Supremasi Nama
Yesus Menurut Injil Matius 1:18-25:
Sebuah Analisis Teologis dan Reflektif
~Yosep Belay~
Pendahuluan
Apa jadinya jika suatu objek tidak
memiliki nama? Pasti akan timbul kesulitan-kesulitan dalam proses komunikasi.
Nama memainkan peran penting dalam hubungan sosial sehingga manusia perlu
mengetahui dan menamai suatu objek sebagai permulaan dalam membangun
komunikasinya. Di dalam kebudayaan manusia, penamaan suatu objek dikaitkan
dengan karakteristik objek tersebut sehingga nama selalu mewakili substansi
dari suatu objek. Demikian juga ketika suatu nama dipilih dan dikenakan bagi
seseorang hal ini berdampak pada terpolanya suatu karakteristik dan
harapan-harapan yang melekat pada orang tersebut. Nama menyangkut eksistensi
dan harapan-harapan yang sakral dari generasi sebelum kita sehingga perlu
dijaga dan tidak untuk dilecehkan. Hal ini secara khusus terlihat begitu kuat
dalam tradisi masyarakat Indonesia seperti di daerah Timur (Maluku, NTT, Irian
Jaya) dan sebagain pada tradisi budaya masyarakat Indonesia bagian Barat (mis.
Batak) yang mewariskan nama keluarga (fam—family
name) sebagai kebangaan yang mengikat suatu kelompok klan pada suku-suku
dalam suatu komunitas masyarakat.
Dalam tradisi budaya Yahudi hal ini
juga dijumpai, misalnya sebutan “Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune” (Bil. 14:6.
Lih., penulisan nama dan keturunan dalam Kitab Bilangan) menggambarkan hal ini.
Tradsi ini dipraktikkan dan pertahankan secara vertikal dari garis keturunan
Yakub. Masing-masing keturunan diidentifikasikan menurut nama dari dua belas
anak Yakub yang kemudian menjadi dua belas suku Israel. Nama-nama anak-anak
Yakub tersebut terus berkembang menjadi family
name pada generasi selanjutnya. Dalam Alkitab nama adalah hal yang sangat
penting dan sakral. Nama-nama diberikan untuk menunjukkan keberadaan
eksistensial dari suatu objek. Beberapa diantaranya juga diberikan dengan
tujuan untuk mengingat keturunan sebelumnya (Kej. 4), sebagai jaminan mengenai
janji Tuhan yang kelak akan digenapi (Kej.
17:5, 15), untuk mengenang perbuatan-perbuatan/anugerah Tuhan (Kej.
29-30), atau juga untuk mengenang peristiwa yang pahit dalam hidup (Rut 1:20). Lebih
jauh secara filosofis bentuk penamaan ini sudah dimulai semenjak penciptaan. Dalam
Kitab Kejadian, Adam diperintahkan oleh Tuhan untuk menamai binatang-binatang
untuk mengungkapkan keberadaan mereka: “Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah
segala binatang hutan dan segala burung
di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada
manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang
diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk
yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej. 2:19).[1] Hal
ini berlaku untuk nama setiap makhluk, sama halnya bagi Nama Tuhan yang sakral.
Dalam Alkitab sampai dngan zaman Musa,
Tuhan hanya disebut sebagai "Allah" atau Elohim. Dia juga disebut El
Shaddai, atau “Allah Yang Mahatinggi.” Namun, ketika Musa bertemu
dengan-Nya di semak yang terbakar, untuk pertama kalinya Ia mengucapkan
Nama-Nya: YHWH, yang berarti “Aku adalah aku,” “Aku akan menjadi apa adanya,”
atau hanya, "Aku."[2] Di
zaman kuno karena kudusnya nama tersebut maka orang Yahudi tidak pernah
menyebut Nama Kudus itu. Ketika Nama Tuhan ditulis alih-alih mengatakan
"Yahweh," pembaca akan mengganti dengan sebutan “Adonai,” yang
berarti "Tuhan." Penggunaan nama di dalam Alkitab sangat penting sehingga
Hopko menjelaskan,
Why
was naming so important in the ancient world? Because to know the name meant to
know the person or thing the name referred to. To have a person’s name was, in
a sense, to have him. When one knew a person’s name, one came to have power in
relation to him. When God gives us His Name, then, He gives Himself to us as
well, and yet it is a Name so holy that we dare not say it and take possession
of Him.[3]
Mengenal nama berarti mengetahui
orang atau benda yang dimaksud dengan nama itu. Memahami/mengenal nama
seseorang dalam arti tertentu, sama dengan memilikinya. Ada relasi yang
terjalin secara psikologis dalam pengetahuan tentang sebuah nama. Karena nama
seseorang berkaitan dengan relasi dan otoritas, maka sering kali nama seseorang
digunakan sebagai bentuk legitimasi terhadap otoritas tertentu. Misalnya di
dalam formula Baptisan, nama Bapa, Anak dan Roh Kudus menjadi materai yang
mensahkan baptisan (Mat. 28:19). Atau dalam kaitannya dengan keselamatan, nama
Yesus Kristus menjadi sentral karena hanya melalui nama-Nya, manusia
diselematkan (Kis. 4:12) dan semua makhluk bertekuk lutut (Fil. 2:10). Dalam
konteks ini, nama merujuk pada Pribadi yang menyandangnya sehingga meskipun
dalam konteks masyarakat Yahudi abat pertama, banyak yang menyandang nama
“Yesus,” namun hanya “nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu” (Kis. 3:6) yang memiliki kuasa dan otoritas Allah.
Seperti yang akan dijabarkan penulis, nama Yesus mengindentifikasikan
supremasi-Nya sebagai Allah yang telah datang menyapa umat manusia.
Supremasi Kristus Pada Prolog Injil
Matius
Supremasi Kristus selalu menjadi
daya tarik pada semua kitab dalam Alkitab dengan berbagai gendrenya. Tidak seperti
biasanya, dalam tulisan ini penulis hendak mengkaji supremasi Kristus
menggunakan narasi Matius khususnya pada bagia pendahuluannya. Berbandig
terbalik dengan pendekatan umum para teolog yang menggunakan narasi Injil
Yohanes atau pun surat-surat Paulus yang sangat powerfull menyangkut kristologi tinggi. Meski demikian, Injil Matius
juga mengemukakan gagasan kristologi tinggi yang unik dengan pesan yang
mendalam, kuat dan menyeluruh menyangkut supremasi Kristus sehingga pantas
untuk diberi perhatian khusus. Jika Yohanes dan Paulus menyajikan gagasan
supremasi Kristus dengan pendekatan teologi-filosofis yang tinggi, Matius
justru cenderung membumi dengan gaya bahasa sederhana dengan penekanan yang
kuat pada penggenapan nubuatan PL dan implikasinya pada realitas kuasa dan
kedaulatan Kristus. Matius menyajikan Pribadi Kristus yang sederhana sekaligus
berdaulat dan berkuasa. Supremasi Kristus ditampilkan dalam perspektif paradox
sehingga pembaca dapat menemukan kesederhanaan sekaligus kemuliaan-Nya dalam
narasi Injil Matius seperti yang dikatakan Henry, “Perjanjian Lama diawali
dengan kitab tentang garis penciptaan dunia, dan itulah kemuliaan kitab
Perjanjian Lama. Namun kemuliaan di dalam kitab Perjanjian Baru jauh melampaui
itu, karena diawali dengan kitab mengenai garis silsilah dari Dia yang
menciptakan dunia!”[4]
Silsilah yang dicantumkan oleh para
penulis Injil memiliki pesan khusus. Dalam perspektif
pembaca modern, daftar nama keturuan kuno ini seringkali dilewati. Akan tetapi
“daftar nama” itu merupakan bagian penting dari laporan Injil. Silsilah itu
menunjukkan bahwa Yesus adalah bagian dari sejarah; bahwa seluruh sejarah
Yahudi merupakan persiapan bagi kelahiran-Nya.[5] Seperti gendre sastra sejarah pada umumnya di abat
pertama, Matius memulai Injilnya dengan penekanan yang kuat pada silsilah
keturunan Kristus sebagai pembuktian akan otentisitas dan supremasi-Nya sebagai
Mesias. Penekanan pada silsilah Kristus ini hendak mengantisipasi
pertanyaan-pertanyaan mengenai otoritas Kristus sebagai Mesias di kemudian
hari.[6] Bukan
hanya itu Injil ini memiliki keunikan tersendiri karena,
Matthew opens
his Gospel by showing both Jesus' historic inseparability from the history of
Israel and his inseparability from the Gentile mission already implicit in that
history. He does this by listing Jesus' ancestors who evoke Israel's rich Old
Testament heritage and by listing four Gentiles in Jesus' ancestry who came to
participate in that heritage.[7]
Matius memulai Injilnya dengan menghubungkan silsilah
Kristus pada sejarah Israel, kedatangan Mesias dari keturunan Abraham dan Daud
sebagai dua tokoh sentral PL yang menerima janji yang berkaitan dengan Sang
Mesias. Di abat pertama, Abraham dan Daud merupakan wali utama atas janji-janji
Allah bagi umat Israel. Janji tentang berkat diberikan kepada Abraham dan
keturunannya sementara mengenai kekuasaan diberikan kepada Daud dan
keturunannya.[8]
Kristus merupakan Sang Keturunan yang menggenapi kedua janji berkat serta
pemerintahan Allah tersebut. R.T. France kembali menegaskan hal ini bahkan
dengan penekanan yang lebih seksama pada tokoh Yesus Kristus sebagai tokoh
sejarah, sekaligus menekankan penggenapan nubuatan mengenai Mesias sebagai pembebas
bagi Umat Israel,
The
prominent repetition of the title “Messiah” (or, in many English versions,
“Christ”) in 1:1, 16, 17, 18; 2:4, together with the other related titles which
recur in these opening paragraphs of the gospel (“Son of David,” 1:1, 20; “King
of the Jews,” 2:2), make it clear that Matthew is aiming to present an account
not just of a historical figure (Jesus of Nazareth) but of the long-awaited
deliverer of God’s people Israel.[9]
Hal ini memperlihatkan bahwa supremasi Kristus benar-benar
ditonjolkan dalam narasi pembuka Injil Matius. Meski demikian, Matius juga
melibatkan empat tokoh wanita non Yahudi sebagai konfirmasi karya-Nya yang
universal sekaligus terkesan “buram” karena status dari keempat wanita ini yang
dua diantaranya orang asing, dan dua lagi sebagai pezinah. Matius tanpa ragu
memasukkan nama-nama mereka secara eksplisit untuk menunjukkan kuatnya pesan
Injil Kristus bahwa, “Ia menanggung keadaan dalam daging yang dikuasai dosa
(Rm. 8:3), dan bahkan membawa orang-orang yang paling berdosa ke dalam hubungan
yang paling dekat dengan-Nya ketika mereka bertobat.”[10]
Matius merombak pemahaman Yudaisme yang cenderung eksklusif dan merendahkan wanita,
sekaligus menekankan kasih Allah yang radikal bagi mereka yang terpinggirkan
dengan dosa-dosa yang paling hina di dalam pelayanan Kristus sejak semula. Pesan
sentral lainnya dijelaskan dengan sangat baik oleh Schreiner bahwa Matius
hendak menunjukkan bahwa, “Yesus menggenapi apa yang dinantikan dalam PL:
berkat bagi semua bangsa”[11] sebagaimana
yang diserukan pada akhir Injil Matius untuk menjadikan semua Bangsa murid-Nya
(Mat. 28:19).
Matius kemudian menutup prolog bagian pertamanya dengan
rangkuman mengenai tiga kelompok generasi yang masing-masing terdiri dari 14
nama. Rangkuman ini bukan tanpa tujuan, Matius memberi pesan implisit pada penekanan
angka 14 yang berhubungan dengan jumlah seluruh huruf Ibrani dalam nama “Daud”:
daleth = 4; waw = 6; daleth = 4[12] untuk
mempermudah pembacanya mengingat daftar-daftar keturunan itu,[13] sekaligus
menekankan kesempurnaan silsilah saat penggenapan Kristus sebagai keturunan
Daud sebagai Sang Raja yang akan datang. Penekanan penting lainnya juga
terdapat dalam ayat 16, dimana Matius menekankan asal-usul keilahian Kristus,
“Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.” Kristus
dilahirkan dari Ibu Insani tanpa melibatkan Ayah insani.[14] Penekanan
mengenai keilahian Kristus semakin ekplisit ketika dilanjutkan pada ayat-ayat
berikutnya mengenai kelahiran Tuhan Yesus. Sebagaimana yang juga ditegaskan
oleh Dale C. Allison,
The
story opens with Mary betrothed to Joseph; they do not yet live together as man
and wife. But Mary is with child ‘of the Holy Spirit’. One might think of a new
creation (cf. MT 1:1), for creation was the work of the Spirit (Gen 1:2), or
perhaps of the traditional link between the Spirit and messianic times (e.g.
Isa 44:3–4). But the main point is that Jesus has his origin in God, in
fulfilment of a prophecy, Isa 7:14.[15]
Kuatnya narasi Matius mengenai supremasi Kristus ini
mendorong Spurgon memuji Injil Matius dan dengan penuh hormat mengatakan,
This
verse gives us a clue to the special drift of Matthew's gospel. He was moved of
the Holy Spirit to write of our Lord Jesus Christ as King—" the son of
David." He is to be spoken of as specially reigning over the true seed of
Abraham; hence he is called " the son of Abraham." Lord Jesus, make
us each one to call thee, "My God and King!" As we read this
wonderful Gospel OF THE Kingdom, may we be full of loyal obedience, and pay
thee humble homage! Thou art both a King and a king's Son”[16]
Spurgeon
memandang Injil Matius sebagai Injil Kerajaan yang menekankan supremasi Kristus
sebagai Sang Mesias yang dijanjikan dan yang telah datang bagi kita. Seruan
kebenaran yang menggema pada momen Natal yang mendorong kita untuk dengan rasa
hormat dan sukacita menghampiri dan berseru kepada-Nya, "My God and my King!"
Supremasi
Kristus: Pra Inkarnasi—Sejarah yang Bukan
Kaleng-Kaleng
Pergumulan Yusuf dan Maria di
masa-masa transisi pra inkarnasi Kristus menjadi momen yang krusial dalam
sejarah penebusan. Di masa ini Yusuf dan Maria berada dalam fase bertunangan
(fase kedua dalam tradisi Yahudi sebelum perkawinan. Fase pertama,
perjanjian/saling berjanji, kedua pertunagan, ketiga perkawinan).[17] Pergumulan
itu bukan hanya menyangkut besarnya resiko yang mereka tanggung, namun juga
secara eksplisit mengungkapkan keyakinan mereka terhadap kebenaran penggenapan
nubuatan mengenai Sang Mesias. Keterandalan pesan Allah mengenai janji
kedatangan Sang Mesias melalui keturunan mereka, sekaligus memberikan
konfirmasi bagi para pembaca modern bahwa kisah tersebut bukan sebuah kisah
kaleng-kaleng namun berakar kuat pada
narasi historis.
Pesan penting dari landasan historis
ini berangkat dari peneguhan mengenai berita sukacita yang dikonfirmasi secara
langsung oleh malaikat Tuhan, baik kepada Yusuf (Mat. 1:10-24) maupun kepada
Maria (Luk. 1:26-38). Konfirmasi dua arah ini menjadi penegasan penting bahwa wahyu
yang disampaikan teruji oleh si pembawa (malaikat Tuhan) dan dua penerima (Yusuf
dan Maria) sebagai konfirmasi akan Sang Anak yang akan dikandung Ibu Maria
kelak. Otoritas kebenaran pesan Allah diteguhkan oleh tiga pihak yang bertindak
sebagai saksi sekaligus: Allah (yang diwakili oleh malaikat-Nya), Yusuf dan
juga Maria. Peneguhan ini juga dikonfirmasi kembali dengan nubuatan nabi Yesaya
pada tujuh ratus tahun sebelumnya (Yes. 7:14; 9:6. Bdk. dgn. 2 Sam. 7:12-13)
sehingga kelahiran Kristus merupakan penggenapan sejarah penebusan yang luar
biasa. Penekanan pada unsur justifikasi kesaksian PL, “kesaksian dua orang
adalah sah” (Yoh. 8:17; 2 Kor. 13:1) terlihat disini untuk menegaskan kebenaran
momen inkarnasi Kristus. Momen inkarnasi itu benar-benar direalisasikan dalam
ruang dan waktu sejarah dan terbukti secara sah dan meyakinakan.
Kekuatan narasi dan pembuktian yang dikemukakan
oleh Injil Matius memberikan penegasan akan supremasi berita yang Matius
sampaikan. Kebenarannya teruji karena dikonfirmasikan langsung dari empat
saksi, Allah/malaikat Tuhan, nubuatan pada Nabi, Yusuf dan Maria. Pesan ini
kemudian menjadi semakin jelas saat pelayanan dan misi Sang Mesias mulai
dijalankan. Serangkaian tanda dan mukjizat kemudian mengkonfirmasi penegasan
awal berita dari Injil Matius sehingga sangat powerfull. Penekanan narasi ini juga membedakan Injil Matius dengan
narasi-narasi pagan pada zaman itu yang tidak memiliki dasar historis dan tidak
dapat dikonfirmasi kebenarannya, termasuk tuduhan kelahiran dari anak dara yang
diadopsi dari paganisme Yunani-Romawi. Mengenai hal ini Evan menegaskan, however, that early Jewish Christians,
including the evangelist Matthew, would present Jesus in pagan garb. Jewish
teachers were highly critical of pagan morals and myths. The idea of gods
and goddesses having sexual relations with mortals was repugnant. [18] Suatu kejijikan jika Matius mengadopsi gagasan
pagan untuk mengenakannya pada Kristus. Penegasan berita Matius berangkat dari kedaulatan
serta kuasa Roh Kudus, The
Jews specially connected the Spirit of God with the work ofcreation… The Spirit
is the Creator of the World and the Giver of Life. So, then, in Jesus there
came into the world God’s life-giving and creating power,[19] dan
penggenapan nubuatan PL yang merupakan presuposisi Matius sehingga tidak ada
celah bagi kemungkinan tersebut.
Kemudian dalam proses rekonstruksi
pesan, sebagai sejawawan Matius dengan jeli menggunakan sumber-sumber primer dari
Sang Guru untuk merekonstruksi karya Kristus secara topikal, As noted above, ancient biographers often
arranged their material topically; a good disciple could also arrange his
teacher's sayings for relevance to the issues that he felt compelled to address,[20]
termasuk dalam hal kelahiran Kristus. Kekuatan narasi historis Matius
memberikan landasan yang sangat kuat bagi keyakinan historis dan teologis akan inkarnasi
Kristus. Dalam konteks ini, peristiwa Natal benar-benar menghantarkan kita pada
perjumpaan dengan Sang Juruselamat dalam ruang dan waktu sejarah. Sang Juruselamat
yang dinamakan Yesus dan juga Imanuel.
Supremasi Kristus: “engkau akan menamakan Dia Yesus”
Sama seperti nama-nama dalam
komunitas Yahudi pada umumnya, nama Yesus tidaklah begitu spesial pada abat
pertama. Nama ini digunakan secara umum pada komunitas Yahudi[21]
sehingga penyebutan nama Yesus perlu ditambahi keterangan seperti “Yesus
Barabas” atau “Yesus yang disebut Kristus” (Mat. 27:17) agar menjadi jelas
pribadi mana yang sementara dirujuk.
Meski demikian, ketika nama tersebut disandang oleh “Yesus yang disebut
Kristus” atau “Yesus orang Nazaret” maka nama tersebut kemudian sangat berbeda
karena memiliki kuasa dan otoritas yang melekat pada Pribadi penyandangnya. Popularitas
penggunaan nama “Yesus” mungkin disebabkan karena terdapat hubungannya dengan
salah satu nama pemimpin besar Israel, Yosua bin Nun. Akan tetapi di abat selanjutnya,
baik orang Yahudi dan orang Kristen berhenti menggunakan "Yesus"
sebagai nama untuk anak laki-laki mereka. Orang-orang Yahudi melakukannya
karena berhubungan erat dengan Kekristenan yang sangat mereka benci. Sementara
orang-orang Kristen menolak menggunakan nama “Yesus” untuk alasan yang
berlawanan; karena nama itu terlalu istimewa dan dihormati.[22]
Dalam penyebutan nama-Nya,
kemungkinan besar ketika Maria dan Yusuf berbicara dengan putra mereka, mereka
menggunakan bahasa asli mereka bahasa dan memanggil-Nya "Yeshua" atau
"Joshua." Jika mereka menggunakan bahasa perdagangan Yunani, maka
mereka memanggil Dia “Yesus,” karena seperti yang kita catat sebelumnya,
“Yesus” adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani “Josua.” Nama ”Yosua” adalah
singkatan dari ”Jehoshua”, yang berarti ”Yahweh Juruselamat.” Sebenarnya, nama
asli Joshua adalah “Hoshea,” berarti "keselamatan," dan diubah
menjadi "Jehoshua" atau "Joshua" oleh Musa, mungkin ketika
dia mengirimnya untuk memata-matai tanah di Kadesh-barnea (Bil. 13:16). Nama
“Yesus/Joshua” diambil dari kata kerja Ibrani yasha yang berarti “diselamatkan.” Penggunaan pertama kali kata
kerja ini dalam Kitab Suci merujuk pada benih doktrin keselamatan (Kel. 14:30).
Keselamatan Israel di sana didefinisikan dalam hal penghancuran tentara Mesir
di Laut Merah yang kemudian menjadi tipologi dari puncak keselamatan manusia
dari dosa yang disediakan oleh Yesus di kayu salib,[23] By naming him Ἰησοῦς, Joseph will be making
a statement about Jesus’s redemptive mission: “He will save his people from
their sins.”[24] Seperti arti nama-Nya, misi dan karya Kristus mengungkapkan
identitas-Nya sebagai Allah yang telah datang dan menyelamatkan umat-Nya dari
dosa, “In Matthew, sin (ἁμαρτία, hamartia) is
confessed by those whom John baptizes and is forgiven by Jesus (3:6; 9:2, 5, 6;
12:31; 26:28). Forgiveness is accomplished by Jesus’s gift of himself as a
ransom for sinners in sacrificial death, as exemplified in the elements of the
Last Supper (20:28; 26:26–30).”[25]
Secara etimologis nama Yesus
memiliki kaitan erat dengan nama Yosua. Hal ini bukan hanya mengenai persoalan
kesamaan nama dan artinya, namun terdapat pesan teologis yang sangat dalam yang
juga merujuk pada pola pelayanan kedua tokoh tersebut. Thomas Hopko memberikan penjelasan mengenai
hal ini dengan sangat baik,
This
Old Testament account finds fulfillment in the New Testament. As Joshua son of
Nun entered with the people of Israel into the Jordan River and placed twelve
stones in the water to signify the twelve tribes, so too Jesus son of Mary is
baptized in the Jordan and takes on twelve apostles to signify the twelve
tribes of the new Israel of God—the Church. Joshua searched out the land with
the help of the prostitute Rahab, whose life was saved as a result by the sign
of a scarlet cord tied in her window (Josh. 2:18), which some of the Holy
Fathers read as an allegory of sinful humanity saved by the blood of Christ.
Joshua conquered Jericho and the sun stood still (Josh. 10:13), which the
Orthodox conquered Jericho and the sun stood still (Josh. 10:13), which the
Orthodox liturgical tradition contrasts with the earth standing still at the
birth of Christ. In short, the name and life of Joshua is evoked and fulfilled
in the name and life of Jesus of Nazareth, who is God’s own salvation—not just
for Israel, but for the entire human race. God gives Mary’s child the name of
Jesus, therefore, to teach us to contemplate Him first and foremost in the
light of the foundational Old Testament narratives of Moses, Joshua, the
crossing of the Jordan, and the entrance into the Promised Land. The Joshua of
old was a prefiguration, a “type” (typos) of Him who was to come, the One who
was the real embodiment of God’s salvation. Moses and the Law could not save
us. Moses himself, great as he was—the man who spoke to God face-to-face, stood
at the mercy seat, received the commandments, led the people—did not cross the
Jordan. He did not enter the Promised Land, the land of the living. He died and
was buried in Goshen. This point is literally flaunted in the Old Testament to
remind us that nobody can keep the Law, not even Moses and Aaron. If they could
have kept God’s commandments, the Scriptures state clearly that they would
never have died. However, neither Moses nor Aaron could be perfectly obedient,
and so they fell before God and died. Only Jesus of Nazareth, the new Joshua,
cannot die, because he keeps the Law perfectly and totally. Therefore, He enters
into the real Promised Land, the real land of the living, which is the Kingdom
of heaven, the Kingdom that will fill heaven and earth when Jesus comes in
glory and every knee on earth will bow before Him and glorify His Name.[26]
Hopko dengan penuh kekaguman melihat
kesejajaran tipologis dari pelayanan Yosua dan Musa dengan Kristus. Puzzle yang
samar-samar dalam pelayanan Yosua dan Musa dalam momentum penyelamatan Allah
bagi Umat Israel di PL, menjadi jelas saat penggenapannya di dalam Pribadi dan
Karya Yesus Kristus di PB. Allah bukan hanya membuka mata kita melalui perjalanan
panjang sejarah penyelamatan umat Israel di PL, tetapi Ia juga memecahkan
kebuntuan dan ketulian dunia modern ketika nama Yesus diserukan!—Nama yang
menghubungkan kita dengan janji yang Ia nyatakan di dalam PL dan yang
dimanifestasikan pada pelayanan Yosua dan Musa. Seperti Yosua yang telah
membawa umat Israel PL untuk masuk ke tanah perjanjian sebagai tipologi
Kristus, maka demikian pula Yesus Kristus telah membawa umat-Nya untuk memasuki
“tanah perjanjian Sorgawi.” (Yoh. 14:1-6; Ibr. 9:28). Di dalam nama Yesus,
keselamatan Allah dinyatakan (Kis. 4:12). Kemuliaan, kasih dan anugerah-Nya
yang besar dipertontonkan bagi dunia dalam momentum Natal dan Paskah! Sebagaimana
yang juga dengan penuh rasa kagum dikemukakan Spangler,
Jesus
is the personal name of the One we call Redeemer, Lord, and Christ. His name is
intimately linked to the God of the Hebrew Scriptures because the name Yeshua
means “Yahweh is salvation.” Indeed, Jesus is Yahweh come to earth. If you have
ever pictured God as a distant, wrathful Being, you will have to reconsider
that portrait in light of Jesus Christ, who is God bending toward us, God
becoming one of us, God reaching out in mercy, God humbling himself, God nailed
to a cross, God rising up from the grave to show us the way home. Jesus, name
above all names, beautiful Savior, glorious Lord![27]
Nama Yesus dalam relasi iman Kristen
bukan sekedar nama biasa. Nama itu begitu mulia sehingga dalam segala keadaan,
kita menyerukan nama-Nya. Dalam doa-doa kita meminta di dalam nama-Nya (Yoh.
16:23), dalam puji-pujian dan ucapan syukur juga di dalam nama-Nya (Ef. 5:20), dalam
pergumulan hidup yang berat, kita memohon pada-Nya (Mat. 8:23), dan bahkan
diakhir hidup kita, kita berseru seperti Stefanus “Ya Tuhan Yesus, terimalah
rohku!” (Kis. 7:59). Yesus adalah segalanya-galanya bagi kita. Ia adalah Imanuel—Allah
yang menyertai umat-Nya sepanjang zaman (Mat. 1:23; 28:20). Nama yang terlampau
mulia ini telah menggerakkan Rasul Paulus sehingga dengan penuh keyakinan ia
menyerukan, Yesus! “nama di atas segala nama…dalam nama Yesus bertekuk lutut
segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah,
Bapa! (Fil.2:9-11).
Penutup
Ketika berita sukacita Natal itu
sampai kepada Maria dan Yusuf, identitas Sang Juruselamat telah dipersiapkan
dalam nama Yesus. Dalam nama itu, Pribadi dan karya-Nya sekaligus dinyatakan.
Penekanan pada dua natur Kristus begitu eksplisit, demikian halnya dengan
keilahian-Nya. Prolog Injil Matius mengemukakan perspektif Kristologi tinggi
yang sangat kuat. Pesannya begitu eksplisit sehingga dalam konteks Yudaisme
abat pertama mampu meletakkan dasar Kristologi yang tak tergoncangkan. Tak
lupa, karya Allah Tritunggal juga secara eksplisit dikemukakan, mulai dari
kelahiran, pembaptisan Kristus hingga diakhir pelayanan-Nya yang dirangkum
dalam forma baptisan amanat agung, “dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.”
Supremasi Sang Penebus yang
dinyatakan dalam nama Yesus Kristus kiranya menjadi refleksi penting bagi kita
menjelang Natal tahun ini. Yesus Kristus adalah Allah yang bukan hanya telah datang dan menyelamatkan,
namun juga Allah yang menyertai kita. Tanpa anugerah keselamatan dari-Nya, kita
semua binasa, namun tanpa penyertaan yang sempurna dari-Nya, kita pun akan
kembali terhilang. Sehingga Yesus Kristus haruslah Allah yang menyelamatkan dan
Allah yang menyertai kita sepanjang perjuangan hidup di dalam dunia. Inilah
kebenaran Allah yang dinyatakan di dalam Kristus, dan secara khusus di dalam
Injil Matius. Soli Deo Gloria!
Selamat
Natal 25 Desember 2021 dan tahun baru 2022, damai dan sukcatia dari Sang
Penebus kiranya menyertai kita. Amin!
Daftar Pustaka
Barcley, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, pen., S. Wismoady Wihono (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015.
Barclay, William, The Gospel Of Matthew Volume 1: Chapters 1
To 10. Philadelphia,The Westminster
Press, 1975.
Barker, Chris dan Emma A. Jane, Kajian Budaya.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2021.
Evans, Craig A., Matthew. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.
France,
R.T., The Gospel of Matthew. Grand
Rapids: Eerdmans Publishing, 2007.
Henry, Mathew, Tafsiran Mathew Henry: Injil Matius 1-14. Diterjemahkan oleh Lanny Murtihardijana, dkk. Surabaya: Momentum, 2014.
Hopko, Thomas, The Names of Jesus: Discovering the Person of Jesus Christ through
Scripture. Chesterton: Ancient Faith
Publishing, 2010.
Keener, Craig S., A Commentary On The Gospel Of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 1999.
Muddiman, John and John Barton (ed.), The Oxford Bible Commentary: The Gospels.
Great Clarendon Street: Oxford
University Press, 2001.
Schreiner, Thomas R., New Testament Theology: Memuliakan Allah
dalam Kristus. Diterjemahkan
olej Jhony The. Yogyakarta: Andi, 2015.
Spangler, Ann, Immanuel: Praying The Names Of God Through The Christmas Season. Grand
Rapids: Zondervan, 2009.
Spurgeon, C. H., The Gospel Of The Kingdom: A Popular Exposition Of The Gospel According
To Matthew. New York: The Baker
& Taylor, 1893.
Towns,
Elmer L., The Names of Jesus: Over 700
Names of Jesus to Help You Really Know the Lord
You Love. Lexington: Accent
Publishing, 2000.
Turner, David L., Matthew. Grand Rapids: Baker Academic, 2008.
Wiersbe, Warren W., Seri Tafsir Matius. Loyal Di Dalam Kristus: Mengikuti Raja Segala Raja.
Diterjemahkan oleh Deddy Jakobus.
Bandung: Kalam Hidup, 2012.
Zuck, Roy B., dan Darell L. Bock (ed.), A Biblical Theology Of The New Testament.
Ditejemahkan oleh Paulus Adiwijaya.
Malang: Gandum Mas, 2011.
[1]Dalam
wacana filosofis khususnya pada mazhab post-strukturalisme, penamaan demikian
dipandang sebagai bentuk kekerasan dan usaha menguasai suatu objek tertentu (will to power dalam terminologi
Nietzche) karena penamaan itu
menempatkan benda/pribadi sebagai objek dan si pemberi nama sebagai subjek yang
terkesan superior sebagaimana kritik Nietzsche dan Foucault (Lih. Chris Barker dan Emma A. Jane, Kajian Budaya [Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2021], 35). Meski demikian, asumsi ini merupakan usaha bunuh diri filosofis
karena bagaimana pun, kedua filsuf tersebut juga terjebak dalam “lingkaran
penamaan” ini dengan cara mengunakan nama-nama dari objek tertentu yang sudah
dari sononya memang demikian
(Saussure dan Derrida mengakui hal ini). Manusia secara alamiah dan intuisi
logisnya dirancang Allah dan diberi mandat untuk melestarikan alam, ditata dan
dipelihara (mandat budaya). Hal ini dimulai dengan penamaan objek seperti yang
Adam lakukan. Oleh karena itu penamaan terhadap suatu objek dalam konteks
Alkitab bukan untuk tujuan menguasai namun sebagai unsur pembeda dalam usaha
untuk menciptakan relasi komunikasi sosial yang teratur dan terpelihara baik
dalam hubungannya dengan Allah, dirinya, sesama dan alam semesta.
[2]Thomas
Hopko, The Names of Jesus: Discovering
the Person of Jesus Christ through Scripture (Chesterton: Ancient Faith
Publishing, 2010 ), 2.
[4]Mathew
Henry, Tafsiran Mathew Henry: Injil
Matius 1-14, pen., Lanny Murtihardijana, dkk (Surabaya: Momentum, 2014), 2.
[5]Warren
W. Wiersbe, Seri Tafsir Matius. Loyal Di
Dalam Kristus: Mengikuti Raja Segala Raja, pen., Deddy Jakobus (Bandung:
Kalam Hidup, 2012), 21.
[7]Craig
S. Keener, A Commentary On The Gospel Of
Matthew (Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 1999), 88.
[11]Thomas
R. Schreiner, New Testament Theology: Memuliakan
Allah dalam Kristus, pen., Jhony The (Yogyakarta: Andi, 2015), 111.
[12]Roy B.
Zuck dan Darell L. Bock (ed.), A Biblical
Theology Of The New Testament, pen., Paulus Adiwijaya (Malang: Gandum Mas,
2011), 25. Penulisan
demikian merupakan gaya sastra yang lazim pada masa itu yang disebut sebagai gematria (kata serapan dari bahasa
Yunani).
[15]John Muddiman and John Barton
(ed.), The Oxford Bible Commentary: The
Gospels (Great Clarendon Street: Oxford University Press , 2001), 33.
[16]C. H. Spurgeon,
The Gospel Of The Kingdom: A Popular
Exposition Of The Gospel According To Matthew (New York: The Baker &
Taylor, 1893), 1.
[17]William
Barcley, Pemahaman Alkitab Setiap Hari,
pen., S. Wismoady Wihono (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 28.
[19]William
Barclay,
The Gospel Of Matthew Volume 1: Chapters 1 To 10 (Philadelphia,The
Westminster Press, 1975), 22.
[22]Elmer
L Towns
, The Names of Jesus: Over 700 Names of
Jesus to Help You Really Know the Lord You Love (Lexington: Accent Publishing, 2000 ), 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar