Konflik wawasan
dunia ini pasca momentum Aufklarung telah meninggalkan luka mendalam
yang kerap kali muncul dengan nada satir. Hal tersebut yang juga tercermin
dalam salah satu komentar Hawking ketika meghadiri konferensi kosmologi di
Vatikan pada dekade 70-an: “Saya tak ingin
bernasib sama dengan Galileo, yang saya rasa mirip dengan saya, sebagian karena
kebetulan saya lahir tepat 300 tahun sesudah kematiannya!” (Hawking: 2013,
114).
Nama Stephen
Hawking, fisikawan teoritis dan kosmolog ulung asal Inggris ini melejit seiring
dengan karyanya A Brief History Of Time yang bertengger pada jajaran
buku terlaris Britania Raya selama 237 pekan. Melalui karya tersebut Hawking
hendak memaparkan pandangan populernya tentang teori asal mula waktu, alam
semesta dan keadaan akhir alam semesta.
Eksistensi kita
sebagai manusia yang berada dalam ketakjuban luar biasa akan alam semesta,
telah mendatangkan pertanyaan-pertanyaan abadi yang belum terpecahkan. Hawking
berdiri di depan ketakjuban itu dengan satu langkah maju ketika ia menerobos
batasan-batasan formal filsafat dan dogma agama untuk berusaha menjawab
pertanyaan tersebut.
Tulisan singkat
ini disajikan secara ringkas (bahkan cenderung sederhana) untuk menelusuri konsep
dasar tentang teori asal mula alam semesta yang dikemukakan Hawking berdasarkan
argumen-argumennya, dengan disertai beberapa catatan serta tinjauan
epistemologis sebagai lensa panduan dan koreksi filosofis.
Asal
Mula Alam Semesta
Bumi berasal dari kondensi gas dan debu antar bintang 4,6 miliar tahun lalu. Dari bukti fosil kita mengetahui bahwa kehidupan muncul tak lama sesudahnya, mungkin sekitar 4,0 miliar tahun lalu di dalam kolam dan lautan bumi primitif.—Carl Sagan.
Seperti kajian
Ilmuan naturalis pada umumnya, Hawking mengembangkan gagasan mekanika kuantum
sebagai dalil yang disandingkan dengan teori relativitas umum Einstein serta
dua teori besar sains populer—Bing Bang (Ledakan/dentuman besar) dan
Evolusi—untuk mencoba memahami misteri asal mula alam semesta, perkembangan dan
berakhirnya jagat raya.
Dalam A
Brief History Of Timenya, Hawking menjelaskan bahwa permulaan alam semesta
memulai eksistensinya pada saat terjadi ledakan/dentuman besar (Bing Bang).
Ketika terjadi dentuman alam semesta dianggap berukuran nol, dan luar biasa
panasnya. Selagi alam semesta mengembang, suhu radiasinya berkurang. Satu detik
sesudah Ledakan Besar terjadi, suhu alam semesta beranjak turun menjadi sepuluh
miliar derajat.
Pada keadaan
ini alam semesta berisi sebagain besar foton, elektron, dan neutrino (zarah
ringan bagi nuklir dan gravitasi) berikut antizarahnya (antielektron dan
antinutrino). Zarah-zarah dan antizarah seperti elektron dan antielektron
saling berintraksi dan membinasakan sehingga menghasilkan foton (elemen
terkecil dari sinar). Kira-kira seratus detik kemudian, temperatur turun hingga
satu miliar derajat.
Keadaan
tersebut berdampak pada penyatuan proton dan neutron yang membentuk inti
hidrogen berat (deuterium). Deuterium yang terus mengalami tambahan masa dari
proton dan neutron yang pada akhirnya membentuk inti helium dimana terdapat
juga beberapa unsur berat lainya seperti lithium dan berylliun.
Beberapa jam
setelah ledakan besar terjadi, produksi helium dan unsur-unsur lainnya
terhenti. Keadaan temperatur yang semakin menurun mempengaruhi gaya tarik-menarik
elektromagnetik sehingga elektron-elektron dan inti-inti atom mulai menyatu dan
menjadi atom.
Alam semesta
secara keseluruhan terus mengembang dan mendingin, tapi di daerah-daerah yang
sedikit lebih rapat daripada rata-rata, pengembangan menjadi lambat karena
tarikan gravitasi lebih besar. Selagi daerah-daerah itu menyusut, tarikan
gravitasi zat di luar daerah-daerah tersebut boleh jadi membuat daerah-daerah
itu mulai berotasi. (Hawking, 2013;115).
Sementara dalam
kondisi yang lebih luas pasca ledakan besar, terdapat dua tekanan gaya yang
saling bersinggungan yaitu gravitasi (gaya tarik) dan sentrifugal (gaya dorong,
ekspansi pacsa ledakan besar). Gaya gravitasi kemudian memperlambat proses
ekspansi, memadatkan energi sehingga melahirkan keadaan galaksi seperti saat
ini yang terpola pada satu titik sentral. Sementara sentrifugal masih dapat
diamati dengan pergerakan galaksi-galaksi yang saling menjauh.
Dengan
keahliannya, Hawking merinci materi, hingga pola-pola mendasar untuk
merekonstruksi keadaan awal (titik singularitas) pasca ledakan besar. Asumsi
tersebut menghantarkan Hawking pada kesimpulan bahwa, “sebagian besar gas di
awan membentuk Matahari atau terpancar lagi, tetapi sejumlah kecil unsur lebih
berat begabung membentuk benda-benda yang sekarang mengelilingi Matahari
sebagai planet seperti Bumi” (Hawking, 2013, 118).
Gambaran alam
semesta yang awalnya sangat panas dan mendingin selagi mengembang menurut
Hawking sangat cocok dengan semua bukti pengamatan yang dimiliki saat ini.
Menelusuri Asumsi
Awal Teori Ledakan Besar
Kokohnya teori Big
Bang serta prinsip sentrifugal yang diadopsi Hawking dapat ditelusuri pada
dua nama ilmuan besar dibaliknya, yaitu Fisikawan Rusia, Alexander Friedmann
dan Astronom asal Amerika, Edwin Hubble. Friedmann mengajukan suatu hipotesis
awal mengenai asal mula alam semesta dari titik nol ledakan besar, kemudian
terus belanjut pada pengembangannya bagaikan sebuah balon yang ditiup.
Nama Frieadmann
memang tidak terlalu dikenal, sampai hipotesisnya tersebut diperkuat oleh
penemuan Hubble. Edwin Hubble yang dikemudian mengokohkan hipotesis Friedmann
oleh hasil pengamatan analisanya menjumpai bahwa alam semesta tidak bersifat
statis, namun mengembang dan saling menjauh satu sama lain (sebagaimana asumsi
Friedmann).
Dari pengamatan
Hubble tersebut dijumpai bahwa masing-masing galaksi saling menjauh satu dengan
yang lainnya dengan jarak ekspansi yang sama jika dilihat dari galaksi
lain (seperti analogi balon).
Kecenderungan
pola alam semesta yang mengembang ini mengindikasikan suatu hipotesis Hawking
yang kuat bahwa, “pada suatu waktu lampau jarak antara galaksi-galaksi mesti
nol” (Hawking, 2013;47). Penemuan ini sekaigus mematahkan asumsi fisika klasik
(yang dipegang oleh Newton maupun Einsten) mengenai keadaan alam semesta
yang cenderung statis.
Langkah
Kontroversial Hawking
Kontinuitas
antara mekanika kuantum, relativitas umum Einstien dengan Bing Bang
sebagai teori yang komperhensif untuk menjelaskan misteri alam semesta, telah
menjadi satu langkah maju yang sangat menggembirakan.
Hanya saja
masih tersisa satu masalah. Oleh karena implikasi dari teori Bing Bang
melahirkan suatu keadaan asal mula alam semesta dan waktu dari titik nol, maka
secara implisit masih terdapat ruang untuk hadirnya hipotesis teologis
sebagaimana yang diyakini oleh kaum Kreasionis.
Dengan segala
resiko, Hawking kemudian maju selangkah dengan argumentasi yang lebih berani.
Ia mengemukakan bahwa, “Alam semesta tidak akan memiliki awal atau akhir dan
tidak mungkin diciptakan maupun dihancurkan. Hanya demikian adanya. Apakah
masih ada tempat bagi pencipta kalau begitu?” (Hawking; 1988, 41).
Langkah
kontroversial ini sekaligus memperjelas posisi Hawking yang tegas serta berbeda
dengan sejawatnya.
Hawking
mengakhiri konklusi hipotesisnya dengan mereduksi setiap kemungkinan hipotesis
Teistik dari setiap teori ilmiah yang ia bangun.
Tidak sampai di
situ, untuk menggapai impiannya Hawking bahkan mulai membangun hipotesis baru
mengenai kemungkinan adanya “Teori segala sesuatu”, yang dengannya manusia
dapat memahami mekanisme alam semesta dari awal hingga akhir berdasarkan
kemungkinan hukum-hukum fisika yang ada.
Asal Mula
Kehidupan
Kehidupan masih harus bermula dalam air … Bagaimana kehidupan bermula? Asal-usul kehidupan merupakan suatu peristiwa kimiawi, atau serangkaian peristiwa kimiawi, yang dengan kondisi-kondisi penting bagi seleksi alamiah muncul pertama kalinya—Richard Dawkins
Bahasan singkat
pada bagian awal menegaskan posisi Hawking yang menerima konsep Evolusi Kosmos
dari titik nol ledakan besar (Bing Bang), lantas bagaimana dengan asumsi
Hawking mengenai asal mula kehidupan?
Seperti prinsip
pertama Hawking yang menerima teori Bing Bang sebagai teori asal mula,
ia juga menerima konsepsi teori Evolusi kimiawi untuk menjelaskan asal mula
kehidupan primitif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari segi epistemologis
yang bertolak dari prinsip pertama tersebut, hanya saja tidak dalam penjelasan
yang lebih terperinci.
Hawking memulai
panjabaran mengenai misteri kehidupan dengan dua kerangka batasan yang jelas.
Menurut Hawking, “Bumi pada mulanya sangat panas dan tidak memiliki
atmosfer.
Seiring waktu,
Bumi mendingin dan mendapat atmosfer dari gas yang dikeluarkan oleh bebatuan.
Kita tidak dapat hidup dalam atmosfer awal. Atmosfer awal tak mengandung
oksigen dan malah mengandung gas lain yang beracun bagi kita seperti hidrogen
sulfida”.
Bagian pertama
menjabarkan mengenai situasi pasca ledakan besar yang belum memiliki
tanda-tanda kehidupan. Keadaan temperatur yang panas, ketiadaan atmosfer dan
oksigen, tidak memungkinkan bagi perkembangan makhluk hidup.
Di sini
terdapat semacam gap yang berisi rentang suatu waktu yang “mengolah” materi
pada kondisi awal menjadi layak huni bagi kehidupan primitif.
Memasuki paruh
kedua pada kajian evolusi biologis, Hawking meminjam pandangan populer dari para
pegiat evolusionis. Ia lanjutkan penjelasannya bahwa bentuk-bentuk kehidupan
primitif tidak berasal dari darat tetapi dalam laut.
Hal ini mungin
terjadi oleh karean perpaduan atom-atom dan membentuk makromolekul yang mampu
menyusun atom-atom lain menjadi struktur yang serupa. Hipotesis ini secara
singkat merangkan bahwa asal mula kehidupan dimulai oleh konsepsi perpaudan
atom-atom di laut yang berlanjut pada makromolekul yang terus berreproduksi dan
berevolusi seiring berjalannya waktu.
Jika kita
bertanya bahwa apa yang menjadi makanan bagi bentuk-bentuk kehidupan awal
tersebut, serta bagaimana kehidupan primitif di dalam air dapat berevolusi
menuju kehidupan yang rumit di daratan?, maka Hawking akan menjawab: “Bentuk-bentuk
kehidupan pertama mengonsumsi berbagai bahan, termasuk hidrogen sulfida, dan
melepaskan oksigen. Pelan-pelan pelepasan oksigen itu mengubah atmosfer seperti
sekarang, dan memperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk kehidupan berderajat
tinggi seperti ikan, reptil, mamalia, dan akhirnya umat manusia.” (Hawking,
2013;118).
Setelah
mengkonsepsi teori Bing Bang, Hawking kemudian meminjam alur argumentasi
kaum evolusionis untuk merujuk pada asal mula kehidupan.
Penyajian
tersebut memang terlihat sangat singkat, namun dapat dikatakan hipotesis ini
merupakan kesimpulan akhir dari para pegiat Evolusi secara umum yang telah
merangkum dua kategori besar dari teori Evolusi, baik Makro maupun Mikro,
sebagaimana yang disajikan oleh Richard Dawkins, Biolog Evolusioner asal
Britania.
Hawking memang
tidak menjabarkan lebih jauh mengenai detail konsepsi evolusi makro dan mikro,
selain hanya sebuah keterangan singkat dan konklusi. Hal ini tentu menjadi
suatu tanda tanya bagi pembaca.
Namun terlepas
dari semua asumsi yang dapat kita ajukan, Hawking tentu dengan eksplisit
menerima kajian evolusi sebagai teori asal mula kehidupan yang berkembang dari
evolusi kimiawi, sel tunggal, hingga berlanjut pada kompleksitas makhluk hidup.
Singkatnya
dasar pijakan Hawking atas dua teori besar sains modern di atas mengacu pada
dua pondasi utama; pertama, teori Bing Bang (ledakan/dentuman besar)
yang ditopang oleh analisa Hubble, dan kedua, teori asal mula kehidupan yang
ditopang oleh penelitian H.J Muller dalam rekonstruksi radiasi dengan mutasi
gennya.
Sejauh kajian
sains populer yang berkembang, pengamatan-pengamatan dari para ahli ini masih
menjadi dasar pijakan bagi sejawat dan generasi sesudah mereka hingga saat ini.
Mengintip
Epistemologi Hawking
Seperti
paragraf pembuka di atas, Hawking termasuk dalam jajaran Ilmuan ateis (atau
mungkin juga seorang Deisme skeptis?) pasca “Pencerahan” yang bertolak dari
dasar epistemologi sains modern—positivisme logis—dalam kemasan narasi kaum
naturalis yang sangat khas.
Penekanan ini
perlu penulis kemukakan sebagai panduan untuk memahami alur pemikiran Hawking
(dan juga para Ilmuan sekuler lainnya) ketika kita beranjak pada analisa
teorinya tentang asal mula alam semesta.
Dasar pijakan
presuposisi Hawking pada positivisme logisdengan sistem tertutup, serta
sentimen profesi yang kaku sebagai seorang Ilmuan modern otonom, menjadi
kosekuensi logis di mana Hawking harus melepaskan semua unsur “agama” dan
“filsafat” pada setiap teori yang dibangun.
Itu sebabnya
Hawking dalam teorinya tentang asal mula alam semesta pada akhirnya bertumpu
pada dua teori besar yang populer, Bing Bang dan Evolusi.
Prinsip
kemadirian sains modern pada akhirnya melahirkan sebuah kecenderungan bagi
semua Ilmuan modern yang ingin dikenal sebagai seorang Saintis “murni”, untuk
menggunakan suatu pola mendasar yang sama; “Menyusun kura-kura di atas susunan
kura-kura yang ‘sejenis’” (pada bagian kesimpulan A Brief History Of Time,
hal. 177.
Hawking menolak
konsepsi ini, namun tanpa disadari ia menggunakannya ketika ia meminjam teori Big
Bang dan Evolusi sebagai pijakan bagi hipotesisnya).
Masing-masing
teori sains yang dibangun harus bertumpu pada teori-teori sains lainnya yang
sejenis (dalam konsepsi epistemologis) untuk membentuk suatu hipotesis “ilmiah”
(baca: terlepas dari intervensi unsur adikodrati), meskipun pada titik tertentu
teori-teori tersebut saling tumpang tindih dan kontradiksi satu dengan yang
lain.
Hak tersebut
sudah menjadi semacam aturan tak tertulis oleh karena prinsip sains
modern memiliki satu pola pendekatan epistemologi yang serupa (positivisme
logis) dan otonom (berbasis pada rasionalisme dan empirisisme), sekaligus
kontra terhadap epistemologi religius yang berseberangan.
Konsep
epistemologi Hawking yang bertumpu pada positivisme logis, telah memberikan
kontribusi signifikan dalam setiap kajian teoritis, hipotesis, asumsi,
argumentasi, serta konklusi pada setiap teori yang ia kemukakan. Itu sebabnya,
tidaklah mengherankan jika pada akhirnya hipotesis-hipotesis Hawking akan
selalu berujung pada kecenderungan ateisme.
Meski demikian
Hawking cukup memiliki jiwa yang besar dan terbuka terhadap kritik. Setidaknya
hal ini diakui pada bagian awal karyanya, “Semua teori fisika selalu bersifat
sementara, dalam arti bahwa teori itu hanya berupa hipotesis: tak bisa
dibuktikan benar” (Hawking, 2013;10).
Terlepas dari setiap
kritik yang digemakan oleh para Ilmuan yang berseberangan, Filsuf dan juga
Teolog terhadap hipotesis-hipotesis Saintis yang nyentrik seperti
Hawking cs, harus diapresiasi bahwa kajian-kajian sains modern (secara umum)
yang begitu maju telah memberikan dampak yang signifikan bagi peradaban umat
manusia saat ini, dengan tetap menggaris bawahi beberapa catatan penting
mengenai sisi etis kemanusiaan. (yb)._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar