Kamis, 26 Juli 2018

RENUNGAN : CONQUER YOUR GIANT!



Nas    : 1 Samuel 17: 45-47, Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. ... dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran dan Iapun menyerahkan kamu (Goliat) ke dalam tangan kami."

Bacaan        : 1 Samuel 17.

_____________

          Membaca kisah heroik Daud mengalahkan Goliat pada bacaan di atas memang sangat menginspirasi dan memotivasi iman (kisah ini bahkan telah terbit dalam beberapa judul buku dan film rohani. “Facing The Giant”, salah satunya yang paing terkenal). Meski inspiratif, namun tentu saja secara naluriah tidak ada satu orang pun termasuk bala tentara pasukan Saul yang bersedia “mati konyol” dengan mengambil keputusan seperti Daud. Gambaran ini mempresentasikan satu kebenaran universal bahwa pada dasarnya kita semua lebih memilih untuk mencari aman seperti pasukan tentara Israel. Kita bahkan cenderung menolak dan menghindar untuk menghadapi “Goliat” kita masing-masing. Akan tetapi karena konsekwensi dari kehidupan adalah permasalah dan pergumulan maka kita tidak dapat menghindar dari pergumulan hidup. “Tamu” yang tak diundang ini akan menghampiri tanpa melihat kondisi kita; siap atau tidak, “Goliat-goliat” itu pasti menghadang. Daud dalam kisah ini memberikan sebuah pengajaran iman yang luar biasa terutama bagi kita yang sedang berada dalam pergumulan hidup yang sukar.

          Saudara, Tuhan kadang-kala menempatkan kita pada posisi sulit dan tak terduga seperti Daud untuk melihat seberapa besar iman dan pengharapan kita kepada-Nya. Daud bukan seorang prajurit, ia hanya seorang peternak, anak kemarin sore yang kebetulan “nyasar” di medan pertempuran. Namun Daud memiliki cara pandang dan iman yang berbeda dari prajurit Israel yang berperang sehingga dia siap mengahadapi segala macam situasi. Dan ini yang menjadi kunci kemanangan Daud, ia memiliki iman, pengalaman iman, pengenalan akan siapa Allahnya (ay. 37, 45, 47) serta fokus hidup yang tertuju pada Allah. Hal ini merupakan perbedaan yang mencolok antara Daud dan pasukan Israel yang sedang berperang. Ketika para prajurit Israel berfokus pada kekuatan Goliat, sang raksasa yang menggetarkan mereka, Daud justru memilih untuk berfokus kepada Allah. Perhatikan jawaban yang Daud berikan kepada Goliat, “Engkau (Goliat) mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam...”. Daud tidak berfokus pada perawakan Goliat yang tinggi besar, tidak pada pengalaman perangnya, dan juga tidak pada pedang, tombak, lembing, tetapi pada “Nama Tuhan”. Daud tahu bahwa bersama Tuhan, Allah semesta Alam, Goliat si raksasa Filistin akan terlihat seperti bocah ingusan. Bersama Tuhan, Daud justru  berubah menjadi Malaikat maut bagi Goliat. Inilah pesan pertama yang kita peroleh dari Daud—Jangan berfokus pada pergumulan, tetapi fokuslah pada kuasa Tuhan, karena hanya bersama Tuhan kita mampu menghadapi dan melewati badai hidup kita.  bersama Tuhan, tidak ada Goliat yang tidak dapat ditakhlukkan!

          Pesan kedua adalah Tuhan menggunakan Goliat untuk mempromosikan Daud. Dengan kata lain Goliat adalah batu uji bagi Daud untuk ia naik level. Saudara, Tuhan tidak sembarangan membawa Daud ke medan peperangan. Daud mungkin saja sudah sering menghantarkan makanan kepada Kakak-kakaknya di medan peperangan, namun hanya pada momentum kehadiran Goliat lah, Daud tergerak untuk maju! Artinya Daud menyadari bahwa kehadiran Goliat merupakan waktunya Tuhan untuk mempertontonkan kuasa-Nya dan membawa Daud naik lebih tinggi! Hanya dengan menumbangkan Goliat lah, iman Daud dikuatkan, dan janji Tuhan mulai digenapi. Goliat adalah langkah awal Umat Israel mengenal siapa Daud, orang yang diurapi Allah itu. Saudara terkasih, menghadapi pergumulan hidup memang sangat tidak menyenangkan, namun jangan buru-buru untuk mengeluh apalagi kecewa dan undur dari Tuhan. Berdooa, bertanya dan bersabarlah, karena mungkin saja pergumulan yang Tuhan injinkan tersebut merupakan sebuah awal yang baik. Suatu awal atau momentum yang Tuhan sediakan untuk mempromosikan kita, atau mungkin juga suatu peringatan agar kita berbalik dan bersandar pada Tuhan. perhatikan dengan baik kalimat iman daud dalam ayat ini, “Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran!” Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran, luar biasa! Kuasa dan otoritas serta kemenangan dalam pergumulan hidup tidak terletak pada kekuatan kita, pada skill kita, pada harta kita, pada seberapa kaya, dan hebatnya orang-orang disekitar kita, tetapi pada tangan Tuhan! hanya bersama Tuhanlah kita mampu menakhlukkan “Goliat-goliat” dalam hidup kita. Ini adalah kunci kemenangan Daud, Ia mengandalkan Tuhan bukan kekuatannya (Yer. 17:5). Ubahlah cara pandang kita terhadap perguulan, karena pergumulan hidup merupakan kesempatan dan waktunya Tuhan untuk suatu tujuan yang mulia bagi kita, maka jangan kecewa, andalkan Tuhan selalu.

          Ketiga, menjadi kesaksian bagi umat Tuhan. Kelembutan dan kemurnian hati Daud terlihat dalam peristiwa ini. Kalilat yang ia ucapkan merupakan suatu konfirmasi yang sangat tegas, “supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing”. Daud menyadari betul bahwa dalam menghadapi Goliat, Tuhan memiliki suatu tujuan, yaitu mempermuliakan diri-Nya dan memperkenalkan kepada umat Tuhan, bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang setia dan dasyat! Tuhan memakai Daud untuk mempertontonkan karya Tuhan yang besar di depan mata umat-Nya yang skeptis. Maka Daud tahu bahwa pertempuran ini bukan tentang kemuliaannya, tetapi kemuliaan Tuhan, sementara ia hanya alat kemuliaan Tuhan. Kesadaran akan hal ini sangat penting, terutama bagi para pelayan dan hamba Tuhan karena ternyata masih banyak umat/hamba  Tuhan yang ketika dipromosikan Tuhan atau setelah melalui pergumulan berat dan selamat, menjadi  lupa diri. Menganggap bahwa semua itu hasil usahanya, kerja kerasnya, dan sebagainya, sehingga alih-alih menjadi saksi yang mempermuliakan Tuhan, justru sebaliknya, mempermuliakan diri sendiri. Daud tahu bahwa kemenangan yang akan ia peroleh merupakan suatu momentum yang Tuhan kehendaki untuk menjadi saksi demi meneguhkan iman umat-Nya. Seperti Daud, setelah keluar dari pergumulan dan menjadi pemenang, jangan lupa bahwa ada tangan Tuhan yang menopang kita sehingga kita tidak jatuh tergeletak, maka muliakanlah Tuhan dengan kesaksian kita agar umat Tuhan dipersiapkan untukmenghadapi “Goliat-goliat” mereka dengan iman dan pengharapan di dalam Kristus!

          Tiga hal teladan iman yang ditinggalkan Daud ketika menghadapi Goliat pada bacaan ini, kiranya menjadi pencerahan dan semangat untuk kita tekun berjuang dalam kehidupan, dengan iman dan mata yang tertuju pada Tuhan. Semoga Tuhan memampukan kita, Amin! Tuhan Yesus memberkati Saudara.

Salam,
yb.

Selasa, 24 Juli 2018

RENUNGAN : TENANGLAH!


Nas : Matius 14:27-29 (TB) Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air."Kata Yesus: "Datanglah!" Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.

Bacaan : Matius 14: 22-33.

______

          Pergumulan, penderitaan, bahkan dukacita telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia, tak terkecuali umat Tuhan. Tidak ada satu pun dari kita yang tidak pernah bergumul dan menangis. Menjadi seorang pengikut Kristus tidak secara otomatis melepaskan kita dari hal-hal di atas. Tidak ada kelas "VVIP" dalam iman Kristen! Sebaliknya, terkadang justru semakin berat dan banyak tantangan. Itu sebabnya mereka yang mengajarkan Kekristenan yang lain, Kekristenan yang tanpa krisis, Kekristenan yang tanpa penderitaan, dan tanpa salib adalah Kekristenan yang palsu. Bukankah para Rasul pun tidak luput dari pergumulan dan penderitaan?

         Namun ini yang menjadi perbedaannya--Meskipun langit tidak selalu cerah, badai hidup yang seolah tidak berakhir, namun selalu ada tangan Tuhan yang menopang. Selalu ada jaminan Tuhan bagi kita. Pertolongan-Nya tidak pernah terlambat. Firman Tuhan di atas dengan sangat indah menggambarkan jaminan Tuhan di tengah badai yang melanda para Rasul. Badai itu tidak dihentikan, sebaliknya, justru dalam badai itu mereka benar-benar berjumpa dengan Tuhan. Mereka menyaksikan Siapakah Dia yang sebenarnya. Dan Jawaban Tuhan dari dalam badai itu sungguh sangat luar biasa, "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!". Ketakutan akan segera sirna ketika kita mengetahui ada Pribadi yang memiliki kuasa di atas badai hidup kita, sedang bersama-sama kita. Ketika jawaban Tuhan Yesus disampaikan, Perhatian, badai masih tetap berlangsung, namun para Rasul semuanya berfokus pada Tuhan sehingga mereka tidak lagi takut dan khawatir. Suatu kesaksian bahwa Tuhan setia, Ia tidak membiarkan kita sendirian. Puji Tuhan!

        Saudara, badai hidup mungkin saja tidak berhenti dalam hidup kita, namun inilah yang Tuhan inginkan, "Tenanglah!". Dengan ketenangan kita dapat berfokus pada Tuhan. Dengan ketenangan kita dapat mendengar suara Tuhan. Dengan ketenangan kita dapat berpikir jernih, karena ketakutan membutakan mata rohani kita untuk melihat Tuhan yang sedang memanggil kita. Ketenangan merupakan pernyataan iman serta pengharapan bahwa kita yakin akan penyertaan Tuhan dalam kehidupan kita, meskipun kita tidak dapat melihat-Nya. "Tenanglah!" Tuhan Yesus berserta kita, jangan takut! Amin!

Soli Deo Gloria!
Salam,
yb.


Rabu, 11 Juli 2018

RENUNGAN : HIDUP YANG DIPERSEMBAHKAN


Nas : 1 Tawarikh 22:19 (TB) Maka sekarang, arahkanlah hati dan jiwamu untuk mencari TUHAN, Allahmu. Mulailah mendirikan tempat kudus TUHAN, Allah, supaya tabut perjanjian TUHAN dan perkakas kudus Allah dapat dibawa masuk ke dalam rumah yang didirikan bagi nama TUHAN."

______

          Kehidupan kita yang serba sibuk seringkali mengalihkan fokus kita dari Tuhan kepada kesibukan-kesibukan harian yang tiada akhir. Apa yang paling penting kini mulai didegradasi oleh apa yang sesungguhnya kurang penting. Namun Tuhan terkadang punya cara tersendiri untuk memanggil kita dalam persekutuan kasih-Nya. Ia kadang menggunakan pergumulan hidup, sakit penyakit, dsb, untuk mengajak kita berhenti sejenak dari kesibukan-kesibukan yang ada dan berpaling pada-Nya.

          Ayat di atas menggambarkan hal yang serupa. Kehidupan umat Israel yang telah mapan, aman dan tenteram, perlu diingatkan kembali oleh Daud agar fokus hidup mereka tidak berpaling pada kesibukan-kesibukan harian yang bukan prioritas. Perintah firman Tuhan ini mengajak kita merefleksikan hidup kita mengenai tiga hal, 1). Arahkan hati dan jiwa untuk mencari Tuhan. Seringkali kita hanya "mencari Tuhan" sekedarnya. Kata "arahkan hati dan jiwa" seharusnya menjadi standar utama dalam mencari wajah Tuhan. Dengan kata lain, ketika kita berdoa dan beribadah, kita melakukannya dengan segenap hati dan jiwa kita, bukan karena rutinitas harian, atau karena dalam keadaan terpuruk saja. Segenap hati Dan jiwa merupakan bukti dari kesungguhan kita mencari wajah Tuhan.

         2). "Mulailah mendirikan tempat kudus". Jika pertama berhubungan dengan niat dan kesungguhan hati, maka bagian kedua berbicara mengenai "investasi waktu bagi Tuhan". Untuk hal ini, kita dapat belajar dari Abraham. Di manapun Abraham berada, Ia selalu membangun dua hal, "mazbah" dan "kemah". Mezbah menggambarkan bagaimana Abraham membangun hubungan pribadinya dengan Allah secara konsisten. Saudara, hidup yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan dalam doa Merupakan suatu penyangkalan terhadap kebergantungan kepada Allah. Dengan kata lain, seolah-olah kita mampu hidup tanpa Allah.

     3). "Menjadi alat kemuliaan Tuhan". Hanya dengan kehidupan yang bergantung kepada Tuhan dengan segenap hati dan jiwa lah, “Perkakas kudus” Allah dapat ditempatkan. Selama masih banyak “perkakas-perkakas” dunia yang menempati hati dan kehidupan kita, kita tidak dapat dipimpin oleh Allah dan tidak dapat menjadi berkat. Harus diakui bahwa dalam kehidupan kita masih terlalu banyak “perkakas-perkakas” yang menduduki tempat Allah dalam hidup kita. Hal tersebut terlihat dalam prioritas serta pencapaian-pencapaian kita, apa yang terpenting, maka itulah yang menjadi yang terutama. Maka kita dapat bertanya, apakah yang terpenting dalam hidup kita? kesenangankah?, Pekerjaankah?, Hobikah? Atau Tuhan? Dalam segala kesibukan dan pergumulan hidup kita, kiranya kita selalu berfokus pada Tuhan, serta mempersembahkan hidup kita sepenuhnya bagi kemuliaan-Nya dalam panggilan kita masing-masing. Kiranya Tuhan menolong kita. Amin!

Selamat beraktifitas Sahabat. Tetap berkarya bagi Tuhan, baik atau pun tidak baik keadaannya.
Salam.

yb.


Rabu, 04 Juli 2018

RENUNGAN : ELIA, BERAPOLOGETIKA DENGAN KUASA ALLAH [ELIA, Bag. 3]

Nas : 1 Raja. 18:25-29, (25) Kemudian Elia berkata kepada nabi-nabi Baal itu: "Pilihlah seekor lembu dan olahlah itu dahulu, karena kamu ini banyak. Sesudah itu panggillah nama allahmu, tetapi kamu tidak boleh menaruh api." (26) Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu. (27) Pada waktu tengah hari Elia mulai mengejek mereka, katanya: "Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga." (28) Maka mereka memanggil lebih keras serta menoreh-noreh dirinya dengan pedang dan tombak, seperti kebiasaan mereka, sehingga darah bercucuran dari tubuh mereka. (29) Sesudah lewat tengah hari, mereka kerasukan sampai waktu mempersembahkan korban petang, tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab, tidak ada tanda perhatian.

Bacaan : 1 Raja. 18:20-40.

____________

           Dalam konsep ke-Tuhanan, terdapat beragam konsep kepercayaan yang diyakini oleh manusia. Salah satunya adalah Monolatrisme. Konsep ini meyakini bahwa terdapat banyak ‘tuhan’ namun hanya salah satu diantara para ‘tuhan’ itulah yang merupakan Tuhan. Pemikiran demikian lahir dari percampuran tradisi budaya lama dan keyakinan baru yang masuk dalam suatu komunitas masyarakat, dimana pada perkembangannya, masyarakat tersebut dengan pengalaman spiritualnya mulai menentukan ‘tuhan’ mana yang tertinggi dan patut disembah. Umat Israel (Kerajaan Utara pada masa pelayaan Elia) juga tidak lepas dari jerat sinkretisme demikian. Kehidupan mereka yang menyatu dengan bangsa-bangsa Kanaan, mengakibatkan keyakinan mereka kepada Yahweh, Allah Israel, menjadi pudar dan berpaling kepada para Baal allah-allah Kanaan. Dalam konteks demikianlah Elia dipanggil untuk mereformasi umat Tuhan di Kerajaan Utara. Suatu panggilan pelayanan yang berat karena ia sendirian (ay.22) harus berhadapan dengan umat Tuhan, raja dan permaisuri, serta delapan ratus lima puluh nabi Baal dan nabi Asyera (1 Raja. 18;19).

         Bacaan di atas memperlihatkan kepada kita tiga permasalah utama yang dihadapi Elia; Pertama, pemimpin yang sesat. Kedua, rakyat yang sesat, dan ketiga lembaga agama yang sesat. Semuanya sesat. Penyesatan pada zaman Elia merupakan penyesatan yang sangat luar biasa dan sistematis karena dikendalikan oleh sang Ratu, Izebel. Meski harus berhadapan dengan rakyat serta ratusan nabi Baal, namun sebagai juru bicara Allah, Elia tetap bersuara lantang menentang kesesatan untuk memperbaharui iman umat Allah dalam sebuah perlombaan membakar korban bakaran. Elia, seorang nabi Tuhan yang bukan hanya memiliki karunia yang dasyat, namun juga memiliki keberanian yang luar biasa dalam menyampaikan kebenaran. Tanpa basa-basi, Elia langsung mengkonfrontasi allah-allah palsu Kanaan. Ini merupakan cara jitu untuk merombak semua keyakinan yang sesat dari umat Israel, sebab hanya dengan membuktikan bahwa sesembahan yang mereka sembah itu palsu dan tidak berdaya, maka secara otomatis keyakinan yang dipegang itu runtuh seketika. Suatu cara berapologetika yang disertai dengan demonstrasi kuasa Allah—sungguh luar biasa.

        Konfrontasi apologetik ini terlihat jelas ketika Elia menyerukan agar para nabi palsu tersebut berteriak lebih keras kepada Baal, “Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? mungkin ia (Baal sedang) merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga." Sebuah lelucon yang berisi peringatan keras kepada para nabi palsu untuk membuktikan kuasa sesembahan palsu mereka. Elia memulai dengan pembuktian presuposisi (keyakinan yang dipegang) mereka. Cara Elia tersebut secara implisit menunjukan kepada kita salah satu metode apologetika Kristen klasik—Evidential (Evidential merupakan salah satu metode yang bertumpu pada pembuktian keyakinan dengan memaparkan bukti-bukti). Elia mengkritik kesesatan konsep ke-Tuhan-an dari nabi-nabi Baal yang menyamakan Allah dengan manusia, dimana Ia perlu dipanggil dengan keras, bahkan dengan cara-cara ektrem, agar Ia menjawab. Suatu kritik yang bukan hanya ditujukan kepada nabi-nabi Baal, namun juga pada kesesatan konsep beragama manusia modern. Meski demikina, karena kebebalan dan kesesatan yang membutakan mata para nabi Baal, tidak menjadikan mereka bertobat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keyakinan Iman Kristen bertumpu sepenuhnya pada anugerah Allah dan bukan pada kuatnya suatu argumentasi apologetik (walaupun hal tersebut merupakan sarana penting pra-pertobatan).

         Sebaliknya, Elia membuktikan bagi umat Israel yang bebal, pemimpin Israel yang bebal, dan para nabi palsu, bahwa Yahweh, Allah Israel, adalah Allah sejati. Gaya berapologetik Elia dilakukan dengan dua cara. Pembelaan verbal (ay. 21, 24, 30, 37) dan demonstrasi kuasa Allah (ay. 37-39). Suatu pembelaan iman yang kokoh dan tak terbantahkan karena bukan hanya kuat secara verbal namun juga disertai oleh fakta empiris! Elia bukan hanya menghancurkan keyakinan para nabi Baal, Ia juga menghantam allah-allah palsu Kanaan, sekaligus mereformasi iman umat Tuhan yang telah menyimpang dan skeptis, namun, perhatikan, Elia tidak memaksakan kehendaknya bagi mereka yang berseberangan. Ia memberikan kebebasan untuk memilih tanpa paksaan! Inilah prinsip dasar apologetika Kristen. Membuktikan kesesatan argumentasi lawan, menunjukan kuasa dan kebenaran Allah yang sejati, merombak dan mereformasi keyakinan yang menyimpang, namun menghargai kebebasan hak manusia. Tujuan apologetika Kristen yang terutama bukanlah untuk memenangkan suatu perdebatan akan tetapi untuk membawa manusia berdosa berjumpa dengan Sang Juru Selamat. Apologetika yang tidak Kristosentris pastilah egosentris.

      Kisah Elia ini menunjukan kepada kita beberapa pesan penting. Mulai dari betapa sulitnya manusia untuk percaya kepada Allah jika bukan karena anugerah Allah, reformasi iman umat Tuhan, demonstrasi kuasa Allah, pewahyuan jati diri Allah yang sejati dan maha kuasa yang melampaui para Baal, hingga sebuah pesan penting bagi umat Tuhan untuk mampu menyuarakan kebenaran firman Tuhan dengan lantang di tengah dunia yang korup. Elia telah menyelesaikan panggilannya dengan sangat baik. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Siapkah kita menjadi “Elia-elia” modern yang bersedia menyuarakan kebenaran dan reformasi iman umat Tuhan? Kiranya Tuhan menolong kita. Soli Deo Gloria! Amin!

Salam,
yb.

Senin, 02 Juli 2018

RINGKASAN KHOTBAH : “MENGHADAPI MASA DEPAN DENGAN IMAN DAN PENGHARAPAN”


IMMANUEL YOUTH SERVICE
Minggu, 01 Juli 2018.

Nas    : Yeremia 29:11, Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.




PENDAHULUAN.

