Senin, 25 Juni 2018

RENUNGAN : ROTI TERAKHIR YANG TIDAK BERAKHIR [ELIA, Bag. 2]


Nas      : 1 Raja. 17:11-13,   “…..Ketika perempuan itu pergi mengambilnya (air yang diminta oleh Elia), ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti." Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."  Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. ….”

Bacaan : 1 Raja-raja 17: 7-16.

______________

            Merenungkan bagaimana cara Tuhan memelihara Elia dalam masa-masa yang krisis, sangatlah mengagumkan sekaligus paradoksal. Mengagumkan karena pertolongan Tuhan itu  datang dari mujizat-Nya yang ajaib, serta paradoksal, karena sarana yang Tuhan gunakan sebagai instrumen untuk memberkati Elia itu justru mereka yang juga sedang berada dalam krisis yang sama dengan Elia, bahkan dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Cara yang mengherankan dimana Tuhan tidak mengutus Elia untuk pergi kepada raja, atau bangsawan, atau orang-orang kaya di daerah itu, akan tetapi kepada seorang Janda miskin yang seharusnya membutuhkan uluran tangannya, membuat kita perlu berhati-hati untuk tidak membatasi kuasa Tuhan dalam konsep pikiran kita. Itulah Tuhan kita yang dasyat, Ia memiliki cara-cara yang ajaib, suatu cara yang anti mainstream! Jika kebanyakan dari kita memiliki konsep dasar serta harapan bahwa uluran tangan kasih Tuhan itu selalu datang dari mereka yang “berada”, maka kisah Elia dan janda di Sarfat ini justru memberikan suatu pengajaran yang sama sekali lain bagi kita. Suatu pengajaran yang perlu kita simak dengan seksama.
             
            Ketika menerima pesan Tuhan, Elia kemudian berangkat ke Sarfat, suatu wilayah di daerah Sidon untuk menjumpai janda yang akan memberinya makan. Terdapat beberapa pesan kebenaran yang luar biasa pada percakapan ini. Pertama,  ketika Elia meminta minuman dan roti pada janda ini, Elia menggunakan satu kalimat dengan kata depan yang unik, “Cobalah ambil bagiku” (ay. 10-11). Kata “Cobalah” memberikan indikasi bahwa Elia pun sebenarnya tidak berharap banyak dari sang janda. Dapat kita bayangkan keadaan seorang janda miskin yang tidak memiliki apa-apa lagi, mungkin juga hanya makan sehari sekali, sedang terhuyun-huyun mondar-mandir memungut kayu bakar untuk memasak makanan terakhir bersama anaknya! Inilah realitas yang dihadapi Elia, maka adalah memang wajar jika Elia memulai permintaannya itu dengan kata “Cobalah”, dengan harapan kalau pun masih ada air atau roti, ya puji Tuhan, namun kalau pun tidak, maka kehendak Tuhanlah yang jadi. Itu sebabnya dalam ayat 13, Elia hanya meminta untuk dibuatkan sepotong  “roti bundar kecil”, Elia tidak berharap banyak. Saudara, Tuhan tidak pernah meminta sesuatu yang tidak kita miliki. Ia meminta apa yang ada pada kita, itu pun hanya sepotong “roti bundar kecil” dari sebagain besar roti yang telah kita makan. Sayangnya, persembahan yang kita berikan bukanlah sepotong “roti bundar kecil”, akan tetapi sebagian besar dari kita memberikan “sisa-sisa roti”. Lihatlah betapa pelitnya kita untuk memberi kepada Tuhan dibandingkan untuk menghabiskan berkat-Nya di mall-mall dan tempat rekreasi untuk kesenangan pribadi. Jika dalam keadaan cukup saja kita masih pelit untuk memberi, maka bagaimana mungkin kita dapat memberi dalam kekurangan? Pesan firman ini merupakan suatu pelajaran bagi kita untuk bercermin pada Sang janda tersebut yang tetap memberi kepada Elia (yang merupakan perwakilan Tuhan), meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan. Perhatikan, hanya setelah memberi barulah tepung dan minyak dalam tempayan janda tersebut tidak pernah kering! Bukankah firman Tuhan mengatakan bahwa “Berilah dan kamu akan diberi”? (Luk. 6:38).  Kata “cobalah” merupakan suatu peringatan dan tantangan bagi kita untuk terus belajar memberi bagi Tuhan dan pekerjaan-Nya meskipun sedang dalam keadaan kekurangan.

            Pesan kebenaran yang kedua adalah Tuhan bukan hanya memelihara dan menyelamatkan hidup Elia dari kelaparan, namun sekaligus Ia menyelamatkan kehidupan Janda dan anaknya di sarfat itu! Peristiwa kelaparan di Israel tersebut merupakan momentum penting bagi Elia dan janda di sarfat. Mereka sama-sama berjumpa dan menyaksikan kebesaran kuasa Tuhan. Bagi Elia, janda tersebut menjadi sarana berkat yang Tuhan pakai bagi dirinya. Saudara, terkadang Tuhan membawa kita dalam posisi yang sulit dan membingungkan seperti Elia. Tuhan tidak memakai orang-orang yang menurut pandangan kita memiliki semua hal yang dapat menolong kita. Sebaliknya, Tuhan justru memakai orang-orang yang senasib dengan kita; sama-sama bergumul, sama-sama bermasalah, sama-sama kekurangan, tetapi mengapa? Agar Saudara dan saya tidak berharap pada manusia tetapi tetap bersandar pada Tuhan. Sementara bagi janda tersebut kedatangan Elia menyampaikan firman Tuhan merupakan momentum (waktunya) pertolongan Tuhan bagi dirinya dan keluargnya! Terdapat pesan yang sangat penting bagi kita perihal momentum Tuhan bagi janda tersebut. Pertama, di dalam kesesakan yang parah sekalipun Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Ia selalu mengutus hamba-Nya untuk memberikan kekuatan dan penghiburan bagi kita. Kedua, waktu Tuhan selalu tetap, tidak pernah terlambat. Pada saat janda tersebut berjumpa dengan Elia, dikatakan di sana bahwa tepung dalam temapaynnya adalah segenggam tepung terakhir yang akan diolah dan dimakan, setelah itu mereka mati. Namun, sebaliknya, justru hari itu merupakan permulaan mereka untuk hidup baru! Suatu kehidupan yang mengandalkan Tuhan, bukan mengandalkan pengharapan pada “tepung di tempayan” yang sudah habis. Perhatikan, terdapat dua hal yang terjadi. Pertama, Tuhan memberikati kebutuhan jasmaninya, dan kedua, Tuhan memulihkan iman dan pengharapannya. Jawaban janda tersebut memberikan indikasi yang kuat akan pembaharuan imannya, "Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar." (ay. 24). Janda tersbut bukan hanya diselamatkan dari krisis jasmani, akan tetapi juga krisis rohani! Imannya kembali dipulihkan ketika berjumpa dengan Tuhan melalui pelayanan Elia.

            Bacaan ini memberikan tiga pesan penting bagi kita; Pergumulan hidup merupakan momentum perjumpaan kita dengan Tuhan, maka tidak perlu khawatir untuk menghadapi tantangan hidup karena Tuhan pasti ada di sana, dan Ia memiliki rencana yang baik bagi kita—suatu rancangan untuk memperbaharui kehidupan kita, baik jasmani maun rohani. Kedua, Tuhan selalu memperhatikan kehidupan kita, Ia tidak meninggalkan kita. Pertolongan-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Ketiga, merupakan suatu tantangan bagi kita untuk tetap memiliki prinsip hidup yang terus menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan meskipun keadaan kurang baik. Seperti Elia, kita belajar untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam keadaan sulit, dan seperti janda di Sarfat kita belajat untuk berani memberi meskipun kekurangan. Percayalah, ketika kita memulai memberi bagi pekerjaan Tuhan, maka “Roti yang kita makan bukanlah roti yang terakhir, namun roti yang tidak akan berakhir”. Amin!

Tuhan Yesus memberkati Saudara.
Salam,
yb.


Selasa, 19 Juni 2018

RENUNGAN : PROVIDENSI ALLAH [ELIA, Bag. 1]


Nas    : 1 Raja. 17: 1-6, “... (4) Engkau dapat minum dari sungai itu, dan burung-burung gagak telah Kuperintahkan untuk memberi makan engkau di sana." (5) Lalu ia pergi dan ia melakukan seperti firman TUHAN; ia pergi dan diam di tepi sungai Kerit di sebelah timur sungai Yordan. ...”.

_________

          Semasa kecil ketika kita disuapi makanan oleh orang tua kita, kita tidak pernah bertanya dan menolak apa yang diberikan oleh mereka, karena kita yakin bahwa orang tua kita pasti memberikan makanan yang terbaik. Bahkan pada waktu sakit kita disuguhi obat yang pahit, dan dengan tangis penolakan kita dibujuk untuk tetap meminumnya. Namun pada akhirnya kita menyadari bahwa obat pahit yang diberikan itu ternyata menyembuhkan penyakit kita. Pemeliharaan dan perhatian orang tua yang selalu menyertai langkah kecil kita, merupakan suatu gambaran yang konkret mengenai kepercayaan dan kebergantungan iman kita kepada providensi Allah. Hal demikian juga yang kita jumpai dalam perjalanan hidup Elia, seorang hamba Tuhan yang dengan keyakinan iman, ia dipelihara oleh Tuhan dalam masa-masa yang sangat krisis.

          Firman Tuhan dalam bacaan di atas memperlihatkan tiga hal yang menarik bagi kita mengenai providensi Allah kepada Elia. Ketika Elia memasukui masa krisis di negeri Israel, ia diperintahkan oleh Tuhan untuk mengungsi ke tepi sungai Kerit. Di sana ia akan minum dari sungai itu dan memperoleh makanan dari burung gagak yang di perintahkan Tuhan. Sungguh mengagumkan kebenaran firman Tuhan ini. Saudara, kata “Kerit” yang merupakan nama dari sungai ini memiliki arti “Rangka Kerongkongan”. Secara implisit, Tuhan mau berbicara kepada Elia dan kita bahwa di tengah kekeringan yang parah itu, ketika dunia di sekitar kita mengalami krisis, ketika tidak ada lagi pengharapan bagi manusia, sehingga bukan hanya tidak ada air di dalam kerongkongan, bahkan dikatakan di sana, kerongkongan kita hanya tersisa “kerangka”, begitu kering! Namun perhatikan, di dalam Tuhan selalu ada pengharapan dan pemeliharaan-Nya yang ajaib, puji Tuhan! Suatu jaminan iman bagi kita untuk tetap mampu melihat pemeliharaan Tuhan yang maha kuasa melampaui krisis yang melanda hidup kita. Tidak ada krisis dalam hidup ini yang berada di luar kuasa-Nya, dan tidak ada krisis yang melanda hidup kita yang tidak dapat diselesaikan oleh Tuhan kita.

           Pesan kedua bagi kita adalah cara Tuhan memelihara Elia memalui dua cara. Pertama, perihal kecukupan yang disediakan melalui cara natural. Yang saya maksudkan dengan “cara natural” di sini adalah pencukupan kebutuhan minum Elia, Tuhan sediakan melalui air sungai. Pesan kedua ini berbicara tentang Tuhan kita yang memberkati umat-Nya tidak selalu dengan hal-hal supranatural atau yang ajaib, namun juga dengan sarana yang natural. Saudara, ada kalangan denominasi tertentu yang begitu menekankan iman dan kuasa Allah secara tidak proporsional, sampai-sampai mereka anti terhadap dunia medis dan obat-obatan. Hal-hal itu dipandang mereka sebagai suatu tindakan yang melemahkan iman dan bahkan bertentangan dengan iman, padahal Tuhan juga mengulurkan tangan kasih-Nya melalui sarana “natural” tersebut. Elia justru memberikan contoh praktek iman yang berbeda. Ia bukannya tidak mampu berdoa untuk memindahkan perusahaan air minum ke pemukimannya untuk mencukupi kebutuhannya (bukankah pada pasal sebelumnya ia berdoa sehingga turun api dan hujan?), akan tetapi ia memilih untuk patuh kepada kehendak Allah dengan mencukupkan kebutuhan minumnya melalui sungai kerit yang mungkin saja sudah mulai mengering. Elia memberikan suatu teladan iman bahwa, jangan memaksakan kehendak kita mengatas namakan iman yang keliru, keliru karena tidak sesuai dengan kehendak Allah. Pertolongan dan berkat Tuhan tidak selalu “jatuh dari langit”, tidak selalu berbau supranatural, akan tetapi terkadang disediakan dari hal-hal yang “natural” di sekitar kita. Maka memiliki iman yang radikal adalah sangat baik, namun  berhikmat dalam pimpinan Roh Kudus untuk menangkap maksud dan rencana Tuhan merupakan instrumen yang menjaga serta memimpin iman yang radikal itu tidak menjadi “buta”.

          Kedua, dengan cara supranatural sekaligus paradoksal. Burung gagak yang diperintahkan Tuhan untuk menghantarkan makanan bagi Elia menjadi peringatan yang penting bagi kita tentang pemeliharaan dan kedaulatan Tuhan yang tak terselami oleh pikiran kita. Berapa lama Elia tinggal di tepi sungai kerit, Alkitab tidak memberitahukan kepada kita, namun frasa “Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering,...” pada ayat ke-7 memberikan indikasi jangka waktu dimana Elia menetap di sana. Kemungkinan untuk menunggu sungai kerit yang merupakan anak sungai Yordan menyusut karena musim kemarau panjang, maka dapat diasumsikan sekitar dua atau tiga bulan (mungkin juga lebih) Elia menetap di sana. Dan selama itu pula,   perhatikan, setiap “waktu pagi dan petang burung-burung gagak membawa roti dan daging kepadanya” (ay. 6). Luar biasa! dimasa yang begitu krisis, Elia tetap menikmati berkat Tuhan yang terbaik—Roti dan daging—dari burung gagak yang justru haram menurut hukum Musa (Im. 11:15). Dengan kata lain, Tuhan memberkati Elia melalui sarana yang sama sekali tak terpikirkan oleh Elia. Disinilah letak misteri dari kedaulatan Tuhan. Suatu pembelajaran untuk Elia dan kita, bahwa Tuhan dapat memakai siapapun, dan bahkan orang-orang tertentu yang tidak pernah kita duga untuk menjadi sarana berkat-Nya, bahkan meskipun sarana itu dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekalipun! Percayalah Tuhan sanggup memakainya!

          Tidak sampai di situ, providensi Allah ini tergenapi dalam hidup Elia hanya karena satu hal berikut, “Lalu ia (Elia) pergi dan ia (Elia) melakukan seperti firman TUHAN;” (Ay. 5). Ketaatan pada firman Allah! Ketaatan merupakan kunci berkat sekaligus bukti nyata dari iman yang sejati. Banyak orang hanya ingin berkat Tuhan, tetapi tidak mau taat, tidak mau dengar dan patuhi firman Tuhan. banyak orang juga mengakui dirinya sebagai orang beriman, namun tidak terwujud dalam sikap hati yang taat akan kebenaran. Elia meninggalkan kunci kebenaran ini buat kita, hanya dengan “Pergi dan Lakukan!” seperti yang Tuhan firmankan! Hanya itu! Ketaatan merupakan bukti dari iman kita dan kunci dari berkat Tuhan. Providensi Allah merupakan janji berkat-Nya yang “Ya” dan “Amen” bagi semua orang percaya, hanya saja sudahkah kita melakukan seperti yang Elia lakukan? Sudahkah kita “Pergi” dan “Lakukan” firman Tuhan? (yb).

Kiranya Tuhan memampukan kita. Amin!
Soli Deo Gloria.

                    


Kamis, 14 Juni 2018

STUDI PASTORAL : “Pentingnya Penggembalaan Terhadap Pelayan Musik Gerejawi”



Oleh : Yosep Belay.




BAB I. PENDAHULUAN.


Latar Belakang Masalah.
        
          Peningkatan dan pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta-Kharismatik[1] di perkotaan memberikan dampak bagi kebutuhan akan pelayan mimbar dalam bidang music gerejawi. Kebutuhan tersebut seringkali memaksa pejabat gereja mengambil tindakan yang kompromi dalam merekrut para pemusik. Dilain pihak, para pemusik sering melihat hal tersebut sebagai suatu peluang untuk mendapatkan “berkat”. Hal-hal tersebut yang kemudian hari menimbulkan berbagai macam persoalan.

       Bulan agustus lalu, publik dikagetkan dengan pengakuan FS dan FF yang mempublikasikan hubungan mereka secara resmi di depan media masa[2]. Pengakuan tersebut bukan hanya mengagetkan kalangan selebriti dan para fans mereka, namun pemberitaan tersebut sekaligus menjadi pukulan telak bagi dunia pelayanan gerejawi, terutama dalam bidang musik gereja. Sebagaimana yang diketahui keduanya merupakan publik figur yang menjadi idola bagi banyak generasi muda gereja, dan kalangan musisi gereja.

Kedua tokoh di atas mewakili sekian banyak permasalahan dan pergumulan para pelayan musik gereja saat ini. Dunia pelayanan musik gerejawi, memang tidak sindah dan serohani yang dibayangkan. Berkecimpung kurang lebih tujuh tahun dalam bidang musik gereja, Penulis mendapati berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam bidang musik. Kedangkalan pemahaman terhadap tata ibadah, liturgi, pengaruh budaya, serta tekanan sosial ekomoni menjadi tantangan tersendiri bagi para pelayan mimbar. Tak jarang isu-isu permasalahan serius seperti perselingkuhan,  PK (persembahan kasih), persaingan antar pelayan, dan masalah sepele mengenai kegemaran terhadap gendre musik tertentu, hingga mengikuti trend musik dan style (mode pakaian) dari gereja-gereja besar, menjadi hal yang lumrah dijumpai dalam komunitas pelayan mimbar saat ini. Menyingkapi fenomena ini, dengan tepat Wilfred J. Samuel mengkritisi tata ibadah gereja-gereja Kharismatik yang mulai kehilangan keseimbangan. Ia  mengatakan,

”…dalam menegaskan unsur selebratif dalam ibadah, banyak jemaat  Kharismatik dewasa ini telah kehilangan unsur celebral (intelek) atau meditative dalam ibadah[3].

Penekanan yang berlebihan pada “selebrasi” telah mengakibatkan gereja-gereja Kharismatik saat ini kehilangan makna penting mengenai liturgi. Puji-pujian yang dinyanyikan menjadi rutinitas yang membosankan dan hanya terbatas pada semacam terapi psikologis sesaat bagi jemaat, seperti halnya musik dan lagu sekuler. Dilain pihak, para pemain musik dapat memainkan musik dan bernyanyi dengan meriah tentang Allah, namun belum tentu mereka dapat dengan sungguh merenugkan dan mengagungkan Allah[4] dalam penyembahan dan sikap hati yang benar.

          Menyadari akan potensi besar yang rentan menggerogoti para pelayan musik gerejawi masa kini, maka tidak ada jalan lain selain memperbaharui pemahaman para pelayan dengan mengadakan berbagai macam pendekatan. Dalam makalah singkat ini, penulis akan menganalisa dan menguraikan berbagai macam faktor-faktor penting mengenai permasalahan yang ada, dan kemudian mencoba untuk mengajukan beberapa solusi yang sesuai dengan prinsip-prinisp kebenaran Firman Tuhan.


BAB II. ISI

Landasan Teori dan Kajian Teologis.


Penggembalaan.

          Mengutib beberapa tokoh Bons-storm menulis, Pengembalaan menurut Thurneysen adalah merupakan suatu penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah disampaikan kepada semua orang. Menurut Dr. J.W. Herfst, penggembalaan ialah”menolong seiap orang untuk menyadari hubungan dengan Allah, dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri. Sedangkan menurut Dr. H. Faber, “Penggembalaan itu ialah tiap-tiap pekerjaan yang didalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya atau khotbahnya, atas kepribadian orang yang pada saat itu dihubunginya”[5]

          Ia kemudian menkonfimasikan dengan Alkitab dan memberi penjelasan bahwa hal-hal tersebut tercermin dari gaya penggembalaan Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:1-21. Dalam hal ini, maka seorang gembala yang baik haruslah mengenal dombanya, memelihara, dan membimbing, agar selamat dan tidak sesat, serta kelaparan[6].

Pelayan Musik Gerejawi.

          Pelayan musik gerejawi yang penulis maksud adalah para pelayan (baik jemaat mapun pendeta) yang memiliki kapasitas (baik skill maupun spiritual) dalam memainkan alat musik—secara  individu maupun team—serta  mampu menggubah setiap pujian menjadi satu harmonisasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip liturgi, dengan tujuan untuk mempermuliakan Tuhan dan memberkati jemaat. Dasar Alkitab dari pandangan tersebut dapat dijumpai dalam, 1 Taw. 15:16, 16:42, 23:5 dan 2 Taw. 5:13, 7:6, 23:13, 29:26-27, 34:12. Juga pada beberapa bagian Mazmur dan tradisi gereja.

          Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembalaan tidak hanya bersifat pasif dan satu arah dalah kegiatan khotbah mingguan. Tugas penggembalaan pun menyinggung hingga berbagai aspek kehidupan jemaat, dan tak terkecuali para pelayan musik gerejawi.

Analisa Permasalahan.

          Seperti yang telah disinggung di atas, berbagai macam faktor menjadi latar belakang yang mengancam Gereja dan para pelayan musik, maka para para Gembala perlu menyadari akan hal tersebut. Secara umum ada dua faktor penting yang mendorong terjadinya berbagai permasalahan, yaitu faktor internal dan eksternal, baik dalam konteks pelayan musik sebagai petugas yang melayani maupun gereja sebagai penyelenggara kebaktian.

Pribadi pelayan.

Faktor Internal. Faktor internal yang penulis maksudkan adalah faktor-faktor negatif dari dalam pribadi pemusik, yang kemudian berpotensi memicu munculnya berbagai masalah dalam diri pelayan. Sedikitnya ada lima faktor, yaitu: Spiritualitas, Karakter, Etika, Kerja sama team, Skill dan Talenta.

Faktor Ekternal. Sedangkan faktor eksternalnya adalah, kebutuhan ekonomi, popularitas, dan wadah ekspresif (maksud-maksud terselubung untuk diperhatikan “seseorang”).

Gereja sebagai Penyelenggara.

          Faktor Internal. Seperti halnya pelayan musik, dari sudut pandang gereja, berbagai hal juga dapat memberikan dampak buruk bagi para pelayan musik. Faktor-faktor pendorong seperti, Kebutuhan akan pelayan musik, Minimnya jemaat yang memiliki talenta, Kurangnya pemahaman koordinator bidang musik mengenai musik dan pemusik, serta Kondisi yang belum memungkinkan (misalnya gereja dalam perintisan).

          Faktor Eksternal. Dan fakor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi rapuhnya dunia pelayan musik gerejawi adalah, Adanya persaingan dibalik layar pada wilayah musik dan pemusik, Terkena imbas dari fenomena “selebrasi” gereja-gereja besar, Maraknya lagu-lagu rohani kontemporer yang kurang berbobot dalam makna teologis, menjadi hal-hal yang akhirnya membuka peluang bagi para musisi sekuler[7] yang hanya berfokus pada materi dan popularitas (sebagaimana filosofi musik sekuler).

Dibagian lain, baik pemusik maupun gereja lokal, saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Pemusik yang memiliki skill namun minim spiritual akan cendrung untuk memanfaatkan gereja yang membuka celah, demikian sebaliknya, gereja yang terlalu “memanjakan” pemusik tanpa ada pembinaan serius akan mengakibatkan motivasi yang melenceng bagi para musisi gereja.

 Penyelesaian Masalah dan Relevansi.

          Menganalisa berbagai macam latar belakang serta permasalahan-permasalahan yang ada maka satu-satunya penyelesaian yang terbaik adalah dengan mengadakan penggembalaan. Penggembalaan yang dilakukan dapat dibagi kedalam beberapa bagian kegiatan. Penulis mengelompokan kegiatan-kegiatan tersebut kedalam dua kelompok. Pertama, Penggembalaan Kelompok, dan yang kedua Penggembalaan Pribadi.

Penggembalaan Kelompok.

          Penggembalaan kelompok meliputi pembinaan secara umum kepada para Pelayan Musik—baik melalui mimbar, maupun kegiatan khusus—yang   meliputi pemahaman-pemahaman mendasar mengenai Tata Ibadah, Liturgi, Etika Pelayan, Musik gerejawi, serta pemahaman umum lainnya yang menyangkut kerja sama team dan pelatihan pengembangan talenta.

Penggembalaan Pribadi.

          Sedangkan dalam konteks penggembalaan pribadi, penggembalaan yang dilakukan meliputi kegiatan seperti Konseling, Pembinaan Spiritual, dan follow-up yang berkelanjutan bagi para pelayan musik secara pribadi, baik oleh Gembala jemaat atau pembina yang ditugaskan.  

          Namun ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, Gereja perlu memiliki pemahaman yang cukup mengenai musik gereja, liturgi, etika pelayanan dan mengadakan seleksi yang ketat terhadap para pelayan musik baru. Hal-hal tersebut dapat mendukung kemajuan program gereja dalam penggembalaan, baik penggembalaan kelompok, maupun pribadi. Pembenahan dari kedua sisi tersebut (baik pihak Gereja maupun Pribadi pelayan) akan memberikan dampak yang lebih baik dalam penata-layanan musik gereja.

Catatan yang kedua adalah, mengingat para pelayan musik bukan hanya sebagai “pelayan” namun juga sebagai “model” yang menarik perhatian jemaat, maka baik Spiritualitas, Karakter, Motivasi hati, Etika, dan  maupun Skill masing-masing individu haruslah menjadi bagian penting dari program pembenahan pelayan gereja.



BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN.


Kesimpulan.

Sebagai bab penutup, beberapa hal yang menjadi kesimpulan dari tulisan ini adalah:

1.    Penggembalaan  bagi para pelayan musik saat ini, merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh Gereja lokal. Hal ini disebabkan karena berbagai macam latar belakang yang mendorong seseorang terjun ke dalam dunia pelayanan musik.
2.   Dengan strategi dan metode penggembalaan yang tepat, dapat meningkatkan kualitas bagi para pelayan musik, baik yang telah aktif maupun para musisi baru.
3.       Keseimbangan antara Spiritual, Karakter, Etika, dan Skill, akan berdampak pada pelayanan musik yang menyenangkan hati Tuhan dan memberkati jemaat.

Saran.

          Saran-saran praktis dari tulisan ini Penulis  tujukan kepada para Gembala Jemaat, Pelayan musik, dan Calon pelayan musik, agar dapat mempertimbangkan dan memperhatikan dengan teliti mengenai pentingnya peranan musik gereja dalam tata liturgi, serta pentingnya peranan seorang musisi gerejawi dalam mempersiapkan diri untuk melayani.

          Akhir kata, semoga makalah singkat ini dapat memberkati para Hamba-Nya yang ingin terjun dalam bidang musik gerejawi.
Soli Deo Gloria!.



KEPUSTAKAAN.


          Alkitab (TB), LAI.

          M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu?: Petunjuk Praktis Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2011).

         Wilfred J. Samuel—Terj.Liem Sien Kie, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecendrungan Pasca-Kharismatik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

         Yohanis Herman, Relvansi Liturgi bagi Perumbuhan Gereja (Bandung: Kalam Hidup, 2013).





[1] Terlepas dari berbagai macam kontroversi, baik yang positif maupun negative mengenai pembukaan cabang-cabang suatu gereja diberbagai tempat, namun harus diakui bahwa kesan pertama dari sudut kuantitas yang terlihat adalah “suatu pertumbuhan”.

[3] Wilfred J. Samuel—Terj.Liem Sien Kie, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecendrungan Pasca-Kharismatik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 55-56. Kritikan serupa juga disampaikan oleh seorang Dosen STT Pontianak. Beliau berargumen bahwa: “Dalam sejarah perkembangan liturgy, diungkapkan bahwa munculnya aliran Kharismatik telah menimbulkan adanya kesan yang dangkal karena terlalu menekankan aspek horizontal, dan emosional”. Lihat: Yohanis Herman, Relvansi Liturgi bagi Perumbuhan Gereja (Bandung: Kalam Hidup, 2013), 20.

[4] Ibid.
[5] M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu?: Petunjuk Praktis Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2011), 1.

[6] Ibid, hal.2.
[7] Para musisi yang aktif dalam musik sekuler tanpa pemahaman, motivasi serta basic yang matang dalam tata ibadah dan musik gerejawi.

____________

NB: Tulisan ini disadur dari tugas mata kuliah "Teologi Penggembalaan" penulis, pada tahun 2015.

Selasa, 12 Juni 2018

RENUNGAN : YAHWEH [PENGHARAPAN IMAN KRISTEN]

No automatic alt text available.

Nas : 2 Sam. 22:32 (TB), Sebab siapakah Allah selain dari TUHAN (YAHWEH), dan siapakah gunung batu selain dari Allah kita?

________

               Ayat ini merupakan bagian akhir dari doa ucapan syukur Daud. Daud menyadari betul akan peran Allah dalam setiap pergumulan hidupnya. Sepanjang pergumulan hidup yang berat dimana Ia harus menjadi pelarian dua kali, yang dimulai pada zaman Saul hingga kudeta Absalom, Daud hidup bagaikan gelandangan. Namun inilah yang menjadi momentum penting perjalanan iman Daud. Di saat-saat pergumulan itulah, Ia mengenal serta menyaksikan bagaimana Tuhan memimpin hidupnya menuju puncak kepemimpinan Israel.

                Ucapan Daud dalam ayat ini menggambarkan pengenalan yang mendalam akan Allah Israel, "Sebab siapakah Allah selain dari TUHAN, dan siapakah gunung batu selain dari Allah kita?" Hanya mereka yang telah mengalami pengalaman pribadi bersama Allah lah yang mampu berkata demikian, karena jika tidak, maka perkataan pujian tersebut tentu saja hanya berupa pujian kosong. Dalam pujiannya ini dengan mengagumkan Daud mengungkapkan dua kebenaran yang dikonfrontasikan dengan allah-allah lain, sekaligus dengan bernada provokatif Daud menantang umat Tuhan untuk membuktikan kedasyatan Allah Israel. Kebenaran pertama yang diungkap Daud adalah "Tidak ada Allah selain TUHAN". Kata Tuhan pada ayat ini dalam bahasa aslinya adalah YHVH (YAHWEH). Dengan kata lain, Daud ingin menyampaikan kepada kita dan dunia bahwa tidak ada Allah yang mahakuasa seperti YAHWEH, Allah Israel. Di dunia ini memang terdapat banyak "allah", namun tentu Allah yang sejati hanya satu, YAHWEH, Allah Israel.

                  Kebenaran kedua adalah YAHWEH merupakan tempat perlindungan, sumber kekuatan, dan pertolongan yang sejati. Hanya di dalam Dialah, kita memperoleh perlindungan dan pertolongan yang sejati. Daud selalu mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Ini merupakan gambaran tentang kebergantungan Daud pada Tuhan. Ia memahami bahwa hanya bersama Tuhanlah Ia mampu keluar dari pergumulan sebagai pemenang. Perhatikan, hanya Allah sejati yang dapat menjadi sandaran pengharapan kita. Allah-allah palsu tidak mungkin menjadi pengharapan iman.

                  Pengenalan kita akan kebesaran Tuhan terkadang diperoleh melalui peristiwa hidup yang pahit seperti Daud, namun jangan terburu-buru untuk mengeluh karena kita tahu bahwa "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,". Seperti halnya Daud, semoga kita dapat menaruh pengharapan kita pada Allah yang sejati, YAHWEH. Amin!
Kiranya Tuhan memberkati kita.

Salam,
yb.

RENUNGAN : FILSAFAT KETUHANAN [SEBUAH IRONI MODERNITAS]

No automatic alt text available.
1 Korintus 8:5-6 (TB) Sebab sungguhpun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi — dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian — namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup. 

"Ketika seorang primitif berhenti percaya pada berhala kayunya, itu tidaklah berarti bahwa tidak ada Allah, tetapi itu berarti bahwa Allah yang benar tidak terbuat dari kayu" [Leo Tolstoy].
_______

             Apa yang disampaikan oleh Tolstoy di atas merupakan suatu ringkasan pemikiran perjalanan filsafat ke-Tuhanan pada masa peralihan "Renaissance" yang terus berkambang hingga kini. Dari zaman primitif menjadi modern, dari masa kebodohan menjadi masa kepintaran, dan dari masa kegelapan menjadi pencerahan. Suatu peralihan zaman yang mengubah wajah umat manusia dalam segala bidang, tak terkecuali keagamaan.

             "Allah-allah kayu" zaman primitif memang telah ditinggalkan. Di pelosok dunia hari ini hanya sebagian kecil dari umat manusia yang masih melakukan ritual penyembahan pada ilah-ilah patung kayu. Hal itu pun dipandang oleh masyarakat modern sebagai suatu bentuk kebodohan keagamaan dari warisan kebudayaan masyarakat primitif yang seharusnya sudah dimuseumkan. Respons umum masyarakat modern saat ini didasari atas berbagai fakta sains serta perkembangan spiritualitas keagamaan yang semakin baik dalam berbagai aspek. Namun terdapat fakta-fakta ironi yang justru lebih mengerikan di dunia modern.

              Fakta bahwa "ilah-ilah kayu" di zaman primitif itu tidak benar-benar musnah adalah benar. Kehidupan keagamaan modern tidak pernah benar-benar "membunuh" para ilah kayu tersebut, namun hanya berganti wajah saja. Seperti apa yang dikatakan oleh Einstein, "Aku takut suatu hari teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi idiot." Inilah ironi yang sedang melanda generasi saat ini. Suatu generasi pemuja teknologi, berhala-berhala modern.

              Percaya atau tidak, kita sebenarnya sedang berada dalam masa peralihan spiritualitas penyembahan. Suatu bentuk peralihan peyembahan dari "ilah-ilah kayu" zaman primitif kepada "ilah-ilah besi" zaman modern. Dan ironinya, proses Modernisasi dan perkembangan teknologi justru menghasilkan lebih banyak "ilah-ilah besi" dengan berbagai macam bentuk yang memikat dan mematikan, dibandingkan dengan kaum primitif. Gambaran tersebut merupakan sebuah ironi kegagalan teologis zaman modern yang secara tak terhindarkan melanda umat manusia saat ini. Maka hiduplah dengan bijak, jangan terjebak pada peyembahan palsu ilah-ilah zaman. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. (1 Tes. 5:21).
-yb-