Rabu, 19 Desember 2018

NARASI FILSAFAT: Manusia, Hewan yang Berideologi [Kritik Filosofis Humanistik]

Pertanyaan abadi yang diperdebatkan dua mazhab filsafat besar Idealisme Platonis dan Empirisisme (juga Materialisme) adalah apakah ide mandahului materi atau sebaliknya materi mendahului ide. Lebih dulu mana objek materi yang berbentuk bangku atau ide tentang bangku yang menghasilkan bentuk materinya?.
Kedua mazab ini memiliki jawabannya masing-masing sesuai dengan paham (isme) yang diyakini. Seperti mereka, apa pun jawaban kita, pastilah akan mencerminkan gagasan dari salah satu mazhab tersebut yang secara tidak langsung mengekspresikan juga suatu bentuk ideologi filsafati yang juga kita anut. Apa yang terjadi dalam dialektika semacam ini merupakan suatu perdebatan mendasar yang sedang berbicara mengenai keyakinan ideologis.

Konsepsi mengenai ideologi telah menjadi pola mendasar yang mewarnai sejarah panjang pemikiran dan peradaban umat manusia secara universal. Bahkan Hawa ketika memutuskan untuk memakan buah terlarang di taman Eden, hal itu pun merupakan ekspresi dari semacam ideologi baru yang memimpinnya dalam suatu tindakan konkret. "Ideologi" (Yun. Idea—Ide atau gagasan dan Logos—Ilmu) merupakan suatu istilah yang paling banyak menghasilkan definisi, tergantung “siapa” dan “bidang apa” istilah ini digunakan.
Destutt De Tracy memperkenalkan istilah ini pertama kalinya dengan merujuk pada studi komprehensif yang bertujuan untuk mengembalikan ide-ide pada kesan-kesan asali. Ideologi juga terkadang disandingkan dengan istilah worldview (Weltanschauung—Jer.) atau wawasan dunia yang mana merupakan suatu rangkuman pemahaman serta dasar pijakan seseorang dalam memahami realitas eksistensialnya.

Tulisan ini tidak dikhususkan untuk menelusuri perdebatan etimologi serta sejarah filosofisnya, tetapi lebih cenderung sebagai kritik filosofis praktis yang menyangkut judul di atas. Ideologi, seperti kata Bacon, adalah suatu sintesis pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Ideologi bukan hanya menyangkut dunia politik seperti yang umum dipahami, namun lebih besar dari itu, menyangkut segi eksistensial yang mengendalikan hidup manusia.

Mengapa saya menulis? Karena saya dikendalikan oleh suatu ideologi dan gagasan yang membentuk pola pikir serta bidang minat saya. Mengapa Anda membaca? Karena Anda pun dikendalikan oleh semacam ideologi yang membentuk norma-norma, gagasan, tindakan, karakter, prinsip, serta perilaku hidup. 
Termasuk ketika Anda memilih untuk membaca tulisan ini pun, hal itu berkaitan dengan suatu bidang minat ideologi tertentu. Anda dapat menayangkan dan mempertanyakan pertanyaan yang sama terhadap perilaku semua manusia di mana pun, dan Anda akan menemukan satu jawaban bahwa semua perilaku itu dikendalikan oleh suatu ideologi tertentu.

Manusia tidak dapat hidup tanpa suatu “ideologi”. Manusia adalah makhluk yang berideologi. Tidak berideologi pun merupakan suatu ideologi, “ideologi yang tidak berideologi”. 
Kalangan evolusionis yang meganggap manusia merupakan organisme yang berevolusi oleh serangkaian seleksi alam akan menjadi linglung ketika berhadapan dengan isu ini. Hipotesis evolusionis terlalu menyederhanakan rumitnya konsepsi dunia ide pada manusia. Evolusionis paling-paling hanya mampu sampai pada serangkaian hipotesis mengenai fenomena-fenomena fisik yang tampak, namun tidak akan pernah sampai pada fakta-fakta tentang dari mana asal usul dan bagaimana dunia ide yang begitu kompleks pada manusia itu berkembang serta memengaruhi kehidupannya.

“Manusia sebagai hewan berideologi” pada judul ini sebenarnya merupakan suatu parodi yang saya jadikan sebagai kritik eksistensial bagi penganut evolusionis. Anda mungkin saja dapat menjumpai “beberapa persamaan fisik” dalam serangkaian analisa ilmiah antara hewan primata seperti orangutan dan manusia, namun Anda tidak akan mungkin mendapatkan kesamaan dalam dunia ide, etika, dan ideologi antara keduanya. 

Pernahkah Anda menyaksikan sekelompok orangutan mempraktikkan ideologi Marxisme? Tentu saja “hewan” tidak ada yang berideologi, namun lucunya manusia ada yang menganut ideologi yang meng-hewan-kan manusia.

Meskipun lucu dan menyedihkan, namun bukankah sudah saya katakan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa ideologi?—manusia harus berideologi. Jadi baik ataupun buruk suatu ideologi, kemanuisaan kita mendorong kita untuk harus menganutnya.

Ada beberapa filsuf/ilmuan sekuler dan ateis yang menganggap bahwa keyakinan teologis memperbudak manusia, namun mereka pun lupa bahwa mereka juga sedang diperbudak oleh semacam “tuhan” lain yang menjadi ideologi yang mereka yakini. Dari sini kita melihat bahwa konsepsi nihilisme Nietszchean pun sebenarnya tidak benar-benar menghasilkan sesuatu yang “nihil” dalam dunia ide, karena konsepsi demikian pun merupakan suatu ideologi jenis baru.

Hewan memang tidak dan tak dapat berideologi. Kita manusialah yang berideologi, namun terkadang ideologi yang dianut manusia menjadikan ia bertintak laksana hewan bahkan melebihi setan. Sebagai penutup, kritik ini bukan hanya menjadi sebuah parodi filosofis bagi kaum evolusionis, namun lebih jauh, merupakan bentuk ajakan agar kita perlu mempertimbangkan dan mengkaji secara kritis setiap keyakinan dasar yang menjadi ideologi kita. 

Alasan mendasarnya karena ideologi-ideologi ini cepat atau lambat akan berbenturan ketika bersinggungan di ruang publik. Hal ini penting karena percaya atau tidak, sebagian besar konflik yang terjadi (baik fisik dan verbal) dalam konteks personal maupun komunal, selalu didahului oleh konflik dalam dunia ideologis. Singkatnya, ideologimu termanifestasikan dalam tindakanmu.
__________
Sumber :  https://www.qureta.com/post/manusia-hewan-yang-berideologi.

Kamis, 13 Desember 2018

Badut-Badut Natal : Kritik Bagi Euforia Perayaan Natal Post Modern

“Natal” merupakan salah satu hari raya yang paling dinantikan bagi umat Kristen. Natal selalu identik dengan sukacita dan berkat yang diekspresikan melalui dekorasi, makanan, pakaian, hingga THR. Sementara dalam konteks bisnis Natal kini menjadi “hari raya masyarakat global” karena Natal adalah momentum yang dinanti oleh kalangan pebisnis untuk merauk keuntungan lipat ganda.

Di belahan Timur Negeri ini,  suasana Natal bahkan telah terasa semenjak bulan November. Ornamen Natal telah terpasang di mana-mana, bahkan hingga di pepohonan seolah-olah sedang mengikuti lomba dekorasi. Lagu-lagu Natal juga terdengar di hampir semua rumah, saling sahut-menyahut bagaikan lapak PKL yang menjajakan dagangan. Tak lupa persediaan beberapa “botol minuman penghangat” khas masyarakat timur yang menjadi ritual bagi para pemabuk untuk menyongsong Sang Penebus. Mungkin karena Natal bukan hanya milik umat Tuhan yang taat namun juga “umat Tuhan” dari kalangan pemabuk.

Salah satu fenomena yang tak ketinggalan yang marak di daerah Timur adalah jadwal kunjungan rutin si kakek tua berjenggot dengan pengawalnya si hitam. Si kakek yang lebih tenar dibandingkan dengan Sang Penebus ini, kini muncul dengan inovasi baru yang entah bagaimana ceritanya, sekarang ia didampingi seorang peri cantik. Mungkin si kakek santa terlalu renta dan tidak tahan sendirian jadi perlu asisten yang cantik. Mirisnya, jadwal kunjugan kakek tua dan pasukannya ini justru yang paling dinantikan anak-anak ketika Natal karena konon si kakek dan rombongannya ini doyan berbagi hadiah—meskipun hadiahnya merupakan titipan dan pesanan orang tua.

Trik murahan yang justru lebih menonjolkan sisi bisnis dibanding pesan moral. Lebih jauh, praktek demikian sedang memperlihatkan sebuah pesan yang menjungkir balikkan pengajaran iman dan pengharapan anak kepada Tuhan, dan digantikan dengan pengharapan palsu kepada si kakek tua Santa. Menyedihkan!
Tidak hanya sampai disitu, parahnya uforia-uforia demikian tidak hanya melanda umat Tuhan namun juga gereja-Nya. Tuntutan biaya yang membengkak untuk perayaan, doorprize, “bintang tamu” (siapa pun dia, entahkah hamba Tuhan atau pun artis, penyebutan demikian merupakan sebuah pelecehan terhadap Kristus yang menjadi sentral utama Natal), konsumsi, iklan, dll, terkadang telah menjadi “salib yang dipaksakan” untuk dipikul jemaat. Lantas apa yang diperoleh dari perayaan-perayaan demikian? Sukacita? Ya sukacita. Tetapi jika harus jujur, kita semua tahu bahwa sukacita yang diperoleh itu bukan karena Kristus yang lahir tetapi karena “euforia perayaan itu”.

Apa yang tersisa dari euforia ini? Yang tersisa hanyalah sepenggal cerita keseruan dari penampilan si A, gaya si B, doorprize, bingkisan Natal hingga konsumsi. sekali lagi, hanya tersisa sepenggal cerita, tidak lebih! Sangat sedikit sekali dari umat Tuhan yang benar-benar mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Kristus dan memperoleh sukacita yang sejati. Sebuah fenomena terbalik yang memperlihatkan bahwa gereja post modern lebih cenderung memberi untuk kegiatan euforia sesaat daripada berkorban untuk pekerjaan misi Injil. Lagi-lagi menyedihkan!

Inilah wajah fenomena Natal di zaman ini. Kelahiran Sang Juruselamat di era post modern merupakan momentum tanpa arti yang dikambing hitamkan untuk memperoleh sukacita yang semu. Natal telah berubah wujud menjadi ajang bisnis komersil yang memabukan semua orang. Tidak mengherankan jika dibeberapa denominasi gereja, perayaan Natal ditolak habis-habisan baik karena alasan teologis maupun alasan etis.

Sejatinya Natal merupakan ungkapan syukur terbesar, teragung dan termulia yang mengalir dari kesadaran hati kita yang paling dalam bahwa janji Allah akan  kedatangan Sang Penebus umat manusia telah digenapi. Lebih jauh, Natal bukan hanya berbicara mengenai keyakinan teologis dan historis, namun juga menyangkut sisi etika Kristen. Maka ketiga unsur tersebut harus dipertimbangkan secara serius.

Sisi teologis mendorong kita untuk memahami esensi Natal secara benar sehingga satu-satunya fokus Natal hanyalah Kristus Tuhan, bukan “selebrasi perayaan yang kosong”. Sisi historis mengajak kita untuk menjalankan Natal sesuai dengan tradisi gerejawi yang alkitabiah, bukan terbawa arus fenomena zaman yang tidak bermakna dan sarat kedagingan. Serta sisi etika yang menuntut kita untuk berperilaku (baik sikap, perkataan, pakaian, dan gaya hidup) secara pantas selayaknya umat Tuhan yang menyambut kedatangan Tuhannya.  Jika tidak ada lagi pertimbangan yang jelas (menyangkut tiga hal di atas) antara perayaan Natal gerejawi dan duniawi, maka hal itu hanya menyisakan satu kesimpulan: “Gereja (umat Tuhan) telah sama dengan dunia”.

Jangan lagi mengkambing-hitamkan kelahiran Kristus demi euforia semu yang tanpa makna. Merayakan Natal dengan fokus, serta  sikap hati yang tidak tertuju pada Kristus tetapi pada hal-hal sekunder, sama halnya dengan seorang tamu yang datang ke suatu resepsi namun sama sekali tidak melirik dan menyapa Tuan rumah karena mata dan hatinya hanya tertuju pada “euforia kesenangan pesta”. Tamu-tamu demikian adalah tamu-tamu yang kurang ajar.

Kita tidak dapat menghentikan semangat zaman yang berkembang dengan segala keinginan dan kamuflase yang termanifestasi di dalam perayaan Natal, namun kita dapat memegang teguh esensi dari Natal Kristus yang sejati selama kita memahaminya dengan benar. Selamat menyambut Sang Juruselamat. Salam. (yb).


Kamis, 29 November 2018

RENUNGAN : KEBEBALAN HATI

Amsal 26:11 (TB) Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya.

משלי 26:11 (WLC) כְּכֶלֶב שָׁב עַל־קֵאֹו כְּסִיל שֹׁונֶה בְאִוַּלְתֹּו׃
______

Kebebalan merupakan istilah yang digambarkan Alkitab untuk menunjukan suatu sikap penolakan terhadap hikmat dan didikan yang benar. Kebebalan juga menyebabkan sensivitas nurani manusia menjadi tumpul dan terbiasa dengan suatu pola hidup/kebiasaan buruk yang sulit diubah.

Penulis Amsal menganalogikan sikap kebebalan demikian dengan kebiasaan buruk anjing yang kembali ke muntahnya. Muntahan merupakan sesuatu yang menjijikan. Betapa lebih menjijikan ketika dimakan kembali oleh anjing. Kebebalan bagaikan rantai yang mengkang orang bebal untuk kembali ke "muntahnya". Meskipun hal-hal tersebut buruk, menjijikan, merugikan, dan bahakan suatu kejahatan namun bagi orang bebal hal itu menarik serta memikat hatinya sehingga matanya tidak dapat berpaling dari "muntahan" yang menjijikan itu. Kebebalan membelenggu hati dan pikirannya sehingga tidak ada nasihat dan didikan yang mampu menembus kupingnya.

Sebagai umat Tuhan kita pun tak luput dari kebebalan. Meskipun hanya dalam tingkatan yang ringan seperti tidak ingin dinasehati mengenai hal-hal sepele yang menyangkut kesehatan, kebersihan, dan disiplin-disiplin rohani lainnya. Namun kebebalan "kecil" yang dibiasakan akan menuntun kita pada kebebalan-kebebalan yang lebih besar dan serius. Yudas Iskariot menjadi binasa bukan ketika ia menerima uang suap dari ahli Taurat, tetapi ketika ia mulai membiasakan diri dengan kebebalan-kebebalan kecil pada saat menggerogoti uang kas. Para candu narkoba memumulai petualangan dengan menolak didikan dan mengijinkan kebebalan-kebebalan kecil hingga pada titik kritis mereka tidak lagi dapat keluar dari jerat. Inilah intinya. Maka membuka hati untuk menerima didikan dan teguran adalah cara terbaik untuk menjauhkan kita dari kebebalan. Teguran yang nyata adalah bentuk kasih yang sesungguhnya (Ams. 27:5), oleh sebab itu janganlah menghindar dari teguran dan didikan karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (Ibr. 12:6). Kiranya Roh Kudus membuka hati kita dan memampukan kita untuk menerima didikan dan hajaran Tuhan untuk memurnikan kita dari kebebalan. Amin! (yb)._

ISU APOLOGETIK : WHO MADE GOD?



“Siapa yang menciptakan Allah?”

Pernah mendengar pertanyaan mengenai “Siapakah yang menciptakan Allah?”. Pertanyaan ini merupakan salah satu dari beberapa pertanyaan favorit kalangan ateis untuk menggugat klaim Teisme. Menurut mereka (ateis), argumentasi hukum sebab-akibat yang digunakan sebagai dalil penciptaan (Causa prima Aristoletian) saharusnya digunakan secara konsisten juga bagi Allah. Itu sebabnya mereka kemudian mempertanyakan tesis kalangan Teisme sebagai berikut, “jika Allah menciptakan alam semesta, maka siapakah yang menciptakan Allah?”. 

          Pertanyaan demikian sesungguhnya merupakan pertanyaan yang keliru secara kategoris, setidaknya karena dua hal. Pertama, pertanyaan ini tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Mempertanyakan bahwa “Siapa yang menciptakan Allah” sama halnya dengan bertanya “Siapakah yang menciptakan pencipta?”. Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan blunder yang menyesatkan dan absurd karena tidak memiliki kejelasan titik pangkal serta makna. Jika ada pencipta yang ternyata juga dicipta, maka tidak ada pencipta yang layak disebut sebagai pencipta karena semua dicipta. Kata “ciptaan” dan “pencipta” tidak memiliki makna apapun dalam kalimat demikian. 

          Kedua, Allah tidak diciptakan. Ia telah ada dan selalu ada. Satu-satunya eksistensi yang memiliki kemutlakan eksistensi hanyalah Allah, Ia kekal dan tidak bergantung kepada siapa pun, itu sebabnya Ia tidak memerlukan pencipta. Hanya hal-hal yang memiliki awal seperti alam semesta yang memerlukan pencipta, sementara Allah tidak memiliki permulaan semacam itu maka Ia tidak dicipta dan memerlukan pencipta.

          Apabila Allah yang ada adalah Allah yang tidak memiliki permulaan, maka sangat tidak masuk akal untuk bertanya “Siapakah yang menciptakan Allah?”. Ini merupakan pertanyaan yang keliru secara logika. Pertanyaan demikian sama halnya dengan bertanya, “Siapakah yang menciptakan yang Tidak Diciptakan?” atau sama seperti kita bertanya, “Siapakah istri pria lajang itu?”.[1]



            [1] Diedit seperlunya dari argumentasi Norman L Geisler, Who Made God? [Siapa Yang Menciptakan Allah]: Jawaban-jawaban untuk Pertanyaan Sulit tentang Iman (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 21.

Senin, 26 November 2018

RENUNGAN : KEAGUNGAN KRISTUS SANG FIRMAN.



PRA NATAL : KEAGUNGAN KRISTUS SANG FIRMAN.

ν ρχ ν Λόγος, κα Λόγος ν πρς τν Θεόν, κα Θες ν Λόγος . ... Κα Λόγος   σρξ  γένετο κα σκήνωσεν  ν  μν, (ωάννης 1:1, 14).

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. ...Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,” (Yoh. 1:1, 14)

_________

          Isu kristologi sudah menjadi salah satu trending topik dalam diskusi teologis semenjak kehadiran dan pelayanan Kristus di dunia. Tidak ada tokoh di dunia ini yang paling terkenal, kontroversial, mengubah hidup jutaan manusia, serta diperdebatkan lebih dari dua millenium selain Yesus Kristus. Ia membuat ahli Taurat dan orang Farisi bertanya, “Siapakah Dia ini?” (Luk. 7:49), para Murid-Nya pun bertanya, “Siapakah gerangan Orang ini?” (Mrk. 4:41), Masyarakat umum juga ada yang menyebutnya sebagai, “Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi." (Mat. 16:14), namun lucunya Iblis tahu Siapa Dia, dan bahkan sujud menyembah di hadapan Yesus, “Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya, dan dengan keras ia berteriak: "Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!" (Mrk. 5:6-7). Lantas Siapakah Dia menurut Anda?

          Di jaman modern saat ini pun Pribadi Kristus masih saja diperdebatkan. Ada yang menganggap Ia sebagai tokoh moral, sang revolusioner dari Yudaisme, ada yang menganggap Ia Nabi, dll. Berbeda dengan anggapan orang luar mengenai Dia, CS Lewis bahkan membuat tiga pilihan radikal. Lewis mengatakan, jika Kristus bukan Tuhan, maka pasti Ia hanyalah orang gila yang tidak pantas dipercayai. Tidak ada tempat bagi keyakianan bahwa “Ia adalah seorang Nabi atau Moralis” karena seorang Nabi dan Moralis tidak akan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang hanya patut Allah nyatakan (mengampuni dosa, menerima peyembahan, memliki eksistensi kekal), seperti yang dikatakan oleh Kristus. Seorang Nabi dan Moralis yang benar tidak akan mengungkapkan suatu kebohongan karena bertentangan dengan nurani dan panggilan mereka. Klaim ini yang membuat Lewis mampu meletakan pondasi apologetik yang kokoh bagi konsep kristologi modern.

          Meski demikian, kontroversi itu akan tetap terus ada sampai Ia datang ke dua kalinya. Dalam konflik kristologi demikian sebagai umat Tuhan kita dituntut untuk mempertanggung-jawabkan apa yang kita yakini terutama mengenai Pribadi dan karya Kristus. Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan satu pernyataan Kristologi yang sempurna, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Tulisan Rasul Yohanes dilatar belakangi oleh konflik kristologi yang serius, maka Injilnya memberikan jawaban untuk melengkapi ketiga Injil lain bagi umat Tuhan pada saat itu dari perspektif “Kristologi tinggi”. Seperti halnya kita yang hidup di zaman yang skeptis serta sebagai persiapan masa pra Natal Kristus, ayat pertama dari Injil Yohanes menyatakan kebenaran kristologis yang menganggumkan. 

          Kebenaran mengenai keagungan Kristus pra inkarnasi, kasih-Nya kepada Saudara dan saya, dan kebenaran bahwa betapa keberdosaan kita sebagai manusia telah berdampak pada kematian kekal yang kemudian “memaksa” Kristus untuk datang ke dalam dunia bagi keselamatan kita. Kebenaran-kebenaran ini merupakan penyataan wahyu Allah yang sangat agung. Beragam agama-agama yang berkembang dalam kebudayaan manusia memiliki banyak kosep mengenai Allah yang penuh kasih dan pengampunan, namun satu hal terpenting yang kita perlu tahu bahwa hanya di dalam kekristenan lah Allah yang penuh kasih itu menyatakan kasih-Nya dengan bersedia berkorban bagi ciptaan-Nya yang bejat. Itulah Kristus, Sang Firman, Tuhan dan Juruselamat kita. Tidak ada konsep Allah yang penuh kasih dan rela berkorban sedemikian rupa dalam agama mana pun selain di dalam kekristenan.  

          Kebenaran ini juga secara tegas mengingatkan kita bahwa momentum Natal tidak hanya berfokus pada berita sukacita akan kedatangan Sang Penebus, namun juga berita dukacita mengenai kesadaran  dan konsekuensi dosa kita yang dipaku pada salib Kristus, sekaligus momentum refleksi pertobatan bagi kita. Natal secara paradoksal menyatakan kasih sekaligus penghukuman Allah yang digenapi melalui Kristus Yesus, Tuhan kita. Jika Saudara merasa bahwa kehidupan Saudara telah sempurna tanpa dosa dan pelanggaran, maka berita sukacita Natal ini tentu bukanlah untuk Anda, namun sebaliknya, jika kehidupan Saudara penuh dosa dan pelanggaran maka datanglah kepada-Nya karena, “Aku (Yesus Kristus) datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Mrk. 2:17). Selamat memasuki masa pra natal Kristus. (yb).

Kamis, 22 November 2018

RENUNGAN : KACA MATA KUDA



Nas     :   Amsal 16:2, Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. (TB)

_________

Pemikiran manusia selalu bertolak dari cara pandang pribadinya mengenai suatu hal, dan dengan cara pandangnya itu ia menentukan mana yang baik bagi langkah hidupnya. Dalam kajian filsafat cara pandang demikian dikenal dengan istilah “wawasan dunia”. Kita masing-masing memiliki semacam wawasan dunia yang membentuk cara berpikir, cara berperilaku, dan cara kita mengambil keputusan. Wawasan dunia yang beragam ini pula yang menyebabkan masing-masing orang memiliki nilai-nilai berbeda dalam hidupnya. Misalnya, ada yang menganggap berbohong itu dosa, namun jika dilakukan dalam situasi dan alasan tertentu maka hal itu dapat dibenarkan. Keterbatasan-keterbatasan wawasan dunia tersebut yang menyebabkan kita masing-masing tanpa sadar seringkali melakukan pembenaran-pembenaran pada tindakan kita. Bahanya jika pembenaran demikian diterapkan pada satu tindakan kejahatan.

          Amsal dalam bacaan di atas menyoroti kecenderungan sesat dari wawasan dunia kita yang menyimpang. Meskipun kita memiliki pertimbangan masing-masing dan memiliki penilaian terhadap suatu hal yang kita lakukan, betapa pun benar hal tersebut, namun perlu diuji kembali dalam terang kebenaran firman Tuhan. Keterbatasan kita menyebabkan setiap keputusan yang dibuat tidak selalu benar di hadapan Tuhan, meskipun hal itu “benar” menurut kita. Hal penting yang perlu kita pahami adalah realitas kebenaran bersifat tunggal, yaitu kebenaran Allah. Apa yang salah/dosa bagi Allah tidak pernah menjadi benar dalam situasi tertentu  dengan alasan apa pun seperti pertimbangan manusia. Tidak ada kebenaran “abu-abu” dalam kebenaran Allah. Itu sebabnya, Amsal memperingatkan kita untuk berhati-hati terhadap setiap keputusan-keputusan yang dibuat, karena apa yang benar menurut kita bisa jadi keliru menurut Tuhan.

           “Kaca mata kuda” kita yang terlihat selalu benar dan membenarkan pemahaman pribadi sering kali sesat karena dikendalikan oleh nafsu dan keinginan. Hal ini juga yang menyebabkan setiap motivasi (bahkan dalam dunia pelayanan) selalu menyimpang dan berorientasi pada kesenangan diri dan egosentirs. Kaca mata kuda ini perlu diganti dengan kaca mata kebenaran firman Tuhan karena “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Kebenaran firman Tuhan bukan hanya merupakan alat uji yang sempurna, namun juga terang yang menerangi kegelapan pikiran, hati, serta motif-motif tersebulung kita. Ini merupakan prinsip hidup, berpikir dan berperilaku seorang kristiani yang berpusat pada Allah. Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita mengganti kaca mata kuda itu? Kiranya Roh Kudus mencerahkan akal budi kita. Amin. (yb).__