Selasa, 14 Agustus 2018

RENUNGAN : FILSAFAT KOSONG



Nas    : Kolose 2: 8, Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus (TB).

Kristus adalah sentralitas filsafat yang paling agung tentang universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. (yb).

__________


          Mendengar kata “filsafat”, respon beragam spontan terlihat dalam berbagai tanggapan. “Filsafat itu rumit”, “filsafat itu memusingkan kepada”, “filsafat itu sesat”, “jangan belajar filsafat nanti kamu gak percaya Tuhan”, dll. Akan tetapi dengan mengatakan hal-hal demikian sesunggunya orang-orang tersebut justru sedang berfilsafat. Karena filsafat adalah cinta kebijaksanaan, maka secara tidak langsung mereka yang berdialog tersebut sedang menyampaikan (/berusaha untuk menemukan) hal-hal yang “bijak”, dan hal ini merupakan salah satu metode kegiatan berfilsafat—itulah filsafat dalam pengertian sederhana. Seperti teologi, filsafat merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bukan hanya duduk di bangku-bangku akademis, namun juga berada di pasar, di dapur, di jalanan, di kantor,  hingga di gedung-gedung pemerintahan. Setiap hari kita berfilsafat karena kita hidup dan bertindak berdasarkan nilay-nilay serta kebijkasanaan-kebijaksanaan pada pandangan filsafat tertentu yang kita percayai atau mungkin juga yang kita warisi. Gambaran singkat ini memperlihatkan bahwa filsafat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia yang mana dapat memimpin manusia itu kepada kebijaksanaan, namun juga sebaliknya. Kehati-hatian dalam menyikapi filosofi-filosofi yang berkembang dewasa ini akan menghindarkan kita untuk ditawan oleh filsafat palsu yang mematikan. Pesan filsafat palsu ini merupakan salah satu tema firman Tuhan bagi jemaat Kolose yang tetap relevan bagi kita hari ini.  

          Dalam bacaan di atas, Rasul Paulus menasehati Jemaat di Kolose agar, Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia”. Kolose merupakan salah satu kota perdagangan di Asia Kecil (Turki modern) yang bukan hanya maju dalam perekonomian namun juga berkembang dalam segi kebudayaan khususnya kebudayaan helenis (Yunani), maka tidak heran jika bertumbuh berbagai macam pengajaran filsafat, tradisi-tradisi ajaran kafir, serta pengikut Yudaisme yang dikemudian hari berjumpa dengan iman Kristen. Sang rasul ingin agar jemaat Tuhan harus kristis dan berhati-hati dalam setiap ajaran yang berkembang. Saudara, menjadi seorang Kristen tidak meniadakan nalar. Iman Kristen tidak diwahyukan di luar nalar, namun (dalam batasan tertentu) dapat dinalar. Itu sebabnya dalam beberapa ayat kita selalu diminta untuk mengkonfirmasi secara kritis mengenai kebenaran keyakinan kita. Salah satu ayat yang paling jelas adalah pada peristiwa kebangkitan, dimana Tuhan Yesus secara pribadi menantang rasul Tomas yang skeptis untuk membuktikan kebenaran kebangkita itu dengan mencucukkan jarinya pada bekas luka Tuhan Yesus (Yoh. 20:27).  

          Kata “Hati-hatilah” (Yun. Ble’-po; Melihat; Memandang; Bersikap hati-hati) pada ayat ini memberikan pesan yang kuat tentang bagaimana kita umat Tuhan harus jeli melihat fenomena ajaran-ajaran yang berkembang, baik di dunia sekuler, maupun di dalam gereja, agar kita tidak tertawan oleh sesuatu yang palsu. Seperti seorang anak yang hendak menyeberang jalan, kita harus melihat dengan seksama setiap kendaraan yang lewat, memperhitungkan jauh-dekatnya, dan perkiraan kecepatan kita untuk sampai ke seberang jalan. Semua hal ini perlu kehati-hatian. Kita tidak dapat asal menyeberang jalan saja, karena dapat tertabrak dan celaka. Demikian dengan kehidupan kita yang berhubungan dengan dunia ide. Kerap kali orang menyangka bahwa perihal pengajaran Teologi dan filsafat adalah hal-hal yang di awan-awan sehingga terlalu tinggi dan tidak praktis, namun mereka keliru karena mau-tidak mau, kehidupan kita dipimpin oleh suatu konsep hidup, baik Teologi maupun filsafat. Mulai dari cara memotong bawang, cara menyapu halaman, cara duduk, cara bicara, cara bekerja, cara hidup,  hingga cara bernegara pun sesungguhnya dikendalikan oleh suatu filsafat (Pancasila adalah salah satunya). Semua hal ini kita peroleh dari ajaran yang diturunkan oleh leluhur kita, dan itu filsafat. Contoh lain, orang-orang yang orientasi hidupnya adalah kesenangan duniawi, akan menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di tempat-tempat hiburan. Meskipun mungkin saja tidak diakui namun hal ini menunjukan dengan jelas bahwa orang tersebut menganut paham hedonisme!—ini pun prinsip filsafat. Pernakah Saudara melihat anak-anak yang mempraktekkan adegan perkelahian setelah mereka menonton suatu film? Di dalam film pun mengandung suatu pesan filosofis yang mampu mempengaruhi cara pandang hidup seseorang terhadap dunia. Contoh-contoh tersebut merupakan gambaran tentang bagaimana kita ditawan oleh suatu konsep filofosif yang kosong. Ragam filosofis ini muncul dalam berbagai wajah, mulai dari tontonan di tv hingga mitos-mitos tradisional, ramalan garis tangan, horoskop, dll. Kita sesungguhnya dikelilingi oleh berbagai macam ajaran dan filsafat kosong, maka, kita tidak dapat asal menjalani hidup, kita perlu “hati-hati!”. 

          Bagian ayat berikutnya, sang Rasul menanamkan fondasi iman Kristen sekaligus memberikan standar baku bagi pondasi iman, “...tetapi tidak menurut Kristus”. Suatu jawaban bagi kekosongan hidup manusia dimana Kristus menjadi sentral filsafat hidup Kristen. Dengan kata lain, kehidupan Kristen adalah kehidupan yang berpusat pada Kristus. Kristus bukan hanya filosofi atau teladan hidup, akan tetapi Kristus adalah hidup itu sendiri (Yoh. 11:25; 14:6), dan Ia hidup di dalam kita, sehingga kita mempresentasikan Kristus dalam segala hal (Rm. 8:29). Ini perbedaan yang sangat signifikan antara iman kristen dan filsafat mana pun. Filsafat menuntun manusia kepada suatu kebijaksanaan manusia yang semu karena berasal dari hikmat manusia, namun Kristus memimpin manusia pada kebijaksanaan Allah, karena Kristus adalah hikmat Allah (Yoh. 1:1; 1 Kor. 1:24). Filsafat menuntun manusia pada kehebatan manusia yang sia-sia, namun kristus memimpin manusia untuk berjumpa dengan keagungan Allah yang tiada tara, bahkan menjangkau kekekalan yang tidak dapat diusahakan filsafat. Itu sebabnya mengapa Mahatma Gandhi, tokoh reformator India itu begitu terpesona dengan Kristus.

          Tidak sampai di situ, Kristus malah menjadi sentral untuk filsafat yang paling agung tentang universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. Itu berarti semua pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran universal tentang alam semesta ini bermuara pada-Nya karena semua kebenaran adalah kebenaran Allah! Para filsuf dan saintis hanya mengais-ngais puing-puing kebenaran yang “tercecer” di laboratorium mereka, sementara sumber dari kebenaran itu sendiri adalah Kristus (Yoh. 1:3). Dari titik inilah kekristenan berdiri di atas pondasi yang kokoh—Tuhan Yesus Kristus! 

          Kebenaran ini menjadi pedoman penting bagi kita untuk mengkoreksi semua filsafat-filsafat kosong serta ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Kristus. Suatu wawasan dunia Kristen yang berpusat pada Kristus sebagai sentralitasnya. Dari titik ini pula kita memulai petualangan studi akademis kita untuk menjangkau dan menantang semua wawasan dunia sekuler. Kristus meminjamkan “kaca-mata” Allah sehingga kita mampu melihat apa yang filsafat tidak mampu lihat. Sebaliknya, tanpa Kristus, Saudara pasti terpenjara oleh filsafat-filsafat kosong dunia ini. Soli Deo gloria!

Salam,
yb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar