Raksasa Iman Itu Telah Pergi
Catatan pribadi untuk
Mama tercinta yang dipanggil Tuhan pada minggu, 12 Desember 2021 pulul, 08.30
WIB.
Sepenggal Kisah Hidup
Semenjak tahun 70-an, keluarga kami telah merantau di
kota Ambon. Sebagai pendatang dari kampung, kehidupan di kota bukanlah kehidupan
yang mudah. Bapa yang hanya seorang buruh bangunan dan Mama sebagai “bidan” kampung
yang (entah bagaimana kisah awalnya) kerap kali dipanggil untuk membantu persalinan
warga sekitar. Kondisi yang pas-pasan tersebut membuat kehidupan keluarga kami
di Ambon harus dilalui dengan pergumulan, terutama jika Bapak sedang menganggur.
Lauk ikan momar (di Bandung nama ikan ini “kembung”) goreng dan sayur daun
singkong tumis/santan adalah menu spesial keluarga kami. Jika tidak ada maka
Sarimie adalah penggantinya. Namun jika keadaan ekonomi keluarga sementara berada
di “padang gurun” maka kami pun harus berpuasa terpaksa. Perjalanan hidup itu
memberikan rasa yang beragam untuk
memahami pekerjaan Tuhan yang kadang “ngeri-ngeri sedap” dalam hidup keluarga
kami.
Sudah dua puluh dua tahun saya meninggalkan kota Ambon,
dan sudah dua puluh satu tahun saya meninggalkan keluarga di Saumlaki (Maluku
Tenggara Barat. Pasca kerusuhan tahun 1999 kami pulang ke kampung). Seperti
pengalaman hidup umumnya, banyak hal yang dilalui tersebut telah membekas dan
membentuk kehidupan pribadi saya, baik ketika bergumul di perantauan maupun
dalam hal rohani. Dan hal-hal yang membentuk kerohanian saya tersebut semuanya
bersumber dari pengalaman hidup saya dengan Mama.
Iman yang Menular
“Mama Fita,” demikian sapaan dan panggilan akrab Mama. Terlahir
sebagai anak kedua dari empat bersaudara kandung, Mama merupakan sosok yang
sederhana, perhatian, akrab dan ramah senyum. Dalam kehidupan spiritualnya,
Mama seorang pendoa sejati. Kehidupannya adalah kehidupan yang diwarnai dengan
doa. Sebagai seorang Katolik yang taat, Mama hampir tidak pernah absen dalam
kegiatan gerejawi dan rohani pribadinya. Kegiatan lainnya seperti membersihkan
gereja hingga berziarah ke gua Maria, adalah kegiatan rutin yang menjadi agenda
tahunannya. Dari semua kegiatan itu terdapat satu teladannya yang paling
berkesan bagi saya—jam doa malam Mama. Mama memiliki waktu doa rutin setiap
malam. Hampir setiap saat jika saya terbangun ditengah malam, khususnya sekitar
jam 00.00 atau 01.00 WIT di hari, saya kerap melihat Mama dengan tekun berdoa.
Terkadang ia mendahuluinya dengan beberapa pujian, kemudian melanjutkannya
dengan doa-doa dengan serius. Hingga di masa tuanya, Mama memang tidak dapat
lagi pergi ke gereja karena kondisi fisiknya, namun ia tetap antusias untuk mengikuti
pelayanan gerejawi di rumah (tim pastoral—Suster, tiap minggu berkunjung ke
rumah untuk memberikan sakramen kepada Mama. Saya sangat berterima kasih bagi
pelayanan tersebut) dengan baik sampai di akhir hidupnya.
Pengalaman-pengalaman spiritual Mama ini begitu membekas
dalam dari saya sehingga menjadi inspirasi yang terus memotivasi kehidupan
pribadi, khusunya dalam merespons panggilan dalam pelayanan gerejawi. Imannya
yang didemonstrasikan melalui tindakan telah mengisi kehidupan pribadi saya. Buah
memang jatuh tidak jauh dari pohonnya, namun saya mengucap syukur kepada Tuhan
bahwa Mama telah menanam sebuah pohon iman yang kokoh sehingga “Ia seperti
pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buah pada musimnya,
dan yang tidak dapat layu daunnya” (Mzm. 1:3). Kekuatan iman yang ditularkan
tersebut terus berbuah dan berdampak dalam kehidupan saya. Dalam kesenyapan, Tuhan
telah menempatkan seorang Raksasa Iman dalam kesederhanaan hidup Mama di pada
keluarga kami. Terpujilah Tuhan.
Mengakhiri Pertandingan Iman
“Lole…lole… lolee yoo… maku lole ko… Lole…lole… lolee yoo…
maku lole ko…” demikian penggalan syair lagu daerah kami (Kep. Tanimbar—Maluku Tenggara
Barat) yang kerap dinyakian Mama saat menidurkan saya sewaktu kecil. Syair lagu
yang bertemakan suasana Natal ketika Ibu Maria menidurkan bayi Yesus dalam
bahsa daerah ini seketika menjadi lagu yang berkesan mendalam bagi saya. Setiap
kali berjumpa dengan Mama di kampung, saya selalu menyanyikan lagu tersebut
bersama-sama dengan Mama. Demikian halnya ketika saya sementara sendirian dan
mengingat Mama, lagu tersebut menjadi pengobat rindu saya kepada sosok
sederhana Mama. Hari ini (senin, 13 Desember 2021, pagi) saya pun mendengarkan
dan menyanyikan lagu ini, bedanya saya mendengarkan dan menyanyikan lagu ini
sambil melihat foto Mama yang telah didandani dan sementara menuju ke
pemakaman.
Minggu pagi, ketika tiba di parkiran gereja, gawai saya
tiba-tiba berdering. Saya menerima panggilan dari Kakak saya untuk
memberitahukan kondisi Mama yang kritis. Setelah bebicara beberapa saat, kami
pun berdoa dan menyerahkan semua ke dalam kedaulatan kehendak Tuhan. Mama pun
dipanggil pulang pada minggu pagi kemarin (08.30 WIB). Raksasa iman itu telah
mengakhiri pertandingannya di dunia. Mama tidak meninggalkan warisan harta
materi, namun ia meninggalkan harta rohani—teladan iman yang menular dan memampukan
saya berjuang serta bertahan dalam panggilan Tuhan di setiap keadaan. Tongkat
estafet imannya sudah kami terima dan siap untuk melanjutkannya. Inilah hal
yang paling saya syukuri. Meski demikian, sebagai pelayan Tuhan sekaligus
seorang anak yang ditinggalkan, saya tidak dapat menyembunyikan kesedihan ini,
namun dalam kesedihan itu saya pun bersukacita karena Mama telah “mengakhiri pertandingan yang baik… mencapai
garis akhir dan … memelihara iman.” (2 Tim. 4:7). Maka seperti seruan Ayub, ”TUHAN
yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” saya pun berusaha
tegar untuk menerima kehendak Tuhan.
Selamat jalan Mama,
selamat jalan Raksasa imanku!
Peluk dan cium dari anakmu,
Yosep Belay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar