Kamis, 30 Agustus 2018

RENUNGAN : PENDERITAAN DAN TEGURAN.


Ayub 33:14-19, ”Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya. ... maka Ia membuka telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan teguran-teguran untuk menghalangi manusia dari pada perbuatannya, dan melenyapkan kesombongan orang, untuk menahan nyawanya dari pada liang kubur, dan hidupnya dari pada maut oleh lembing. Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya...”.

__________

          Semenjak peristiwa kejatuhan (Kej. 3), pergumulan dan penderitaan hidup sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia, tak terkecuali bagi umat Tuhan. Meski demikian, tidak ada satu pun di antara kita yang ingin hidup menderita. Keinginan ini mendasari kerinduan umat manusia yang terdalam sehingga dimana-mana kita dapat menjumpai beragam penemuan baru juga cara-cara praktis yang diciptakan dan ditawarkan—mulai dari tips-tips sukses, kesehatan, motivasi hidup, keuangan, bahkan dalam kemasan yang paling rohani seperti KKR yang bertemakan kebebabsan finansial, pemulihan ekonomi, kesehatan, hingga paham teologis nyeleneh yang memandang penderitaan sebagai sebuah kutuk, dan bukti dari keadaan iman yang dangkal. Meskipun kelihatan sangat baik dan rohani, namun semua hal ini secara filosofis disugguhi untuk satu tujuan; menghindarkan manusia dari penderitaan hidup—Manusia tidak ingin menderita.

          Penderitaan memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, namun bukan berarti bahwa kita pun harus hidup dengan pasrah, tanpa hikmat, dan tanpa tujuan hidup. Pada titik ini kita harus menghindarkan diri dari dua ekstrem tersebut--penekanan yang ekstreme pada sisi humanisme dan kepasrahan dalam keptus-asaan--dengan berusaha memahami maksud dan rencana Tuhan sesuai kebenaran firman-Nya. Penderitaan hidup memang tidak dapat dihindari karena penderitaan  dapat dialami oleh karena konsekwensi kesalahan kita, juga bisa karena kesalahan orang lain yang berimbas kepada kita, dan terakhir bukan karena kedua hal di atas, tetapi oleh karena  Tuhan yang mengijinkannya seperti kasus Ayub. Dalam kondisi demikian, pemahaman dan sikap/respons yang benar terhadap penderitaan lah yang akan menentukan ke arah mana kita akan melangkah—apakah pada keterpurukan atau kemenangan.   

          Ayat di atas memberikan pemahaman dan cara pandang yang baik mengenai penderitaan. Penderitaan yang terjadi merupakan maksud Allah bagi umatnya untuk “menghalangi manusia dari pada perbuatannya, melenyapkan kesombongannya,... menahan nyawanya dari pada liang kubur, dan hidupnya dari pada maut” (ay. 16-18). Keterbatasan dan ketidak-pahaman seringkali menghalangi pemandangan kita terhadap rencana Tuhan dalam hidup kita. Hal ini yang menyebabkan kita tidak tahan dalam penderitaan dan ingin cepat-cepat keluar bahkan dengan segala macam cara. Sementara di sisi lain, Tuhan sengaja “menahan langkah kita” dengan penderitaan, untuk menghindarkan kita dari jerat maut. Suatu teguran yang memimpin kita pada kehidupan. Hal ini yang juga disadari oleh Daud ketika ia menulis mazmurnya, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu (Mzm. 119:71). Penderitaan bagi umat Tuhan harus dipandang dari cara pandang yang benar—suatu instrumen bagi pertobatan maupun suatu batu loncatan bagi kesempurnaan iman—sehingga kita tidak terburu-buru untuk kecewa terhadap Tuhan, atau terburu-buru untuk berusaha keluar dari rencana Tuhan yang justru membawa malapetaka yang lebih serius. Selain pemahaman yang benar, kita perlu “memasang telinga” dengan baik, karena “Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi (sering kali) kita tidak memperhatikannya” (ay. 14). Hal ini pun merupakan penghiburan bagi kita bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita. Ia terus berbicara kepada kita dalam berbagai cara, termasuk ketika Ia menegur dan menghajar kita dengan keras. Ini merupakan bukti konkret betapa Ia mengasihi kita, karena kita tahu bahwa apa yang Ia lakukan pasti membawa kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Rm. 8:28). Tetap percaya terus berjuang dan berharap selalu kepada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati, Amin! (yb).
         

Selasa, 21 Agustus 2018

RENUNGAN : HUTANG-HUTANG KITA.



Nas    : Ayub 10:12, Hidup dan kasih setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.
 
_________

          Hoekema, salah seorang teolog Reformed dalam salah satu bukunya menulis demikian, “Manusia adalah makhluk yang berhutang eksistensi kepada Tuhan”. Berhutang eksistensi secara sederhana berarti keseluruhan kehidupan manusia itu bergantung sepenuhnya kepada pemberian Tuhan, ia tidak dapat hidup sedetik pun di luar anugerah-Nya. Setiap hari kita menorehkan buku hutang kita masing-masing kepada Tuhan—mulai dari nafas hidup, udara, makan-minum, dll. Sementara John Piper melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kita, umat Tuhan, berhutang dua kali kepada Tuhan, pertama hutang penciptaan—keberadaan eksistensi hidup kita seperti pandangan Hoekema, dan kedua hutang penebusan di dalam Kristus—keselamatan yang tiada tara yang Ia kerjakan bagi kita. Kita semua adalah orang-orang yang berhutang, suatu kebenaran sederhana yang paling sering terlupakan oleh manusia! 

          Ayub dalam bacaan di atas, menyadari betul akan hal ini. Ia kemudian merinci kemurahan Tuhan itu dalam tiga hal, “Hidup, kasih setia, dan pemeliharaan/penjagaan”. “Hidup” menyangkut pemenuhan eksistensial kebutuhan jasmani manusia akan kehidupan mereka. Sementara “Kasih setia” berbicara mengenai perihal kebutuhan manusia secara psikologis. Dan “Pemeliharaan/penjagaan” merupakan kebutuhan manusia dalam hal perlindungan serta rasa aman yang berhubungan dengan keselamatan. Yang menarik dari ayat ini adalah Ayub justru menghubungkan ketiganya dengan kata “Kaukaruniakan” (Tuhan mengaruniakan/Tuhan memberikan) yang secara eksplisit berarti kesemuanya itu bermuara pada anugerah Tuhan semata. Kebenaran ini juga sekaligus menegaskan kepada kita bahwa tidak ada sesuatu hal terkecil sekalipun yang dapat kita lakukan/usahakan di luar anugerah yang Tuhan berikan itu (KPR 17:28). Semua karena anugerah-Nya. Namun dalam kondisi tertentu kita sebagai umat Tuhan  terkadang lupa akan hal ini sehingga sering kali kita berusaha “menyogok Tuhan” dengan apa yang sesungguhnya adalah milik-Nya juga (perhatikan bagaimana motivasi seseorang dalam memberikan persembahan/persepuluhan dengan embel-embel berkat). Sangat menggelikan. 

          Memiliki cara pandang seperti Ayub sangatlah penting, karena dengan cara pandang demikian pulalah ia mampu menghadapi pahitnya badai kehidupan dengan kalimat iman yang dasyat, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayb. 1:21). Hanya dengan memahami bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah Tuhan, maka kita akan mengerti bahwa; Pertama, kita adalah orang-orang yang berhutang, maka tidak ada alasan untuk tidak mempersembahkan hidup untuk kemuliaan Tuhan. Kedua, kehidupan kita adalah kehidupan yang bergantung pada anugerah dan pemberian Allah, maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas anugerah dan pemberian-Nya. Ketiga, karena segala sesuatu yang kita “miliki” adalah milik Tuhan maka ketika Ia memintanya, tidak ada alasan untuk kita menahannya. Keempat, Allah yang kita sembah, adalah Allah yang memahami apa yang menjadi kebutuhan hidup kita. Baik kebutuhan jasmani, kebutuhan akan kasih, perlindungan, pembelaan dan keselamatan. Ia sangat memahaminya, itu sebabnya ayat ini tidak mengatakan bahwa Ayub meminta, namun Ayub menyadari bahwa semuanya itu “Kau karuniakan”. Tuhan tahu kebutuhan anak-anak-Nya, dan Ia tidak pernah membiarkan kita hidup terlantar tanpa pengharapan, maka Ia mengaruniakan segala sesuatu kepada kita, terlebih karunia keselamatan di dalam Anak-Nya. Maka kita sebagai orang-orang yang berhutang tidak memiliki hak untuk menuntut, sebaliknya kita hanya dapat mengucap syukur atas anugerah Tuhan yang mulia itu serta berusaha untuk hidup dalam panggilan-Nya. Amin! Tuhan memberikati Saudara.

Salam,
yb.

Selasa, 14 Agustus 2018

RENUNGAN : FILSAFAT KOSONG



Nas    : Kolose 2: 8, Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus (TB).

Kristus adalah sentralitas filsafat yang paling agung tentang universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. (yb).

__________


          Mendengar kata “filsafat”, respon beragam spontan terlihat dalam berbagai tanggapan. “Filsafat itu rumit”, “filsafat itu memusingkan kepada”, “filsafat itu sesat”, “jangan belajar filsafat nanti kamu gak percaya Tuhan”, dll. Akan tetapi dengan mengatakan hal-hal demikian sesunggunya orang-orang tersebut justru sedang berfilsafat. Karena filsafat adalah cinta kebijaksanaan, maka secara tidak langsung mereka yang berdialog tersebut sedang menyampaikan (/berusaha untuk menemukan) hal-hal yang “bijak”, dan hal ini merupakan salah satu metode kegiatan berfilsafat—itulah filsafat dalam pengertian sederhana. Seperti teologi, filsafat merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bukan hanya duduk di bangku-bangku akademis, namun juga berada di pasar, di dapur, di jalanan, di kantor,  hingga di gedung-gedung pemerintahan. Setiap hari kita berfilsafat karena kita hidup dan bertindak berdasarkan nilay-nilay serta kebijkasanaan-kebijaksanaan pada pandangan filsafat tertentu yang kita percayai atau mungkin juga yang kita warisi. Gambaran singkat ini memperlihatkan bahwa filsafat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia yang mana dapat memimpin manusia itu kepada kebijaksanaan, namun juga sebaliknya. Kehati-hatian dalam menyikapi filosofi-filosofi yang berkembang dewasa ini akan menghindarkan kita untuk ditawan oleh filsafat palsu yang mematikan. Pesan filsafat palsu ini merupakan salah satu tema firman Tuhan bagi jemaat Kolose yang tetap relevan bagi kita hari ini.  

          Dalam bacaan di atas, Rasul Paulus menasehati Jemaat di Kolose agar, Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia”. Kolose merupakan salah satu kota perdagangan di Asia Kecil (Turki modern) yang bukan hanya maju dalam perekonomian namun juga berkembang dalam segi kebudayaan khususnya kebudayaan helenis (Yunani), maka tidak heran jika bertumbuh berbagai macam pengajaran filsafat, tradisi-tradisi ajaran kafir, serta pengikut Yudaisme yang dikemudian hari berjumpa dengan iman Kristen. Sang rasul ingin agar jemaat Tuhan harus kristis dan berhati-hati dalam setiap ajaran yang berkembang. Saudara, menjadi seorang Kristen tidak meniadakan nalar. Iman Kristen tidak diwahyukan di luar nalar, namun (dalam batasan tertentu) dapat dinalar. Itu sebabnya dalam beberapa ayat kita selalu diminta untuk mengkonfirmasi secara kritis mengenai kebenaran keyakinan kita. Salah satu ayat yang paling jelas adalah pada peristiwa kebangkitan, dimana Tuhan Yesus secara pribadi menantang rasul Tomas yang skeptis untuk membuktikan kebenaran kebangkita itu dengan mencucukkan jarinya pada bekas luka Tuhan Yesus (Yoh. 20:27).  

          Kata “Hati-hatilah” (Yun. Ble’-po; Melihat; Memandang; Bersikap hati-hati) pada ayat ini memberikan pesan yang kuat tentang bagaimana kita umat Tuhan harus jeli melihat fenomena ajaran-ajaran yang berkembang, baik di dunia sekuler, maupun di dalam gereja, agar kita tidak tertawan oleh sesuatu yang palsu. Seperti seorang anak yang hendak menyeberang jalan, kita harus melihat dengan seksama setiap kendaraan yang lewat, memperhitungkan jauh-dekatnya, dan perkiraan kecepatan kita untuk sampai ke seberang jalan. Semua hal ini perlu kehati-hatian. Kita tidak dapat asal menyeberang jalan saja, karena dapat tertabrak dan celaka. Demikian dengan kehidupan kita yang berhubungan dengan dunia ide. Kerap kali orang menyangka bahwa perihal pengajaran Teologi dan filsafat adalah hal-hal yang di awan-awan sehingga terlalu tinggi dan tidak praktis, namun mereka keliru karena mau-tidak mau, kehidupan kita dipimpin oleh suatu konsep hidup, baik Teologi maupun filsafat. Mulai dari cara memotong bawang, cara menyapu halaman, cara duduk, cara bicara, cara bekerja, cara hidup,  hingga cara bernegara pun sesungguhnya dikendalikan oleh suatu filsafat (Pancasila adalah salah satunya). Semua hal ini kita peroleh dari ajaran yang diturunkan oleh leluhur kita, dan itu filsafat. Contoh lain, orang-orang yang orientasi hidupnya adalah kesenangan duniawi, akan menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di tempat-tempat hiburan. Meskipun mungkin saja tidak diakui namun hal ini menunjukan dengan jelas bahwa orang tersebut menganut paham hedonisme!—ini pun prinsip filsafat. Pernakah Saudara melihat anak-anak yang mempraktekkan adegan perkelahian setelah mereka menonton suatu film? Di dalam film pun mengandung suatu pesan filosofis yang mampu mempengaruhi cara pandang hidup seseorang terhadap dunia. Contoh-contoh tersebut merupakan gambaran tentang bagaimana kita ditawan oleh suatu konsep filofosif yang kosong. Ragam filosofis ini muncul dalam berbagai wajah, mulai dari tontonan di tv hingga mitos-mitos tradisional, ramalan garis tangan, horoskop, dll. Kita sesungguhnya dikelilingi oleh berbagai macam ajaran dan filsafat kosong, maka, kita tidak dapat asal menjalani hidup, kita perlu “hati-hati!”. 

          Bagian ayat berikutnya, sang Rasul menanamkan fondasi iman Kristen sekaligus memberikan standar baku bagi pondasi iman, “...tetapi tidak menurut Kristus”. Suatu jawaban bagi kekosongan hidup manusia dimana Kristus menjadi sentral filsafat hidup Kristen. Dengan kata lain, kehidupan Kristen adalah kehidupan yang berpusat pada Kristus. Kristus bukan hanya filosofi atau teladan hidup, akan tetapi Kristus adalah hidup itu sendiri (Yoh. 11:25; 14:6), dan Ia hidup di dalam kita, sehingga kita mempresentasikan Kristus dalam segala hal (Rm. 8:29). Ini perbedaan yang sangat signifikan antara iman kristen dan filsafat mana pun. Filsafat menuntun manusia kepada suatu kebijaksanaan manusia yang semu karena berasal dari hikmat manusia, namun Kristus memimpin manusia pada kebijaksanaan Allah, karena Kristus adalah hikmat Allah (Yoh. 1:1; 1 Kor. 1:24). Filsafat menuntun manusia pada kehebatan manusia yang sia-sia, namun kristus memimpin manusia untuk berjumpa dengan keagungan Allah yang tiada tara, bahkan menjangkau kekekalan yang tidak dapat diusahakan filsafat. Itu sebabnya mengapa Mahatma Gandhi, tokoh reformator India itu begitu terpesona dengan Kristus.

          Tidak sampai di situ, Kristus malah menjadi sentral untuk filsafat yang paling agung tentang universalitas alam semesta ini karena Ia adalah Logos dan Hikmat Allah. Itu berarti semua pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran universal tentang alam semesta ini bermuara pada-Nya karena semua kebenaran adalah kebenaran Allah! Para filsuf dan saintis hanya mengais-ngais puing-puing kebenaran yang “tercecer” di laboratorium mereka, sementara sumber dari kebenaran itu sendiri adalah Kristus (Yoh. 1:3). Dari titik inilah kekristenan berdiri di atas pondasi yang kokoh—Tuhan Yesus Kristus! 

          Kebenaran ini menjadi pedoman penting bagi kita untuk mengkoreksi semua filsafat-filsafat kosong serta ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Kristus. Suatu wawasan dunia Kristen yang berpusat pada Kristus sebagai sentralitasnya. Dari titik ini pula kita memulai petualangan studi akademis kita untuk menjangkau dan menantang semua wawasan dunia sekuler. Kristus meminjamkan “kaca-mata” Allah sehingga kita mampu melihat apa yang filsafat tidak mampu lihat. Sebaliknya, tanpa Kristus, Saudara pasti terpenjara oleh filsafat-filsafat kosong dunia ini. Soli Deo gloria!

Salam,
yb.

Rabu, 08 Agustus 2018

RENUNGAN : KESETIAAN DI DALAM KETIDAK-SETIAAN



Nas    : Ezra 9:9, Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem.

Baca  : Ezra 9:1-15.

__________

          Alkitab merupakan satu-satunya kitab suci yang memuat satu kebenaran unik  dimana Allah semesta alam bersedia “mengikatkan” diri-Nya dengan umat-Nya dalam serangkaian perjanjian. Melalui sejarah perjanjian ini pula kita menyaksikan bagaimana firman Tuhan menggambarkan suatu realitas tentang konsistensi dan kesetiaan Allah pada perjajian itu, serta kondisi sebaliknya, dimana penghianatan demi penghianatan terus dilakukan oleh umat-Nya. Jika ditinjau dalam konteks perjanjian Allah dan umat-Nya maka memang secara hukum pihak yang melanggar perjanjian sudah sepantasnya menerima sangsi, karena perihal perjanjian selalu berkaitan dengan sangsi hukum yang mengikat keduanya. Namun terdapat hal lain mengenai Allah yang sangat mengesankan dalam bacaan ini—kesetiaan-Nya. Hal ini yang dialami oleh umat Tuhan ketika mereka dibuang dan pasca pembuangan dari Babel. 

          Firman Tuhan di atas merupakan salah satu dari rangkaian doa syafaat Ezra pasca kembali dari pembuangan di Babel (Pasal 9). Doa pertobatan dan syafaat yang sebenarnya biasa saja, menjadi tidak biasa ketika ayat ini dikumandangkan. Terdapat dua pesan yang mengagumkan dalam doa Ezra ini. Pertama, Allah kita adalah Allah yang setia, meskipun kita tidak setia. Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami.”  Ezra benar-benar menyadari dua hal dalam kalimat pendek ini. Ezra meyadari konsekwensi dari pelanggaran akan hukum Allah yaitu pembuangan dan perbudakan di Babel. Namun ditengah perbudakan itu Ezra dan umat Israel juga melihat kesetiaan Allah yang luar biasa. Suatu bentuk kesetiaan sejati yang nyata meski sedang berada dalam penghukuman. Kedua hal ini merangkum suatu pengajaran penting dari iman Kristen tentang keadilan Allah dan kasih setia-Nya.  Ezra tahu bahwa keadilan Allah harus dilaksanakan atas pelanggaran umat-Nya yang membawa mereka ke pembuangan di Babel, namun kasih dan kesetiaan Allah juga tidak pernah sedikit pun minggalkan mereka. Di tengah kesesakan itu Allah hadir bersama mereka dan secara berkala memelihara mereka. Ia memang menghukum, namun Ia juga ada di sana untuk mendampingi mereka, Ia setia ditengah-tengah ketidak-setiaan kita agar kita menyadari betapa besar kasih Allah bagi kita, umat-Nya. Jangan berkecl hati ketika kita berada dalam pergumulan hidup, percayalah bahwa Allah kita adalah Allah yang setia, Ia tidak pernah meninggalkan kita untuk bergumul sendirian (Mzm. 23:4).

          Kedua, otoritas dan providensi Allah yang melampaui kuasa dunia. “Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya,”  Bagian ayat ini menerangkan beberapa hal penting bagi kita. Pertama, Tuhan memegang kekuasaan atas pemerintahan dan kerajaan di dunia. Allah menggunakan kerajaan Babel untuk menghukum ketikadak-setiaan Israel, kemudian setelah masa penghukuman yang dinubuatkan selesai, Allah kembali menggunakan kerajaan Persia yang menakhlukkan Babel untuk memulihkan umat-Nya (Ezr.1:1; Rm. 13:1). Allah memegang otoritas tertinggi atas segala pemerintahan di dunia ini. Maka sebagai umat Allah, kita tidak perlu khawatir dan cemas akan siapa yang akan memerintah, karena tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan yang tidak ditentukan oleh-Nya (Rm. 13:1). Seburuk apapun suatu pemerintah, selalu ada pemeliharaan dan maksud Allah bagi umat-Nya di sana. Hal ini terbukti ketika kekuasaan Persia berlangsung, Allah justru menggunakan kerajaan Persia untuk memulihkan umat dan bait-Nya. Mulai dari pemulangan umat Israel, benda-benda di bait Allah yang dijarah pada zaman raja Babel, serta semua biaya pembangunannya ditanggung oleh pihak kerajaan. Sebuah pemeliharaan Tuhan yang sangat ajaib! Pesan kedua adalah pemulihan spiritual. Jika pesan pertama dari kebenaran ini merupakan pesan pemulihan umat, maka pesan kedua dari ayat ini berbicara mengenai pemulihan hubungan rohani dengan Allah Israel yang ditandai dengan pemulihan bait Allah, “...kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya”. Saudara, pemulihan yang Tuhan kerjakan tidak bersifat setengah-setengah; tidak jasmani saja atau rohani saja, namun keduanya. Ini juga yang dinyatakan kepada Ezra dan umat Tuhan pasca pembuangan. Pemulihan yang Tuhan ijinkan haruslah dimaknai secara sejajar antara pembangunan fisik dan rohani, antara jasmani dan spiritual.  Ketika ia memulihkan kita dari pergumula atau sakit penyakit, Ia juga ingin memulihkan kerohanian kita yang juga sakit. Ia mau kita kembali “menegakkan reruntuhan rumah-Nya”, Ia mau kita kembali membangun hubungan intim yang telah rusak dengan-Nya. Datanglah pada-Nya bukan karena mujizat, namun karena hati yang mengasihi-Nya. Inilah pesan pentingnya, pemulihan yang Tuhan kerjakan itu haruslah bermuara pada pemulihan kerohanian kita yang kemudian mempermuliakan Tuhan. 

          Tuhan selalu setia, Ia setia memegang janji-Nya sesuai dengan firman yang diucapkan-Nya, karena Ia tidak dapat mengingkari sifat-Nya (1 Kor. 1:9; 1 Tes. 5:24; 2 Tes. 3:3). Bahkan kesetiaan-Nya itu nyata ditengah penghukuman-Nya kepada umat yang tidak setia. Meski demikian, kiranya kita tidak memahami kesetiaan Allah ini dengan cara yang keliru sehingga mengabaikan konsekwensi dari setiap pelanggaran yang kita buat. Berjuanglah untuk terus setia mengasihi Tuhan meskipun terkadang kita masih tidak setia, karena kesetiaan merupakan wujud nyata dari kasih yang abstrak. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk terus setia sampai akhir! Amin, Tuhan memberkati kita. 

Salam,
yb.