Kamis, 27 September 2018

RENUNGAN : SALIB KRISTUS [:EKSPRESI KASIH KRISTIANI]

SALIB KRISTUS: EKSPRESI KASIH KRISTIANI

          Kasih dalam konsep iman Kristen memiliki keunikan tersendiri karena bersifat Teosentris. Pernyataan ini secara eksplisit mengungkapkan satu fakta bahwa kasih kristiani itu bersumber dari pribadi Allah sendiri sebagai manifestasinya, “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:16b). Frasa Allah adalah kasih pada ayat ini mengungkapkan sifat dan relasi Allah Tritunggal di dalam kekekalan dimana Allah Bapa-Anak-dan Roh Kudus saling berelasi dalam kasih, bahkan sampai pada pelayanan Kristus di dunia (Mat. 3:17; Yoh. 10:17; 14:31). Sementara di dalam dunia ciptaan, kasih Allah dinyatakan melalui pewahyuan umum (alam) dan khusus (kitab suci). Alkitab menggambarkan hal ini dengan berbagai macam demonstrasi kasih Allah bagi manusia berdosa seperti yang akan dibahas. Dari dasar kebenaran tersebut, kasih kristiani kemudian diaplikasikan dalam kehidupan umat Tuhan dan berlanjut pada dunia. Suatu pengajaran prinsipil yang hanya dijumpai dalam iman Kristen.

Dasar Kasih Kristiani.

          Kasih kristiani bersumber dari kasih Allah melalui Pribadi dan karya Kristus. Kristus menjadi sentralitas kasih kristiani bagi umat manusia karena melalui Kristus kasih Allah dinyatakan bagi dunia ciptaan-Nya yang telah korup. Kasih Allah ini dinyatakan melalui dua bukti faktual dalam sejarah peradaban umat manusia.

          Bukti Kasih Allah—Umum. Kronologis penciptaan, penyediaan, dan pemeliharaan alam semesta bagi kelangsungan hidup umat manusia adalah bukti kasih Allah yang paling nyata dan general. Dalam kasih umum ini semua manusia menerima belas kasih Allah yang sama. Baik penjahat maupun orang baik, baik umat Tuhan maupun ateis, semuanya menerima anugerah kasih umum ini—makanan, minuman, udara segar, panas-hujan, tempat peristirahatan, kesehatan, dsb. Hal ini seperti seorang ayah yang hendak menyediakan keperluan anaknya di suatu tempat peratauan, dimana ia terlebih dahulu menyediakan segala sesuatu dengan lengkap dan berlimpah, kemudian ia menempatkan anaknya di sana, sambil terus memperhatikan dan mencukupinya (Kej. 2:8). Meskipun banyak orang, terutama kalangan ateis yang menyangkal akan bukti kasih Allah ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka hidup menumpang dan berhutang pada kasih Allah itu.    

          Bukti Kasih Allah—Khusus (1 Yoh 14: 10; Yoh. 3:16).  Kasih umum merupakan bentuk kasih Allah yang universal bagi umat manusia, namun kasih khusus Allah bagi umat-Nya merupakan bentuk kasih yang eksklusif karena hanya tersedia bagi mereka yang menerima Kristus sebagai Juru-selamatnya. Bukti kasih Allah yang khusus ini dinyatakan melalui karya salib Kristus. Salib Kistus adalah dasar dan demonstrasi kasih Allah yang terbesar bagi umat-Nya dan bagi dunia.

          Ketika kita berbicara mengenai Salib Kristus, kita sesungguhnya tidak hanya sedang berbicara mengenai kasih Allah namun juga penghukuman Allah bagi dosa-dosa kita. Salib Kristus merupakan perjumpaan antara kasih Allah dan penghukuman-Nya. Seruan kemenangan, “Sudah Selesai!” yang membela bukit tandus di golgota itu merupakan seruan kasih Allah bagi Saudara dan saya. Di atas salib yang hina itu, 2000 tahun yang lalu, Kristus dengan penuh kasih telah memandang jauh kedepan bahwa nanti pada tahun 2018 bulan september, ada orang-orang seperti Saudara dan saya yang akan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Sudah selesai, sudah lunas! Ini bentuk kasih paling agung dan mulia, karena Kristus telah mati bagi kita bahkan ketika kita masih berdoa dan belum mengenal-Nya (Rm. 5:8). Tidak ada kasih yang paling mulia seperti itu! Banyak orang yang mungkin saja rela mati untuk orang-orang baik, namun tidak ada orang yang rela mati bagi para penjahat, pembunuh, perampok, pemerkosa, pezinah, bahkan bagi penjahat yang paling jahat, selain Kristus. Di dalam Kristus, kasih dan penerimaan Allah dinyatakan bagi dunia. Di dalam Kristus Allah menghukum dosa-dosa manusia yang paling jahat dan bejat, sambil membuka tangan-Nya untuk memeluk mereka! Satu hal yang lebih penting lagi adalah hanya di dalam kekristenanlah Allah di dalam Kristus dengan kasih dan kerelaan-Nya membayar harga bagi manusia berdosa. Kebenaran demikian tidak ada di dalam keyakinan manapun.  Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih Allah yang rela “mengorbankan diri” demi umat-Nya!  Hanya dengan dasar kasih Kristus ini, Saudara akan mampu mengasihi orang lain, bahkan musuh kita sekalipun (Mat. 5:44), selain karena Roh Kudus juga yang mendorong dan memampukan kita. Sebaliknya jika ada orang Kristen yang tidak memiliki kasih dan pengampunan, maka orang tersebut belum benar-benar memahami betapa besar kasih dan pengampunan Allah baginya melalui pengorbanan Kristus.  Titik tolak ini yang mendasari ekspresi kasih kristiani bagi dunia.

Objek Kasih Kristen (Mat. 22: 37-39).

          Jika di atas, salib Kristus menjadi pondasi bagi kasih kristiani, maka pada bagian objek kasih, salib Kristus menjadi peta dan arah dari kasih kristiani. Salib yang berbentuk palang vertikal dan horizontal menjadi arah dari objek kasih Kristen—ke atas dan ke samping.

          Vertical, kepada Allah (Mat. 22:37). Objek kasih Kristen yang pertama adalah Allah Tritunggal. Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus merangkum hukum Taurat ke dalam dua hukum, yaitu mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi Allah tentu bukanlah hal yang mudah, mempraktekkan hal ini bahkan menghabiskan keseluruhan hidup kita, serta dilakukan dengan segenap jiwa, kekuatan, dan akal budi. Belum lagi begitu banyak “allah-allah” lain dalam hidup ini yang “merengek membutuhkan perhatian”.  Namun inilah panggilan bagi semua umat Tuhan, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengasihi Allah. Bentuk kasih kita kepada Allah tentu saja beragam, namun satu hal yang paling utama di antaranya adalah melakukan apa yang Ia kehendaki! Hanya itu? Ya hanya itu! Mengasihi Allah berarti melakukan kehendak-Nya (Yoh. 14:15, 21, 23-24; 14;31).

          Horizontal, kepada sesama (Mat. 22:39). Terinspirasi dari kisah “Orang Samaria yang baik hati”, beberapa lembaga kemanusiaan menamai organisasi mereka dengan sebutan “The Good Samaritan”, sebagai bentuk ekspresi pelayanan kemanusiaan tanpa memandang latar belakang. Di dalam Lukas 10:36 perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Tuhan Yesus menjelaskan secara singkat tentang “siapakah sesama manusia itu” dalam bentuk pertanyaan, “Siapakah di antara ketiga orang ini (Imam, orang Lewi, dan orang Samaria), menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?". Pernytaan “sesama manusia” tersebut diukur dari sebuah kesadaran serta tindakan kasih bagi orang lain. Dan dalam kisah ini, justru orang Samarialah (tetangga/rival orang Yahudi yang tidak mengenal Allah) yang memiliki kesadaran akan belas kasih kepada sesamanya. Sementara Imam dan orang Lewi menjadi simbol terbalik dari tokoh-tokoh agamawan yang sibuk dengan segudang kegiatan agama, hukum dan pelayanan, namun hati nuraninya menjadi tumpul untuk mendengar rintihan penderitaan orang di sekitarnya. Mereka lupa bahwa mengasihi Tuhan yang tidak terlihat itu harus tercermin dalam kasih kepada sesama manusia yang melampaui batasan-batasan sosial (Mat. 25:40).

          Demikianlah praktek kasih Kristen yang horizontal, suatu bentuk pelayanan kasih yang nyata, tulus, dan melampaui batasan komunal. Sementara dalam konteks yang lebih sederhana, kisah dari Josh McDowell, seorang Apologet yang cinta keluarga ini mungkin akan memberikan sedikit gambaran yang lebih spesifik.

          McDowell dalam sebuah artikel menceritakan kisah inspiratif ketika bersama anaknya. McDowell menanyakan suatu pertanyaan kepada anaknya, “Nak, apakah kau tahu bahwa Ayah sangat mengasihi Ibu?”, jawab anaknya, “Ya, tentu saja saya tahu”. Ia kemudian bertanya lagi, “Darimana kau tahu?”, “Ayah sering mengatakannya kepada Ibu”, jawab anaknya. McDowell memotong, “Bagaimana jika suatu saat ayah menjadi bisu?”, jawab anaknya, “Ayah dapat menuliskannya kepada Ibu”. ”Lantas bagaimana jika ayah bisu dan tidak memiliki tangan serta kaki?”, tanya McDowell. “Saya yang akan mengatakannya kepada Ibu”, tegas sang Anak. Belum puas dengan jawaban itu McDowell melanjutkan bertanya, “Akan tetapi bagaimana kamu tahu bahwa Ayah mengasihi Ibu, karena Ayah tidak dapat mengungkapkannya kepada Ibu?”. Jawab anaknya, “Saya tahu dari cara ayah memperlakukan Ibu.”

          Kita dapat mengetahui kasih yang tulus dari seseorang dengan satu cara sederhana, yaitu cara ia memperlakukan kita. Kasih kristiani seharusnya demikian. Bukan bentuk kasih yang antroposentris tetapi Teosentris, bukan kasih “eros” yang egois, menuntut, dan berpusat pada diri sendiri, namun kasih “agape” yang memberi serta melayani tanpa pamrih sebagaima Tuhan telah mengasihi dan melayani kita (1 Yoh. 4:19). Kalimat yang inspiratif dari Ibu Teresa menggambarkan hal ini dengan baik, “…the fruit of faith is love, the fruit of love is service.” Buah dari iman adalah kasih, dan buah dari kasih adalah pelayanan. Kasih kristiani bukanlah berbentuk kata-kata “manis” namun harus tercermin dalam tindakan yang konkret dalam ketulusan (1 Yoh. 3:18), serta dengan penuh kesadaran bahwa Tuhan telah mengasihi kita terlebih dulu maka tidak ada alasan untuk kita tidak mengasihi Saudara dan sesama. Amin! (yb).

"Ketika kewajiban menyuruh kita untuk berhenti, kasih mendorong kita untuk terus maju”—Nn.

___________
Nb. Tulisan ini merupakan ringkasan khotbah yang disampaikan oleh penulis dalam Ibadah Youth GPI Immanuel Bdg.

Senin, 24 September 2018

RENUNGAN: KASIH SETIA TUHAN

Nas : Mazmur 63:4, Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.

_______

            Ketika menulis Mazmur ini Daud sedang berada di padang gurun Yehuda (ay. 1). Matthew Henry menyoroti tulisan ini sebagai salah satu tulisan termanis Daud yang dihasilkan dalam suasana lingkungan yang pahit, yaitu pengasingan, sebagaimana surat-surat "cinta" Paulus bagi Jemaat yang ditulis di balik pengapnya penjara bawah tanah Romawi. Kasih setia Tuhan yang melimpah telah menggerakan hidup hamba-hamba-Nya untuk tetap dapat melihat anugerah di balik penderitaan, kelegaan di tengah kesesakan, dan mahkota di balik salib, sehingga mereka tak tergoncangkan oleh keadaan. Bahkan di dalam keadaan hidup yang paling suram sekalipun. Suatu kesaksian iman yang nampaknya sudah mulai pudar dan jarang dijumpai pada gereja kontemporer dewasa ini.

             Menyoroti konteks ayat ini, maka sulit untuk membayangkan bagaimana Daud dapat tetap mengucap syukur dan memuji Tuhan meskipun keadaannya tidak baik. Hal ini hanya mungkin jika Daud memiliki suatu pemahaman serta pengalaman iman yang baik dan benar mengenai Tuhan. Hal tersebut digambarkan dengan jelas oleh Pemazmur dalam ayat ini, "Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup...". Satu-satunya alasan dari ucapan syukur dan pujian Daud dalam keadaan sulit itu adalah karena "Kasih setia-Mu!". Suatu langkah iman yang luar biasa. Daud tidak mengarahkan pandangannya pada "berkat atau pertolongan di tangan Tuhan", tetapi justru mengucap syukur atas  "kasih setia di hati-Nya".  Ungkapan "kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup" merupakan ungkapan perbandingan, keputusan, serta pencapaian tertinggi Daud dimana ia telah melihat bahwa apa yang dapat dicapai dalam hidup ini (harta, kekayaan, kedudukan, popularitas, status sosial) tidaklah sebanding dengan kasih setia Tuhan bagi dirinya. Cara pandang yang sangat Teosentris. Dalam ayat ini Daud mengajarkan bahwa semua pencapaiannya tidak dapat menopang dan menyelamatkan keadaannya yang buruk selain karena kasih setia Tuhan. Siapa yang memperoleh kasih setia Tuhan pastilah memperoleh hidup karena Tuhan adalah sumber hidup itu, akan tetapi siapa yang hanya berjuang untuk memperoleh "hidup" (pencapaian-pencapaian dalam kehidupan kita) tanpa berkat kasih setia-Nya akan berakhir pada kehampaan hidup (Yer. 17:5). Sayangnya masih banyak umat Tuhan yang lebih memilih "hidup" (baca: berkat-berkat materi) dengan mengorbankan kasih setia Tuhan baginya, hingga pada titik tertentu mreka justru kecewa. Atau ada juga yang dengan sengaja "memanfaatkan" Tuhan untuk memperoleh "hidup" yang sia-sia itu.

            Teladan Daud ini semoga menjadi pendorong dan motivasi positif bagi umat Tuhan untuk tetap tekun mengasihi dan mengucap syukur dalam segala keadaan, karena keberadaan kita hingga hari ini tidak terlapas dari anugerah kasih dan setia-Nya. Kasih setia yang memimpin, menopang, menghibur, menyelamatkan, serta memampukan kita untuk menjalani hidup. Kiranya kasih setia Tuhan itu menjadi pengharapan yang teguh bahwa Ia senantiasa menyertai kita dalam segala keadaan. Amin! (yb).

Rabu, 19 September 2018

STUDI DOKTRINAL: PENCIPTAAN, KEJATUHAN, DAN PENEBUSAN.


Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan Dalam Konteks Teologis.
 


          Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan merupakan tiga tema utama yang termasuk dalam pengajaran penting iman Kristen. Dipandang dari sudut kronologis, maka terdapat tiga pandangan dari para Teolog mengenai urutan keselamatan, yaitu  Supralapsarian, Infralapsarian dan Sublapsarian.[1] Jika dikategorikan dengan tema ini maka secara sederhana urutan ini (“Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan”) dapat digolongkan ke dalam kelompok “Infralapsarian” dan “Sublapsarian”. Urutan ini termasuk dalam dua kelompok tersebut karena disorot dari sudut pandang kronologis pewahyuan Alkitab dimana dimulai dari proses penciptaan (Kej. 1 dan 2), kemudian Kejatuhan manusia (Kej. 3), dan  Penebusan di dalam Kristus (Kej. 3:15, 3:21. Bdk. Yoh. 1:29; Ef. 2:5).

Korelasi Teologis.

          Ketiga unsur ini memiliki hubungan yang sangat jelas dan logis. Suatu hubungan yang secara mendalam menggambarkan mengenai siapakah manusia itu, seperti apakah dia, dan kebutuhannya  yang paling mendalam. Disisi lain, hubungan ketiga hal ini juga menggambarkan kebaikan, kemurahan, dan anugerah Allah Tritunggal bagi manusia, ciptaan-Nya. 

          Penciptaan. Ketika kita menggunakan kata “Penciptaan”, maka secara logis kita mendapati dua kebenaran di dalamnya, yaitu kebenaran mengenai Sang Pencipta dan yang dicipta. Dalam konteks teologis Alkitab menerangkan kepada kita bahwa “Manusia adalah makhluk ciptaan Allah”. Manusia ada karena dicipta, ia tidak berasal dari suatu proses evolusi acak seperti teori Darwin, dengan demikian sebagai ciptaan ia terbatas dan bergantung kepada Allah. Ia juga memiliki suatu tujuan karena tidak ada suatu hal yang diciptakan tanpa ada tujuan yang jelas (Ef. 2:10).

           Kejatuhan. “Kejatuhan” merupakan istilah teologis yang merujuk kepada suatu peristiwa dimana manusia, ciptaan Allah yang sebelumnya “baik” itu kini telah berada dalam kuasa maut oleh karena perbuatan dosa (melanggar hukum Allah) yang dilakukannya (Kej. 2:17; Pasal 3). Kejatuhan ini bukan hanya berhubungan dengan dosa “Adam dan Hawa” namun sekaligus juga merupakan hubungan dengan “natur” dosa semua umat manusia. Maksudnya, karena Adam dan Hawa adalah benih pertama dari seluruh umat manusia yang telah ternoda dan dikuasai oleh maut, maka semua manusia yang lahir dari keturunan mereka mewarisi natur/sifat dosa (Kej. 5:3; Mzm. 51:5; Rm. 3:23).  Seperti sebuah penyakit mematikan yang menular secara turun-temurun dari keturunan sebelum kita, demikan kehidupan semua manusia berada dibawah kuasa dosa dan maut yang diwariskan dari Adam nenek moyang manusia (Rm. 5:12, 15). Kejatuhan menggambarkan dua kebenaran mengenai manusia, yaitu semua manusia telah berdosa dan patut dihukum Allah. Kedua, semua manusia membutuhkan keselamatan atau lebih tepat membutuhkan Juruselamat.

          Penebusan. Penebusan dalam konteks teologis mengindikasikan dua hal, pertama adanya objek penebusan dan subjek dari karya penebusan itu. Pada bagian “Kejatuhan” di atas, Alkitab menjelaskan mengenai “Objek” dan “Subjek” dari penebusan ini. Objeknya adalah “manusia” yang telah berdosa dan mati karena pelanggaran, sementara “Subjek”nya adalah Allah. Kejadian 3:8-9 menunjukan bahwa Allah mencari manusia yang terhilang itu, Allah “berjalan” dan “memanggil mereka”. Allah adalah Subjek keselamatan manusia. Ia yang mencari manusia bukan manusia yang mencari Allah. Keberdosaan, kerusakan, dan keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan, tidak memungkinkan ia untuk mencari dan berjumpa dengan Allah yang sejati, untuk itulah Kristus telah datang kepada kita, umat manusia yang berdosa (Luk. 5:23; Yoh. 1:14; 12;46). Di dalam Perjanjian Baru, hal ini semakin diperjelas melalui karya penebusan yang dinyatakan dalam karya salib Kristus. Nubuatan tentang “pakaian dari kulit hewan” sebagai pakaian Adam yang menjadi simbol penumpahan darah sebagai penebusan dosa dalam perjanjian Lama (Kej. 3:21; Ibr. 9:22), kini digenapi oleh Kristus yang adalah “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” (Yoh. 1:29; bdk. juga, Why. 5:9).

Penutup.

          Peta pewahyuan Alkitab selalu berbicara secara konsisten mengenai sejarah perjalanan umat manusia hingga menuju kesudahannya. Alkitab juga memberikan alasan serta dasar-dasar yang kuat mengapa manusia itu jatuh, keadaan setelah jatuh, kebutuhan keselamatannya, dan bagaimana ia dapat diselamatkan. Hanya Alkitab yang memberikan pewahyuan paling konsisten dengan penjabaran yang sangat mendetail. 

          Sementara dalam konteks penciptaan, kejatuhan, dan penebusan dalam hubungan teologis, ketiganya tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya karena terdapat korelasi yang terhubung. Ketiga hal ini memperlihatkan betapa rusaknya manusia yang jatuh dalam dosa itu, serta menunjukan suatu hal yang luar biasa mengenai kasih Allah bagi manusia. Kasih yang merelakan Anak-Nya yang tunggal sebagai pendamaian bagi manusia berdosa. Kasih yang tidak layak bagi para pendosa seperti kita, namun karena anugerah-Nya yang mulia, kita menerima keselamatan di dalam penebusan Kristus. Singkatnya, korelasi dari tiga kebenaran ini memperlihatkan betapa rusaknya kita sebagai manusia, dan betapa mulianya anugerah Allah di dalam Kristus.  Amin! (yb)._



[1]Pelajari lebih lanjut di,  http://artikel.sabda.org/ajaran_tentang_ketetapan_tuhan_doctrine_devine_decree.

Selasa, 11 September 2018

RENUNGAN : SAKSI-SAKSI BISU



Nas : Mazmur 19:2-5a, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.”

___________

          Mempertanyakan mengenai asal mula alam semesta merupakan pertanyaan yang mustahil terjawab bahkan hingga di zaman emas sains modern seperti saat ini. Para ahli sains yang terkemuka sekali pun hanya dapat sampai kepada asumsi-asumsi tumpang tindih yang membingungkan. “Bing bang” misalnya, suatu teori asal mula yang memproyeksikan kehidupan universal alam semesta di mulai dari suatu ledakan besar. Suatu teori sains yang justru paling sering dikritik oleh kalangan saintis (Louis Pasteur, salah satunya)  karena kegagalan bukti, metode, bahkan prinsip-prinsip logis. Bertolak belakang dari teori-teori tersebut, Alkitab memulai kesaksian akan alam semesta ini dari Allah sebagai “penggerak utama” yang mencipta, alam semesta merupakan karya ciptaan Allah yang “ex nihilo”. Meski demikian terdapat satu kesamaan antara bidang penelitian sains dan teologi, yaitu objek penelitiannya dalam hal ini alam semesta. Namun karena perbedaan titik tolak (presuposisi) maka kesimpulan yang dihasilkan pun berbeda.

          Alam semesta merupakan bukti dari karya Allah yang tidak terbantahkan dalam kehidupan manusia. Di mana pun kita memijakkan kaki, sejauh apapun kita memandang, kita akan selalu menjumpai karya tangan Allah di sekitar kita. Hal ini yang disampaikan oleh Pemazmur dalam ayat ini,  “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”. Kapler salah seorang Ilmuan terkemuka memberi kesaksian tentang hal ini. Dalam sebuah wawancara, Kapler mengatakan, “Dulu saya berniat menjadi seorang teolog ... tetapi sekarang melalui apa yang saya lakukan, saya melihat bahwa Allah juga dimuliakan dalam astronomi karena langit mengungkapkan kemuliaan Allah.” Kapler menunjukkan kepada kita bahwa menjadi seorang Ilmuan tidak harus membuang imannya, bahkan sebaliknya, astronomi yang sejati haruslah bermuara pada kemuliaan Tuhan, karena triliunan galaksi, planet, dan bintang di alam semesta ini merupakan saksi-saksi bisu mengenai sang perancang Agung di baliknya. Keteraturan dan kerumitan struktur alam semesta ini terlalu mustahil jika berasal dari suatu ledakan besar seperti teori Big bang. Bahkan jika hal tersebut benar pun proses spektakuler ini pada akhirnya membutuhkan suatu mujizat yang luar biasa untuk menghasilkan alam semesta yang teratur dengan beragam jenis makhluk hidup dengan kerumitan struktural di dalamnya. 

          Fakta-fakta ini yang menghantarkan orang-orang hebat seperti Kopernikus, Galileo, Newton, Kapler, Pascal, dan  para Ilmuan Kristen lainnya yang meskipun bergelut di bidang sains namun tetap teguh berpegang pada imannya karena mereka mendapati bahwa alam semesta ini merupakan karya dan anugerah Allah yang tiada tara bagi kehidupan manusia. Alam semesta merupakan pesan Allah yang paling jelas bagi semua umat manusia tentang keberadaan-Nya. Namun menemukan jejak Allah dalam gambaran luas alam semesta (wahyu umum) merupakan hal yang mustahil. Manusia membutuhkan wahyu khusus untuk menjumpai Allah yang sejati itu. Pada titik inilah kekristenan berdiri secara konsisten untuk menjawab kebutuhan terdalam umat manusia yang berjuang menemukan Allah melalui wahyu khusus—Alkitab. Kita tidak cukup mencari Allah pada saksi-saksi bisu alam semesta ini, kita perlu berjumpa dengan Dia di dalam Kristus. Keterbatasan dan keberdosaan kita sebagai ciptaan tidak memungkinkan untuk “menemukan Allah yang sejati” itu, maka Allah memutuskan untuk menjumpai kita di dalam Kristus karena, barangsiapa melihat Aku (Kristus), ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku (Yoh. 12:45). Alam semesta menjadi saksi-saksi bisu yang menghantarkan manusia kepada kebenaran mengenai keberadaan Allah, namun hanya di dalam Kristus kita berjumpa dengan Allah yang sejati itu. Amin! (yb).