Senin, 20 Juli 2020


YOUTH AND POSTMODERN MINDED[1]

Oleh: Yosep Belay

Matius 16:1-4, Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka. Tetapi jawab Yesus: "Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus." Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.

Pendahuluan

            Kebudayaan dimana manusia hidup dan berinteraksi di dalamnya adalah merupakan sebuah ekspresi dari pemikiran manusia itu sendiri. Kebudayaan adalah hasil dari beragam pemikiran manusia yang dituangkan dalam berbagai bidang seperti agama, filsafat, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi, juga dalam bidang arsitektur (mis. candi Borobudur, 800-an M). Dari sini kita dapat melihat bahwa kebudayaan tidak pernah terlepas dari nilai-nilai filosofis yang diyakini oleh manusia yang kemudian menjadi suatu objek/karya yang nampak.

            Kekristenan yang lahir dan hadir di dalam kebudayaan manusia pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari pertarungan ide-ide dan dan konsep-konsep yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (bdk. Ef. 2:6; Kol. 2:8). Perkembangan zaman yang terus maju hingga saat ini, juga berdampak bagi keragaman budaya dan ide di belakangnya, baik ide filsosofis yang sesuai dengan kebenaran maupun  tidak. Kalimat yang kita gunakan untuk bertutur, gaya rambut, pakaian, selera music, hobi, dan sebagainya semuanya itu dibentuk oleh suatu budaya dan filosofi tertentu.

Menjelajah Peta Zaman

            Untuk mengenali zaman kita hari ini, penulis memberikan gambaran ringkas mengenai peta zaman yang mnejadi latar belakang bahasan kita kali ini. Dalam kajian ilmu social budaya, pada umumnya zaman kehidupan manusia dibagi menjadi tiga masa. Pertama, zaman pra modern, kedua, zaman modern, dan ketiga zaman postmodern.

            Zaman pra modern biasanya diidentikkan dengan kehidupan masyarakat yang belum mapan perihal sains dan teknologi sehingga pada zaman ini masyarakat hidup dalam kesederhanaan dengan namun nilai religius dan unsur interaksi sosial yang sangat tinggi. Zaman ini diidentikkan dengan zaman tradisi Kristen yang kuat yang berlangsung dari abat keempat (pemerintahan raja Konstantin-kekaisaran Romawi Timur/Byzantium) hingga tahun 1500 pasca kejatuhan pada 29 Mei 1453 oleh sultan Mehmed II (kerajaan Islam Ottoman). Meski demikian di akhir zaman ini, gereja berada dalam masa kegelapan. Ambisi-ambisi beberapa Paus dan kehidupan spiritual sebagian pastor yang bobrok di kemudian hari menimbulkan reaksi yang berakhir pada reformasi Martin Luther (1517).

            Zaman modern diperkirakan berlangsung pada tahun 1600 yang dikenal dengan masa Renaisans dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat. Masa modern ini berlangsung hingga mencapai puncaknya pada awal tahun 2000an. Hal menarik adalah bahwa perkembangan ini justru didasari atas pergeseran pemikiran dan iman masyarakat zaman itu yang menganggap bahwa manusia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa inilah mucul berbagai macam pemikiran filsafat dan ateisme yang menentang iman Kristen. Masyarakat modern di satu sisi maju dalam hal teknologi namun di sisi lain justru semakin memudar secara spiritualitas.

            Zaman postmodern mulai berlangsung pada sekitar tahun 1930 dari pengkajian bidang seni, dan terus berkembang dan mempengaruhi berbagai bidang hingga saat ini. Kata “postmodernisme” berasal dari tiga kata dasar yaitu, “post”—pasca/melampaui, “modern”—modern/zaman modern, dan “isme”—paham/mazhab. Singkatnya kebudayaan postmodernisme dapat diartikan sebagai perubahan radikal kebudayaan yang bertolak dari kritik filsafat dan seni terhadap era modern dan menuju era postmodern dimana mempengaruhi secara signifikan perihal seni, social ekonomi, spiritual, gaya hidup, digitaisasi, dan paradigma berpikir masyarakat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang pesat.

Manifestasi Spirit 666 Dalam Zaman Modern dan Postmodern

            Bagi sebagain penafsir eskatologis, angka 666 pada binatang di dalam kitab Wahyu 13:18 selalu dimaknai secara rohani dan abstrak sehingga sulit untuk menemukan titik temu dari rujukan nubuatan tersebut. Hal berbeda ketika kita melihat fenomena ini dari perspektif kebudayaan dan filsafat manusia. Bagi penulis, angka 666 yang secara jelas dinyatakan Alkitab sebagai “bilangan seorang manusia” tersebut secara implisit menyatakan suatu zaman di mana manusia akan dimuliakan menggantikan Allah, dan nubuatan bagi zaman ini justru telah digenapi pada masa kita saat ini. Ketika kita dengan teliti melihat peta zaman yang bergerak dari abat kejayaan Kristen menuju masa modern dan postmodern saat ini, maka hal utama yang jelas terlihat adalah bahwa manusia modern dan postmodern mulai mengkudeta Allah dari takhta-Nya.

            Dalam kedua masa itu, Allah ditinggalkan dan manusia menjadi allah bagi dirinya sendiri. Saat itulah penggenapan nubuatan spirit angka manusia 666 itu tergenapi. Ilmu pengetahun dan teknologi yang dikreasikan dan dikembangkan oleh manusia justru berubah menjadi harapan bagi manusia itu sendiri menggantikan Allah. Maka penggenapan akhir zaman itu sudah dimulai ketika gereja Tuhan memasuki masa modern dan berlanjut hingga saat ini ketika kita hidup di zaman postmodern yang semakin kacau. Manusia modern dan postmodern menjadi “allah” bagi dirinya sendiri. Saat ini adalah masa dimana manusia menjadi yang paling utama dibandingkan dengan Allah.

Filosofi Postmodern dan Manifestasinya Dalam Budaya

            Di atas. penulis telah menyampaikan bahwa budaya manusia lahir dari ide-ide filosofis di belakangnya. Pada bagian ini, kita akan sama-sama belajar mengenai ide-ide filosofis di balik layar budaya postmo. Budaya modern menghasilkan produk yang berbeda dengan budaya postmodern. Gambaran budaya modern dapat dilihat dari film-film super hero seperti karya Marvel yang pesan filosofisnya pada kekuatan dan kekuasaan manusia super. Berbeda dengan budaya postmo.

a.      Ciri-ciri Filosofi Postmodern.
  • ·        Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran itu bersifat relatif.
  • ·         Semua agama, keyakinan, paham, adalah sama benarnya dan sama baiknya.
  • ·         Matinya oposisi biner (hitam vs putih, menjadi hitam & putih).
  • ·         Yang tidak penting, menjadi sama pentingnya dengan yang penting.
  • ·         Yang nyata/riil berbaur dengan yang ilusi/palsu.

b.      Manifestasi Filosofi Postmo Dalam Budaya.

·           Film.
Film-film di era postmo mengabsurdkan pesan implisit yang dibangun oleh keyakinan religius. Film-film itu memberikan ruang bagi tercampurnya ide-ide gila seperti setan adalah pahlawan menggantkan Tuhan, setan dapat bersekutu menjadi pengharapan bagi manusia. Kegilaan-kegilaan ini tanpa sadar dinikmati oleh generadi milenial dengan antusias. Kuasa gelap dipoles sedemikian rupas sehingga tersamarkan oleh riuhnya sound sistem dan aksi-aksi heroic palsu.
o   Batman
o   Joker
o   Hellboy
o   Twilight
·           Seni.
Bidang seni juga memiliki efek yang serupa. Seni postmo hanya menghasilkan kritik bagi modernism sehingga karya yang dihasilkan semuanya beruba parody dan tidak memiliki pesan apapun selain hal-hal yang membingungkan oleh karena, “Dalannya bingung, wayangnya bingung, yang penting bisa ketawa.”
o   Lukis: parody lukisan monalisa, abstrak
o   Tattoo: abstrak
o   Teater: mis. OVJ
o   Batik: Batik bermotif club bola
o   Fashion: Lady Gaga
o   Tv show: wawancara, parody, music dalam satu kemasan acara.

·           Arsitektur.
Arsitektur postmo juga demikian, tidak memiliki pesan sentral kesatuan dan nilai seni, selain hanya perkembangan dan konstruksi dengan beragam motif yang unik dan nyentrik.
o   Arsitektur anti mainstream.

·           Musik.
Dalam bidang music, sprit postmo merduksi nilai-nilai kesatuan dan gendre music sehingga melahirkan beragam corak musaik baru yang saling berbaurdan tumpang tindih satu dengan lainya. Percampuran tersebut diperkuat dengan gaya, dandanan, serta lirik-lirik lagu dengan pesan pemberontakan dan perlawanan yang kuat.
o   Progresif rock
o   Detah Metal
o   Punk Rock
o   RockDut

·           Game.
Beragam jenis game online mulai membajak otak anak-anak, remaja bahkan hingga orang tua. Berbagai macam karakter, gendre dan pilihan disajikan secara gratis.  Mulai dari bentuk game yang sederhana, horror, petualangan, perkelahian, peperangan, semuanya ada. Delapan puluh persen dari game online ini dengan sangat menyedihkan justru menanamkan sebuah wawasan dunia yang penuh dengan kekerasan dan sadisme.

·           Gawai.
Persaingan industry gawai juga tak kalah sengitnya, setiap bulan meuncul model dan keragaman vitur yang semakin canggih. Masyarakat postmo diseret dan dipaksa untuk mengikuti tren yang sedang berlangsung. Gawai bukan lagi menjadi alat komunikasi, namun telah berubah menjadi alat peninggi gengsi.

·           Bagaimana dengan Pornografi?
Industri film porno juga memperoleh dukungan yang kuat dari ide-ide postmodern sehingga bukan hanya industrinya yang semakin berkembang, komunitas-komunitas LGBTQ juga semakin bermunculan seiring dengan kemajuan media virtual dan ide-ide postmo yang mempengaruhi di belakangnya. Pornografi di dalam dunia postmo memiliki ruang ekspresi yang sangat luas, tanpa batas hingga ekstrim oleh karena ide-ide postmo yang mereduksi nilai-nilai moral serta didukung oleh kemajuan dunia teknologi virtual. Kemudahan akses yang membelenggu masyarakat postmo menyebabkan industri ini semakin menggila. Ribuan website-website pornografi pun bermunculan seiring dengan tingginya “tuntutan pasar” global.

            Budaya postmo menghantarkan masyarakat dan generasi mellenial pada suatu kondisi kebebasan berekspresi tanpa batas, tanpa nilai, tanpa tujuan yang jelas dan kebenaran yang abu-abu. Sebuah realitas yang dengan santai dinikmati oleh masyarakat kita hari ini.

Media Virtual Sebagai Ajang Ekspresi Generasi Milenial

            Secara psikologis, remaja pria dan wanita memiliki dua pergumulan. Remaja pria—cinta erotis, remaja wanita—cinta romantic. Kedua pergumulan psikologis ini kini tersalurkan dalam aktualisasi dunia virtual yang sangat pesat. Akun-akun media social menjadi ajang ekspresi dan fantasi dari pergumulan generasi muda postmodern.

            Gambar-gambar dan foto-foto para remaja  diekspresikan sebaik, secantik, dan seanggun mungkin dengan beragam aplikasi dengan tujuan menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian bagi lawan jenis. Namun hal ini memberikan sebuah gambaran rill tentang keadaan dunia virtual saat ini yang menyajikan nilai-nilai palsu kemudian diterima sebagai sebuah kebenaran. Kepalsuan ini diasumsika dengan berbagai macam gambar sehingga membentuk pola tafsir bagi mereka yang melihatnya. Dunia virtual dalah dunia kepalsuan. Relasi-relasi yang dibangun menuju komitmen hidup yang serius, dengan sangat menyedihkan justru didasarkan atas serangkaian  tampilan-tampilan gambar-gambar virtual demikian sebagai dasar untuk megambil keputusan membangun hubungannya. Kebudayaan postmodern sedang mengarahkan generasi saat ini menuju sebuah gagasan palsu melalui dunia virtual.

Belajar Dari Tiga kegagalan

            Dau hal utama yang menjadi penyebab kegagalan generasi muda gereja dalam suatu zaman adalah pertama, kegagalan dalam memahami zamannya. Kegagalan ini merupakan suatu kegagalan dalam usaha untuk melihat spirit/filsafat/pesan apa yang sedang dibangun/disodorkan/dipaksakan kepada masyarakat postmodern untuk mengkonsumsinya.

            Kedua, kegagalan memahami imannya.  Pemahaman akan iman menjadi dasar yang olehnya suatu generasi mengkaji dan mengkritisi semua nilai-nilai kebudayaan di sekitarnya. Kegagalan dalam hal ini berarti sebuah kegagalan yang fatal karena kita tidak memiliki nilai-nilai kebenaran sebagai pedoman hidup sehingga cenderung disesatkan oleh zaman.

            Ketiga, kegagalan dalam mempertahankan imannya. Kegagalan yang terakhir ini merupakan dampak dari kedua kegagalan di atas. Generasi muda gereja yang tidak memahami spiri zaman dan memiiki bekal iman yang cukup dan kokoh, sudah dapat dipastikan tidak akan mampu mempertahankan imannya.

            Di dalam dunia kita, tidak ada kebudayaan yang bersifat netral, semuanya mengandung pesan filsofis yang terkandung di dalam suatu produk budaya yang disajikan. Dalam kondisi tersebut, semua generasi muda gereja tidak memiliki pilihan lain selain memilih di antara dua hal ini; dipengaruhi atau mempengaruhi zaman. Itu sebabnya kegagalan dalam dua hal ini mengakibatkan genersi muda gereja akan hidup dalam genggaman spirit ilah zaman, mengalir, dihanyutkan, dan hancur bersamanya. Untuk itu tidak ada jalan lain yang dapat ditempu oleh kita saat ini selain back to the Bible.

Membangun Pondasi Iman Kristen yang Kokoh.

            Alkitab adalah kebenaran Allah yang absolut. Tidak ada kebenaran lain yang melaluinya manusia dapat membangun kehidupan pribadinya dengan Allah dan sesama secara sempurna tanpa melalui Alkitab. Maka beberapa saran sederhana ini perlu diperhatikan dan mulai dibangun oleh generasi milenial saat ini:
·         Membangun dasar iman: Kol. 2:6-7.
·         Memasang filter: Mzm 119:9.
·         Hidup sesuai dengan firman Tuhan: Mzm. 119:105.
·         Hidup dipimpin oleh Roh Kudus: Gal. 5:25.
·         Mempertahankan Iman: 1 Ptr. 1:14-16.
·         Mempengaruhi bukan dipengaruhi: Mat. 5:13-14.
·         Tertanam dalam komunitas umat Allah yang sehat: Ibr. 10:25; 1 Tes. 5:11; Ibr. 3:13.

Penutup.
            Perlu kesadaran dan kepekaan tinggi terhadap lajunya kebudayaan yang sedang menggiring gereja hari-hari ini. Genarasi yang gagal paham akan iman dan kebudayaan dalam konteks dimana mereka hidup, dapat dipastikan akan mengalami kekalahan telak. Kebudayaan postmo yang berkembang dan bergerak bersamaan dengan kehidupan umat Tuhan saat ini adalah kebudayaan yang juga ditafsirkan dan dihasilkan oleh serangkaian nilai-nilai filosofis ateistik dan humanisme tertentu. Degan demikian tidak ada jalan lain, selain berjuang untuk mengkounter kebudayaan tersebut dengan sebuah kebudayaan tandingan yang bercirikan kebenaran alkitabiah. Pada titik ini peran perangkat gereja, parachurch sangat dibutuhkan untuk mengedukasi jemaat dan generasi milenial.
            Soli Deo Gloria!
           
             


           



                [1] Materi ini disampaikan penulis dalam kegiatan zoominar Youth RPPI Rayon Bandung pada Rabu, 8 Juli 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar