Kamis, 13 Desember 2018

Badut-Badut Natal : Kritik Bagi Euforia Perayaan Natal Post Modern

“Natal” merupakan salah satu hari raya yang paling dinantikan bagi umat Kristen. Natal selalu identik dengan sukacita dan berkat yang diekspresikan melalui dekorasi, makanan, pakaian, hingga THR. Sementara dalam konteks bisnis Natal kini menjadi “hari raya masyarakat global” karena Natal adalah momentum yang dinanti oleh kalangan pebisnis untuk merauk keuntungan lipat ganda.

Di belahan Timur Negeri ini,  suasana Natal bahkan telah terasa semenjak bulan November. Ornamen Natal telah terpasang di mana-mana, bahkan hingga di pepohonan seolah-olah sedang mengikuti lomba dekorasi. Lagu-lagu Natal juga terdengar di hampir semua rumah, saling sahut-menyahut bagaikan lapak PKL yang menjajakan dagangan. Tak lupa persediaan beberapa “botol minuman penghangat” khas masyarakat timur yang menjadi ritual bagi para pemabuk untuk menyongsong Sang Penebus. Mungkin karena Natal bukan hanya milik umat Tuhan yang taat namun juga “umat Tuhan” dari kalangan pemabuk.

Salah satu fenomena yang tak ketinggalan yang marak di daerah Timur adalah jadwal kunjungan rutin si kakek tua berjenggot dengan pengawalnya si hitam. Si kakek yang lebih tenar dibandingkan dengan Sang Penebus ini, kini muncul dengan inovasi baru yang entah bagaimana ceritanya, sekarang ia didampingi seorang peri cantik. Mungkin si kakek santa terlalu renta dan tidak tahan sendirian jadi perlu asisten yang cantik. Mirisnya, jadwal kunjugan kakek tua dan pasukannya ini justru yang paling dinantikan anak-anak ketika Natal karena konon si kakek dan rombongannya ini doyan berbagi hadiah—meskipun hadiahnya merupakan titipan dan pesanan orang tua.

Trik murahan yang justru lebih menonjolkan sisi bisnis dibanding pesan moral. Lebih jauh, praktek demikian sedang memperlihatkan sebuah pesan yang menjungkir balikkan pengajaran iman dan pengharapan anak kepada Tuhan, dan digantikan dengan pengharapan palsu kepada si kakek tua Santa. Menyedihkan!
Tidak hanya sampai disitu, parahnya uforia-uforia demikian tidak hanya melanda umat Tuhan namun juga gereja-Nya. Tuntutan biaya yang membengkak untuk perayaan, doorprize, “bintang tamu” (siapa pun dia, entahkah hamba Tuhan atau pun artis, penyebutan demikian merupakan sebuah pelecehan terhadap Kristus yang menjadi sentral utama Natal), konsumsi, iklan, dll, terkadang telah menjadi “salib yang dipaksakan” untuk dipikul jemaat. Lantas apa yang diperoleh dari perayaan-perayaan demikian? Sukacita? Ya sukacita. Tetapi jika harus jujur, kita semua tahu bahwa sukacita yang diperoleh itu bukan karena Kristus yang lahir tetapi karena “euforia perayaan itu”.

Apa yang tersisa dari euforia ini? Yang tersisa hanyalah sepenggal cerita keseruan dari penampilan si A, gaya si B, doorprize, bingkisan Natal hingga konsumsi. sekali lagi, hanya tersisa sepenggal cerita, tidak lebih! Sangat sedikit sekali dari umat Tuhan yang benar-benar mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Kristus dan memperoleh sukacita yang sejati. Sebuah fenomena terbalik yang memperlihatkan bahwa gereja post modern lebih cenderung memberi untuk kegiatan euforia sesaat daripada berkorban untuk pekerjaan misi Injil. Lagi-lagi menyedihkan!

Inilah wajah fenomena Natal di zaman ini. Kelahiran Sang Juruselamat di era post modern merupakan momentum tanpa arti yang dikambing hitamkan untuk memperoleh sukacita yang semu. Natal telah berubah wujud menjadi ajang bisnis komersil yang memabukan semua orang. Tidak mengherankan jika dibeberapa denominasi gereja, perayaan Natal ditolak habis-habisan baik karena alasan teologis maupun alasan etis.

Sejatinya Natal merupakan ungkapan syukur terbesar, teragung dan termulia yang mengalir dari kesadaran hati kita yang paling dalam bahwa janji Allah akan  kedatangan Sang Penebus umat manusia telah digenapi. Lebih jauh, Natal bukan hanya berbicara mengenai keyakinan teologis dan historis, namun juga menyangkut sisi etika Kristen. Maka ketiga unsur tersebut harus dipertimbangkan secara serius.

Sisi teologis mendorong kita untuk memahami esensi Natal secara benar sehingga satu-satunya fokus Natal hanyalah Kristus Tuhan, bukan “selebrasi perayaan yang kosong”. Sisi historis mengajak kita untuk menjalankan Natal sesuai dengan tradisi gerejawi yang alkitabiah, bukan terbawa arus fenomena zaman yang tidak bermakna dan sarat kedagingan. Serta sisi etika yang menuntut kita untuk berperilaku (baik sikap, perkataan, pakaian, dan gaya hidup) secara pantas selayaknya umat Tuhan yang menyambut kedatangan Tuhannya.  Jika tidak ada lagi pertimbangan yang jelas (menyangkut tiga hal di atas) antara perayaan Natal gerejawi dan duniawi, maka hal itu hanya menyisakan satu kesimpulan: “Gereja (umat Tuhan) telah sama dengan dunia”.

Jangan lagi mengkambing-hitamkan kelahiran Kristus demi euforia semu yang tanpa makna. Merayakan Natal dengan fokus, serta  sikap hati yang tidak tertuju pada Kristus tetapi pada hal-hal sekunder, sama halnya dengan seorang tamu yang datang ke suatu resepsi namun sama sekali tidak melirik dan menyapa Tuan rumah karena mata dan hatinya hanya tertuju pada “euforia kesenangan pesta”. Tamu-tamu demikian adalah tamu-tamu yang kurang ajar.

Kita tidak dapat menghentikan semangat zaman yang berkembang dengan segala keinginan dan kamuflase yang termanifestasi di dalam perayaan Natal, namun kita dapat memegang teguh esensi dari Natal Kristus yang sejati selama kita memahaminya dengan benar. Selamat menyambut Sang Juruselamat. Salam. (yb).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar