Selasa, 21 Agustus 2018

RENUNGAN : HUTANG-HUTANG KITA.



Nas    : Ayub 10:12, Hidup dan kasih setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.
 
_________

          Hoekema, salah seorang teolog Reformed dalam salah satu bukunya menulis demikian, “Manusia adalah makhluk yang berhutang eksistensi kepada Tuhan”. Berhutang eksistensi secara sederhana berarti keseluruhan kehidupan manusia itu bergantung sepenuhnya kepada pemberian Tuhan, ia tidak dapat hidup sedetik pun di luar anugerah-Nya. Setiap hari kita menorehkan buku hutang kita masing-masing kepada Tuhan—mulai dari nafas hidup, udara, makan-minum, dll. Sementara John Piper melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kita, umat Tuhan, berhutang dua kali kepada Tuhan, pertama hutang penciptaan—keberadaan eksistensi hidup kita seperti pandangan Hoekema, dan kedua hutang penebusan di dalam Kristus—keselamatan yang tiada tara yang Ia kerjakan bagi kita. Kita semua adalah orang-orang yang berhutang, suatu kebenaran sederhana yang paling sering terlupakan oleh manusia! 

          Ayub dalam bacaan di atas, menyadari betul akan hal ini. Ia kemudian merinci kemurahan Tuhan itu dalam tiga hal, “Hidup, kasih setia, dan pemeliharaan/penjagaan”. “Hidup” menyangkut pemenuhan eksistensial kebutuhan jasmani manusia akan kehidupan mereka. Sementara “Kasih setia” berbicara mengenai perihal kebutuhan manusia secara psikologis. Dan “Pemeliharaan/penjagaan” merupakan kebutuhan manusia dalam hal perlindungan serta rasa aman yang berhubungan dengan keselamatan. Yang menarik dari ayat ini adalah Ayub justru menghubungkan ketiganya dengan kata “Kaukaruniakan” (Tuhan mengaruniakan/Tuhan memberikan) yang secara eksplisit berarti kesemuanya itu bermuara pada anugerah Tuhan semata. Kebenaran ini juga sekaligus menegaskan kepada kita bahwa tidak ada sesuatu hal terkecil sekalipun yang dapat kita lakukan/usahakan di luar anugerah yang Tuhan berikan itu (KPR 17:28). Semua karena anugerah-Nya. Namun dalam kondisi tertentu kita sebagai umat Tuhan  terkadang lupa akan hal ini sehingga sering kali kita berusaha “menyogok Tuhan” dengan apa yang sesungguhnya adalah milik-Nya juga (perhatikan bagaimana motivasi seseorang dalam memberikan persembahan/persepuluhan dengan embel-embel berkat). Sangat menggelikan. 

          Memiliki cara pandang seperti Ayub sangatlah penting, karena dengan cara pandang demikian pulalah ia mampu menghadapi pahitnya badai kehidupan dengan kalimat iman yang dasyat, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayb. 1:21). Hanya dengan memahami bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah Tuhan, maka kita akan mengerti bahwa; Pertama, kita adalah orang-orang yang berhutang, maka tidak ada alasan untuk tidak mempersembahkan hidup untuk kemuliaan Tuhan. Kedua, kehidupan kita adalah kehidupan yang bergantung pada anugerah dan pemberian Allah, maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas anugerah dan pemberian-Nya. Ketiga, karena segala sesuatu yang kita “miliki” adalah milik Tuhan maka ketika Ia memintanya, tidak ada alasan untuk kita menahannya. Keempat, Allah yang kita sembah, adalah Allah yang memahami apa yang menjadi kebutuhan hidup kita. Baik kebutuhan jasmani, kebutuhan akan kasih, perlindungan, pembelaan dan keselamatan. Ia sangat memahaminya, itu sebabnya ayat ini tidak mengatakan bahwa Ayub meminta, namun Ayub menyadari bahwa semuanya itu “Kau karuniakan”. Tuhan tahu kebutuhan anak-anak-Nya, dan Ia tidak pernah membiarkan kita hidup terlantar tanpa pengharapan, maka Ia mengaruniakan segala sesuatu kepada kita, terlebih karunia keselamatan di dalam Anak-Nya. Maka kita sebagai orang-orang yang berhutang tidak memiliki hak untuk menuntut, sebaliknya kita hanya dapat mengucap syukur atas anugerah Tuhan yang mulia itu serta berusaha untuk hidup dalam panggilan-Nya. Amin! Tuhan memberikati Saudara.

Salam,
yb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar