Nas : Ayub
10:12, Hidup dan kasih setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu
menjaga nyawaku.
_________
Hoekema, salah seorang teolog Reformed
dalam salah satu bukunya menulis demikian, “Manusia adalah makhluk yang berhutang
eksistensi kepada Tuhan”. Berhutang eksistensi secara sederhana berarti
keseluruhan kehidupan manusia itu bergantung sepenuhnya kepada pemberian Tuhan,
ia tidak dapat hidup sedetik pun di luar anugerah-Nya. Setiap hari kita
menorehkan buku hutang kita masing-masing kepada Tuhan—mulai dari nafas hidup,
udara, makan-minum, dll. Sementara John Piper melangkah lebih jauh dengan
mengatakan bahwa kita, umat Tuhan, berhutang dua kali kepada Tuhan, pertama
hutang penciptaan—keberadaan eksistensi hidup kita seperti pandangan Hoekema,
dan kedua hutang penebusan di dalam Kristus—keselamatan yang tiada tara yang Ia
kerjakan bagi kita. Kita semua adalah orang-orang yang berhutang, suatu
kebenaran sederhana yang paling sering terlupakan oleh manusia!
Ayub dalam bacaan di atas, menyadari
betul akan hal ini. Ia kemudian merinci kemurahan Tuhan itu dalam tiga hal,
“Hidup, kasih setia, dan pemeliharaan/penjagaan”. “Hidup” menyangkut pemenuhan
eksistensial kebutuhan jasmani manusia akan kehidupan mereka. Sementara “Kasih
setia” berbicara mengenai perihal kebutuhan manusia secara psikologis. Dan
“Pemeliharaan/penjagaan” merupakan kebutuhan manusia dalam hal perlindungan
serta rasa aman yang berhubungan dengan keselamatan. Yang menarik dari ayat ini
adalah Ayub justru menghubungkan ketiganya dengan kata “Kaukaruniakan” (Tuhan
mengaruniakan/Tuhan memberikan) yang secara eksplisit berarti kesemuanya itu
bermuara pada anugerah Tuhan semata. Kebenaran ini juga sekaligus menegaskan
kepada kita bahwa tidak ada sesuatu hal terkecil sekalipun yang dapat kita lakukan/usahakan
di luar anugerah yang Tuhan berikan itu (KPR 17:28). Semua karena anugerah-Nya.
Namun dalam kondisi tertentu kita sebagai umat Tuhan terkadang lupa akan hal ini sehingga sering
kali kita berusaha “menyogok Tuhan” dengan apa yang sesungguhnya adalah
milik-Nya juga (perhatikan bagaimana motivasi seseorang dalam memberikan
persembahan/persepuluhan dengan embel-embel berkat). Sangat menggelikan.
Memiliki cara pandang seperti Ayub
sangatlah penting, karena dengan cara pandang demikian pulalah ia mampu
menghadapi pahitnya badai kehidupan dengan kalimat iman yang dasyat, “Tuhan
yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayb. 1:21). Hanya
dengan memahami bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah Tuhan,
maka kita akan mengerti bahwa; Pertama, kita adalah orang-orang yang berhutang,
maka tidak ada alasan untuk tidak mempersembahkan hidup untuk kemuliaan Tuhan.
Kedua, kehidupan kita adalah kehidupan yang bergantung pada anugerah dan
pemberian Allah, maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas anugerah dan
pemberian-Nya. Ketiga, karena segala sesuatu yang kita “miliki” adalah milik
Tuhan maka ketika Ia memintanya, tidak ada alasan untuk kita menahannya.
Keempat, Allah yang kita sembah, adalah Allah yang memahami apa yang menjadi
kebutuhan hidup kita. Baik kebutuhan jasmani, kebutuhan akan kasih,
perlindungan, pembelaan dan keselamatan. Ia sangat memahaminya, itu sebabnya
ayat ini tidak mengatakan bahwa Ayub meminta, namun Ayub menyadari bahwa
semuanya itu “Kau karuniakan”. Tuhan tahu kebutuhan anak-anak-Nya, dan Ia tidak pernah membiarkan kita hidup terlantar tanpa pengharapan, maka Ia mengaruniakan segala sesuatu kepada kita, terlebih karunia keselamatan di dalam Anak-Nya. Maka kita sebagai orang-orang yang berhutang tidak
memiliki hak untuk menuntut, sebaliknya kita hanya dapat mengucap syukur atas anugerah
Tuhan yang mulia itu serta berusaha untuk hidup dalam panggilan-Nya. Amin! Tuhan memberikati Saudara.
Salam,
yb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar