Rabu, 06 Maret 2019

ESAY TEOLOGI : KRITIK TEKS PERJANJIAN BARU [Mengkritisi Hipotesis Barth D Ehrman]


KRITIK TEKS PERJANJIAN BARU : Hipotesis Barth D. Ehrman.

Oleh : Yosep Belay

 

Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita,seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu,supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.--Lukas 1:1-4 (TB)

_______

Pendahuluan.

Alkitab merupakan salah satu pilar utama iman Kristen. Keterandalannya sebagai pondasi iman namun sekaligus merupakan naskah kuno, menjadikan Alkitab tidak lepas dari kritik. Voltaire, filsuf Perancis abad ke 18 yang menggemakan sumpah serapah terhadap kekristenan, dengan Alkitab ditangannya ia berkata bahwa dalam seratus tahun sesudah zamannya kekristenan dan Alkitab akan musnah. Namun sebuah ironi sejarah bahwa hanya lima puluh tahun sesudah kematiannya, Lembaga Alkitab Genewa menggunakan rumahnya sebagai tempat untuk mencetak bertumpuk-tumpuk Alkitab.

Jauh sebelum Voltaire, kaisar Diocletianus pada tahun 303 M mengeluarkan suatu maklumat untuk mengekang kekristenan dan memusnahkan Alkitab. Namun lagi-lagi ironi sejarah mengatakan sebaliknya, kaisar Konstantinus yang menggantikan Diocletianus justru mendukung dan memerintahkan agar diterbitkannya 50 eksemplar Alkitab. 

Sepanjang sejarah gereja, kritik terhadap keabsahan Alkitab tidak pernah berhenti. Demikian halnya pada zaman kita hari ini. Meskipun bukan tema yang baru dalam kajian kritik teks, khususnya pada kajian "Kritik tinggi" (High Criticism), namun pengulangan-pengulangan tema tersebut selalu menjadi perhatian, terutama ketika isu-isu tersebut sampai di kalangan awam.

Bart D Ehrman merupakan salah satu nama yang paling mencolok saat ini. "Misquoting Jesus", buku karyanya yang berselancar di pasaran dalam Negeri pada dekade awal 2006 silam, telah menimbulkan ragam pertanyaan mengenai kredibilitas Alkitab. Karya nyentriknya tersebut juga menjadi rujukan bagi kalangan liberal sebagai dasar argumentasi, oleh karena Ehrman merupakan salah satu ahli kritik teks dengan lulusan Princeton Theologycal Seminary.
Dalam kritiknya Ehrman berargumen bahwa, "Selain itu, sebagian besar orang Kristen di sepanjang sejarah gereja tidak memiliki akses untuk membaca naskah aslinya, sehingga keterilhaman naskah-naskah itu dipertanyakan. Kita bukan hanya tidak memiliki naskah aslinya, kita juga tidak memiliki salinan pertama dari naskah aslinya. Kita bahkan tidak memiliki salinan dari salinan naskah aslinya. Yang kita miliki hanyalah salinan yang dibuat lama kemudian-sangat lama kemudian." Demikian pendapat Ehrman. Dalam beberapa ceramahnya, Ehrman juga menyampaikan bahwa "94% naskah Perjanjan Baru yang kita miliki saat ini berasal dari abat ke 9 dan setelahnya." Dengan dasar demikian Ehrman akhirnya memutuskan untuk tidak lagi meyakini keterandalan kitab Perjanjian Baru.

Singkatnya hipotesis yang diterima Ehrman bermuara pada penolakan terhadap Alkitab sebagai firman Allah karena ketiadaan Autographa (naskah asli Alkitab), banyaknya kesalahan dalam salinan-salinan teks yang dimiliki serta sebagian besar teks yang dimiliki saat ini berasal dari abad ke 9 dan sesudahnya.

Menguji Hipotesis Ehrman.

Mangajukan kritik terhadap asumsi dan hipotesis Ehrman tentu membutuhkan analisa dan studi mendalam. Tulisan ini tentu saja disajikan dengan sangat singkat namun diusahakan agar memenuhi beberapa kriteria sebagai landasan bagi bangunan kritik ilmiah yang disajikan.

Pertama, kita perlu memahami bahwa dari segi historis teks, Alkitab adalah satu-satunya naskah teks kuno dengan jumlah terbanyak pertama di dunia. Hingga saat ini, jumlah salinan-salinan teks Perjanjian Baru sudah mencapai sekitar 5.300 salinan bahasa Yunani, belum m ncakup dari berbagai bahasa lain seperti Latin, Etiopia, Armenia, Arab, dll. Tidak pernah ada satu naskah kuno mana pun di dunia ini yang dapat menandingi seleksi historis mengenai salinan teks. Hal ini belum ditambah dengan kutipan-kutipan Perjanjian Baru yang termuat pada surat-surat pastoral oleh Bapa-Bapa Gereja. Jika dijumlahkan, maka kita akan menjumpai totalnya sebanyak 24.633 naskah! (McDowell, 2007;8).

Kepakaran dan keterandalan dari argumen Ehrman seharusnya dapat dipercaya jika ia memang melakukan studi mendalam yang menyeluruh dari analisa semua dokumen yang ada. Jika hanya sebuah analisis yang berbasis pada kritik teks yang dilakukan kepada beberapa bagian teks manuskrip maka apakah hal tersebut dapat mewakili sebuah kajian ilmiah? 

Itu sebabnya asumsi Ehrman yang mengatakan bahwa "94% naskah Perjanjian Baru berasal dari abat ke 9 dan sesudahnya" perlu dipertanyakan lebih jauh. Jika asumsi yang ia ajukan ini benar itu berarti Ehrman sudah menyelidiki secara komprehensif dan menyeluruh terhadap semua naskah teks yang kita miliki saat ini. Tetapi sekali lagi, tidak ada seorang ahli pun yang pernah melakukan analisa yang menyeluruh seperti itu, selain hanya melakukan kritik teks sumber sebagi dasar yang digunakan untuk merujuk pada penerjemahan Alkitab seperti yang sampai di tangan kita saat ini (Tiga Kodex utama [selain sumber naskah lain] yang digunakan adalah kodex Sinaitikus, Vatikanus, dan Byzantin [Tekstus Receptus] dari abad ke 3 dan ke 4 M).

Kita dapat bertanya lebih jauh, darimana ia memperoleh kesimpulan bahwa 94% naskah yang ia argumentasikan itu berasal dari paruh abad ke 9, jika 24 ribu naskah teks yang ada belum pernah ia teliti? Tentu saja hal ini merupakan suatu generalisasi yang ngawur! Dan bahkan sama sekali mengerdilkan sifat ilmiahnya. Asumsi ini akan menjadi benar jika Ehrman memang benar-benar telah mengkaji 100% naskah yang ada sehingga ia mampu mengatakan bahwa 94% diantaranya datang dari paruh abad ke 9.

Selain itu kita perlu bertanya, dengan dasar, standar, dan metode seperti Ehrman menentukan abad ke 9 sebagai waktu yang tepat bagi asumsi asal 94% naskah PB itu berasal? Bukankah perlu tes karbon, tinta, bahan, dan lainnya merupakan dasar kajian ilmiah untuk menentukan waktu berasalnya suatu teks kuno? Jika demikian, maka kita kembali bertanya, sudahkah Ehrman melakukan uji ilmiah untuk asumsinya mengenai 94% teks tersebut? Jika belum, lantas dasar ilmiah dari asumsinya tersebut apa?

Dalam sebuah diskusi Erhman merujuk kepada asumsi John Mill. Ehrman mengatakan demikian,

      “Di tahun 1707 ada seorang sarjana terkenal bernama John Mill, sarjana Oxford. John Mill menghabiskan tiga puluh tahun mempelajari naskah yang bisa ia dapatkan. Dia memiliki seratus naskah Yunani yang dapat ia periksa, dan ia memiliki kutipan Perjanjian Baru dalam terjemahan kuno dan Koptik, Siria, dan Lantern. Dan dia juga memiliki beberapa kutipan Perjanjian baru yang ditulis oleh Bapa Gereja. Dia memeriksa bukti-bukti tersebut pada tahun 1707 dan setelah berusaha keras dia menerbitkan buku bernama Novum Testamentum Graecum Perjanjian Baru Yunani. Yang mungkin mengejutkan bagi pembaca, John Mill dalam Novum Testamentum Graecum menunjukan bahwa terdapat 30.000 perbedaan diantara naskah-naskah yang ia teliti.” (https://www.youtube.com/watch?v=TIRlMSfl7rE).

Penelitian Mill tersebut menjadi tolak ukur Ehrman untuk mengajukan sebuah asumsi yang non akademis. Ehrman berasumsi bahwa Mill hanya memeriksa 100 naskah sementara kita memiliki 5.500 naskah saat ini. Ia kemudian melanjutkan asumsi ini dengan sebuah pembenaran yang non ilmiah bahwa jika penelitian Mill hanya memuat 100 naskah sudah memiliki perbedaan sekitar 30.000 varian, maka bagaimana dengan 5.500 naskah yang ada saat ini. Asumsi ini seolah-olah ingin menegaskan bahwa perbedaan varian ini akan semakin bertambah seiring dengan ribuan naskah yang diteliti.

Namun sekali lagi, Ehrman tidak menunjukan detail naskah-naskah teks yang diteliti oleh Mill, juga contoh-contoh varian (minimal beberapa yang paling krusial) yang memiliki perbedaan hingga ribuan itu. Asumsi demikian seolah-olah dibiarkan Ehrman menggantung di awan-awan dengan harapan dapat mematikan keyakinan dasar Injili. Tentu saja, Ehrman tidak dapat menunjukan secara spesifik mengenai data-data yang diteliti Mill, itu sebabnya ia pun tidak dapat berbicara banyak, selian hanya mengulang apa yang disampaikan Mill.

Dari informasi yang ada kita menjumpai bahwa salah satu naskah teks yang paling krusial menjadi rujukan dalam penelitian Mill adalah naskah codex Alexandrianus, sebuah codex dari abat ke – 5M yang memiliki bentuk dari terjemahan latin Septuaginta (wikipedia.org/wiki/John_Mill.) Meskipun teks tersebut merupakan salah satu dari empat codex terbaik, namun kita tidak dapat menarik suatu generalisasi yang menjadi konklusi dari keterbatasan sumber penelitian untuk mengatakan bahwa terdapat puluhan ribu varian dalam naskah PB.

Namun dalam penelitian kritik teks yang lebih terkini, Kurt Aland dan Eberhard Nestle memberikan suatu gambaran lain yang meskipun memiliki ciri yang berbasis pada Codex Alexandrianus (wikipedia.org/wiki/Teks_Alexandria), namun dalam perbandingan tekstual yang dikerjakan oleh Aland, ia justru menjumpai hal berbeda mengenai perbedaan varian tersebut. Aland mengatakan,

       “Jadi hampir dua pertiga teks Perjanjian Baru, dalam ketujuh edisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang kami periksa, sesuai satu sama lain, dengan tidak ada perbedaan, kecuali dalam detail ortografi (misalnya ejaan nama dan sebagainya). Ayat-ayat di mana salah satu dari tujuh edisi tersebut hanya berbeda satu kata tidak dimasukkan hitungan. Hasil ini sangat menakjubkan, menunjukkan kesesuaian yang jauh lebih tinggi di antara teks Perjanjian Baru bahasa Yunani pada abad terakhir, daripada yang diperkirakan oleh pakar tekstual.” (wikipedia.org/wiki/Novum_Testamentum_Graece).

Penelitian Aland justru memberikan suatu gambaran yang sangat berbeda dengan apa yang digembar-gemborkan oleh Ehrman. Pada poin pertama ini kita melihat banyak hal yang terlihat tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Argumentasi yang ehrman ajukan justru lebih bersifat spekulatifdan tidak ilmiah.

Kedua, permasalahan Ehrman yang mempertanyakan ketiadaan Autographa (naskah asli) sebagai dasar penunjang Perjanjian Baru sebagai firman Allah juga kurang tepat. Ketiadaan Autographa tidak menjadi landasan mutlak bahwa Alkitab bukanlah firman Allah. Perlu kita petakan pernyataan ini menjadi dua bagian kajian. Pertama kajian teologis dan yang kedua kajian ilmiah. 

Jika kita berbicara mengenai kajian teologis maka sudah pasti Alkitab sebagai firman Allah tidak perlu lagi diragukan karena Alkitab diturunkan berdasarkan dua tradisi, lisan dan tulisan. Kedua tradisi ini diturunkan dengan begitu teliti, sebagaimana yang tercermin dalam surat-surat pastoral dari para Bapa Gereja. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak memiliki dokumen-dokumen asli itu. Perhatikan pembelaan Tertulianus terhadap para kritikus di jamannya sebagai berikut, “Marilah hai engkau yang memerlukan lebih banyak jawaban untuk  keselamatanmu, datanglah ke Gereja-gereja Apostolik yang masih memiliki dan membacakan tulisan-tulisan otentik dari para rasul."   (Darrel L. Bock dan Daniel B. Wallace, 2009:54).

Argumen ini membuktikan secara eksplisit bahwa hingga menjelang abat ke-3 M, gereja masih memiliki dan memelihara tulisan-tulisan original dari para Rasul.

Perlu kita perhatikan juga bahwa regulasi surat-surat Perjanjian Baru pada waktu itu, sudah mengenal sistem penyalinan. Sistem ini berfungsi sebagai instrumen pengajaran dan penggembalaan pastoral. Jadi dapat kita asumsikan bahwa selain naskah asli yang disimpan oleh otoritas gereja Apostolik, terdapat juga salinan-salinan yang dibuat untuk dibagikan bagi jemaat-jemaat rumah di tempat lain sebagai panduan penggembalaan.

Jika kita memperhatikan akhir kehidupan Tertulian pada tahun 230 M, dengan sejumlah peningalan naskah-naskah asli yang ia saksikan tersebut maka kita akan memperoleh perbedaan waktu yang sangat tipis dengan naskah Kodex Vatikanus yang kita miliki saat ini (325-350 M) di Museum Vatikan, dan Kodex Sinaitikus (350 M) di British museum (McDowell, 2007; 89). Perbedaannya tidak sampai 100 tahun! Luar biasa! Bisa jadi kedua Kodex ini merupakan generasi kedua atau ketiga dari naskah-naskah asli jika ditinjau dari segi waktu sebagaimana penegasan Tertulian. Di sini bukan hanya dalam analisa ilmiah Alkitab begitu meyakinkan, namun juga secara implisit kita menyaksikan peran aktif Allah dalam memelihara Firman-Nya.

Penjabaran singkat ini sudah memperlihatkan secara teologis dan ilmiah bahwa asumsi Ehrman sama sekali tidak dapat dipertahankan. Lantas bagaimana dengan perbedaan-perbedaan yang dikatakan Ehrman tersebut? Berikut saya mengutip John Lea dalam tulisannya "The Greatest Book ini the World" sebagai berikut, "Naskah dari semua versi Alkitab Perjanjian Baru telah diakui oleh para cendikiawan bahwa perbedaan yang ada di antaranya lebih disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap kata itu daripada ketidakpastian dari kata itu sendiri." (McDowell, 2007;47). Lebih jauh Wallace mengatakan, “Sudah selama ratusan tahun, para pakar Perjanjian Baru menyatakan bahwa tidak ada varian tekstual yang mempengaruhi doktrin kunci Kekristenan.” (bible.org/article/majority-text-and-original-text-are-they-identical).

Seperti Wallace, FF. Bruce mengemukakan suatu argumen yang senada namun berbeda. Setelah mengkaji kritik teks, Bruce menjelaskan demikian,

       “Dari percobaan dengan mudah terbukti bahwa sukarlah menyalin suatu ayat yang panjang tanpa melakukan suatu kekhilafan. Kalau kita mempunya dokumen-dokumen seperti Perjanjian baru yang disalin dan disalin lagi seribu kali, maka kemungkinan bagi para penyalin untuk membuat kesalahan semakin meningkat sehingga sangat mengherankan bahwa tidak ada lebih banyak kesalahan dari pada (naskah-naskah PB) yang ada sekarang” (FF. Bruce; 1997, 15). 

Betapa mengagumkan bahwa percobaan-percobaan kritik teks yang dilakukan ternyata membuktikan suatu fakta yang justru berbanding terbalik dengan asumsi Ehrman. 

Berbeda dengan apa yang diasumsikan Ehrman, secara umum kita menjumpai bahwa para pakar kritik teks justru mengakui hal yang sebaliknya dari Ehrman.

Perbedaan-perbedaan yang ada pun sama sekali tidak berdampak pada prinsip-prinsip dasar keyakinan iman Kristen. Tentu saja suatu teks yang disajikan dalam suatu bahasa tertentu akan mengalami "penyesuaian tata bahasa" yang sesuai dengan jenis bahasa lain yang akan digunakan. Perbedaan-perbedaatn tata bahasa tersebut hanya bersifat penyesuaian teknis yang tidak mempengaruhi keyakinan dasar iman Kristen.

Tinjauan singkat ilmu sejarah.

Injil Lukas pada bagian awal tulisan ini menyajikan dasar-dasar yang digunakan dalam standar penyajian ilmu sejarah. Tulisan Lukas tersebut memberikan informasi penting mengenai keterandalan data historis karena metode penyajiannya sangat ilmiah--Lukas menyelidiki sumber-sumber Rasuli yang terpercaya, kemudian membukukannya secara sistematis. Itu sebabnya ia mengatakan, "supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar."

Kuntowijoyo memberikan lima prinsip dasar metode analisa sejarah yaitu, Pemilahan topik, Pengumpulan sumber, Verifikasi (keabsahan sumber), Interpretasi (analisis dan sintesis), dan Penulisan. (Kuntowijoyo; 2013, 69). Kajian ilmu sejarah memberikan suatu metode yang baku mengenai prinsip-prinsp dasar analisa, dan keseluruhan dari prinsip-prinsip tersebut juga dengan secara mengagumkan digunakan oleh Lukas sebagai metode kritik sejarah dalam Injilnya. Prinsip serupa juga dapat kita terapkan bagi kepenulisan Injil dan surat-surat lainnya, sebagaimana sumber-sumber yang dijadikan rujukan merupakan sumber-sumber primer dari para saksi mata yang mengalami secara langsung (Yoh. 21:24; KPR. 2:32, 5:32; 2 Ptr. 1:16).

Kebenaran historis dalam kajian ilmiah (ilmu sejarah) harus dimulai dengan kajian yang teliti dari sumber-sumber yang terpercaya. Alkitab sudah memulai hal itu dua ribu tahun lalu--Itulah Alkitab kita. Pernyataan demikian bukanlah suatu sentimen presuposisi penulis, namun kita dapat mengkonfirmasi akurasi kebenaran dari pernyataan ini melalui serangkaian pengakuan sejarawan modern tentang tulisan-tulisan Lukas dan yang lainnya sebagai dokumen sejah kuno yang memiliki tingkat akurasi yang luar biasa.

Penutup.

Gambaran singkat ini mengkonfirmasikan suatu hal penting bagi kita bahwa Alkitab merupakan kebenaran Allah yang tak tertandingi dan tak terbantahkan oleh siapapun. Keterandalannya telah diuji oleh waktu dan dikritik oleh sebagian besar kalangan di sepanjang sejarah. Namun mereka yang mengkritisi telah menjadi bagian dari sejarah sementara Alkitab terus dicetak dan tetap menjadi inspirasi yang mengubah kehidupan jutaan manusia hingga kini.

Apa yang diasumsikan Ehrman dalam kajiannya, secara singkat kita jumpai hanya bersifat spekulatif dan hipotesis. Tidak lebih dari itu. Kecenderungan epistemologi dan presuposisi yang buta menghantarkan Ehrman pada skeptisisme dan liberalisme.

Pelajaran penting lainnya adalah bahwa jangan terburu-buru untuk mengaminkan suatu asumsi oleh karena yang mengatakannya adalah seorang "ahli". Firman Tuhan dalam 1 Tesalonika 5:24 menganjurkan agar kita menguji segala sesuatu. Kata "Ujilah" mengindikasikan bahwa kita perlu bersikap kritis. Untuk itu ujilah setiap pandangan dan asumsi teologis yang berkembang, termasuk apa yang kita pegang, agar kita tidak mudah disesatkan.

Soli Deo Gloria!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar