi misteri dan paradoksal baik dalam perbincangan doktrin dasar
substitusi maupun ketika menyentuh dwi natur Kristus saat kematian-Nya. Seperti
penjelasan Kitab Suci dimana di dalam diri Kristus, kita menyatu dalam kematian
dan kebangkitan-Nya, maka demikian pula dalam dwi natur-Nya dimana dalam tubuh
manusia-Nya yang lemah dan mati, keilahian-Nya juga berpartisipasi di dalam
penderitaan dan kematian-Nya itu. Ada korelasi dan komunikasi antar natur dalam
peristiwa salib. Korelasi antara peristiwa kematian Kristus dalam
kemanusiaan-Nya (Fil. 2:8; 1 Ptr. 3:18—dimensi sejarah) dan misteri paradoksal
(dimensi transendental Allah) dimana keilahian-Nya ikut “menderita” dan “mati”
di dalam kemanusiaan Kristus karena dwi natur itu menyatu dalam satu Pribadi. Kasatuan
natur yang tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan ini dalam wacana
Kristologi diistilahkan dengan communicatio
ideomatum (communication of attributes). Sementara Calvin dalam tulisannya
menggunakan istilah Idiomatum Koinonia.
Perihal dwi natur Kristus, Calvin menjelaskan,
Thus,
also, the Scriptures speak of Christ: they sometimes attribute (attribuunt) to
him what must be referred (referri) solely to his humanity, sometimes what belongs
(competant) uniquely to his divinity; and sometimes what embraces both natures
but pertains to neither alone. And they so earnestly express this union of the
two natures that is in Christ as sometimes to interchange them. This figure of
speech is called by the ancient writers ἰδιωμάτων κοινωνία [i.e. the communion of
properties][26]
Seperti
manusia dalam dua unsurnya, dan seperti Perichoresis dalam Trinitas Imanen,
demikian juga communicatio idiomatum
dalam dwi natur Kristus. Masing-masing natur dapat dibedakan namun tidak dapat
dipisahkan. Hal ini dijelaskan lebih lanjut Randall Otto saat memberikan
komentar mengenai konsep hypostatic union,
“‘Perichoresis thus signifies the attribution of one nature’s prerogatives to
the other, subsequently termed communicatio idiomatum [communication of
attributes], by virtue of the interpenetration, but not commingling, of these
[two] natures.”[27]
Di dalam Pribadi Kristus, dwi natur-Nya saling berinteraksi tanpa percampuran
dan pemisahan sehingga dalam momen salib dapat dikatakan juga bahwa ke-Allahan-Nya
“menderita” dan “mati” di dalam kemanusiaan-Nya, sama dengan kemanusiaan-Nya
disembah dan ditinggikan dalam ke-Allahan-Nya. Ini juga berkaitan dengan
doktrin Inkarnasi dan soteriologi sebagai tujuan akhir dari karya Kristus itu
sendiri. Ia harus Allah sejati dan manusia sejati dan kesejatian itu haruslah
disertai masing-masing atribut yang lengkap. Untuk hal ini Francesca Aran
Murphy memberikan komentar lanjutan perihal pandangan Athanasius,
Only
a Saviour who was on the uncreated side of the now firmly established
ontological divide could save us, because salvation now entailed the
transformation of the human nature which had first been transformed in the
person of Christ himself. For when the Logos assumed a human body, he became
the single subject by the communicatio idiomatum of all that his body
experienced. It therefore follows that by participating in the deified humanity
of the Logos (brought about by baptism and the Eucharist and maintained by
imitation, or the moral life) we also participate in his (p. 161) impassable
divinity, because his flesh has been endowed with divinity just as his divinity
has been endowed with humanity. As a result of this communication of divine
life, we advance from the corruptibility and mortality of the created to share
in the incorruption and immortality of the uncreated, and so arrive at the
contemplation of the Father.[28]
Keilahian
Kristus telah dianugerahi kemanusiaan-Nya, sama dengan kemanusiaan-Nya telah
dianugerahi keilahian-Nya. Dua natur ini merupakan pokok fundamental dalam
doktrin Kristologi dan soteriologi sekaligus menjadi penggambaran dari proses
deifikasi umat Tuhan dimana kita yang fana kemudian mengambil bagian dari
keilahian dan kekudusan-Nya sebagai Allah sebagaiana penjelasan mystical union Bavinck di atas. Di dalam
kematian dan kebangkitan-Nya kita memperoleh hidup yang kekal (Rm. 6:3-10).
Karena konsep communicatio idiomatum
dan pemahaman yang clear akan dwi natur Kristus maka teologi “Kematian
Tuhan” dalam konsep kekristenan tidak boleh dipahamai atau dikacaukan dalam
kerangka pikir yang tidak sesuai dengan pemahamn dasar tersebut. Kematian Tuhan
dalam konsep teologi Kristen merujuk pada karya Kristus yang melaluinya anugerah
keselamatan Allah dinyatakan bagi manusia berdosa. Hal ini sepenuhnya
berdimensi spiritual dan bukan dalam konsep humanisme dan saintisme ala
modernisme atau humanisme radikal—overman ala Nietzschean.
Penutup
Gagasan teologi kematian Tuhan ini
bertolak dari pengharapan yang sama mengenai “kematian Tuhan” namun dengan
konsep, presuposisi, moralitas dan tujuan akhir yang sangat berbeda. Dalam
modernisme dan postmodernisme, Tuhan harus
mati agar manusia menjadi hidup bagi dirinya sendiri tanpa campur tangan-Nya
yang membebaninya. Tuhan ala modernisme hanya sebagai instrumen pengisi
kekosongan eksistensial manusia sampai ia, manusia itu, menemukan kemandiriannya
yang otonom sehingga Tuhan tidak lagi diperlukan. Sementara pada model
postmodernis Nietzschean, Tuhan menjadi penghambat bagi kemajuan manusia. Tuhan
menjadikan manusia bermental budak sehingga tidak dapat megembangkan dirinya
menjadi manusia super (overman). Itu sebabnya Tuhan-tuhan harus mati agar
manusia (overman) hidup. Berbeda dengan keduanya, bagi teologi Kristen, Tuhan (Yesus)
memang harus mengalami kematian agar manusia (orang percaya) menjadi hidup
dan menjadi ciptaan yang baru (2 Kor. 5:17). Ini sebuah paradoks teologi Salib
menurut Luther dimana Allah berkarya dalam logika yang non linier tetapi dalam
dimensi paradoksal. Suatu karya “kematian Allah” yang menghidupkan umat-Nya
dengan tujuan agar mereka tidak lagi hidup bagi dirinya, seperti modernism atau
hidup bebas dan brutal seperti overman Nietzsche, tetapi bagi kemuliaan Allah
(Rm. 6:3-4; Gal. 2:20). Model kehidupan baru yang dipersembahkan bagi Allah
dalam bingkai moralitas dan etika Kerajaan Allah.
Menyadari tiga prinsip dalam teologi
kematian Tuhan yang berbeda ini, sebagai umat Tuhan kita perlu waspada agar
tidak terjebak pada pola modernisme maupun postmodernisme Nietzschean yang cenderung
ateistik. Yang pertama ateis praktis dan kedua ateis dogmatis. Kematian Kristus
yang menghidupkan kita, tidak menjadikan kita orang-orang Kristen yang bermental
pragmatis dan cengeng yang hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan,
berkat-berkat dan kesenangan-kesenangan hidup. Jika makna dan tujuan dari
kematian Kristus hanya dipahami demikian, maka pemahaman kita sebagai seorang
kristiani sama dengan pola-pola kaum modernis yang hanya berfokus pada hal-hal
pragmatis. Atau seperti penegasan Paulus bahwa orang-orang demikian adalah
“orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 Kor. 15:19). Sebaliknya,
jika kematian Kristus dipahami sebagai model liberasi radikal yang menihilkan iman,
moralitas, dan tanggungjawab (anomianism), maka secara implisit kita terjebak
dalam ateisme ekstrim ala overman Nietzschean. Kematian Tuhan Yesus Kristus
memang memerdekakan kita dari dosa, tetapi hal itu juga menghantarkan kita
sebagai hamba-hamba kebenaran (Rm. 18). Kematian-Nya di atas kayu salib
sekaligus mendatangkan kehidupan bagi kita, kehidupan yang dipersembahkan bagi
kemuliaan Allah Tritunggal.
Selamat
Paskah, Soli Deo Gloria!
[4]
Perlawanan Adam dan Hawa terhadap Allah (Kej. 3) tidak hanya berkaitan dengan
perspektif teologis, namun juga berkaitan dengan fenomena budaya dan
eksistensial manusia yang otonom. Dengan kata lain, dalam rangka penegakkan
prinsip otonominya sebagai manusia maka Adam dan Hawa perlu mengadakan
perlawanan terhadap Allah dan hukum-Nya yang menindas dan tidak memberikan
ruang untuk berekspresi. Ini merupakan bentuk antroposentrisme radikal yang
kembali nampak dalam wajah modernisme dan juga gagasan ubermencsh (overman) Nietzschean.
[6] James
Kenneth Dew Jr. and Stewart E. Kelly, Understanding
Postmodernism: A Christian Perspective (Downers Grove: InterVarsity Press,
2017), 34.
[7]
John M. Frame, A History Of Western Philosophy and Theology
(New Jersey: P&R Publishing, 2015), 263.
[8] David
W. Shenk, Ilah-Ilah Global: Menggali
Perang Agama-agama dalam Masyarakat Modern, pen., Agustinus Setiawidi
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 385.
[9]John
Robertson, The Enlightenment: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 29.
[11] James
Kenneth Dew Jr. and Stewart E. Kelly, Understanding
Postmodernism: A Christian Perspective (Downers Grove: InterVarsity Press,
2017), 29.
[13]
Christopher Hitchens, God Is Not Great:
How Religion Poisons Everything (New York: Allen & Unwin in 2007), 294.
[14] Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: The Belknap
Press of Harvard University Press, 2007), 1-2.
[23]
Beberapa filsuf menghubungkan gagasan ubermensch
ini dengan gaya berfilsafat eksistensialisme. namun penulis cenderung
menggunakan terma antroposentrisme
radikal sebagai bentuk kontras/negasi terhadap pandangan theosentrisme baik
dalam konteks teologi Kristen maupun filsafat yang ia kritisi. Penekanan
penulis pada istilah antroposentrisme
radikal hendak menunjukkan bahwa konsep manusia-atas (ubermensch) merupakan gagasan perlawanan terhadap superioritas
Tuhan dalam hidup manusia sehingga manusia perlu membunuh Tuhan. Dengan matinya
Tuhan maka manusia itu terbebas sekaligus bebas mengekspresikan dirinya tanpa
ada tanggungjawab moral dan nilai-nilai primodial tertentu (‘Tuhan”) yang
dahulu membelenggunya.
[24] Jürgen Moltmann, The Crucified God, 40th Anniversary Edition
(Minneapolis: Fortress Press, 2015), 244.
[25] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Abridged in One Volume,
John Bolt (Ed.), (Grand Rapids: Baker Academic 2011), 445.
[26]
Calvin,
Inst. II, c. 14, §1 (III, 459.2–9; Battles,
I, 482–3,
slightly altered), in Richard Cross, Communicatio Idiomatum: Reformation
Christological Debates (Oxford: Oxford University Press, 2019), 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar