Nas : Kolose
2: 8, Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang
kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus (TB).
Kristus adalah sentralitas filsafat yang paling agung tentang
universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. (yb).
__________
Mendengar kata “filsafat”, respon
beragam spontan terlihat dalam berbagai tanggapan. “Filsafat itu rumit”, “filsafat
itu memusingkan kepada”, “filsafat itu sesat”, “jangan belajar filsafat nanti
kamu gak percaya Tuhan”, dll. Akan tetapi dengan mengatakan hal-hal demikian
sesunggunya orang-orang tersebut justru sedang berfilsafat. Karena filsafat
adalah cinta kebijaksanaan, maka secara tidak langsung mereka yang berdialog tersebut
sedang menyampaikan (/berusaha untuk menemukan) hal-hal yang “bijak”, dan hal
ini merupakan salah satu metode kegiatan berfilsafat—itulah filsafat dalam
pengertian sederhana. Seperti teologi, filsafat merupakan salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang bukan hanya duduk di bangku-bangku akademis, namun juga
berada di pasar, di dapur, di jalanan, di kantor, hingga di gedung-gedung pemerintahan. Setiap
hari kita berfilsafat karena kita hidup dan bertindak berdasarkan nilay-nilay serta
kebijkasanaan-kebijaksanaan pada pandangan filsafat tertentu yang kita percayai
atau mungkin juga yang kita warisi. Gambaran singkat ini memperlihatkan bahwa filsafat
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia yang mana dapat
memimpin manusia itu kepada kebijaksanaan, namun juga sebaliknya. Kehati-hatian
dalam menyikapi filosofi-filosofi yang berkembang dewasa ini akan menghindarkan
kita untuk ditawan oleh filsafat palsu yang mematikan. Pesan filsafat palsu ini
merupakan salah satu tema firman Tuhan bagi jemaat Kolose yang tetap relevan
bagi kita hari ini.
Dalam bacaan di atas, Rasul Paulus menasehati
Jemaat di Kolose agar, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang
kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia”. Kolose merupakan salah satu kota perdagangan di Asia
Kecil (Turki modern) yang bukan hanya maju dalam perekonomian namun juga
berkembang dalam segi kebudayaan khususnya kebudayaan helenis (Yunani), maka
tidak heran jika bertumbuh berbagai macam pengajaran filsafat, tradisi-tradisi
ajaran kafir, serta pengikut Yudaisme yang dikemudian hari berjumpa dengan iman
Kristen. Sang rasul ingin agar jemaat Tuhan harus kristis dan berhati-hati
dalam setiap ajaran yang berkembang. Saudara, menjadi seorang Kristen tidak
meniadakan nalar. Iman Kristen tidak diwahyukan di luar nalar, namun (dalam
batasan tertentu) dapat dinalar. Itu sebabnya dalam beberapa ayat kita selalu
diminta untuk mengkonfirmasi secara kritis mengenai kebenaran keyakinan kita. Salah
satu ayat yang paling jelas adalah pada peristiwa kebangkitan, dimana Tuhan
Yesus secara pribadi menantang rasul Tomas yang skeptis untuk membuktikan
kebenaran kebangkita itu dengan mencucukkan jarinya pada bekas luka Tuhan Yesus
(Yoh. 20:27).
Kata “Hati-hatilah” (Yun. Ble’-po; Melihat; Memandang;
Bersikap hati-hati) pada ayat ini
memberikan pesan yang kuat tentang bagaimana kita umat Tuhan harus jeli melihat
fenomena ajaran-ajaran yang berkembang, baik di dunia sekuler, maupun di dalam
gereja, agar kita tidak tertawan oleh sesuatu yang palsu. Seperti seorang anak
yang hendak menyeberang jalan, kita harus melihat dengan seksama setiap
kendaraan yang lewat, memperhitungkan jauh-dekatnya, dan perkiraan kecepatan
kita untuk sampai ke seberang jalan. Semua hal ini perlu kehati-hatian. Kita tidak
dapat asal menyeberang jalan saja, karena dapat tertabrak dan celaka. Demikian dengan
kehidupan kita yang berhubungan dengan dunia ide. Kerap kali orang menyangka
bahwa perihal pengajaran Teologi dan filsafat adalah hal-hal yang di awan-awan
sehingga terlalu tinggi dan tidak praktis, namun mereka keliru karena mau-tidak
mau, kehidupan kita dipimpin oleh suatu konsep hidup, baik Teologi maupun
filsafat. Mulai dari cara memotong bawang, cara menyapu
halaman, cara duduk, cara bicara, cara bekerja, cara hidup, hingga cara bernegara pun sesungguhnya dikendalikan
oleh suatu filsafat (Pancasila adalah salah satunya). Semua hal ini kita peroleh
dari ajaran yang diturunkan oleh leluhur kita, dan itu filsafat. Contoh lain, orang-orang
yang orientasi hidupnya adalah kesenangan duniawi, akan menghabiskan sebagian
besar hidup dan waktunya di tempat-tempat hiburan. Meskipun mungkin saja tidak
diakui namun hal ini menunjukan dengan jelas bahwa orang tersebut menganut
paham hedonisme!—ini pun prinsip filsafat. Pernakah Saudara melihat anak-anak
yang mempraktekkan adegan perkelahian setelah mereka menonton suatu film? Di dalam
film pun mengandung suatu pesan filosofis yang mampu mempengaruhi cara pandang hidup
seseorang terhadap dunia. Contoh-contoh tersebut merupakan gambaran tentang
bagaimana kita ditawan oleh suatu konsep filofosif yang kosong. Ragam filosofis
ini muncul dalam berbagai wajah, mulai dari tontonan di tv hingga mitos-mitos
tradisional, ramalan garis tangan, horoskop, dll. Kita sesungguhnya dikelilingi
oleh berbagai macam ajaran dan filsafat kosong, maka, kita tidak dapat asal
menjalani hidup, kita perlu “hati-hati!”.
Bagian ayat berikutnya, sang Rasul
menanamkan fondasi iman Kristen sekaligus memberikan standar baku bagi pondasi
iman, “...tetapi tidak
menurut Kristus”. Suatu jawaban
bagi kekosongan hidup manusia dimana Kristus menjadi sentral filsafat hidup
Kristen. Dengan kata lain, kehidupan Kristen adalah kehidupan yang berpusat
pada Kristus. Kristus bukan hanya filosofi atau teladan hidup, akan tetapi
Kristus adalah hidup itu sendiri (Yoh. 11:25; 14:6), dan Ia hidup di dalam
kita, sehingga kita mempresentasikan Kristus dalam segala hal (Rm. 8:29). Ini
perbedaan yang sangat signifikan antara iman kristen dan filsafat mana pun. Filsafat
menuntun manusia kepada suatu kebijaksanaan manusia yang semu karena berasal
dari hikmat manusia, namun Kristus memimpin manusia pada kebijaksanaan Allah,
karena Kristus adalah hikmat Allah (Yoh. 1:1; 1 Kor. 1:24). Filsafat menuntun
manusia pada kehebatan manusia yang sia-sia, namun kristus memimpin manusia
untuk berjumpa dengan keagungan Allah yang tiada tara, bahkan menjangkau
kekekalan yang tidak dapat diusahakan filsafat. Itu sebabnya mengapa Mahatma Gandhi,
tokoh reformator India itu begitu terpesona dengan Kristus.
Tidak sampai di situ,
Kristus malah menjadi sentral untuk filsafat yang paling agung tentang
universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. Itu
berarti semua pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran universal tentang alam
semesta ini bermuara pada-Nya karena semua kebenaran adalah kebenaran Allah! Para
filsuf dan saintis hanya mengais-ngais puing-puing kebenaran yang “tercecer” di
laboratorium mereka, sementara sumber dari kebenaran itu sendiri adalah Kristus
(Yoh. 1:3). Dari titik inilah kekristenan berdiri di atas pondasi yang kokoh—Tuhan
Yesus Kristus!
Kebenaran ini menjadi
pedoman penting bagi kita untuk mengkoreksi semua filsafat-filsafat kosong
serta ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Kristus. Suatu wawasan
dunia Kristen yang berpusat pada Kristus sebagai sentralitasnya. Dari titik ini
pula kita memulai petualangan studi akademis kita untuk menjangkau dan
menantang semua wawasan dunia sekuler. Kristus meminjamkan “kaca-mata” Allah
sehingga kita mampu melihat apa yang filsafat tidak mampu lihat. Sebaliknya, tanpa
Kristus, Saudara pasti terpenjara oleh filsafat-filsafat kosong dunia ini. Soli Deo gloria!
Salam,
yb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar