“Natal”
merupakan salah satu hari raya yang paling dinantikan bagi umat Kristen. Natal
selalu identik dengan sukacita dan berkat yang diekspresikan melalui dekorasi,
makanan, pakaian, hingga THR. Sementara dalam konteks bisnis Natal kini menjadi
“hari raya masyarakat global” karena Natal adalah momentum yang dinanti oleh
kalangan pebisnis untuk merauk keuntungan lipat ganda.
Di
belahan Timur Negeri ini, suasana Natal bahkan telah terasa semenjak bulan
November. Ornamen Natal telah terpasang di mana-mana, bahkan hingga di
pepohonan seolah-olah sedang mengikuti lomba dekorasi. Lagu-lagu Natal juga
terdengar di hampir semua rumah, saling sahut-menyahut bagaikan lapak PKL yang
menjajakan dagangan. Tak lupa persediaan beberapa “botol minuman penghangat”
khas masyarakat timur yang menjadi ritual bagi para pemabuk untuk menyongsong
Sang Penebus. Mungkin karena Natal bukan hanya milik umat Tuhan yang taat namun
juga “umat Tuhan” dari kalangan pemabuk.
Salah
satu fenomena yang tak ketinggalan yang marak di daerah Timur adalah jadwal
kunjungan rutin si kakek tua berjenggot dengan pengawalnya si hitam. Si kakek
yang lebih tenar dibandingkan dengan Sang Penebus ini, kini muncul dengan
inovasi baru yang entah bagaimana ceritanya, sekarang ia didampingi seorang
peri cantik. Mungkin si kakek santa terlalu renta dan tidak tahan sendirian
jadi perlu asisten yang cantik. Mirisnya, jadwal kunjugan kakek tua dan
pasukannya ini justru yang paling dinantikan anak-anak ketika Natal karena
konon si kakek dan rombongannya ini doyan berbagi hadiah—meskipun hadiahnya
merupakan titipan dan pesanan orang tua.
Trik
murahan yang justru lebih menonjolkan sisi bisnis dibanding pesan moral. Lebih
jauh, praktek demikian sedang memperlihatkan sebuah pesan yang menjungkir
balikkan pengajaran iman dan pengharapan anak kepada Tuhan, dan digantikan
dengan pengharapan palsu kepada si kakek tua Santa. Menyedihkan!
Tidak
hanya sampai disitu, parahnya uforia-uforia demikian tidak hanya melanda umat
Tuhan namun juga gereja-Nya. Tuntutan biaya yang membengkak untuk perayaan,
doorprize, “bintang tamu” (siapa pun dia, entahkah hamba Tuhan atau pun artis,
penyebutan demikian merupakan sebuah pelecehan terhadap Kristus yang menjadi
sentral utama Natal), konsumsi, iklan, dll, terkadang telah menjadi “salib yang
dipaksakan” untuk dipikul jemaat. Lantas apa yang diperoleh dari
perayaan-perayaan demikian? Sukacita? Ya sukacita. Tetapi jika harus jujur,
kita semua tahu bahwa sukacita yang diperoleh itu bukan karena Kristus yang
lahir tetapi karena “euforia perayaan itu”.
Apa
yang tersisa dari euforia ini? Yang tersisa hanyalah sepenggal cerita keseruan
dari penampilan si A, gaya si B, doorprize, bingkisan Natal hingga konsumsi.
sekali lagi, hanya tersisa sepenggal cerita, tidak lebih! Sangat sedikit sekali
dari umat Tuhan yang benar-benar mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan
Kristus dan memperoleh sukacita yang sejati. Sebuah fenomena terbalik yang
memperlihatkan bahwa gereja post modern lebih cenderung memberi untuk kegiatan
euforia sesaat daripada berkorban untuk pekerjaan misi Injil. Lagi-lagi
menyedihkan!
Inilah
wajah fenomena Natal di zaman ini. Kelahiran Sang Juruselamat di era post
modern merupakan momentum tanpa arti yang dikambing hitamkan untuk memperoleh
sukacita yang semu. Natal telah berubah wujud menjadi ajang bisnis komersil
yang memabukan semua orang. Tidak mengherankan jika dibeberapa denominasi
gereja, perayaan Natal ditolak habis-habisan baik karena alasan teologis maupun
alasan etis.
Sejatinya
Natal merupakan ungkapan syukur terbesar, teragung dan termulia yang mengalir
dari kesadaran hati kita yang paling dalam bahwa janji Allah akan
kedatangan Sang Penebus umat manusia telah digenapi. Lebih jauh, Natal
bukan hanya berbicara mengenai keyakinan teologis dan historis, namun juga
menyangkut sisi etika Kristen. Maka ketiga unsur tersebut harus dipertimbangkan
secara serius.
Sisi
teologis mendorong kita untuk memahami esensi Natal secara benar sehingga
satu-satunya fokus Natal hanyalah Kristus Tuhan, bukan “selebrasi perayaan yang
kosong”. Sisi historis mengajak kita untuk menjalankan Natal sesuai dengan
tradisi gerejawi yang alkitabiah, bukan terbawa arus fenomena zaman yang tidak
bermakna dan sarat kedagingan. Serta sisi etika yang menuntut kita untuk
berperilaku (baik sikap, perkataan, pakaian, dan gaya hidup) secara pantas
selayaknya umat Tuhan yang menyambut kedatangan Tuhannya. Jika tidak ada
lagi pertimbangan yang jelas (menyangkut tiga hal di atas) antara perayaan
Natal gerejawi dan duniawi, maka hal itu hanya menyisakan satu kesimpulan:
“Gereja (umat Tuhan) telah sama dengan dunia”.
Jangan
lagi mengkambing-hitamkan kelahiran Kristus demi euforia semu yang tanpa makna.
Merayakan Natal dengan fokus, serta sikap hati yang tidak tertuju pada
Kristus tetapi pada hal-hal sekunder, sama halnya dengan seorang tamu yang
datang ke suatu resepsi namun sama sekali tidak melirik dan menyapa Tuan rumah
karena mata dan hatinya hanya tertuju pada “euforia kesenangan pesta”.
Tamu-tamu demikian adalah tamu-tamu yang kurang ajar.
Kita
tidak dapat menghentikan semangat zaman yang berkembang dengan segala keinginan
dan kamuflase yang termanifestasi di dalam perayaan Natal, namun kita dapat
memegang teguh esensi dari Natal Kristus yang sejati selama kita memahaminya
dengan benar. Selamat menyambut Sang Juruselamat. Salam. (yb).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar