Ayub 33:14-19, ”Karena
Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya. ... maka Ia membuka telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan
teguran-teguran untuk menghalangi manusia dari pada perbuatannya, dan
melenyapkan kesombongan orang, untuk menahan nyawanya dari pada liang kubur,
dan hidupnya dari pada maut oleh lembing. Dengan penderitaan ia ditegur di
tempat tidurnya...”.
__________
Semenjak peristiwa kejatuhan (Kej. 3),
pergumulan dan penderitaan hidup sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan umat manusia, tak terkecuali bagi umat Tuhan. Meski demikian, tidak ada satu
pun di antara kita yang ingin hidup menderita. Keinginan ini mendasari
kerinduan umat manusia yang terdalam sehingga dimana-mana kita dapat menjumpai beragam
penemuan baru juga cara-cara praktis yang diciptakan dan ditawarkan—mulai dari
tips-tips sukses, kesehatan, motivasi hidup, keuangan, bahkan dalam kemasan
yang paling rohani seperti KKR yang bertemakan kebebabsan finansial, pemulihan
ekonomi, kesehatan, hingga paham teologis nyeleneh yang memandang penderitaan sebagai
sebuah kutuk, dan bukti dari keadaan iman yang dangkal. Meskipun kelihatan
sangat baik dan rohani, namun semua hal ini secara filosofis disugguhi untuk satu
tujuan; menghindarkan manusia dari penderitaan hidup—Manusia tidak ingin
menderita.
Penderitaan memang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, namun bukan berarti bahwa kita
pun harus hidup dengan pasrah, tanpa hikmat, dan tanpa tujuan hidup. Pada titik
ini kita harus menghindarkan diri dari dua ekstrem tersebut--penekanan yang ekstreme pada sisi humanisme dan kepasrahan dalam keptus-asaan--dengan berusaha
memahami maksud dan rencana Tuhan sesuai kebenaran firman-Nya. Penderitaan hidup
memang tidak dapat dihindari karena penderitaan dapat dialami oleh karena konsekwensi kesalahan
kita, juga bisa karena kesalahan orang lain yang berimbas kepada kita, dan terakhir
bukan karena kedua hal di atas, tetapi oleh karena Tuhan yang mengijinkannya seperti kasus Ayub. Dalam
kondisi demikian, pemahaman dan sikap/respons yang benar terhadap penderitaan lah
yang akan menentukan ke arah mana kita akan melangkah—apakah pada keterpurukan
atau kemenangan.
Ayat di atas memberikan pemahaman dan
cara pandang yang baik mengenai penderitaan. Penderitaan yang terjadi merupakan
maksud Allah bagi umatnya untuk “menghalangi manusia dari pada perbuatannya, melenyapkan
kesombongannya,... menahan nyawanya dari pada liang kubur, dan hidupnya dari
pada maut” (ay. 16-18). Keterbatasan dan ketidak-pahaman seringkali menghalangi
pemandangan kita terhadap rencana Tuhan dalam hidup kita. Hal ini yang
menyebabkan kita tidak tahan dalam penderitaan dan ingin cepat-cepat keluar
bahkan dengan segala macam cara. Sementara di sisi lain, Tuhan sengaja “menahan
langkah kita” dengan penderitaan, untuk menghindarkan kita dari jerat maut. Suatu
teguran yang memimpin kita pada kehidupan. Hal ini yang juga disadari oleh Daud
ketika ia menulis mazmurnya, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya
aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu (Mzm. 119:71). Penderitaan bagi umat Tuhan
harus dipandang dari cara pandang yang benar—suatu instrumen bagi pertobatan
maupun suatu batu loncatan bagi kesempurnaan iman—sehingga kita tidak
terburu-buru untuk kecewa terhadap Tuhan, atau terburu-buru untuk berusaha
keluar dari rencana Tuhan yang justru membawa malapetaka yang lebih serius.
Selain pemahaman yang benar, kita perlu “memasang telinga” dengan baik, karena “Allah
berfirman dengan satu dua cara, tetapi (sering kali) kita tidak memperhatikannya”
(ay. 14). Hal ini pun merupakan penghiburan bagi kita bahwa Allah tidak pernah
meninggalkan kita. Ia terus berbicara kepada kita dalam berbagai cara, termasuk
ketika Ia menegur dan menghajar kita dengan keras. Ini merupakan bukti konkret
betapa Ia mengasihi kita, karena kita tahu bahwa apa yang Ia lakukan pasti
membawa kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Rm. 8:28). Tetap percaya terus
berjuang dan berharap selalu kepada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati, Amin! (yb).