SALIB KRISTUS: EKSPRESI KASIH KRISTIANI
Kasih dalam konsep iman Kristen memiliki keunikan tersendiri
karena bersifat Teosentris. Pernyataan ini secara eksplisit mengungkapkan satu
fakta bahwa kasih kristiani itu bersumber dari pribadi Allah sendiri sebagai manifestasinya, “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:16b). Frasa
Allah adalah kasih pada ayat ini mengungkapkan sifat dan relasi Allah Tritunggal di dalam
kekekalan dimana Allah Bapa-Anak-dan Roh Kudus saling berelasi dalam kasih, bahkan sampai pada pelayanan Kristus di dunia (Mat. 3:17; Yoh. 10:17; 14:31). Sementara di dalam dunia
ciptaan, kasih Allah dinyatakan melalui pewahyuan umum (alam) dan khusus (kitab
suci). Alkitab menggambarkan hal ini dengan berbagai macam demonstrasi kasih
Allah bagi manusia berdosa seperti yang akan dibahas. Dari dasar kebenaran tersebut, kasih kristiani
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan umat Tuhan dan berlanjut pada dunia.
Suatu pengajaran prinsipil yang hanya dijumpai dalam iman Kristen.
Dasar Kasih Kristiani.
Kasih kristiani bersumber dari kasih Allah melalui
Pribadi dan karya Kristus. Kristus menjadi sentralitas kasih kristiani bagi
umat manusia karena melalui Kristus kasih Allah dinyatakan bagi dunia ciptaan-Nya
yang telah korup. Kasih Allah ini dinyatakan melalui dua bukti faktual dalam sejarah
peradaban umat manusia.
Bukti
Kasih Allah—Umum. Kronologis penciptaan,
penyediaan, dan pemeliharaan alam semesta bagi kelangsungan hidup umat manusia
adalah bukti kasih Allah yang paling nyata dan general. Dalam kasih umum ini
semua manusia menerima belas kasih Allah yang sama. Baik penjahat maupun orang
baik, baik umat Tuhan maupun ateis, semuanya menerima anugerah kasih umum ini—makanan,
minuman, udara segar, panas-hujan, tempat peristirahatan, kesehatan, dsb. Hal
ini seperti seorang ayah yang hendak menyediakan keperluan anaknya di suatu
tempat peratauan, dimana ia terlebih dahulu menyediakan segala sesuatu dengan
lengkap dan berlimpah, kemudian ia menempatkan anaknya di sana, sambil terus
memperhatikan dan mencukupinya (Kej. 2:8). Meskipun banyak orang, terutama kalangan ateis
yang menyangkal akan bukti kasih Allah ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
mereka hidup menumpang dan berhutang pada kasih Allah itu.
Bukti
Kasih Allah—Khusus (1 Yoh 14: 10; Yoh. 3:16). Kasih umum
merupakan bentuk kasih Allah yang universal bagi umat manusia, namun kasih
khusus Allah bagi umat-Nya merupakan bentuk kasih yang eksklusif karena hanya
tersedia bagi mereka yang menerima Kristus sebagai Juru-selamatnya. Bukti kasih
Allah yang khusus ini dinyatakan melalui karya salib Kristus. Salib Kistus adalah
dasar dan demonstrasi kasih Allah yang terbesar bagi umat-Nya dan bagi dunia.
Ketika kita berbicara mengenai Salib Kristus, kita sesungguhnya tidak hanya sedang berbicara mengenai kasih
Allah namun juga penghukuman Allah bagi dosa-dosa kita. Salib Kristus merupakan
perjumpaan antara kasih Allah dan penghukuman-Nya. Seruan kemenangan, “Sudah Selesai!” yang membela bukit tandus di golgota itu merupakan seruan kasih Allah bagi Saudara dan saya. Di atas salib yang hina itu, 2000 tahun yang lalu, Kristus dengan penuh kasih telah memandang jauh kedepan bahwa nanti pada
tahun 2018 bulan september, ada orang-orang seperti Saudara dan
saya yang akan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Sudah selesai, sudah lunas! Ini bentuk kasih paling
agung dan mulia, karena Kristus telah mati bagi kita bahkan ketika kita masih
berdoa dan belum mengenal-Nya (Rm. 5:8). Tidak ada kasih yang paling mulia
seperti itu! Banyak orang yang mungkin saja rela mati untuk orang-orang baik,
namun tidak ada orang yang rela mati bagi para penjahat, pembunuh, perampok, pemerkosa,
pezinah, bahkan bagi penjahat yang paling jahat, selain Kristus. Di dalam
Kristus, kasih dan penerimaan Allah dinyatakan bagi dunia. Di dalam Kristus Allah
menghukum dosa-dosa manusia yang paling jahat dan bejat, sambil membuka tangan-Nya
untuk memeluk mereka! Satu hal yang lebih penting lagi adalah hanya di dalam
kekristenanlah Allah di dalam Kristus dengan kasih dan kerelaan-Nya membayar
harga bagi manusia berdosa. Kebenaran demikian tidak ada di dalam keyakinan
manapun. Tidak ada kasih yang lebih
besar dari kasih Allah yang rela “mengorbankan diri” demi umat-Nya! Hanya dengan dasar kasih Kristus ini, Saudara akan mampu mengasihi orang lain, bahkan musuh kita
sekalipun (Mat. 5:44), selain karena Roh Kudus juga yang mendorong
dan memampukan kita. Sebaliknya jika ada orang Kristen yang tidak memiliki kasih
dan pengampunan, maka orang tersebut belum benar-benar memahami betapa besar kasih dan pengampunan Allah baginya melalui pengorbanan Kristus. Titik tolak ini yang mendasari ekspresi kasih
kristiani bagi dunia.
Objek Kasih Kristen (Mat. 22: 37-39).
Jika di atas, salib Kristus menjadi pondasi bagi kasih
kristiani, maka pada bagian objek kasih, salib Kristus menjadi peta dan arah
dari kasih kristiani. Salib yang berbentuk palang vertikal dan horizontal menjadi arah dari objek
kasih Kristen—ke atas dan ke samping.
Vertical,
kepada Allah (Mat. 22:37). Objek kasih Kristen yang
pertama adalah Allah Tritunggal. Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus merangkum
hukum Taurat ke dalam dua hukum, yaitu mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi
Allah tentu bukanlah hal yang mudah, mempraktekkan hal ini bahkan menghabiskan
keseluruhan hidup kita, serta dilakukan dengan segenap jiwa, kekuatan, dan akal
budi. Belum lagi begitu banyak “allah-allah” lain dalam hidup ini yang
“merengek membutuhkan perhatian”. Namun
inilah panggilan bagi semua umat Tuhan, kita tidak memiliki pilihan lain selain
mengasihi Allah. Bentuk kasih kita kepada Allah tentu saja beragam, namun satu
hal yang paling utama di antaranya adalah melakukan apa yang Ia kehendaki!
Hanya itu? Ya hanya itu! Mengasihi Allah berarti melakukan kehendak-Nya (Yoh. 14:15, 21, 23-24; 14;31).
Horizontal,
kepada sesama (Mat. 22:39). Terinspirasi dari kisah
“Orang Samaria yang baik hati”, beberapa lembaga kemanusiaan menamai organisasi
mereka dengan sebutan “The Good Samaritan”, sebagai bentuk ekspresi pelayanan
kemanusiaan tanpa memandang latar belakang. Di dalam Lukas 10:36 perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati, Tuhan Yesus menjelaskan secara singkat
tentang “siapakah sesama manusia itu” dalam bentuk pertanyaan, “Siapakah
di antara ketiga orang ini (Imam, orang Lewi, dan orang
Samaria),
menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan
penyamun itu?". Pernytaan “sesama manusia” tersebut diukur dari sebuah
kesadaran serta tindakan kasih bagi orang lain. Dan dalam kisah ini, justru
orang Samarialah (tetangga/rival orang Yahudi yang tidak mengenal Allah) yang
memiliki kesadaran akan belas kasih kepada sesamanya. Sementara Imam dan orang
Lewi menjadi simbol terbalik dari tokoh-tokoh agamawan yang sibuk dengan
segudang kegiatan agama, hukum dan pelayanan, namun hati nuraninya menjadi
tumpul untuk mendengar rintihan penderitaan orang di sekitarnya. Mereka lupa
bahwa mengasihi Tuhan yang tidak terlihat itu harus tercermin dalam kasih
kepada sesama manusia yang melampaui batasan-batasan sosial (Mat. 25:40).
Demikianlah
praktek kasih Kristen yang horizontal, suatu bentuk pelayanan kasih yang nyata,
tulus, dan melampaui batasan komunal. Sementara dalam konteks yang lebih
sederhana, kisah dari Josh McDowell, seorang Apologet yang cinta keluarga ini
mungkin akan memberikan sedikit gambaran yang lebih spesifik.
McDowell dalam
sebuah artikel menceritakan kisah inspiratif ketika bersama anaknya. McDowell
menanyakan suatu pertanyaan kepada anaknya, “Nak, apakah kau tahu bahwa Ayah
sangat mengasihi Ibu?”, jawab anaknya, “Ya, tentu saja saya tahu”. Ia kemudian
bertanya lagi, “Darimana kau tahu?”, “Ayah sering mengatakannya kepada Ibu”,
jawab anaknya. McDowell memotong, “Bagaimana jika suatu saat ayah menjadi
bisu?”, jawab anaknya, “Ayah dapat menuliskannya kepada Ibu”. ”Lantas bagaimana
jika ayah bisu dan tidak memiliki tangan serta kaki?”, tanya McDowell. “Saya
yang akan mengatakannya kepada Ibu”, tegas sang Anak. Belum puas dengan jawaban
itu McDowell melanjutkan bertanya, “Akan tetapi bagaimana kamu tahu bahwa Ayah
mengasihi Ibu, karena Ayah tidak dapat mengungkapkannya kepada Ibu?”. Jawab
anaknya, “Saya tahu dari cara ayah memperlakukan Ibu.”
Kita dapat
mengetahui kasih yang tulus dari seseorang dengan satu cara sederhana, yaitu
cara ia memperlakukan kita. Kasih kristiani seharusnya demikian. Bukan bentuk kasih
yang antroposentris tetapi Teosentris, bukan kasih “eros” yang egois, menuntut,
dan berpusat pada diri sendiri, namun kasih “agape” yang memberi serta melayani
tanpa pamrih sebagaima Tuhan telah mengasihi dan melayani kita (1 Yoh. 4:19). Kalimat yang inspiratif dari
Ibu Teresa menggambarkan hal ini dengan baik, “…the fruit of faith is love,
the fruit of love is service.” Buah dari iman adalah
kasih, dan buah dari kasih adalah pelayanan. Kasih kristiani bukanlah berbentuk kata-kata “manis” namun harus tercermin dalam tindakan yang
konkret dalam ketulusan (1 Yoh. 3:18), serta dengan penuh
kesadaran bahwa Tuhan telah mengasihi kita terlebih dulu maka tidak ada alasan
untuk kita tidak mengasihi Saudara dan sesama. Amin! (yb).
"Ketika kewajiban menyuruh kita untuk berhenti, kasih mendorong kita
untuk terus maju”—Nn.
___________
Nb. Tulisan ini
merupakan ringkasan khotbah yang disampaikan oleh penulis dalam Ibadah Youth
GPI Immanuel Bdg.