Rabu, 04 Juli 2018

RENUNGAN : ELIA, BERAPOLOGETIKA DENGAN KUASA ALLAH [ELIA, Bag. 3]

Nas : 1 Raja. 18:25-29, (25) Kemudian Elia berkata kepada nabi-nabi Baal itu: "Pilihlah seekor lembu dan olahlah itu dahulu, karena kamu ini banyak. Sesudah itu panggillah nama allahmu, tetapi kamu tidak boleh menaruh api." (26) Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu. (27) Pada waktu tengah hari Elia mulai mengejek mereka, katanya: "Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga." (28) Maka mereka memanggil lebih keras serta menoreh-noreh dirinya dengan pedang dan tombak, seperti kebiasaan mereka, sehingga darah bercucuran dari tubuh mereka. (29) Sesudah lewat tengah hari, mereka kerasukan sampai waktu mempersembahkan korban petang, tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab, tidak ada tanda perhatian.

Bacaan : 1 Raja. 18:20-40.

____________

           Dalam konsep ke-Tuhanan, terdapat beragam konsep kepercayaan yang diyakini oleh manusia. Salah satunya adalah Monolatrisme. Konsep ini meyakini bahwa terdapat banyak ‘tuhan’ namun hanya salah satu diantara para ‘tuhan’ itulah yang merupakan Tuhan. Pemikiran demikian lahir dari percampuran tradisi budaya lama dan keyakinan baru yang masuk dalam suatu komunitas masyarakat, dimana pada perkembangannya, masyarakat tersebut dengan pengalaman spiritualnya mulai menentukan ‘tuhan’ mana yang tertinggi dan patut disembah. Umat Israel (Kerajaan Utara pada masa pelayaan Elia) juga tidak lepas dari jerat sinkretisme demikian. Kehidupan mereka yang menyatu dengan bangsa-bangsa Kanaan, mengakibatkan keyakinan mereka kepada Yahweh, Allah Israel, menjadi pudar dan berpaling kepada para Baal allah-allah Kanaan. Dalam konteks demikianlah Elia dipanggil untuk mereformasi umat Tuhan di Kerajaan Utara. Suatu panggilan pelayanan yang berat karena ia sendirian (ay.22) harus berhadapan dengan umat Tuhan, raja dan permaisuri, serta delapan ratus lima puluh nabi Baal dan nabi Asyera (1 Raja. 18;19).

         Bacaan di atas memperlihatkan kepada kita tiga permasalah utama yang dihadapi Elia; Pertama, pemimpin yang sesat. Kedua, rakyat yang sesat, dan ketiga lembaga agama yang sesat. Semuanya sesat. Penyesatan pada zaman Elia merupakan penyesatan yang sangat luar biasa dan sistematis karena dikendalikan oleh sang Ratu, Izebel. Meski harus berhadapan dengan rakyat serta ratusan nabi Baal, namun sebagai juru bicara Allah, Elia tetap bersuara lantang menentang kesesatan untuk memperbaharui iman umat Allah dalam sebuah perlombaan membakar korban bakaran. Elia, seorang nabi Tuhan yang bukan hanya memiliki karunia yang dasyat, namun juga memiliki keberanian yang luar biasa dalam menyampaikan kebenaran. Tanpa basa-basi, Elia langsung mengkonfrontasi allah-allah palsu Kanaan. Ini merupakan cara jitu untuk merombak semua keyakinan yang sesat dari umat Israel, sebab hanya dengan membuktikan bahwa sesembahan yang mereka sembah itu palsu dan tidak berdaya, maka secara otomatis keyakinan yang dipegang itu runtuh seketika. Suatu cara berapologetika yang disertai dengan demonstrasi kuasa Allah—sungguh luar biasa.

        Konfrontasi apologetik ini terlihat jelas ketika Elia menyerukan agar para nabi palsu tersebut berteriak lebih keras kepada Baal, “Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? mungkin ia (Baal sedang) merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga." Sebuah lelucon yang berisi peringatan keras kepada para nabi palsu untuk membuktikan kuasa sesembahan palsu mereka. Elia memulai dengan pembuktian presuposisi (keyakinan yang dipegang) mereka. Cara Elia tersebut secara implisit menunjukan kepada kita salah satu metode apologetika Kristen klasik—Evidential (Evidential merupakan salah satu metode yang bertumpu pada pembuktian keyakinan dengan memaparkan bukti-bukti). Elia mengkritik kesesatan konsep ke-Tuhan-an dari nabi-nabi Baal yang menyamakan Allah dengan manusia, dimana Ia perlu dipanggil dengan keras, bahkan dengan cara-cara ektrem, agar Ia menjawab. Suatu kritik yang bukan hanya ditujukan kepada nabi-nabi Baal, namun juga pada kesesatan konsep beragama manusia modern. Meski demikina, karena kebebalan dan kesesatan yang membutakan mata para nabi Baal, tidak menjadikan mereka bertobat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keyakinan Iman Kristen bertumpu sepenuhnya pada anugerah Allah dan bukan pada kuatnya suatu argumentasi apologetik (walaupun hal tersebut merupakan sarana penting pra-pertobatan).

         Sebaliknya, Elia membuktikan bagi umat Israel yang bebal, pemimpin Israel yang bebal, dan para nabi palsu, bahwa Yahweh, Allah Israel, adalah Allah sejati. Gaya berapologetik Elia dilakukan dengan dua cara. Pembelaan verbal (ay. 21, 24, 30, 37) dan demonstrasi kuasa Allah (ay. 37-39). Suatu pembelaan iman yang kokoh dan tak terbantahkan karena bukan hanya kuat secara verbal namun juga disertai oleh fakta empiris! Elia bukan hanya menghancurkan keyakinan para nabi Baal, Ia juga menghantam allah-allah palsu Kanaan, sekaligus mereformasi iman umat Tuhan yang telah menyimpang dan skeptis, namun, perhatikan, Elia tidak memaksakan kehendaknya bagi mereka yang berseberangan. Ia memberikan kebebasan untuk memilih tanpa paksaan! Inilah prinsip dasar apologetika Kristen. Membuktikan kesesatan argumentasi lawan, menunjukan kuasa dan kebenaran Allah yang sejati, merombak dan mereformasi keyakinan yang menyimpang, namun menghargai kebebasan hak manusia. Tujuan apologetika Kristen yang terutama bukanlah untuk memenangkan suatu perdebatan akan tetapi untuk membawa manusia berdosa berjumpa dengan Sang Juru Selamat. Apologetika yang tidak Kristosentris pastilah egosentris.

      Kisah Elia ini menunjukan kepada kita beberapa pesan penting. Mulai dari betapa sulitnya manusia untuk percaya kepada Allah jika bukan karena anugerah Allah, reformasi iman umat Tuhan, demonstrasi kuasa Allah, pewahyuan jati diri Allah yang sejati dan maha kuasa yang melampaui para Baal, hingga sebuah pesan penting bagi umat Tuhan untuk mampu menyuarakan kebenaran firman Tuhan dengan lantang di tengah dunia yang korup. Elia telah menyelesaikan panggilannya dengan sangat baik. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Siapkah kita menjadi “Elia-elia” modern yang bersedia menyuarakan kebenaran dan reformasi iman umat Tuhan? Kiranya Tuhan menolong kita. Soli Deo Gloria! Amin!

Salam,
yb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar