Nas : 1 Raja. 17:11-13,
“…..Ketika perempuan itu pergi
mengambilnya (air yang diminta oleh Elia), ia berseru lagi: "Cobalah ambil
juga bagiku sepotong roti." Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN,
Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali
segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan
sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau
pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya,
maka kami akan mati." Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah
takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu
bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian
barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. ….”
Bacaan : 1 Raja-raja 17: 7-16.
Bacaan : 1 Raja-raja 17: 7-16.
______________
Merenungkan
bagaimana cara Tuhan memelihara Elia dalam masa-masa yang krisis, sangatlah
mengagumkan sekaligus paradoksal. Mengagumkan karena pertolongan Tuhan itu datang dari mujizat-Nya yang ajaib, serta
paradoksal, karena sarana yang Tuhan gunakan sebagai instrumen untuk memberkati
Elia itu justru mereka yang juga sedang berada dalam krisis yang sama dengan
Elia, bahkan dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Cara yang mengherankan dimana Tuhan tidak mengutus Elia untuk pergi kepada raja, atau bangsawan, atau
orang-orang kaya di daerah itu, akan tetapi kepada seorang Janda miskin yang
seharusnya membutuhkan uluran tangannya, membuat kita perlu berhati-hati untuk tidak membatasi kuasa Tuhan dalam konsep pikiran kita. Itulah Tuhan kita yang dasyat, Ia memiliki
cara-cara yang ajaib, suatu cara yang anti mainstream! Jika kebanyakan dari
kita memiliki konsep dasar serta harapan bahwa uluran tangan kasih Tuhan itu
selalu datang dari mereka yang “berada”, maka kisah Elia dan janda di Sarfat
ini justru memberikan suatu pengajaran yang sama sekali lain bagi kita. Suatu
pengajaran yang perlu kita simak dengan seksama.
Ketika
menerima pesan Tuhan, Elia kemudian berangkat ke Sarfat, suatu wilayah di
daerah Sidon untuk menjumpai janda yang akan memberinya makan. Terdapat beberapa
pesan kebenaran yang luar biasa pada percakapan ini. Pertama, ketika Elia meminta minuman dan roti pada
janda ini, Elia menggunakan satu kalimat dengan kata depan yang unik, “Cobalah
ambil bagiku” (ay. 10-11). Kata “Cobalah” memberikan indikasi bahwa Elia pun
sebenarnya tidak berharap banyak dari sang janda. Dapat kita bayangkan keadaan
seorang janda miskin yang tidak memiliki apa-apa lagi, mungkin juga hanya makan
sehari sekali, sedang terhuyun-huyun mondar-mandir memungut kayu bakar untuk
memasak makanan terakhir bersama anaknya! Inilah realitas yang dihadapi Elia,
maka adalah memang wajar jika Elia memulai permintaannya itu dengan kata
“Cobalah”, dengan harapan kalau pun masih ada air atau roti, ya puji Tuhan,
namun kalau pun tidak, maka kehendak Tuhanlah yang jadi. Itu sebabnya dalam ayat
13, Elia hanya meminta untuk dibuatkan sepotong “roti bundar kecil”, Elia tidak berharap
banyak. Saudara, Tuhan tidak pernah meminta sesuatu yang tidak kita miliki. Ia
meminta apa yang ada pada kita, itu pun hanya sepotong “roti bundar kecil” dari
sebagain besar roti yang telah kita makan. Sayangnya, persembahan yang kita
berikan bukanlah sepotong “roti bundar kecil”, akan tetapi sebagian besar dari
kita memberikan “sisa-sisa roti”. Lihatlah betapa pelitnya kita untuk memberi
kepada Tuhan dibandingkan untuk menghabiskan berkat-Nya di mall-mall dan tempat
rekreasi untuk kesenangan pribadi. Jika dalam keadaan cukup saja kita masih
pelit untuk memberi, maka bagaimana mungkin kita dapat memberi dalam
kekurangan? Pesan firman ini merupakan suatu pelajaran bagi kita untuk
bercermin pada Sang janda tersebut yang tetap memberi kepada Elia (yang
merupakan perwakilan Tuhan), meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan. Perhatikan,
hanya setelah memberi barulah tepung dan minyak dalam tempayan janda tersebut
tidak pernah kering! Bukankah firman Tuhan mengatakan bahwa “Berilah dan kamu akan diberi”?
(Luk. 6:38).
Kata “cobalah” merupakan suatu peringatan dan tantangan bagi kita untuk
terus belajar memberi bagi Tuhan dan pekerjaan-Nya meskipun sedang dalam
keadaan kekurangan.
Pesan
kebenaran yang kedua adalah Tuhan bukan hanya memelihara dan menyelamatkan
hidup Elia dari kelaparan, namun sekaligus Ia menyelamatkan kehidupan Janda dan
anaknya di sarfat itu! Peristiwa kelaparan di Israel tersebut merupakan
momentum penting bagi Elia dan janda di sarfat. Mereka sama-sama berjumpa dan
menyaksikan kebesaran kuasa Tuhan. Bagi Elia, janda tersebut menjadi sarana
berkat yang Tuhan pakai bagi dirinya. Saudara, terkadang Tuhan membawa kita
dalam posisi yang sulit dan membingungkan seperti Elia. Tuhan tidak memakai
orang-orang yang menurut pandangan kita memiliki semua hal yang dapat menolong
kita. Sebaliknya, Tuhan justru memakai orang-orang yang senasib dengan kita; sama-sama
bergumul, sama-sama bermasalah, sama-sama kekurangan, tetapi mengapa? Agar
Saudara dan saya tidak berharap pada manusia tetapi tetap bersandar pada Tuhan.
Sementara bagi janda tersebut kedatangan Elia menyampaikan firman Tuhan
merupakan momentum (waktunya) pertolongan Tuhan bagi dirinya dan keluargnya! Terdapat
pesan yang sangat penting bagi kita perihal momentum Tuhan bagi janda tersebut.
Pertama, di dalam kesesakan yang parah sekalipun Tuhan tidak pernah
meninggalkan kita. Ia selalu mengutus hamba-Nya untuk memberikan kekuatan dan
penghiburan bagi kita. Kedua, waktu Tuhan selalu tetap, tidak pernah terlambat.
Pada saat janda tersebut berjumpa dengan Elia, dikatakan di sana bahwa tepung
dalam temapaynnya adalah segenggam tepung terakhir yang akan diolah dan
dimakan, setelah itu mereka mati. Namun, sebaliknya, justru hari itu merupakan
permulaan mereka untuk hidup baru! Suatu kehidupan yang mengandalkan Tuhan,
bukan mengandalkan pengharapan pada “tepung di tempayan” yang sudah habis.
Perhatikan, terdapat dua hal yang terjadi. Pertama, Tuhan memberikati kebutuhan
jasmaninya, dan kedua, Tuhan memulihkan iman dan pengharapannya. Jawaban janda
tersebut memberikan indikasi yang kuat akan pembaharuan imannya, "Sekarang
aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah
benar." (ay. 24). Janda tersbut bukan hanya diselamatkan dari krisis
jasmani, akan tetapi juga krisis rohani! Imannya kembali dipulihkan ketika
berjumpa dengan Tuhan melalui pelayanan Elia.
Bacaan
ini memberikan tiga pesan penting bagi kita; Pergumulan hidup merupakan
momentum perjumpaan kita dengan Tuhan, maka tidak perlu khawatir untuk menghadapi
tantangan hidup karena Tuhan pasti ada di sana, dan Ia memiliki rencana yang baik
bagi kita—suatu rancangan untuk memperbaharui kehidupan kita, baik jasmani maun
rohani. Kedua, Tuhan selalu memperhatikan kehidupan kita, Ia tidak meninggalkan
kita. Pertolongan-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Ketiga, merupakan suatu
tantangan bagi kita untuk tetap memiliki prinsip hidup yang terus menjadi
berkat bagi kemuliaan Tuhan meskipun keadaan kurang baik. Seperti Elia, kita
belajar untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam keadaan sulit, dan seperti janda
di Sarfat kita belajat untuk berani memberi meskipun kekurangan. Percayalah,
ketika kita memulai memberi bagi pekerjaan Tuhan, maka “Roti yang kita makan
bukanlah roti yang terakhir, namun roti yang tidak akan berakhir”. Amin!
Tuhan Yesus memberkati Saudara.
Salam,
yb.