          Sebagai manusia, kita dilahirkan dengan berbagai macam harapan. Itu sebabnya, ketika kita lahir, orang tua kita memberikan suatu nama sesuai dengan harapan-harapan mereka. Suatu  harapan yang terbaik untuk kita di masa depan. Beberapa bulan lalu, sempat ramai di media diberitakan  tentang nama-nama beberapa orang yang lucu dan unik. Mulai dari “Dontworry”, “Selamet Dunia Akhirat”, hingga “ Andy Go To School”. Meskipun lucu, namun nama-nama mereka sesunggguhnya menggambarkan harapan dari orang tua dan keluarganya. Hal ini mengkonfirmasikan kepada kita bahwa “harapan” sama tuanya dengan usia manusia. Semenjak manusia hadir di dunia ini mereka memiliki beragam harapan dalam hidupnya, bahkan orang yang ingin mengakhiri hidupnya karena tidak ada harapan pun, sesungguhnya juga memiliki harapan. Apakah harapannya? Harapannya agar ia cepat-cepat meninggalkan dunia ini. 

          Demikian halnya dengan iman. Semua umat manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, sesungguhnya hidup berdasarkan iman.  Contoh sederhananya adalah ketika Saudara duduk di bangku gereja ini, Saudara tentu percaya bahwa bangku tersebut dapat menopang Saudara bukan? Sadar atau pun tidak, hal tersebut merupakan suatu tindakan iman, karena “Iman” adalah tindakan percaya dan mempercayakan diri kita kepada suatu objek. Kita percaya bahwa kursi/bangku itu mampu menopang kita ketika kita duduk, maka kita “mempercayakan diri” kita untuk duduk di atasnya. Juga ketika menumpang dalam suatu kendaraan—pesawat terbang misalnya. Semua yang menumpang di dalamnya, baik orang beragama maupun ateis sekalipun, pada akhirnya harus percaya dan mempercayakan dirinya pada pesawat dan crewnya. Demikian juga ketika kita minum atau makan, kita percaya (atau kita beriman) bahwa makanan/minuman ini baik dan akan menjadi berkat bagi kita, maka kita memakannya tanpa keraguan. Setiap hari kehidupan kita berkutat dengan persoalan iman. Itulah iman dalam pengertian sederhana. Kehidupan kita (dan umat manusia pada umumnya) ternyata tidak terlepas dari beragam tindakan iman dan pengharapan. Terpelepas dari benar tidaknya iman dan pengharapan itu.

          Dari dua hal ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa semua manusia yang hidup selalu bertindak dengan iman menuju pengharapan-pengharapannya. Atau jika disandingkan dengan tema di atas maka dengan kata lain, “Iman adalah kendaraan yang setiap manusia kita gunakan, sementara Pengharapan adalah tujuan yang akan mereka capai di masa depan”. Akan tetapi Iman dan Pengharapan seperti apakah yang menjadi pedoman kita dalam menyongsong masa depan?


Yeremia 29:11, Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.

          Konteks pada ayat ini berbicara mengenai surat nabi Yeremia kepada umat Israel (Kerajaan Yehuda—Selatan) di pembuangan Babel. Suatu janji yang Tuhan nyatakan melaluinya bahwa masa depan umat Israel akan dipulihkan sesuai dengan rancangan Tuhan, namun  mereka harus menunggu selama tujuh puluh tahun (Yer. 29:10) akibat pelanggaran mereka. Suatu bentuk anugerah yang disampaikan mendahului masa penghukuma Tuhan terhadap ketidak-setiaan Israel. Tuhan menghukum dosa dan pelanggaran mereka, namun Ia tetap mengasihi mereka. Dari pengalaman iman umat Israel (Kerajaan Selatan) ini, kita memperoleh dua hal penting mengenai janji Tuhan tentang iman dan pengharapan masa depan kita.

1. Iman dan Pengharapan yang disandarkan pada Tuhan. 

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN”.

          Ayat ini berbicara dengan sangat jelas bahwa Tuhan memiliki rancangan-rancangan mengenai kita, rancangan mengenai Saudara dan saya. Ada perbendaan yang mencolok antara “Rencana” dan “Rancangan”. Rencana dapat berubah, karena bersifat situasional—tergantung kondisi! Tetapi Rancangan, Tidak! Rancangan bersifat final, selesai. Rancangan suatu bangunan yang telah dibangun tidak dapat diubah, jika dirubah maka harus mengubah secara keseluruhan bagunan tersebut mulai dari pondasi hingga bangunannya. Sementara “Rencana” dapat berubah. Kita mungkin dapat merencanakan untuk berlibur ke Bali, namun karena libur yang diajukan tidak kunjung di acc oleh atasan, maka rencan teresebut pun tertunda atau mungkin juga batal. Inilah perbedaan mendasar dari kedua kata tersebut, dan secara mengagumkan ayat ini (dan sebagian besar ayat-ayat Alkitab) menggunakan kata “Rancangan” dan bukan “Rencana” untuk menegaskan bahwa “Ketika Tuhan merancang sesuatu tentang hidupmu, rancangan itu tidak akan pernah gagal, meskipun kita sering gagal!” Hal ini menggambarkan providensi Allah yang absolut dalam hidup kita. Karena rancangan-Nya itu bergantung semata-mata pada sifat Allah yang maha kuasa dan bukan pada kemampuan kita (tentu saja kita sering gagal dengan rancangan “butut” kita), maka kalimat “Rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku” dalam ayat ini menggambarkan dengan sangat kuat bahwa Allah memiliki rancangan yang jauh lebih baik, lebih indah, dan lebih sempurna dari apa yang kita rancangkan bagi masa depan kita.

          Sayangnya, kita terlalu sibuk membuang waktu, tenaga, usaha, dan bahkan terkadang memaksa Tuhan dengan doa-doa kita untuk ikut pusing dengan segala macam rancangan kita yang “butut” itu.  Saya dahulu demikian, begitu bangga dengan “gaya hidup yang rock n’ roll”, bangga dengan rancangan-rancangan yang saya buat untuk masa depan saya sendiri. Namun karena hal tersebut tidak sesuai dengan rancangan Tuhan, maka di kemudian hari saya pun menyadari betapa banyaknya waktu, uang, tenaga yang sudah dihamburkan untuk rancangan saya yang “ecek-ecek” itu. Itulah kita… setelah menyadari bahwa “rancangan yang kita buat itu salah” maka mau tidak mau, kita harus membayar mahal dengan “membongkar” ulang  rancangan kehidupan kita dan memulai lagi dari nol! Maka perhatikan dengan baik, bertanyalah kepada Tuhan selalu, mintalah tuntunan-Nya, agar kita dapat menangkap maksud dan rancangan Tuhan dalam hidup kita, serta hidup di dalamnya.

          Ayat di atas memulai dengan pernyataan yang tegas bahwa “Tuhan memiliki rancangan-rancangan bagi kita”, maka jangan ngogot dengan rancangan Saudara, itu semua sia-sia! Jangan mengejar sesuatu yang hanya menghabiskan energi. Karena Tuhan maha tahu, maka rancangan-Nya pasti “Ya” dan “Amin”. Rancangan-Nya bersifat eskatologis—menjangkau hingga masa depan yang tak terlihat mata kita, tak terjangkau oleh pikiran kita, dan bahkan hingga kehidupan kekal. Sementara kita?, kita terbatas dalam segala hal, rancangan kita dibatasi oleh mata dan pikiran kita yang terbatas, itu sebabnya biarkanlah Tuhan menggenapi Rancangan-Nya dalam hidup kita. 

          Lantas apa yang harus kita lakukan? Ini yang perlu kita lakukan, percayakanlah iman dan pengharapan kita kepada Tuhan, sebagaimana kita yakin ketika duduk di atas kursi/bangku gereja ini! Saudara percaya bahwa kursi/bangku yang saudara duduk itu mampu menopang Saudara? Jika kursi itu saja saudara percaya, lantas mengapa terkadang kita malah meragukan iman kepercayaan kita kepada Allah? Bukankah itu sangat memalukan? Kursi itu memberikan jawaban yang paling konkret mengenai bagaimana seharusnya kita beriman dan berpengharapan. Bagaimana seharusnya kita percaya dan mempercayakan masa depan kita kepada Tuhan!  

2. Tujuan akhir masa depan kita.

“Rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

          Di atas saya telah sampaikan bahwa “Iman” adalah kendaraan yang kita gunakan untuk mencapai “Pengharapan” sebagai tujuan akhirnya. Ayat ini memberikan tujuan akhir mengenai pengharapan di dalam rancangan Tuhan.


“…damai sejahtera dan bukan…kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (TB).

“Aku mempunyai rencana yang baik bagimu. Aku tidak merencanakan melukai kamu. Rencana-Ku ialah memberikan pengharapan dan masa depan yang baik bagimu.” (Terjemahan Mudah Dibaca).
         
          Tujuan akhir yang Tuhan rancangkan bagi umat-Nya adalah untuk suatu masa depan yang baik. Masa depan yang penuh damai sejahtera dan pengharapan. Kata “damai sejahtera” dalam ayat ini menggunakan kata “Shalom” yang berarti “sehat, utuh, dan dalam keadaan baik”. Suatu keadaan ideal yang diidamkan oleh manusia karena baik secara jasmani, rohani, maupun sosial ekonomi, semuanya baik. Inilah janji Tuhan. Tuhan menghendaki agar Saudara dan saya memperoleh janji berkat ini.

          Meskipun demkian, pada kenyataannya sebagian besar dari umat Tuhan justru terlalu asik dengan tujuan-tujuan duniawinya yang membuang-buang waktu. Kebenaran ini seharusnya mendorong kita untuk mengalihkan fokus hidup kita pada rancangan-rancangan Tuhan, serta tujuan akhir yang telah Ia tetapkan bagi umat-Nya dimana “syalom” merupakan buahnya. Tidak lagi sibuk dengan rencana-renaca yang tidak berfaedah.

3. Iman dan pengharapan kristiani harus ekspresif!

          Seorang hamba Tuhan mengungkapkan suatu kalimat yang cukup baik berkaitan dengan beriman dan masa depan, “Hidup bagaikan roda yang berputar, kadang di atas–kadang dibawah, namun roda itu tidak akan pernah ke atas jika Saudara tidak berjuang untuk memutarnya.” Tepat sekali. Iman dan pengharapan kristiani tidak menjadikan kita sebagai seorang yang pemalas. (Amsal 10:4; 12:24; 22:29). Itu sebabnya kita mengenal suatu istilah “Ora et Labora”—Berdoa dan bekerja. Alm. Gembala kita, Pdt. Hengky Setiawan adalah salah satu contoh yang paling jelas tentang bagaimana menjadi seorang yang “Beriman dan Bekerja”. Ia menunjukan kepada kita suatu teladan sebagai seorang anak Tuhan yang hidup oleh Iman namun juga berjuang menghidupi iman itu dalam tindakan praktis setiap hari. Iman yang benar seharusnya teraplikasikan dalam tindakan yang benar pula. Ini merupakan prinsip dasar kekristenan. Prinsip dasar ini dinyatakan dalam ayat berikut,

Mat. 7:7, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.”


Ayat ini merupakan prinsip dasar kita menghadapi masa depan dengan iman dan pengharapan.

·         “Minta” berbicara mengenai Iman yang dinyatakan dalam permohonan doa kepada Tuhan. Suatu bentuk ekspresi iman dan kebergantungan kita kepada Tuhan.

·         “Cari” berbicara mengenai tindakan iman yang dipraktekkan melalui usaha dan kerja keras.

·         “Ketok” merupakan pengharapan iman dimana penggenapan waktu Tuhan untuk “membuka pintu jawaban doa” bukan bergantung pada kita akan tetapi pada pengharapan iman di dalam kedaulatan kuasa dan waktu Tuhan.

          Tuhan tidak pernah menekankan pada salah satu hal saja dari ketika unsur di atas. Ia tidak pernah menyarankan agar kita hanya “meminta” tanpa “mencari”. Kalau hanya “meminta”, kita akan menjadi orang Kristen yang peminta-minta, orang-orang yang bermental pengemis. Kalau hanya “mencari”, kita akan menjadi anak Tuhan yang tidak tahu bersyukur atas berkat Tuhan, mengandalkan kekuatan sendiri, dan memberhalakan pekerjaan serta materi. Tuhan mengajarkan secara seimbang untuk “Meminta” dan pergi “Mencari”. Berdoa dan berjuang! Itu bahagian kita, suatu panggilan iman kristiani yang diaplikasikan dalam dunia kerja untuk mencapai masa depan. Sedangkan perihal “Ketok” dan pintu dibukakan adalah bagian Tuhan. iman dan pengharapan yang diekspresikan dalam tindakan praktis adalah bukti dari orang-orang yang takut akan Tuhan. dan bagi orang-orang yang takut akan Tuhan, Amsal mengatakan demikian, “… takutlah akan TUHAN senantiasa! Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” (Ams. 23:17-18).

PENUTUP.

          Iman adalah kendaraan yang kita tempu untuk sampai kepada pengharapan, yaitu tujuan akhir kita. Namun iman dan pengharapan kristiani tidak meniadakan tindakan iman. Dengan kata lain, beriman dan berpengharapan di dalam Kristus tidaklah menjadikan kita menjadi seorang pemalas. Berdoa dan berpengharapan saja tidak cukup untuk menjadikan Saudara seorang menejer perusahaan yang berhasil, maka perlu tindakan dan langkah-langkah iman yaitu melakukan apa yang menjadi bagian kita—sekolah dengan baik, belajar dengan giat, dan gapai masa depan yang cerah bersama dengan Tuhan.  Hanya dengan tindakan iman demkianlah kita akan siap menghadapi dan menyongsong masa depan yang penuh damai sejahtera dan pengharapan. Amin, Tuhan Yesus memberkati Saudara/i.

Salam,
yb.