Pertanyaan abadi yang diperdebatkan dua mazhab filsafat
besar Idealisme Platonis dan Empirisisme (juga Materialisme) adalah
apakah ide mandahului materi atau sebaliknya materi mendahului ide.
Lebih dulu mana objek materi yang berbentuk bangku atau ide tentang
bangku yang menghasilkan bentuk materinya?.
Kedua mazab ini
memiliki jawabannya masing-masing sesuai dengan paham (isme) yang
diyakini. Seperti mereka, apa pun jawaban kita, pastilah akan
mencerminkan gagasan dari salah satu mazhab tersebut yang secara tidak
langsung mengekspresikan juga suatu bentuk ideologi filsafati yang juga
kita anut. Apa yang terjadi dalam dialektika semacam ini merupakan suatu
perdebatan mendasar yang sedang berbicara mengenai keyakinan ideologis.
Konsepsi
mengenai ideologi telah menjadi pola mendasar yang mewarnai sejarah
panjang pemikiran dan peradaban umat manusia secara universal. Bahkan
Hawa ketika memutuskan untuk memakan buah terlarang di taman Eden, hal
itu pun merupakan ekspresi dari semacam ideologi baru yang memimpinnya
dalam suatu tindakan konkret. "Ideologi" (Yun. Idea—Ide atau gagasan dan Logos—Ilmu)
merupakan suatu istilah yang paling banyak menghasilkan definisi,
tergantung “siapa” dan “bidang apa” istilah ini digunakan.
Destutt
De Tracy memperkenalkan istilah ini pertama kalinya dengan merujuk pada
studi komprehensif yang bertujuan untuk mengembalikan ide-ide pada
kesan-kesan asali. Ideologi juga terkadang disandingkan dengan istilah worldview (Weltanschauung—Jer.)
atau wawasan dunia yang mana merupakan suatu rangkuman pemahaman serta
dasar pijakan seseorang dalam memahami realitas eksistensialnya.
Tulisan
ini tidak dikhususkan untuk menelusuri perdebatan etimologi serta
sejarah filosofisnya, tetapi lebih cenderung sebagai kritik filosofis
praktis yang menyangkut judul di atas. Ideologi, seperti kata Bacon,
adalah suatu sintesis pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup.
Ideologi bukan hanya menyangkut dunia politik seperti yang umum
dipahami, namun lebih besar dari itu, menyangkut segi eksistensial yang
mengendalikan hidup manusia.
Mengapa saya menulis? Karena saya
dikendalikan oleh suatu ideologi dan gagasan yang membentuk pola pikir
serta bidang minat saya. Mengapa Anda membaca? Karena Anda pun
dikendalikan oleh semacam ideologi yang membentuk norma-norma, gagasan,
tindakan, karakter, prinsip, serta perilaku hidup.
Termasuk
ketika Anda memilih untuk membaca tulisan ini pun, hal itu berkaitan
dengan suatu bidang minat ideologi tertentu. Anda dapat menayangkan dan
mempertanyakan pertanyaan yang sama terhadap perilaku semua manusia di
mana pun, dan Anda akan menemukan satu jawaban bahwa semua perilaku itu
dikendalikan oleh suatu ideologi tertentu.
Manusia tidak dapat
hidup tanpa suatu “ideologi”. Manusia adalah makhluk yang berideologi.
Tidak berideologi pun merupakan suatu ideologi, “ideologi yang tidak
berideologi”.
Kalangan evolusionis yang meganggap manusia
merupakan organisme yang berevolusi oleh serangkaian seleksi alam akan
menjadi linglung ketika berhadapan dengan isu ini. Hipotesis evolusionis
terlalu menyederhanakan rumitnya konsepsi dunia ide pada manusia.
Evolusionis paling-paling hanya mampu sampai pada serangkaian hipotesis
mengenai fenomena-fenomena fisik yang tampak, namun tidak akan pernah
sampai pada fakta-fakta tentang dari mana asal usul dan bagaimana dunia
ide yang begitu kompleks pada manusia itu berkembang serta memengaruhi
kehidupannya.
“Manusia
sebagai hewan berideologi” pada judul ini sebenarnya merupakan suatu
parodi yang saya jadikan sebagai kritik eksistensial bagi penganut
evolusionis. Anda mungkin saja dapat menjumpai “beberapa persamaan
fisik” dalam serangkaian analisa ilmiah antara hewan primata seperti
orangutan dan manusia, namun Anda tidak akan mungkin mendapatkan
kesamaan dalam dunia ide, etika, dan ideologi antara keduanya.
Pernahkah
Anda menyaksikan sekelompok orangutan mempraktikkan ideologi Marxisme?
Tentu saja “hewan” tidak ada yang berideologi, namun lucunya manusia ada
yang menganut ideologi yang meng-hewan-kan manusia.
Meskipun lucu
dan menyedihkan, namun bukankah sudah saya katakan bahwa manusia tidak
dapat hidup tanpa ideologi?—manusia harus berideologi. Jadi baik ataupun
buruk suatu ideologi, kemanuisaan kita mendorong kita untuk harus
menganutnya.
Ada beberapa filsuf/ilmuan sekuler dan ateis
yang menganggap bahwa keyakinan teologis memperbudak manusia, namun
mereka pun lupa bahwa mereka juga sedang diperbudak oleh semacam “tuhan”
lain yang menjadi ideologi yang mereka yakini. Dari sini kita melihat
bahwa konsepsi nihilisme Nietszchean pun sebenarnya tidak benar-benar
menghasilkan sesuatu yang “nihil” dalam dunia ide, karena konsepsi
demikian pun merupakan suatu ideologi jenis baru.
Hewan
memang tidak dan tak dapat berideologi. Kita manusialah yang
berideologi, namun terkadang ideologi yang dianut manusia menjadikan ia
bertintak laksana hewan bahkan melebihi setan. Sebagai penutup, kritik
ini bukan hanya menjadi sebuah parodi filosofis bagi kaum evolusionis,
namun lebih jauh, merupakan bentuk ajakan agar kita perlu
mempertimbangkan dan mengkaji secara kritis setiap keyakinan dasar yang
menjadi ideologi kita.
Alasan
mendasarnya karena ideologi-ideologi ini cepat atau lambat akan
berbenturan ketika bersinggungan di ruang publik. Hal ini penting karena
percaya atau tidak, sebagian besar konflik yang terjadi (baik fisik dan
verbal) dalam konteks personal maupun komunal, selalu didahului oleh
konflik dalam dunia ideologis. Singkatnya, ideologimu termanifestasikan
dalam tindakanmu.
__________
Sumber : https://www.qureta.com/post/manusia-hewan-yang-berideologi.
__________
Sumber : https://www.qureta.com/post/manusia-hewan-yang-berideologi.