Jumat, 24 Desember 2021

 





Supremasi Nama Yesus Menurut Injil Matius 1:18-25:
Sebuah Analisis Teologis dan Reflektif

 

~Yosep Belay~

 

Pendahuluan

            Apa jadinya jika suatu objek tidak memiliki nama? Pasti akan timbul kesulitan-kesulitan dalam proses komunikasi. Nama memainkan peran penting dalam hubungan sosial sehingga manusia perlu mengetahui dan menamai suatu objek sebagai permulaan dalam membangun komunikasinya. Di dalam kebudayaan manusia, penamaan suatu objek dikaitkan dengan karakteristik objek tersebut sehingga nama selalu mewakili substansi dari suatu objek. Demikian juga ketika suatu nama dipilih dan dikenakan bagi seseorang hal ini berdampak pada terpolanya suatu karakteristik dan harapan-harapan yang melekat pada orang tersebut. Nama menyangkut eksistensi dan harapan-harapan yang sakral dari generasi sebelum kita sehingga perlu dijaga dan tidak untuk dilecehkan. Hal ini secara khusus terlihat begitu kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia seperti di daerah Timur (Maluku, NTT, Irian Jaya) dan sebagain pada tradisi budaya masyarakat Indonesia bagian Barat (mis. Batak) yang mewariskan nama keluarga (fam—family name) sebagai kebangaan yang mengikat suatu kelompok klan pada suku-suku dalam suatu komunitas masyarakat.

            Dalam tradisi budaya Yahudi hal ini juga dijumpai, misalnya sebutan “Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune” (Bil. 14:6. Lih., penulisan nama dan keturunan dalam Kitab Bilangan) menggambarkan hal ini. Tradsi ini dipraktikkan dan pertahankan secara vertikal dari garis keturunan Yakub. Masing-masing keturunan diidentifikasikan menurut nama dari dua belas anak Yakub yang kemudian menjadi dua belas suku Israel. Nama-nama anak-anak Yakub tersebut terus berkembang menjadi family name pada generasi selanjutnya. Dalam Alkitab nama adalah hal yang sangat penting dan sakral. Nama-nama diberikan untuk menunjukkan keberadaan eksistensial dari suatu objek. Beberapa diantaranya juga diberikan dengan tujuan untuk mengingat keturunan sebelumnya (Kej. 4), sebagai jaminan mengenai janji Tuhan yang kelak akan digenapi (Kej.  17:5, 15), untuk mengenang perbuatan-perbuatan/anugerah Tuhan (Kej. 29-30), atau juga untuk mengenang peristiwa yang pahit dalam hidup (Rut 1:20). Lebih jauh secara filosofis bentuk penamaan ini sudah dimulai semenjak penciptaan. Dalam Kitab Kejadian, Adam diperintahkan oleh Tuhan untuk menamai binatang-binatang untuk mengungkapkan keberadaan mereka: “Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan  dan segala burung di udara.  Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk  yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej. 2:19).[1] Hal ini berlaku untuk nama setiap makhluk, sama halnya bagi Nama Tuhan yang sakral.

            Dalam Alkitab sampai dngan zaman Musa, Tuhan hanya disebut sebagai "Allah" atau Elohim. Dia juga disebut El Shaddai, atau “Allah Yang Mahatinggi.” Namun, ketika Musa bertemu dengan-Nya di semak yang terbakar, untuk pertama kalinya Ia mengucapkan Nama-Nya: YHWH, yang berarti “Aku adalah aku,” “Aku akan menjadi apa adanya,” atau hanya, "Aku."[2] Di zaman kuno karena kudusnya nama tersebut maka orang Yahudi tidak pernah menyebut Nama Kudus itu. Ketika Nama Tuhan ditulis alih-alih mengatakan "Yahweh," pembaca akan mengganti dengan sebutan “Adonai,” yang berarti "Tuhan." Penggunaan nama di dalam Alkitab sangat penting sehingga Hopko menjelaskan,

Why was naming so important in the ancient world? Because to know the name meant to know the person or thing the name referred to. To have a person’s name was, in a sense, to have him. When one knew a person’s name, one came to have power in relation to him. When God gives us His Name, then, He gives Himself to us as well, and yet it is a Name so holy that we dare not say it and take possession of Him.[3]

            Mengenal nama berarti mengetahui orang atau benda yang dimaksud dengan nama itu. Memahami/mengenal nama seseorang dalam arti tertentu, sama dengan memilikinya. Ada relasi yang terjalin secara psikologis dalam pengetahuan tentang sebuah nama. Karena nama seseorang berkaitan dengan relasi dan otoritas, maka sering kali nama seseorang digunakan sebagai bentuk legitimasi terhadap otoritas tertentu. Misalnya di dalam formula Baptisan, nama Bapa, Anak dan Roh Kudus menjadi materai yang mensahkan baptisan (Mat. 28:19). Atau dalam kaitannya dengan keselamatan, nama Yesus Kristus menjadi sentral karena hanya melalui nama-Nya, manusia diselematkan (Kis. 4:12) dan semua makhluk bertekuk lutut (Fil. 2:10). Dalam konteks ini, nama merujuk pada Pribadi yang menyandangnya sehingga meskipun dalam konteks masyarakat Yahudi abat pertama, banyak yang menyandang nama “Yesus,” namun hanya “nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu” (Kis.  3:6) yang memiliki kuasa dan otoritas Allah. Seperti yang akan dijabarkan penulis, nama Yesus mengindentifikasikan supremasi-Nya sebagai Allah yang telah datang menyapa umat manusia.

Supremasi Kristus Pada Prolog Injil Matius

            Supremasi Kristus selalu menjadi daya tarik pada semua kitab dalam Alkitab dengan berbagai gendrenya. Tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini penulis hendak mengkaji supremasi Kristus menggunakan narasi Matius khususnya pada bagia pendahuluannya. Berbandig terbalik dengan pendekatan umum para teolog yang menggunakan narasi Injil Yohanes atau pun surat-surat Paulus yang sangat powerfull menyangkut kristologi tinggi. Meski demikian, Injil Matius juga mengemukakan gagasan kristologi tinggi yang unik dengan pesan yang mendalam, kuat dan menyeluruh menyangkut supremasi Kristus sehingga pantas untuk diberi perhatian khusus. Jika Yohanes dan Paulus menyajikan gagasan supremasi Kristus dengan pendekatan teologi-filosofis yang tinggi, Matius justru cenderung membumi dengan gaya bahasa sederhana dengan penekanan yang kuat pada penggenapan nubuatan PL dan implikasinya pada realitas kuasa dan kedaulatan Kristus. Matius menyajikan Pribadi Kristus yang sederhana sekaligus berdaulat dan berkuasa. Supremasi Kristus ditampilkan dalam perspektif paradox sehingga pembaca dapat menemukan kesederhanaan sekaligus kemuliaan-Nya dalam narasi Injil Matius seperti yang dikatakan Henry, “Perjanjian Lama diawali dengan kitab tentang garis penciptaan dunia, dan itulah kemuliaan kitab Perjanjian Lama. Namun kemuliaan di dalam kitab Perjanjian Baru jauh melampaui itu, karena diawali dengan kitab mengenai garis silsilah dari Dia yang menciptakan dunia!”[4]  

            Silsilah yang dicantumkan oleh para penulis Injil memiliki pesan khusus. Dalam perspektif pembaca modern, daftar nama keturuan kuno ini seringkali dilewati. Akan tetapi “daftar nama” itu merupakan bagian penting dari laporan Injil. Silsilah itu menunjukkan bahwa Yesus adalah bagian dari sejarah; bahwa seluruh sejarah Yahudi merupakan persiapan bagi kelahiran-Nya.[5] Seperti gendre sastra sejarah pada umumnya di abat pertama, Matius memulai Injilnya dengan penekanan yang kuat pada silsilah keturunan Kristus sebagai pembuktian akan otentisitas dan supremasi-Nya sebagai Mesias. Penekanan pada silsilah Kristus ini hendak mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan mengenai otoritas Kristus sebagai Mesias di kemudian hari.[6] Bukan hanya itu Injil ini memiliki keunikan tersendiri karena,

Matthew opens his Gospel by showing both Jesus' historic inseparability from the history of Israel and his inseparability from the Gentile mission already implicit in that history. He does this by listing Jesus' ancestors who evoke Israel's rich Old Testament heritage and by listing four Gentiles in Jesus' ancestry who came to participate in that heritage.[7]

            Matius memulai Injilnya dengan menghubungkan silsilah Kristus pada sejarah Israel, kedatangan Mesias dari keturunan Abraham dan Daud sebagai dua tokoh sentral PL yang menerima janji yang berkaitan dengan Sang Mesias. Di abat pertama, Abraham dan Daud merupakan wali utama atas janji-janji Allah bagi umat Israel. Janji tentang berkat diberikan kepada Abraham dan keturunannya sementara mengenai kekuasaan diberikan kepada Daud dan keturunannya.[8] Kristus merupakan Sang Keturunan yang menggenapi kedua janji berkat serta pemerintahan Allah tersebut. R.T. France kembali menegaskan hal ini bahkan dengan penekanan yang lebih seksama pada tokoh Yesus Kristus sebagai tokoh sejarah, sekaligus menekankan penggenapan nubuatan mengenai Mesias sebagai pembebas bagi Umat Israel,

The prominent repetition of the title “Messiah” (or, in many English versions, “Christ”) in 1:1, 16, 17, 18; 2:4, together with the other related titles which recur in these opening paragraphs of the gospel (“Son of David,” 1:1, 20; “King of the Jews,” 2:2), make it clear that Matthew is aiming to present an account not just of a historical figure (Jesus of Nazareth) but of the long-awaited deliverer of God’s people Israel.[9]

            Hal ini memperlihatkan bahwa supremasi Kristus benar-benar ditonjolkan dalam narasi pembuka Injil Matius. Meski demikian, Matius juga melibatkan empat tokoh wanita non Yahudi sebagai konfirmasi karya-Nya yang universal sekaligus terkesan “buram” karena status dari keempat wanita ini yang dua diantaranya orang asing, dan dua lagi sebagai pezinah. Matius tanpa ragu memasukkan nama-nama mereka secara eksplisit untuk menunjukkan kuatnya pesan Injil Kristus bahwa, “Ia menanggung keadaan dalam daging yang dikuasai dosa (Rm. 8:3), dan bahkan membawa orang-orang yang paling berdosa ke dalam hubungan yang paling dekat dengan-Nya ketika mereka bertobat.”[10] Matius merombak pemahaman Yudaisme yang cenderung eksklusif dan merendahkan wanita, sekaligus menekankan kasih Allah yang radikal bagi mereka yang terpinggirkan dengan dosa-dosa yang paling hina di dalam pelayanan Kristus sejak semula. Pesan sentral lainnya dijelaskan dengan sangat baik oleh Schreiner bahwa Matius hendak menunjukkan bahwa, “Yesus menggenapi apa yang dinantikan dalam PL: berkat bagi semua bangsa”[11] sebagaimana yang diserukan pada akhir Injil Matius untuk menjadikan semua Bangsa murid-Nya (Mat. 28:19).

            Matius kemudian menutup prolog bagian pertamanya dengan rangkuman mengenai tiga kelompok generasi yang masing-masing terdiri dari 14 nama. Rangkuman ini bukan tanpa tujuan, Matius memberi pesan implisit pada penekanan angka 14 yang berhubungan dengan jumlah seluruh huruf Ibrani dalam nama “Daud”: daleth = 4; waw = 6; daleth = 4[12] untuk mempermudah pembacanya mengingat daftar-daftar keturunan itu,[13] sekaligus menekankan kesempurnaan silsilah saat penggenapan Kristus sebagai keturunan Daud sebagai Sang Raja yang akan datang. Penekanan penting lainnya juga terdapat dalam ayat 16, dimana Matius menekankan asal-usul keilahian Kristus, “Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.” Kristus dilahirkan dari Ibu Insani tanpa melibatkan Ayah insani.[14] Penekanan mengenai keilahian Kristus semakin ekplisit ketika dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya mengenai kelahiran Tuhan Yesus. Sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Dale C. Allison,

The story opens with Mary betrothed to Joseph; they do not yet live together as man and wife. But Mary is with child ‘of the Holy Spirit’. One might think of a new creation (cf. MT 1:1), for creation was the work of the Spirit (Gen 1:2), or perhaps of the traditional link between the Spirit and messianic times (e.g. Isa 44:3–4). But the main point is that Jesus has his origin in God, in fulfilment of a prophecy, Isa 7:14.[15]

            Kuatnya narasi Matius mengenai supremasi Kristus ini mendorong Spurgon memuji Injil Matius dan dengan penuh hormat mengatakan,

This verse gives us a clue to the special drift of Matthew's gospel. He was moved of the Holy Spirit to write of our Lord Jesus Christ as King—" the son of David." He is to be spoken of as specially reigning over the true seed of Abraham; hence he is called " the son of Abraham." Lord Jesus, make us each one to call thee, "My God and King!" As we read this wonderful Gospel OF THE Kingdom, may we be full of loyal obedience, and pay thee humble homage! Thou art both a King and a king's Son”[16]

Spurgeon memandang Injil Matius sebagai Injil Kerajaan yang menekankan supremasi Kristus sebagai Sang Mesias yang dijanjikan dan yang telah datang bagi kita. Seruan kebenaran yang menggema pada momen Natal yang mendorong kita untuk dengan rasa hormat dan sukacita menghampiri dan berseru kepada-Nya, "My God and my King!"

Supremasi Kristus: Pra Inkarnasi—Sejarah yang Bukan Kaleng-Kaleng

            Pergumulan Yusuf dan Maria di masa-masa transisi pra inkarnasi Kristus menjadi momen yang krusial dalam sejarah penebusan. Di masa ini Yusuf dan Maria berada dalam fase bertunangan (fase kedua dalam tradisi Yahudi sebelum perkawinan. Fase pertama, perjanjian/saling berjanji, kedua pertunagan, ketiga perkawinan).[17] Pergumulan itu bukan hanya menyangkut besarnya resiko yang mereka tanggung, namun juga secara eksplisit mengungkapkan keyakinan mereka terhadap kebenaran penggenapan nubuatan mengenai Sang Mesias. Keterandalan pesan Allah mengenai janji kedatangan Sang Mesias melalui keturunan mereka, sekaligus memberikan konfirmasi bagi para pembaca modern bahwa kisah tersebut bukan sebuah kisah kaleng-kaleng namun berakar kuat pada  narasi historis.

            Pesan penting dari landasan historis ini berangkat dari peneguhan mengenai berita sukacita yang dikonfirmasi secara langsung oleh malaikat Tuhan, baik kepada Yusuf (Mat. 1:10-24) maupun kepada Maria (Luk. 1:26-38). Konfirmasi dua arah ini menjadi penegasan penting bahwa wahyu yang disampaikan teruji oleh si pembawa (malaikat Tuhan) dan dua penerima (Yusuf dan Maria) sebagai konfirmasi akan Sang Anak yang akan dikandung Ibu Maria kelak. Otoritas kebenaran pesan Allah diteguhkan oleh tiga pihak yang bertindak sebagai saksi sekaligus: Allah (yang diwakili oleh malaikat-Nya), Yusuf dan juga Maria. Peneguhan ini juga dikonfirmasi kembali dengan nubuatan nabi Yesaya pada tujuh ratus tahun sebelumnya (Yes. 7:14; 9:6. Bdk. dgn. 2 Sam. 7:12-13) sehingga kelahiran Kristus merupakan penggenapan sejarah penebusan yang luar biasa. Penekanan pada unsur justifikasi kesaksian PL, “kesaksian dua orang adalah sah” (Yoh. 8:17; 2 Kor. 13:1) terlihat disini untuk menegaskan kebenaran momen inkarnasi Kristus. Momen inkarnasi itu benar-benar direalisasikan dalam ruang dan waktu sejarah dan terbukti secara sah dan meyakinakan.

            Kekuatan narasi dan pembuktian yang dikemukakan oleh Injil Matius memberikan penegasan akan supremasi berita yang Matius sampaikan. Kebenarannya teruji karena dikonfirmasikan langsung dari empat saksi, Allah/malaikat Tuhan, nubuatan pada Nabi, Yusuf dan Maria. Pesan ini kemudian menjadi semakin jelas saat pelayanan dan misi Sang Mesias mulai dijalankan. Serangkaian tanda dan mukjizat kemudian mengkonfirmasi penegasan awal berita dari Injil Matius sehingga sangat powerfull. Penekanan narasi ini juga membedakan Injil Matius dengan narasi-narasi pagan pada zaman itu yang tidak memiliki dasar historis dan tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, termasuk tuduhan kelahiran dari anak dara yang diadopsi dari paganisme Yunani-Romawi. Mengenai hal ini Evan menegaskan, however, that early Jewish Christians, including the evangelist Matthew, would present Jesus in pagan garb. Jewish teachers were highly critical of pagan morals and myths. The idea of gods and goddesses having sexual relations with mortals was repugnant. [18] Suatu kejijikan jika Matius mengadopsi gagasan pagan untuk mengenakannya pada Kristus. Penegasan berita Matius berangkat dari kedaulatan serta kuasa Roh Kudus, The Jews specially connected the Spirit of God with the work ofcreation… The Spirit is the Creator of the World and the Giver of Life. So, then, in Jesus there came into the world God’s life-giving and creating power,[19] dan penggenapan nubuatan PL yang merupakan presuposisi Matius sehingga tidak ada celah bagi kemungkinan tersebut.

            Kemudian dalam proses rekonstruksi pesan, sebagai sejawawan Matius dengan jeli menggunakan sumber-sumber primer dari Sang Guru untuk merekonstruksi karya Kristus secara topikal, As noted above, ancient biographers often arranged their material topically; a good disciple could also arrange his teacher's sayings for relevance to the issues that he felt compelled to address,[20] termasuk dalam hal kelahiran Kristus. Kekuatan narasi historis Matius memberikan landasan yang sangat kuat bagi keyakinan historis dan teologis akan inkarnasi Kristus. Dalam konteks ini, peristiwa Natal benar-benar menghantarkan kita pada perjumpaan dengan Sang Juruselamat dalam ruang dan waktu sejarah. Sang Juruselamat yang dinamakan Yesus dan juga Imanuel.

Supremasi Kristus: “engkau akan menamakan Dia Yesus

            Sama seperti nama-nama dalam komunitas Yahudi pada umumnya, nama Yesus tidaklah begitu spesial pada abat pertama. Nama ini digunakan secara umum pada komunitas Yahudi[21] sehingga penyebutan nama Yesus perlu ditambahi keterangan seperti “Yesus Barabas” atau “Yesus yang disebut Kristus” (Mat. 27:17) agar menjadi jelas pribadi mana yang sementara dirujuk.  Meski demikian, ketika nama tersebut disandang oleh “Yesus yang disebut Kristus” atau “Yesus orang Nazaret” maka nama tersebut kemudian sangat berbeda karena memiliki kuasa dan otoritas yang melekat pada Pribadi penyandangnya. Popularitas penggunaan nama “Yesus” mungkin disebabkan karena terdapat hubungannya dengan salah satu nama pemimpin besar Israel, Yosua bin Nun. Akan tetapi di abat selanjutnya, baik orang Yahudi dan orang Kristen berhenti menggunakan "Yesus" sebagai nama untuk anak laki-laki mereka. Orang-orang Yahudi melakukannya karena berhubungan erat dengan Kekristenan yang sangat mereka benci. Sementara orang-orang Kristen menolak menggunakan nama “Yesus” untuk alasan yang berlawanan; karena nama itu terlalu istimewa dan dihormati.[22]

            Dalam penyebutan nama-Nya, kemungkinan besar ketika Maria dan Yusuf berbicara dengan putra mereka, mereka menggunakan bahasa asli mereka bahasa dan memanggil-Nya "Yeshua" atau "Joshua." Jika mereka menggunakan bahasa perdagangan Yunani, maka mereka memanggil Dia “Yesus,” karena seperti yang kita catat sebelumnya, “Yesus” adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani “Josua.” Nama ”Yosua” adalah singkatan dari ”Jehoshua”, yang berarti ”Yahweh Juruselamat.” Sebenarnya, nama asli Joshua adalah “Hoshea,” berarti "keselamatan," dan diubah menjadi "Jehoshua" atau "Joshua" oleh Musa, mungkin ketika dia mengirimnya untuk memata-matai tanah di Kadesh-barnea (Bil. 13:16). Nama “Yesus/Joshua” diambil dari kata kerja Ibrani yasha yang berarti “diselamatkan.” Penggunaan pertama kali kata kerja ini dalam Kitab Suci merujuk pada benih doktrin keselamatan (Kel. 14:30). Keselamatan Israel di sana didefinisikan dalam hal penghancuran tentara Mesir di Laut Merah yang kemudian menjadi tipologi dari puncak keselamatan manusia dari dosa yang disediakan oleh Yesus di kayu salib,[23] By naming him Ἰησοῦς, Joseph will be making a statement about Jesus’s redemptive mission: “He will save his people from their sins.”[24] Seperti arti nama-Nya, misi dan karya Kristus mengungkapkan identitas-Nya sebagai Allah yang telah datang dan menyelamatkan umat-Nya dari dosa, In Matthew, sin (ἁμαρτία, hamartia) is confessed by those whom John baptizes and is forgiven by Jesus (3:6; 9:2, 5, 6; 12:31; 26:28). Forgiveness is accomplished by Jesus’s gift of himself as a ransom for sinners in sacrificial death, as exemplified in the elements of the Last Supper (20:28; 26:26–30).”[25]

            Secara etimologis nama Yesus memiliki kaitan erat dengan nama Yosua. Hal ini bukan hanya mengenai persoalan kesamaan nama dan artinya, namun terdapat pesan teologis yang sangat dalam yang juga merujuk pada pola pelayanan kedua tokoh tersebut.  Thomas Hopko memberikan penjelasan mengenai hal ini dengan sangat baik,

This Old Testament account finds fulfillment in the New Testament. As Joshua son of Nun entered with the people of Israel into the Jordan River and placed twelve stones in the water to signify the twelve tribes, so too Jesus son of Mary is baptized in the Jordan and takes on twelve apostles to signify the twelve tribes of the new Israel of God—the Church. Joshua searched out the land with the help of the prostitute Rahab, whose life was saved as a result by the sign of a scarlet cord tied in her window (Josh. 2:18), which some of the Holy Fathers read as an allegory of sinful humanity saved by the blood of Christ. Joshua conquered Jericho and the sun stood still (Josh. 10:13), which the Orthodox conquered Jericho and the sun stood still (Josh. 10:13), which the Orthodox liturgical tradition contrasts with the earth standing still at the birth of Christ. In short, the name and life of Joshua is evoked and fulfilled in the name and life of Jesus of Nazareth, who is God’s own salvation—not just for Israel, but for the entire human race. God gives Mary’s child the name of Jesus, therefore, to teach us to contemplate Him first and foremost in the light of the foundational Old Testament narratives of Moses, Joshua, the crossing of the Jordan, and the entrance into the Promised Land. The Joshua of old was a prefiguration, a “type” (typos) of Him who was to come, the One who was the real embodiment of God’s salvation. Moses and the Law could not save us. Moses himself, great as he was—the man who spoke to God face-to-face, stood at the mercy seat, received the commandments, led the people—did not cross the Jordan. He did not enter the Promised Land, the land of the living. He died and was buried in Goshen. This point is literally flaunted in the Old Testament to remind us that nobody can keep the Law, not even Moses and Aaron. If they could have kept God’s commandments, the Scriptures state clearly that they would never have died. However, neither Moses nor Aaron could be perfectly obedient, and so they fell before God and died. Only Jesus of Nazareth, the new Joshua, cannot die, because he keeps the Law perfectly and totally. Therefore, He enters into the real Promised Land, the real land of the living, which is the Kingdom of heaven, the Kingdom that will fill heaven and earth when Jesus comes in glory and every knee on earth will bow before Him and glorify His Name.[26]

            Hopko dengan penuh kekaguman melihat kesejajaran tipologis dari pelayanan Yosua dan Musa dengan Kristus. Puzzle yang samar-samar dalam pelayanan Yosua dan Musa dalam momentum penyelamatan Allah bagi Umat Israel di PL, menjadi jelas saat penggenapannya di dalam Pribadi dan Karya Yesus Kristus di PB. Allah bukan hanya membuka mata kita melalui perjalanan panjang sejarah penyelamatan umat Israel di PL, tetapi Ia juga memecahkan kebuntuan dan ketulian dunia modern ketika nama Yesus diserukan!—Nama yang menghubungkan kita dengan janji yang Ia nyatakan di dalam PL dan yang dimanifestasikan pada pelayanan Yosua dan Musa. Seperti Yosua yang telah membawa umat Israel PL untuk masuk ke tanah perjanjian sebagai tipologi Kristus, maka demikian pula Yesus Kristus telah membawa umat-Nya untuk memasuki “tanah perjanjian Sorgawi.” (Yoh. 14:1-6; Ibr. 9:28). Di dalam nama Yesus, keselamatan Allah dinyatakan (Kis. 4:12). Kemuliaan, kasih dan anugerah-Nya yang besar dipertontonkan bagi dunia dalam momentum Natal dan Paskah! Sebagaimana yang juga dengan penuh rasa kagum dikemukakan Spangler,

Jesus is the personal name of the One we call Redeemer, Lord, and Christ. His name is intimately linked to the God of the Hebrew Scriptures because the name Yeshua means “Yahweh is salvation.” Indeed, Jesus is Yahweh come to earth. If you have ever pictured God as a distant, wrathful Being, you will have to reconsider that portrait in light of Jesus Christ, who is God bending toward us, God becoming one of us, God reaching out in mercy, God humbling himself, God nailed to a cross, God rising up from the grave to show us the way home. Jesus, name above all names, beautiful Savior, glorious Lord![27]

            Nama Yesus dalam relasi iman Kristen bukan sekedar nama biasa. Nama itu begitu mulia sehingga dalam segala keadaan, kita menyerukan nama-Nya. Dalam doa-doa kita meminta di dalam nama-Nya (Yoh. 16:23), dalam puji-pujian dan ucapan syukur juga di dalam nama-Nya (Ef. 5:20), dalam pergumulan hidup yang berat, kita memohon pada-Nya (Mat. 8:23), dan bahkan diakhir hidup kita, kita berseru seperti Stefanus “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku!” (Kis. 7:59). Yesus adalah segalanya-galanya bagi kita. Ia adalah Imanuel—Allah yang menyertai umat-Nya sepanjang zaman (Mat. 1:23; 28:20). Nama yang terlampau mulia ini telah menggerakkan Rasul Paulus sehingga dengan penuh keyakinan ia menyerukan, Yesus! “nama di atas segala nama…dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Fil.2:9-11).

Penutup

            Ketika berita sukacita Natal itu sampai kepada Maria dan Yusuf, identitas Sang Juruselamat telah dipersiapkan dalam nama Yesus. Dalam nama itu, Pribadi dan karya-Nya sekaligus dinyatakan. Penekanan pada dua natur Kristus begitu eksplisit, demikian halnya dengan keilahian-Nya. Prolog Injil Matius mengemukakan perspektif Kristologi tinggi yang sangat kuat. Pesannya begitu eksplisit sehingga dalam konteks Yudaisme abat pertama mampu meletakkan dasar Kristologi yang tak tergoncangkan. Tak lupa, karya Allah Tritunggal juga secara eksplisit dikemukakan, mulai dari kelahiran, pembaptisan Kristus hingga diakhir pelayanan-Nya yang dirangkum dalam forma baptisan amanat agung, “dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.”

            Supremasi Sang Penebus yang dinyatakan dalam nama Yesus Kristus kiranya menjadi refleksi penting bagi kita menjelang Natal tahun ini. Yesus Kristus adalah Allah yang  bukan hanya telah datang dan menyelamatkan, namun juga Allah yang menyertai kita. Tanpa anugerah keselamatan dari-Nya, kita semua binasa, namun tanpa penyertaan yang sempurna dari-Nya, kita pun akan kembali terhilang. Sehingga Yesus Kristus haruslah Allah yang menyelamatkan dan Allah yang menyertai kita sepanjang perjuangan hidup di dalam dunia. Inilah kebenaran Allah yang dinyatakan di dalam Kristus, dan secara khusus di dalam Injil Matius. Soli Deo Gloria!

Selamat Natal 25 Desember 2021 dan tahun baru 2022, damai dan sukcatia dari Sang Penebus kiranya menyertai kita. Amin!

 

Daftar Pustaka

Barcley, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, pen., S. Wismoady Wihono (Jakarta: BPK      Gunung Mulia, 2015.

Barclay,  William, The Gospel Of Matthew Volume 1: Chapters 1 To 10. Philadelphia,The             Westminster Press, 1975.

Barker, Chris dan Emma A. Jane, Kajian Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021.

Evans, Craig A., Matthew. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

France,  R.T., The Gospel of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 2007.

Henry, Mathew, Tafsiran Mathew Henry: Injil Matius 1-14. Diterjemahkan oleh Lanny      Murtihardijana, dkk.             Surabaya: Momentum, 2014.

Hopko, Thomas, The Names of Jesus: Discovering the Person of Jesus Christ through Scripture.   Chesterton: Ancient Faith Publishing, 2010.

Keener, Craig S., A Commentary On The Gospel Of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans    Publishing, 1999.

Muddiman, John and John Barton (ed.), The Oxford Bible Commentary: The Gospels. Great         Clarendon Street: Oxford University Press, 2001.

Schreiner, Thomas R., New Testament Theology: Memuliakan Allah dalam Kristus.            Diterjemahkan olej Jhony The. Yogyakarta: Andi, 2015.

Spangler, Ann, Immanuel: Praying The Names Of God Through The Christmas Season. Grand     Rapids: Zondervan, 2009.

Spurgeon, C. H., The Gospel Of The Kingdom: A Popular Exposition Of The Gospel According    To Matthew. New York: The Baker & Taylor, 1893.

Towns, Elmer L., The Names of Jesus: Over 700 Names of Jesus to Help You Really Know the      Lord You Love. Lexington: Accent Publishing, 2000.

Turner, David L., Matthew. Grand Rapids: Baker Academic, 2008.

Wiersbe, Warren W., Seri Tafsir Matius. Loyal Di Dalam Kristus: Mengikuti Raja Segala Raja.     Diterjemahkan oleh Deddy Jakobus. Bandung: Kalam Hidup, 2012.

Zuck, Roy B., dan Darell L. Bock (ed.), A Biblical Theology Of The New Testament.         Ditejemahkan oleh Paulus Adiwijaya. Malang: Gandum Mas, 2011.

 



                [1]Dalam wacana filosofis khususnya pada mazhab post-strukturalisme, penamaan demikian dipandang sebagai bentuk kekerasan dan usaha menguasai suatu objek tertentu (will to power dalam terminologi Nietzche)  karena penamaan itu menempatkan benda/pribadi sebagai objek dan si pemberi nama sebagai subjek yang terkesan superior sebagaimana kritik Nietzsche dan Foucault (Lih. Chris Barker dan Emma A. Jane, Kajian Budaya [Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021], 35). Meski demikian, asumsi ini merupakan usaha bunuh diri filosofis karena bagaimana pun, kedua filsuf tersebut juga terjebak dalam “lingkaran penamaan” ini dengan cara mengunakan nama-nama dari objek tertentu yang sudah dari sononya memang demikian (Saussure dan Derrida mengakui hal ini). Manusia secara alamiah dan intuisi logisnya dirancang Allah dan diberi mandat untuk melestarikan alam, ditata dan dipelihara (mandat budaya). Hal ini dimulai dengan penamaan objek seperti yang Adam lakukan. Oleh karena itu penamaan terhadap suatu objek dalam konteks Alkitab bukan untuk tujuan menguasai namun sebagai unsur pembeda dalam usaha untuk menciptakan relasi komunikasi sosial yang teratur dan terpelihara baik dalam hubungannya dengan Allah, dirinya, sesama dan alam semesta.

                [2]Thomas Hopko, The Names of Jesus: Discovering the Person of Jesus Christ through Scripture (Chesterton: Ancient Faith Publishing, 2010 ), 2.

                [3]Ibid.

                [4]Mathew Henry, Tafsiran Mathew Henry: Injil Matius 1-14, pen., Lanny Murtihardijana, dkk (Surabaya: Momentum, 2014), 2.

                [5]Warren W. Wiersbe, Seri Tafsir Matius. Loyal Di Dalam Kristus: Mengikuti Raja Segala Raja, pen., Deddy Jakobus (Bandung: Kalam Hidup, 2012), 21.

                [6]Ibid., 19.

                [7]Craig S. Keener, A Commentary On The Gospel Of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 1999), 88.

                [8]Mathew Henry, Tafsiran Mathew Henry, 2.

                [9]R.T. France,  The Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 2007), 94.

                [10]Ibid., 5.

                [11]Thomas R. Schreiner, New Testament Theology: Memuliakan Allah dalam Kristus, pen., Jhony The (Yogyakarta: Andi, 2015), 111.

                [12]Roy B. Zuck dan Darell L. Bock (ed.), A Biblical Theology Of The New Testament, pen., Paulus Adiwijaya (Malang: Gandum Mas, 2011), 25. Penulisan demikian merupakan gaya sastra yang lazim pada masa itu yang disebut sebagai gematria (kata serapan dari bahasa Yunani).

                [13]Warren W. Wiersbe, Seri Tafsir Matius, 20.

                [14]Ibid., 21.

                [15]John Muddiman and John Barton (ed.), The Oxford Bible Commentary: The Gospels (Great Clarendon Street: Oxford University Press , 2001), 33.

                [16]C. H. Spurgeon, The Gospel Of The Kingdom: A Popular Exposition Of The Gospel According To Matthew (New York: The Baker & Taylor, 1893), 1.

                [17]William Barcley, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, pen., S. Wismoady Wihono (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 28.

                [18]Craig A. Evans, Matthew (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 41.

                [19]William Barclay,  The Gospel Of Matthew Volume 1: Chapters 1 To 10 (Philadelphia,The Westminster Press, 1975), 22.

                [20]Craig S. Keener, A Commentary On The Gospel Of Matthew, 20.

                [21]David L. Turner, Matthew (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 67.

                [22]Elmer L Towns , The Names of Jesus: Over 700 Names of Jesus to Help You Really Know the Lord You Love (Lexington: Accent Publishing, 2000 ), 2.

                [23]Ibid., 3.

                [24]David L. Turner, Matthew, 68.

                [25]Ibid., 67.

                [26]Thomas Hopko, The Names of Jesus, 2. Kutipan ini disertakan penulis dengan lengkap karena bobot penjelasannya sangat baik.

                [27]Ann Spangler, Immanuel: Praying The Names Of God Through The Christmas Season (Grand Rapids: Zondervan, 2009) ,38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar