Senin, 20 Juli 2020

KERANGKA POSTMODERNISME DALAM BALUTAN DEKONSTRUKSI DERRIDA


KERANGKA POSTMODERNISME DALAM BALUTAN DEKONSTRUKSI DERRIDA
(Alur Pemikiran, Kritik, dan Penerapan Metodologi Dekonstruksi)

Oleh: Yosep Belay




Pendahuluan

            Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tokoh penggerak postmodernisme yang paling berpengaruh sekaligus paling rumit pemikirannya adalah Jaques Derrida. Mereka yang mempelajari pemikiran Derrida pasti akan sampai pada satu kesimpulan bahwa pemikirannya begitu rumit oleh karena dekonstruksi itu sendiri bertujuan untuk mendekonstruksi definisi tunggal semua sistem makna yang mengurainya menjadi fragmentalis.

            Pokok pemikiran dekonstrusksi bertolak dari kritik fundamental terhadap cara berpikir manusia modern yang menurut Derrida berakar pada kekakuan tradisi pemikiran filsafat Barat kuno yang tidak memberikan ruang bagi alternatif kebenaran lain. Cita-cita ini menjadi semacam pilihan lain yang disajikan Derrida bagi masyarakat postmodern sebagai dampak buntunya terobosan oleh karena penjara dogmatis (baik agama, filsafat, sains, kebudayaan maupun social politik).

            Derrida mendekonstruksi semua sistem nilai dan makna yang sudah dibangun ribuan tahun oleh agama dan filsafat untuk berusaha menempatkan keragaman sebagai realitas ultimat manusia yang  fundamental. Penekanan utamanya pada pesan alteritas (“yang lain”) inilah dikemudian hari Derrida didaulat sebagai salah satu tokoh postmodernisme yang berpengaruh. Ringkasan ide pemikiran Derrida tersebut dapat ditelusui dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Nietzsche, Wittgenstein, Heidegger dan Levinas, yang menjadi inpirasi teori dekonstruksinya.

Profile Singkat Jacques Derrida

            Jacques Derrida merupakan warga Aljazair berdarah Yahudi-Spanyol. Ia lahir di El-Biar, Aljazair pada tanggal 15 Juli 1930. Karena keaadaan perang dan rasisme dari rezim Nazi yang pengaruhnya juga berimbas di Aljazair maka Derrida kecil sempat mengalai diskriminasi dan berhenti sekolah. Semenjak kecil Derrida sudah berkenalan dengan tulisan-tulisan Rousseau, Gide dan Nietzsche. Pada tahun 1949, dia pindah ke Paris dan mempersiapkan diri mengikuti ujian filsafat untuk masuk ke sekolah bergengsi École Normale Supérieure. Derrida gagal di ujian pertamanya ini, tapi dia kemudian lulus setelah mencoba untuk kedua kalinya pada tahun 1952.

            Di sekolah tersebut Derrida berkenalan dengan para pemikir terkemuka zaman itu seperti Louis Althuser, Michael Foucolt, Pierre Bourdieu, dll. Sebagian besar karya Derrida berupa komentar-komentar kritis terhadap para pemikiran filsuf lainnya. Bahkan komentar-komentranya tersebut lebih panjang dan justru menjadi sebuah wacana pemikiran filosofis baru dari tulisan yang dikomentarinya tersebut.

Postmodernisme

          Postmodernisme secara etimologi mengasumsikan tiga terminologi yaitu, “post”—pasca/melampaui, “modern”—modern/zaman modern, dan “isme”—paham/mazhab. Singkatnya dari segi kebudayaan postmodernisme dapat diartikan sebagai perubahan budaya mulai dari gaya hidup hingga paradigm berpikir sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.

            Kajian filsafat postmodernisme umumnya dipisahkan dalam dua bagian, post-modern dan post-strukuralis. Post-modern merujuk pada tema kebudayaan dan kritik terhadap harapan-harapan modernisme yang tidak lagi relevan. Sementara Post-strukturalis secara spesifik merujuk pada paradigma Derrida dalam mengembangkan Dekonstruksi perihal bahasa sebagai instrument bangunan filsafat Barat. Singatnya Post-modern merujuk pada kritik kebudayaan, cita-cita dan filsafatnya secara umum, sementara Post-struktutralis merujuk pada kritik Derrida terhadap bahasa yang menjadi pondasi filsafat yang mana kebudayaan modern dan sistem filsafat modern itu dibangun. Kedua hal ini saling berkaitan dan saling bergantung satu dengan yang lainnya.

            Sebelum masuk ke dalam wacana dekonstruksi, penulis memberikan gambaran singkat latar belakang perkembadangn historis pemikiran hermeneutika yang menjadi acuan dan kritik dekonstruksi Derrida.

Ringkas Sejarah Hermeneutika Modern

            Studi filsafat hermeneutic pertama kali dirintis oleh Schleieremacher (1768-1834) dan berkembang hingga Dilthey (1833-1911) juga Gadamer (1900-2002). Meskipun terdapat beberapa perbedaan kecil, fokus studi ketiga tokoh tersebut merupakan sudi hemerenutika normal yang bertujuan untuk menganalisa dan merekonstruksi maka asli teks.  

            Awal abat ke-20, Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengembangkan suatu metode linguistic yang dikenal dengan istilah “sistem tanda” namun dikemudain hari teorinya tersebut diperkenalkan dengan istilah baru yang lebih komprehensif yaitu “Strukturalisme”. Sebuah kajian filsafat bahasa dimana menurutnya, terdapat semacam “struktur” yang tidak teramati dalam konsep berpikir manusia yang olehnya struktur-struktur itu mengabstraksikan beragam penjelasan mengenai dunia fenomena melalui bahasa yang dimaknai. 

            Saussure mengkonsepsikan pandangannya dengan empat rumusan kunci; 1) langue—parole [abstrak dan materi], 2) sintakmatic—paradigmatic [relasional yang beroposisi] , 3) sinkronic—diakronic [mula-mula dan perkembangan] 4) signifie—significant [penanda dan pentanda].  Keempat rumusan ini merupakan struktur-struktur bahasa yang disajikan Saussure dengan pengandaian oposisional atau oposisi biner. Bahasa dalam perspektif strukturalisme adalah suatu sistem tanda yang mengeskpresikan idea manusia, sementara “tanda” merupakan hasil dari hubungan antara “petanda” (konsep—non meteri) dan “penanda” (kata/bunyi—materi). Dari hubungan opisisional tersebut, makna kemudian diperoleh. Penerapan sistem tanda yang tepat akan menghasilkan makna yang seragam (universal) meskipun di dalam keseragaman bahasa yang ada (bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, dll).

           Jika hermeneutika Schleiremacher berkutat pada prinsip dan metodologi untuk merekonstruksi dan mahami maksud mula-mula dari suatu teks, maka  de Saussure mundur ke belakang dengan pengandaian filosofis mengenai asal mula bahasa yang terkoneksi dengan dunia idea—bahasa adalah sistem tanda dari produk pikiran yang mengabstraksikan realitas. Fokus kajian Saussure lebih merujuk kepada sistem-sistem tanda dan bukan pada rekonstruksi makna teks.

            Di samping Saussure yang pengaruh besarnya pada filsafat bahasa di Perancis (Idealisme jerman), pergerakan yang berbeda justru datang dari kalangan filsuf Inggris. Terpengaruh oleh empirisisme, filsafat Inggris justru mengkritisi pandangan Saussure. Kalangan filsuf ini dikenal dengan sebutan filsafat analitik, atau atomisme logic. Dua tokoh utama yang menjadi penggerak filsafat ini yaitu Betrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Meskipun bebeda dalam bebera hal, namun kedua pemikir ini mencoba untuk membangun suatu prinsip logis yang menghubungkan realitas dengan bahasa secara mutlak sebagai usaha untuk mengakomodir suatu kebenaran mutlak yang mengokohkan kebenaran sains.

            Menurut Russell  bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuah yang benar pula mengenai dunia karena unsur paling kecil dari bahasa merupakan gambaran paling kecil dari dunia fakta.  Kata-kata seperti “Tuhan”, “roh”, “surga”, “neraka”, adalah istilah-istilah bahasa yang absurd, tidak logis dan tidak ilmiah karena tidak dapat mempresentasikan realitas. Ciri ini yang pada akhirnya mengakomodir spritualitas agnotisme pada Russell dan model ateisme saintis modern di kemudian hari.

            Filsafat bahasa dan hermeneutika mencapai puncak sekaligus krisis (antithesis) di awal abat ke-21 yaitu kalangan postmodernis yang diwakili oleh dekonstruksi Derrida.

Mendefinisikan Dekonstruksi

            Istilah dekonstruksi berasal dari istilah dalam bahasa Peracis, deconstruire yang berarti membongkar mesin, dan kemudian memasangnya kembali. Dalam kajian konseptual, dekonstruksi hanya bertujuan untuk menghasilkan deskripsi, dialog, percakapan, atau wacana sebagai pemahaman/interpretasi subjektif semata. Istilah ini dipinjam Derrida dari Heidegger, yang mana dalam kritiknya menggunakan istilah destruction. Secara sederhana Dekonstruksi dapat digambarkan sebagai satu cara baru dalam membaca teks dengan menyingkitkan “inti teks” ke pinggir dan menempatkan gagasan yang ada di “pinggir” menuju kepada inti teks. Jadi membaca secara dekonstruksi berarti membaca dari “pinggiran teks” dan mengangkat hal-hal yang terpinggirkan itu ke permukaan inti teks. Jika dalam penerapan ilmu kritis, dekonstruksi saat ini digunakan sebagai strategi untuk menggucang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar dimana pemikiran kita ditegakkan.

            Dekonstruksi merupakan cara membaca ganda yang mengalir begitu saja tanpa dapat diulangi kembali. Hal ini yang menyebabkan Dekonstruksi itu sendiri tidak mudah didefinisikan bahkan oleh Derrida sendiri, namun ciri umumnya seperti yang telah disebutkan di atas. Dekonstruksi yang digagas Derrida seringkali juga disebut sebagai Hermeneutika Radikal oleh karena bentuk penafsirannya yang sama sekali berbeda dengan tidak bertujuan untuk merekonstruksi makna teks, namun sebaliknya membuka peluang bagi pemaknaan yang tak terhingga pada suatu teks dengan pertama-tama mengkritisi sistem berpikir, kategori-kategori kata yang digunkan dan term-term oposisional yang hanya menjadi suplemen (pelengkap).

Tesis-tesis Hermeneutika Radikal Derrida

            Dalam penerapan dekonstruksi terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi inti kritik Derrida sekaligus merupakan instrument untuk membongkar/mendekonstruksi semua bentuk metode, asumsi, fakta-fakta dan hal-hal tersembunyi/yang disembunyikan di dalam teks.

v  Logosentrisme

            Logosentrisme merupakan kritik Derrida atas historisitas filsafat barat, termasuk juga kekristenan, yang secara keseluruhan bergantung pada penerapan logos sebagai pondasi dan bangunan kebenaran. Hal ini terlihat dari segala macam bentuk monopoli keilmuan yang selalu berkaitan dengan logi-logi, Theo-logi, Sosio-logi, Antropo-logi, Psiko-logi, Etimo-logi, dll. Logi-logi ini telah menguasai dan memperbudak manusia. Setiap generasi selalu dipaksa mewariskan logi-logi tersebut turun temurun dan merasa puas. Padahal, logi-logi tersebut dikembangkan dan dilatar belakangi oleh sejumlah motif dan muatan penjajahan kebudayaan. Di sini Derrida dan kaum posmodernis meminjam kritik Nietzsche. Bagi kaum modernis, tidak ada sesuatu hal yang netral, termasuk sains karena semua dikendalikan oleh pengandalain filosofis dan maksud tertentu dibelakangnya. Maka logi-logi itu bagi Derrida hanyalah mitos Barat.

            Slogan Bacon, bapak perintis sains modern bahwa, “pengetahuan adalah kekuasaan” merupakan sebuah bentuk penjajahan dan kekerasan bagi dunia modern (Foucault). Modernisme adalah bentuk  lain dari westernisasi melalui logi-logi. Kaum postmodernis menentang hal ini dengan keras karena mencerminkan sebuah asumsi penjajahan dan pemaksaan universal. Missalnya kita diwajibkan untuk bersekolah sehingga kita pintar dan dapat mengembangkan alam serta isinya. Namun di saat yang sama, dari sisi sosio-kultural, masyarakt yang tadinya memiliki “warna” budaya tertentu kini berganti wajah dengan seperangkat masyarakat virtual dan tekno-robotic dibawah ekspansi budaya Barat. Alam pun tidak semakin baik oleh perkembangan sains dan teknologi. Dekonstruksi memperlihatkan bahwa hal itu justru merupakan sebuah perangkap logi-logi yang mengikat dan membelenggu kita dibawah kukungkungan dogmatis arus pemikiran barat, sementara kita tanpa sadar justru berbangga di dalamnya.

v  Fonosentrisme

            Sementara fonosentrisme merupakan kritik Derrida selanjutnya terhadap kecenderungan filsafat Barat yang penekanannya hanya pada sisi fon, bunyi atau tuturan dan mengabaikan tulisan (mis. Socrates tidak menulis, Yesus tidak menulis). Tradisi academic Barat dari zaman klasik selalu mempertahankan dan menonjolkan penuturan daripada tulisan. Padahal menurut Derrida tuturan memiliki kecenderungan yang dapat menyesatkan dan tidak stabil dalam pemaknaan (mis. Differance dan difference).

            Menurut Derrida bahasa bersumber pada teks atau “Tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan tidak hanya terdapat dalam pikiran manusia, tetapi konkret di atas halaman. Tulisan memenuhi dirinya sendiri karena Tulisan terlepas dari penulisnya begitu ia berada di ruang halaman. Ketika dibaca, Tulisan langsung terbuka untuk dapat ditafsirkan dan dipahami oleh pembacanya.

v  Anti Fondasionalisme/Presuposisionalisme

            Jika fondasionalisme meyakini bahwa ada semacam fondasi/keyakinan mendasar yang darinya suatu wawasan duni dibangun misalnya cogito pada Descartes, Idea pada Plato, Roh Absolut pada Hegel, dalam kekristenan fondasi Kristen pada Tuhan, yang mana melalui fondasi-fondasi itu sebuah kerangka wawasan dunia ditafsirkan, dibangun,  diyakini, diajarkan, dan diwariskan. Derrida mendekonstruksinya. Fondasionalisme tidak lain hanyalah merupakan ekspresi logi-logi yang terkonstruksi dan terkonsentrasi pada suatu “pusat” yang secara turun-temurun dalam tradisi filsafat Barat. Penerapan hal itu pada akhirnya secara tak terelakkan merupakan sebuah bentuk penjajahan dan totaliter terhadap “the others” (Alteritas—“yang terpinggirkan”). Pusat atau fondasi seolah-olah yang paling benar dan paling utama, yang pinggiran, tidaklah penting. Dekonstruksi melawan asumsi itu.

v  Metafisika Kehadiran

            Salah satu pondasi hermeneutic radikal Derrida adalah konsep metafiska kehadiran. Konsep ini diadopsi Derrida dari pemikiran Heidegger. Metafiska kehadiran merupakan kritik Heidegger (dan juga Derrida) terhadap metafiska Barat. Inti dari kritik konsep ini adalah bahwa keber-ada-an eksistensial historis tidak dapat diwakili atau dapat dimunculkan kembali dalam sistem tanda seperti yang diyakini kalangan srukturalis. Tanda atau konsep dan kata, tidak dapat menghadirkan eksistensi sesuatu yang telah berlalu secara utuh. Kata-kata itu hanya mampu menunjukan sebuah jejak (trace dalam bahasa Derrida) masa lalu, namun tidak dapat menghadirkan masa lalu secara eksistensial dan utuh ketika dibunyikan (mis. kisah penciptaan—agama, evolusi—sains, atau bahkan abstraksi objek penelitian sains modern). Sehingga argumentasi ini meruntuhkan kesinambungan historis yang dijembatani sains dan agama melalui pengandaian struturalis. Konsep ini mematikan kesinambungan historisitas dalam semua bentuk teks-teks maupun asumsi sains modern yang mengandaikan bahasa sebagai instrument untuk menghadirkan realitas apa adanya (metafisika kehadiran).

v  Opisisi Biner

            Oposisi biner merupakan kerangka berpikir oposisional yang tanpa sadar telah membentuk wawasan dunia manusia dimana hal ini lahir dari pengandaian pemaknaan strukturalis. Putih-hitam, Kurus-gemuk, Lurus-keriting, Kaya-miskin, kuat-lemah, Tuan-hamba, dll. Semakin beropoisisi, semakin bermakna. Putih akan terlihat begitu putih karena ada hitam. Hitam hanyalah suplemen untuk putih. Di sini suatu makna terjalin melalui konstruksi posisi biner.

            Bahkan dalam hal penafsiran pun, perihal oposisi dan totalitarian dari logosentrisme selalu ikut di dalamnya. Ketika seseorang menafsirkan dan bertindak sebagai “subjek” maka data sebagai “objek” penelitian pada akhirnya diposisikan sebagai oposisional suplemen. Objek lebih rendah dari subjek peneliti. Kerangka penelitian itu pun dikendalikan oleh logi-logi sehingga menghatanrkan pesan totalitarian. Bahkan ketika suatu “kebenaran” yang dihasilkan dari penelitian itu pun pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi dari sebuah “ketidak benaran” yang muncul. Hal ini pun oposisional.

            Bagi Derrida hal itu keliru. Relasi tersebut seharusnya tidak bersifat oposisional namun bersifat saling keterkaitan dan kesetaraan satu dengan lainnya. Di dalam kerangka dunia universal tidak ada “subjek-objek” yang ada hanyalah entitas-entitas yang setara dan tidak oposisional. Prinsip ini yang dikemudian hari digunakan dalam pandangan etis Derrida dan kaum dekonstruksionis lainnya.

v  Différance

            Kata difference adalah suatu terminologi yang sebenarnya tidak terdapat dalam kamus bahasa Prancis. Kata ini diciptakan sendiri oleh Derrida sebagai sebuah domain sekaligus seni untuk menyampaikan kritiknya. Differance berasal dari kata difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu: to differ: untuk membedakan, atau tidak sama sifat dasarnya; differe (Latin): untuk menyebarkan, mengedarkan; to defer: untuk menunda.

         Pada saat kata tersebut diucapkan, kata tersebut tidak terdengar beda, akan tetapi perbedaan penggunaan konsonan ‘a’ untuk mengganti huruf ‘e’ hanya akan terlihat pada saat kata tersebut ditulis dalam bentuk tulisan. Hal ini dilakukan Derrida untuk menunjukkan peleburan makna dari tiga pengertian dalam kata difference yang tidak dapat dilakukan oleh kajian strukturalisme dan fonosentrisme. Makna pada akhirnya tidak dapat ditemukan secara pasti, makna bersifat tertunda.

Puncak Hermeneutika Radikal Derrida: “There is nothing outside the text

            There is nothing outside the text” merupakan ungkapan yang paling terkenal dari Derrida. Pernyataan ini merupakan inti dari hermeneutika radikalnya. Tidak ada sesuatua di luar teks berarti segala sesuatu selalu dipikirkan dan diabstraksikan melalui teks. Dunia manusia adalah dunia tekstual. Semua bentuk abstraksi manusia terhadap realitas, baik yang dikonsepsi dalam pikiran, maupun yang diekspresikan melalui bahasa (tuturan, tulisan dan ekpresi tubuh/semiotika) semuanya dilakukan di dalam teks-teks. Bahkan “konteks” dalam pengertian kata maupun bunyi dan penjabarannya pun adalah sebuah teks.

            Dari pernyataan ini Derrida menyimpulkan bahwa makna tidak dapat ditemukan secara pasti oleh karena sistem tanda yang memuat antara petanda dan penanda sebagai instrumennya selalu dibayangi oleh tanda lainnya yang menjadi rujukan dari suatu penanda. Misalnya kita bertanya apa yang dimaksud dengan “rasio”? Maka sesuai kamus jawaban yang diperoleh adalah “pemikiran menurut akal sehat; akal budi; nalar”. Namun jawaban dari kamus tersebut seketika itu juga menghubungkan kita dengan petanda dan penanda baru yaitu term “pemikiran”, “menurut”, “akal sehat”, “akal budi”, dan “nalar”. Jadi ketika pertanyaan yang diberikan perihal suatu objek, dan jawaban yang diberikan menggunakan objek bahasa lainnya, maka yang ditemukan sesungguhnya bukan jawaban namun serangkaian teks-teks yang akan terus terhubung tanpa akhir. Petanda berubah menjadi penanda, dan penanda berubah menjadi petanda secara terus menerus. Inilah yang dimaksudkan Derrida dengan intertekstual. Kerumitan teks-teks untuk dapat menyampaikan makna suatu pesan. Dari penjabaran ini maka bagi Derrida, makna tidak dapat dijumpai dalam teks namun bersifat tertunda.

            Pada umumnya dalam dunia akadmis penelusuran makna suatu kata digunakan prinsip dalam studi etimologi. Namun bagi Derrida, etimologi dalam dirinya sendiri pun  gagal memberikan makna kata yang tepat, karena pemaknaan suatu kata, secara tak terhindarkan terhubung dengan logi-logi (etimo-logi), struktur social, dan akan melibatkan intertekstualitas—kata-kata dengan makna yang berbeda pula untuk menerangkan suatu kata tersebut. Di sini letak rumitnya dan betapa radikalnya hermeneutika Derrida. Derrida menciptakan sebuah permainan filsafat bahasa yang ngeri-ngeri sedap. Ia membangun sebuah ilusi bahasa yang begitu nyata sehingga mereka yang tidak peka akan jatuh pada skeptisisme, agnostisisme dan bahkan ateisme radikal. Itu sebabnya tidak mengherankan jika Derrida dijuluki sebagai salah seorang “pembunuh Tuhan” postmodern oleh A. Setyo Wibowo, dkk.
Kritik Bagi Dekonstruksi

            Pertama, kritik yang paling umum diarahkan kepada Derrida adalah bahwa dekonstruksi tekstual dan persoalan makna akan menggiring dirinya pada relativisme dan nihilisme. Secara tak terhindarkan dekonstruksi radikal memang mengarahkan para dekonstruksionis pada kedua hal itu karena kecenderungan radikalnya yang salah tempat.

            Kedua, yang menarik adalah bahwa klaim persoalan makna yang tertunda itu pun ternyata adalah sebuah makna yang justru tidak bisa ditunda oleh karena presuposisi itu akan selalu menjadi makna yang abslout bagi dekonstruksionis. Di sini Derrida dan kaum dekonstruksionis tidak dapat menyangkali bahwa mereka berdiri di atas standar ganda. Mereka menolak mengemukakan suatu makna yang objektif, namun tanda disadari kalimat itu justru memperlihatkan “suatu makna yang objektif” dan tidak dapat ditunda dalam konsep berpikir mereka.

            Ketiga, bukankah dengan mengatakan bahwa “makna objektif akan selalu bersifat tertunda”, maka bukankah hal itu juga mengandaikan sebuah sikap oposisional terhadap kemungkinan bahwa adanya suatu “makna objektif yang tidak tertunda”? Di sini mau tidak mau pengandaian oposisi biner itu tetap berlaku bagi kaum dekonstruksionis.

            Keempat, permasalahan lainnya yang timbul kemudian adalah permasalahan logosentrisme. Harus diakui bahwa logosentrisme yang menjadi pusat pemikiran filsafat Barat dan juga Kristen (dalam pemahaman yang berbeda) telah menjadi domain yang mendunia. Namun adalah juga sebuah kemustahilan jika Derrida mengatakan bahwa “pusat” harus dihancurkan. Hal ini merupakan cita-cita Derida yang terinspirasi dari Nietzsche ketika berusaha untuk “membunuh tuhan”. Pada kenyataannya, Derrida justru sedang berjuang untuk membangun suatu “pusat” tandingan baru dengan dekonstruksinya. Bukankah ketika konstuksi dekonstruksi itu digunakan untuk mengkaji suatu teks maka dekonstruksi itu justru menjadi pusatnya?

            Kelima, persoalan serius yang dihadapi dekonstruksi adalah persoalan krusial mengenai kebenaran. Jika dekonstruksi menolak secara multlak pengandaian oposisi biner, maka bagaimana kalangan dekonstruksionis memandang maka absolut mengenai yang “baik” dan yang “buruk”? Pasti akan selalu ada pengandaian oposisional dalam operasi praksis kehidupan mereka. Meskipun penolakan itu ada dalam konsep berpikir, namun secara tak terhindarkan hadir dalam praksis kehidupan factual. Seorang dekonstruksional pasti memiliki pertimbangan etis tertentu. Derrida misalnya yang ikut mengkampanyekan gerakan gerakan-gerakan kaum alteris yang terpinggirkan, pada akhirnya juga secara imlpisit menerangkan bahwa hal itu merupakan prinsip etika yang baik dalam pilihannya. Dengan demikian, Derrida pun secara tak terhindarkan menghadirkan pilihan-pilihan moral yang bersifat oposisional antara yang baik dan yang buruk secara tidak langsung.

            Kelima kritik ini memperlihatkan bahwa metodologi dekonstruksi Derrida justru mendekonstruksi dirinya sendiri. Dekonstruksi adalah metodologi filsafat bunuh diri jika diterapkan secara absolut dan radikal dalam semua bidang eksistensi manusia. Penerapan teori dekonstruktif paling-paling hanya mampu sampai pada kategori membongkar asumsi, presuposisi, dan narasi-narasi tersembunyi dalam sebuah karya atau teks. Melebihi batasan itu, dekonstruksi justru mendekstruksi eksistensi dekonstruksi itu sendiri.  

Contoh Membaca Dekonstruksi.

            Contoh paling jelas mengenai pembacaan dekonstruksi adalah wacana “Yudas Masuk Sorga” ala Sang Debaters. Dalam wacana ini SD secara jelas mengangkat sisi alteris yang diperankan oleh Yudas. Yudas yang tersisihkan/terpinggirkan/termarginalisasi (alteris) di dalam teks oleh para penulis Injil, diangkat menjadi yang sama dan penting dengan Kristus sebagai sentral teks. Peranan Yudas sangat penting, seolah-olah tanpa Yudas, misi salib Kristus gagal. Dari sini, oposisi biner antara peran Allah vs manusia, Guru vs murid, Yesus vs Yudas ditiadakan oleh SD karena keduanya memiliki peran yang sama dan sama-sama penting. Kerangka pikir dan frame yang selama ini dibingkaikan pada Yudas sebagai penghianat, kini didekonstruksi oleh SD dan diganti dengan seorang yang terhormat. Peranan Yudas sama pentingnya dengan Kristus, Yudas juga sama terhormatnya dengan murid-murid lainnya. Dekonstruksi mengangkat hal-hal pinggiran yang tidak dilirik oleh penulis teks tersebut ke permukaan dan mengasumsikannya sebagai yang penting.

            Pembacaan dekonstruksi hanya sampai pada level tersebut (mengungkapkan sisi alteris dan oposisional) karena tujuannya untuk menunjukkan hal-hal yang terpinggirkan dalam teks yang menjadi suplemen dari si penulis, namun tidak memberikan kesimpulan akhir dari pembacaan dekonstruksi tersebut (tentu berbeda dengan SD yang sampai pada kesimpulan akhir bahwa Yudas masuk surga). Jadi seorang dekonstruksionis hanya menggunakan metode tersebut untuk membongkar asumsi-asumsi, ide-ide atau peran-peran yang tidak disorot/disembunyikan oleh si penulis, sementara persoalan kesimpulan dan makna, mereka abaikan dan dikembalikan kepada pembaca oleh karena persoalan makna yang tertunda.

Kesimpulan

            Dekonstruksi merupakan sebuah permainan yang berbahaya oleh karena konsklusi yang dihasilkan menghancurkan semua kekuatan pengharapan manusia yang dibangun dan diatasnya manusia berdiri dan berharap. Jadi baik filsafat, sains, dan agama semuanya menjadi sasaran tembak dekonstruksi oleh karena bercirikan logosentrisme, totalitarianisme, dan oposisional.

            Dalam kaitannya dengan tekstual, hermeneutika radikal/dekonstruksi Derrida pada akhirnya tidak berusaha untuk menemukan makna oleh karena serangkain alasan di atas. Sebaliknya, dekonstruksi meleburkannya dan mengembalikkan otoritas pemaknaan bagi si penafsir. Kaum dekonstruksionis mengambil posisi sebagai “yang membongkar” dan bukan “yang memutuskan” makna, itu sebabnya persoalan makna bagi kaum dekonstruksionis akan terus bersifat penundaan.

            Sementara perihal metodologi, dekonstruksi justru saat ini sering digunakan sebagai instrumen dalam membongkar setiap asumsi, argumentasi, dan narasi-narasi yang tanpa disadari seringkali dikendarai oleh spirit logosentrisme dan oposisional dalam sebuah wacana. Dekonstruksi merupakan metodologi pembacaan tekstual yang sangat radikal.



Kepustakaan

                  Hardiman, F. Budi, Seni Memahami:Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015).
                  Grenz, J. Stanley, A Primer On Postmodernisme: Pengantar Untuk Memahami Posmodernisme & Peluang Penginjilan Atasnya, pen. Wilson Suwanto (Yogyakarta: Andy, 2001).
                  Lubis, Akyhar Yusuf,  Postmodernisme: Teori dan Metode (Depok: Raja Grafindo Persada, 2016).
                  _________________, Teori dan Metodologi: Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer (Depok: Raja Grafindo Persada, 2014).
                  _________________, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Depok: Raja Grafindo Persada, 2018).
                  Piliang, Yasraf Amir dan Jejen Jaelani, Teori Budaya Kontemporer: Penjelajah Tanda dan Makna (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2018).
                  Rachmawati, Indriyana dan Hasna Wijayati, Postmodernisme: Perspektif, Kritik, dan Aplikasinya (Yogyakarta: Sociality, 2017).
                  Sugiharto, I. Bambang Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
                  Wibowo, A Setyo, dkk, Para Pembunuh Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2009).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar