Kamis, 07 Maret 2019

RENUNGAN : ANTARA PERTIMBANGAN RASIO DAN FIRMAN TUHAN.


(16) Lalu bersumpahlah raja Zedekia dengan diam-diam kepada Yeremia, katanya: "Demi TUHAN yang hidup yang telah memberi nyawa ini kepada kita, aku tidak akan membunuh engkau dan tidak akan menyerahkan engkau ke dalam tangan orang-orang yang berusaha mencabut nyawamu itu!" (17) Sesudah itu berkatalah Yeremia kepada Zedekia: "Beginilah firman TUHAN, Allah semesta alam, Allah Israel: Jika engkau keluar menyerahkan diri kepada para perwira raja Babel, maka nyawamu akan terpelihara, dan kota ini tidak akan dihanguskan dengan api; engkau dengan keluargamu akan hidup. (18) Tetapi jika engkau tidak menyerahkan diri kepada para perwira raja Babel, maka kota ini akan diserahkan ke dalam tangan orang-orang Kasdim yang akan menghanguskannya dengan api; dan engkau sendiri tidak akan luput dari tangan mereka." (Yer. 38:16-18).
 
_______________

Pasal tiga puluh delapan kitab Yeremia merupakan klimaks pelayanan nabi Yeremia di kerajaan Yehuda (selatan), sebelum kerajaan ditakhlukkan dan diangkut ke pembuangan Babel. Penolakan demi penolakan diterima Yeremia hingga pada puncaknya, raja Zedekia yang masih ragu-ragu bertanya sekali lagi kepada Yeremia perihal firman Tuhan perihal masa depan kerajaan Yehuda. Jawaban sang nabi  pun tetap sama, Jika engkau keluar menyerahkan diri kepada para perwira raja Babel, maka nyawamu akan terpelihara, dan kota ini tidak akan dihanguskan dengan api; engkau dengan keluargamu akan hidup.” 
Siapapun yang berada dalam posisi Zedekia, pasti mengalami dilema. Di satu sisi, Zedekia sebagai Raja Yehuda harus mempertahankan martabatnya dengan tetap bertahan terhadap gempuran serangan Babel. Keputusan politik Zedekia juga didukung oleh semua tua-tua Yehuda, dan para nabi pada zaman itu kecuali Yeremia. Dukungan Hal ini menyebabkan Zedekia berada dalam posisi dilematis yang sulit. Ia menyadari betul bahwa Yeremia adalah abdi dan nabi Allah yang senantiasa menyuarakan kebenran firman Tuhan. Namun ia juga tidak dapat memungkiri dukungan dari para pembesar dan nabi-nabi lain di belakangnya. Dorongan yang kuat antara sikap patriotisme, agama, serta nama besar sebagai raja Yehuda pada akhirnya menghantarkan Zedekia pada keputusan akhir menolak firman Tuhan.

Selain hal-hal ini terdapat satu pertimbangan lain yang mungkin saja menjadi hal utama dari keputusan keliru Zedekia tersebut. Hal tersebut adalah pertimbangan logis mengenai resiko dari firman Tuhan yang disampaikan Yeremia. Bagi Zedekia, adalah mustahil bahwa raja Babel akan melepaskan dirinya, ia tidak akan mati, dan Yerusalem tidak akan dihancurkan. Memang secara logis hal ini sangat sulit diterima dengan pertimbangan rasional. Bagaimana mungkin secara nalar sehat Zedekia dapat percaya bahwa ketika ia menyerahkan diri kepada seorang raksasa pemberangus kerajaan-kerajaan besar, maka ia justru akan selamat, terpelihara, kota tetap aman. Sebaliknya, jika ia berusaha melawan atau melarikan diri, maka ia pasti akan mati. 

Bertahan dan melarikan diri adalah pertimbangan yang paling patriotis, dan masuk akal, juga memiliki peluang untuk hidup lebih besar dibandingkan menyerahkan diri kepada raja babel yang sama dengan mati konyol. Minimal, jika beruntung, Zedekia dapat selamat dan tidak dijajah. Mungkin demikian pertimbangan Zedekia. Dan jalan inipula lah yang ditempu Zedekia, sehingga ia harus menerima penggenapan dari peringatan firman Tuhan yang disampaikan bahwa, “kota ini akan diserahkan ke dalam tangan orang-orang Kasdim yang akan menghanguskannya dengan api; dan engkau sendiri tidak akan luput dari tangan mereka.”

Pada titik ini Zedekia dan seluruh kerajaan Yehuda ditantang untuk memilih diantara pertimbangan rasional dan kebenaran firman Tuhan. Percaya pada strategi perang, pertimbangan rasio, patriotisme, tua-tua Yehuda, serta para nabi yang bernubuat palsu atau percaya pada kebenaran firman Tuhan yang sejati dengan sebuah langkah iman yang menggetarkan, namun dijamin oleh Tuhan?

Sebagai umat Tuhan, kita pun terkadang diperhadapkan pada situasi demikian. Dalam menghadapi suatu situasi atau dalam pengambilan suatu keputusan, segala sesuatu kita pertimbangkan dengan matang, baik setiap resiko, dan kemungkinan-kemungkinan terburuk sekalipun. Kita cenderung menghidar setiap resiko yang besar, kita percaya pada kemampuan daya nalar kita yang hebat, kita meminta saran dan pertimbangan dari orang-orang berpengalaman, dan bahkan kita mengaminkan semua “nubuatan-nubuatan” yang sesuai dengan kehendak kita dengan nada suara yang kencang. Kita pada dasarnya tidak ingin masuk dalam suatu keadaan yang beresiko apalagi membahayakan diri kita. Itulah gambaran keadaan kita, Zedekia-zedekia modern. 

Tetapi pelajaran penting dari kisah raja Zedekia dalam nats ini perlu menjadi suatu peringatan penting bahwa setiap pertimbangan dan keputusan terbaik yang kita miliki, adalah tidak lebih baik dari rencana dan rancangan Tuhan dalam hidup kita! meskipun hal tersebut terlihat seolah-olah bertentangan dengan semua pertimbangan terbaik rasio kita, namun terdapat banyak hal yang terkadang kita lupa. Kita lupa bahwa jangkauan akal budi kita terbatas, kita lupa bahwa pandangan mata jasmani kita terbatas, kita lupa bahwa rancana masa depan kita tidak bergantung pada kehebatan kita. Dan kita lupa bahwa Tuhanlah yang memegang kendali atas hidup kita. 

Konteks kebenaran bacaan ini memang menyajikan bentuk penghukuman Tuhan kepada Yehuda yang harus masuk dalam pembuangan di Babel. Akan tetapi suatu kebenaran mengenai anugerah Tuhan juga tidak terlepas dari kehidupan umat Tuhan dalam pembuangan. Dengan kata lain, meskipun Tuhan menghukum dan mengijinkan penderitaan, namun Tuhan menyertai dan memberi jaminan pemeliharaan yang ajaib di negeri orang. Hanya membutuhkan langkah iman untuk mempercayai janji Tuhan ini saja, maka pemeliharaan dan keselamatan dari Tuhan akan dinyatakan.

Saudara, ketika kita berada dalam dilema untuk mengambil suatu keputusan penting yang sulit, maka hal pertama yang kita perlu lakukan  adalah bertanyalah pada Tuhan atau pada nabi-Nya seperti Zedekia perihal kebenaran firman Tuhan. Namun langkah berikutnya, tidak seperti Zedekia yang menghindar dari pesan Tuhan, akan tetapi kita perlu taat, meskipun seolah-olah tidak ada jalan keluar. Ketaatan membutuhkan penyerahan diri total dan iman yang tidak setengah-setengah. Dengan ketaatan pula, kita bukan hanya mengakui keterbatasan pertimbangan rasio dan kemampuan kita, namun kita sekaligus memproklamirkan kedaulatan Tuhan atas hidup kita sehingga rancangan indah Tuhan yang melampaui rancangan kita yang kerdil itu dapat tergenapi.

Percaya dan melangkah lah bersama Tuhan dengan sepenuh hati, karena bersama dengan Tuhan kita memiliki dua pilihan yang lebih baik dari apa yang kita rancangkan—Memasuki pergumulan dengan penyertaan dan jaminan Tuhan serta keluar sebagai umat pemenang, atau diluputkan dari pergumulan dengan tetap tinggal dalam perkenanan Tuhan. Kedua hal ini adalah pilihan yang terbaik bagi kita dibandingkan dengan pertimbangan paling rasionil dan terbaik menurut kita, namun tidak sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan. Amin! (yb)._




Rabu, 06 Maret 2019

RENUNGAN : PELAYANAN YANG TIDAK POPULER


Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.--Matius 4:23 (TB)
__________

Cakupan pelayanan gerejawi memiliki lingkup jangkauan yang sangat luas. Masa kini kita sering mendengar dua istilah yang berhubungan dengan pelayanan gerejawi--pelayanan mimbar dan "di belakang mimbar". Sementara itu salah satu bentuk pelayanan yang masuk dalam trilogi pilar utama gereja yang alkitabiah adalah pelayanan diakonial (melayani/pelayanan kasih).

Pada umumnya sebagian besar jemaat yang terjun dalam dunia pelayanan akan cenderung berlomba untuk ambil bagian dalam pelayanan mimbar. Entah dengan berbagai alasan pelayanan mimbar memang memiliki daya tarik tersendiri bagi umat Tuhan. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar memberikan hidupnya untuk terjun dalam pelayanan "di belakang mimbar". Salah satu jenis pelayanan "di belakang mimbar" yang sangat jarang dilirik dalam pelayanan gerejawi adalah pelayanan kunjungan/pelawatan orang sakit.

Berbanding terbalik dengan kecenderungan para pelayan gereja modern yang cenderung ingin eksis di mimbar gereja, Tuhan Yesus justru memperlihatkan suatu keutamaan pelayanan lawatan orang sakit yang terlupakan. Suatu jenis pelayanan yang selalu disandingkan dengan pemberitaan Injil. Pemberitaan Injil dan pelayanan lawatan kesembuhan seperti dua sisi mata uang, keduanya tak terpisahkan dalam pelayanan Kristus.

Bacaan di atas merupakan permulaan pelayanan Tuhan Yesus pasca baptisan. Dan dua jenis pelayanan yang menyatu dalam setiap kunjungan-Nya hanya ada dua, pemberitaan Injil (Marturia) dan lawatan orang sakit (diakonia). Pelayanan berita Injil di atas mimbar memang penting namun memperhatikan, melawat, mengunjungi saudara yang membutuhkan uluran tangan kita pun, tidak kalah pentingnya.

Disini kita melihat suatu kesinambungan pelayanan Tuhan Yesus dengan menyelamatkan jiwa/roh sekaligus menyelamatkan dan memperhatikan mereka yang menderita sakit fisik.

Pelayanan kunjungan/lawatan orang sakit memang tidak populer dalam dunia pelayanan gerejawi. Namun tidak bagi Tuhan Yesus. Pernahkah kita bertanya mengapa pelayanan kunjungan dan lawatan kasih bagi orang sakit itu sangat penting? Sepenting apakah sampai-sampai Tuhan Yesus repot-repot harus melakukannya disela-sela pemberitaan Injil?

Ini yang menjadi perenungan pribadi saya tentang betapa pentingnya hal ini. Terdapat dua jawaban dengan dua perspektif (teologis dan psikologis). 

Jawaban teologisnya mengenai lawatan kesembuhan yang Tuhan Yesus sertakan dalam pemberitaan Injil adalah sebagai bentuk manifestasi kuasa dan otoritas dari berita yang Ia sampaikan sebagaimana gambaran Sang Mesias dalam nubuatan para nabi PL. Kuasa dan mukjizat yang Ia lakukan mengkonfirmasikan bahwa isi berita Injil dan Siapa Ia sesungguhnya dinyatakan secara eksplisit bagi dunia.

Secara psikologis, pelayanan lawatan orang sakit ini menggambarkan kepedulian, kasih, dan perhatian Tuhan bagi penderitaan kita. Pelayanan demikian justru sangat penting karena dalam keadaan yang sulit, secara psikologis kita rentan untuk berputus asa dan hilang pengharapan. Mereka yang mengambil bagian dalam pelayanan demikian justru memberikan dampak yang sangat signifikan bagi jemaat Tuhan yang dikunjungi. Tidak ada sukacita yang lebih besar daripada sukacita karena dikunjungi, didoakan, diperhatikan, dan didukung oleh orang-orang terdekat dan saudara seiman.

Sisi lainnya, bentuk pelayanan lawatan/kunjungan demikian juga mengekspresikan kasih kita kepada Tuhan dan sesama, "... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Mat. 25:40). Adalah sebuah kebohongan jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan namun tidak perduli kepada sesama. Salah satu jenis pelayanan yang paling eksplisit tentang praktik kasih dalam ayat ini adalah dengan praktek pelayanan pelawatan/kunjungan.

Singkatnya, pelayanan lawatan orang sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan yang sangat penting bagi gereja karena bentuk pelayanan demikian merupakan perpanjangan tangan Tuhan yang menyentuh dan memulihkan baik tubuh, jiwa maupun roh. Lebih sederhana lagi, jenis pelayanan ini tidak membutuhkan skill khusus yang bertele-tele, hanya cukup dengan kerelaan hati saja.

Seperti teladan Kristus, jika sempat dan memungkinkan, lawatlah mereka yang membutuhkan uluran tangan kasih kita, karena sekecil apapun perhatian dan bantuan yang kita berikan, sungguh sangat membawa dampak yang besar dalam hidup mereka.

Namun saya perlu mengingatkan Saudara bahwa bentuk pelayanan demikian tidak akan membuat Saudara populer di mata banyak orang, namun Saudara akan mengukir kasih Kristus yang tulus di hati sesama yang saudara layani, dan di hati Tuhan. Amin...

Amsal 17:17 (TB) Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.

______
Nb. Tulisan ini saya dedikasikan bagi orang-orang terpenting yang sudah mengukirkan nama mereka dalam sejarah hidup saya, dan yang sudah bersedia mendampingi saya melalui masa-masa sulit beberapa waktu lalu. Kiranya Tuhan memberkati Saudara sekalian! Terima kasih banyak!
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku..."

ESAY TEOLOGI : KRITIK TEKS PERJANJIAN BARU [Mengkritisi Hipotesis Barth D Ehrman]


KRITIK TEKS PERJANJIAN BARU : Hipotesis Barth D. Ehrman.

Oleh : Yosep Belay

 

Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita,seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu,supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.--Lukas 1:1-4 (TB)

_______

Pendahuluan.

Alkitab merupakan salah satu pilar utama iman Kristen. Keterandalannya sebagai pondasi iman namun sekaligus merupakan naskah kuno, menjadikan Alkitab tidak lepas dari kritik. Voltaire, filsuf Perancis abad ke 18 yang menggemakan sumpah serapah terhadap kekristenan, dengan Alkitab ditangannya ia berkata bahwa dalam seratus tahun sesudah zamannya kekristenan dan Alkitab akan musnah. Namun sebuah ironi sejarah bahwa hanya lima puluh tahun sesudah kematiannya, Lembaga Alkitab Genewa menggunakan rumahnya sebagai tempat untuk mencetak bertumpuk-tumpuk Alkitab.

Jauh sebelum Voltaire, kaisar Diocletianus pada tahun 303 M mengeluarkan suatu maklumat untuk mengekang kekristenan dan memusnahkan Alkitab. Namun lagi-lagi ironi sejarah mengatakan sebaliknya, kaisar Konstantinus yang menggantikan Diocletianus justru mendukung dan memerintahkan agar diterbitkannya 50 eksemplar Alkitab. 

Sepanjang sejarah gereja, kritik terhadap keabsahan Alkitab tidak pernah berhenti. Demikian halnya pada zaman kita hari ini. Meskipun bukan tema yang baru dalam kajian kritik teks, khususnya pada kajian "Kritik tinggi" (High Criticism), namun pengulangan-pengulangan tema tersebut selalu menjadi perhatian, terutama ketika isu-isu tersebut sampai di kalangan awam.

Bart D Ehrman merupakan salah satu nama yang paling mencolok saat ini. "Misquoting Jesus", buku karyanya yang berselancar di pasaran dalam Negeri pada dekade awal 2006 silam, telah menimbulkan ragam pertanyaan mengenai kredibilitas Alkitab. Karya nyentriknya tersebut juga menjadi rujukan bagi kalangan liberal sebagai dasar argumentasi, oleh karena Ehrman merupakan salah satu ahli kritik teks dengan lulusan Princeton Theologycal Seminary.
Dalam kritiknya Ehrman berargumen bahwa, "Selain itu, sebagian besar orang Kristen di sepanjang sejarah gereja tidak memiliki akses untuk membaca naskah aslinya, sehingga keterilhaman naskah-naskah itu dipertanyakan. Kita bukan hanya tidak memiliki naskah aslinya, kita juga tidak memiliki salinan pertama dari naskah aslinya. Kita bahkan tidak memiliki salinan dari salinan naskah aslinya. Yang kita miliki hanyalah salinan yang dibuat lama kemudian-sangat lama kemudian." Demikian pendapat Ehrman. Dalam beberapa ceramahnya, Ehrman juga menyampaikan bahwa "94% naskah Perjanjan Baru yang kita miliki saat ini berasal dari abat ke 9 dan setelahnya." Dengan dasar demikian Ehrman akhirnya memutuskan untuk tidak lagi meyakini keterandalan kitab Perjanjian Baru.

Singkatnya hipotesis yang diterima Ehrman bermuara pada penolakan terhadap Alkitab sebagai firman Allah karena ketiadaan Autographa (naskah asli Alkitab), banyaknya kesalahan dalam salinan-salinan teks yang dimiliki serta sebagian besar teks yang dimiliki saat ini berasal dari abad ke 9 dan sesudahnya.

Menguji Hipotesis Ehrman.

Mangajukan kritik terhadap asumsi dan hipotesis Ehrman tentu membutuhkan analisa dan studi mendalam. Tulisan ini tentu saja disajikan dengan sangat singkat namun diusahakan agar memenuhi beberapa kriteria sebagai landasan bagi bangunan kritik ilmiah yang disajikan.

Pertama, kita perlu memahami bahwa dari segi historis teks, Alkitab adalah satu-satunya naskah teks kuno dengan jumlah terbanyak pertama di dunia. Hingga saat ini, jumlah salinan-salinan teks Perjanjian Baru sudah mencapai sekitar 5.300 salinan bahasa Yunani, belum m ncakup dari berbagai bahasa lain seperti Latin, Etiopia, Armenia, Arab, dll. Tidak pernah ada satu naskah kuno mana pun di dunia ini yang dapat menandingi seleksi historis mengenai salinan teks. Hal ini belum ditambah dengan kutipan-kutipan Perjanjian Baru yang termuat pada surat-surat pastoral oleh Bapa-Bapa Gereja. Jika dijumlahkan, maka kita akan menjumpai totalnya sebanyak 24.633 naskah! (McDowell, 2007;8).

Kepakaran dan keterandalan dari argumen Ehrman seharusnya dapat dipercaya jika ia memang melakukan studi mendalam yang menyeluruh dari analisa semua dokumen yang ada. Jika hanya sebuah analisis yang berbasis pada kritik teks yang dilakukan kepada beberapa bagian teks manuskrip maka apakah hal tersebut dapat mewakili sebuah kajian ilmiah? 

Itu sebabnya asumsi Ehrman yang mengatakan bahwa "94% naskah Perjanjian Baru berasal dari abat ke 9 dan sesudahnya" perlu dipertanyakan lebih jauh. Jika asumsi yang ia ajukan ini benar itu berarti Ehrman sudah menyelidiki secara komprehensif dan menyeluruh terhadap semua naskah teks yang kita miliki saat ini. Tetapi sekali lagi, tidak ada seorang ahli pun yang pernah melakukan analisa yang menyeluruh seperti itu, selain hanya melakukan kritik teks sumber sebagi dasar yang digunakan untuk merujuk pada penerjemahan Alkitab seperti yang sampai di tangan kita saat ini (Tiga Kodex utama [selain sumber naskah lain] yang digunakan adalah kodex Sinaitikus, Vatikanus, dan Byzantin [Tekstus Receptus] dari abad ke 3 dan ke 4 M).

Kita dapat bertanya lebih jauh, darimana ia memperoleh kesimpulan bahwa 94% naskah yang ia argumentasikan itu berasal dari paruh abad ke 9, jika 24 ribu naskah teks yang ada belum pernah ia teliti? Tentu saja hal ini merupakan suatu generalisasi yang ngawur! Dan bahkan sama sekali mengerdilkan sifat ilmiahnya. Asumsi ini akan menjadi benar jika Ehrman memang benar-benar telah mengkaji 100% naskah yang ada sehingga ia mampu mengatakan bahwa 94% diantaranya datang dari paruh abad ke 9.

Selain itu kita perlu bertanya, dengan dasar, standar, dan metode seperti Ehrman menentukan abad ke 9 sebagai waktu yang tepat bagi asumsi asal 94% naskah PB itu berasal? Bukankah perlu tes karbon, tinta, bahan, dan lainnya merupakan dasar kajian ilmiah untuk menentukan waktu berasalnya suatu teks kuno? Jika demikian, maka kita kembali bertanya, sudahkah Ehrman melakukan uji ilmiah untuk asumsinya mengenai 94% teks tersebut? Jika belum, lantas dasar ilmiah dari asumsinya tersebut apa?

Dalam sebuah diskusi Erhman merujuk kepada asumsi John Mill. Ehrman mengatakan demikian,

      “Di tahun 1707 ada seorang sarjana terkenal bernama John Mill, sarjana Oxford. John Mill menghabiskan tiga puluh tahun mempelajari naskah yang bisa ia dapatkan. Dia memiliki seratus naskah Yunani yang dapat ia periksa, dan ia memiliki kutipan Perjanjian Baru dalam terjemahan kuno dan Koptik, Siria, dan Lantern. Dan dia juga memiliki beberapa kutipan Perjanjian baru yang ditulis oleh Bapa Gereja. Dia memeriksa bukti-bukti tersebut pada tahun 1707 dan setelah berusaha keras dia menerbitkan buku bernama Novum Testamentum Graecum Perjanjian Baru Yunani. Yang mungkin mengejutkan bagi pembaca, John Mill dalam Novum Testamentum Graecum menunjukan bahwa terdapat 30.000 perbedaan diantara naskah-naskah yang ia teliti.” (https://www.youtube.com/watch?v=TIRlMSfl7rE).

Penelitian Mill tersebut menjadi tolak ukur Ehrman untuk mengajukan sebuah asumsi yang non akademis. Ehrman berasumsi bahwa Mill hanya memeriksa 100 naskah sementara kita memiliki 5.500 naskah saat ini. Ia kemudian melanjutkan asumsi ini dengan sebuah pembenaran yang non ilmiah bahwa jika penelitian Mill hanya memuat 100 naskah sudah memiliki perbedaan sekitar 30.000 varian, maka bagaimana dengan 5.500 naskah yang ada saat ini. Asumsi ini seolah-olah ingin menegaskan bahwa perbedaan varian ini akan semakin bertambah seiring dengan ribuan naskah yang diteliti.

Namun sekali lagi, Ehrman tidak menunjukan detail naskah-naskah teks yang diteliti oleh Mill, juga contoh-contoh varian (minimal beberapa yang paling krusial) yang memiliki perbedaan hingga ribuan itu. Asumsi demikian seolah-olah dibiarkan Ehrman menggantung di awan-awan dengan harapan dapat mematikan keyakinan dasar Injili. Tentu saja, Ehrman tidak dapat menunjukan secara spesifik mengenai data-data yang diteliti Mill, itu sebabnya ia pun tidak dapat berbicara banyak, selian hanya mengulang apa yang disampaikan Mill.

Dari informasi yang ada kita menjumpai bahwa salah satu naskah teks yang paling krusial menjadi rujukan dalam penelitian Mill adalah naskah codex Alexandrianus, sebuah codex dari abat ke – 5M yang memiliki bentuk dari terjemahan latin Septuaginta (wikipedia.org/wiki/John_Mill.) Meskipun teks tersebut merupakan salah satu dari empat codex terbaik, namun kita tidak dapat menarik suatu generalisasi yang menjadi konklusi dari keterbatasan sumber penelitian untuk mengatakan bahwa terdapat puluhan ribu varian dalam naskah PB.

Namun dalam penelitian kritik teks yang lebih terkini, Kurt Aland dan Eberhard Nestle memberikan suatu gambaran lain yang meskipun memiliki ciri yang berbasis pada Codex Alexandrianus (wikipedia.org/wiki/Teks_Alexandria), namun dalam perbandingan tekstual yang dikerjakan oleh Aland, ia justru menjumpai hal berbeda mengenai perbedaan varian tersebut. Aland mengatakan,

       “Jadi hampir dua pertiga teks Perjanjian Baru, dalam ketujuh edisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang kami periksa, sesuai satu sama lain, dengan tidak ada perbedaan, kecuali dalam detail ortografi (misalnya ejaan nama dan sebagainya). Ayat-ayat di mana salah satu dari tujuh edisi tersebut hanya berbeda satu kata tidak dimasukkan hitungan. Hasil ini sangat menakjubkan, menunjukkan kesesuaian yang jauh lebih tinggi di antara teks Perjanjian Baru bahasa Yunani pada abad terakhir, daripada yang diperkirakan oleh pakar tekstual.” (wikipedia.org/wiki/Novum_Testamentum_Graece).

Penelitian Aland justru memberikan suatu gambaran yang sangat berbeda dengan apa yang digembar-gemborkan oleh Ehrman. Pada poin pertama ini kita melihat banyak hal yang terlihat tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Argumentasi yang ehrman ajukan justru lebih bersifat spekulatifdan tidak ilmiah.

Kedua, permasalahan Ehrman yang mempertanyakan ketiadaan Autographa (naskah asli) sebagai dasar penunjang Perjanjian Baru sebagai firman Allah juga kurang tepat. Ketiadaan Autographa tidak menjadi landasan mutlak bahwa Alkitab bukanlah firman Allah. Perlu kita petakan pernyataan ini menjadi dua bagian kajian. Pertama kajian teologis dan yang kedua kajian ilmiah. 

Jika kita berbicara mengenai kajian teologis maka sudah pasti Alkitab sebagai firman Allah tidak perlu lagi diragukan karena Alkitab diturunkan berdasarkan dua tradisi, lisan dan tulisan. Kedua tradisi ini diturunkan dengan begitu teliti, sebagaimana yang tercermin dalam surat-surat pastoral dari para Bapa Gereja. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak memiliki dokumen-dokumen asli itu. Perhatikan pembelaan Tertulianus terhadap para kritikus di jamannya sebagai berikut, “Marilah hai engkau yang memerlukan lebih banyak jawaban untuk  keselamatanmu, datanglah ke Gereja-gereja Apostolik yang masih memiliki dan membacakan tulisan-tulisan otentik dari para rasul."   (Darrel L. Bock dan Daniel B. Wallace, 2009:54).

Argumen ini membuktikan secara eksplisit bahwa hingga menjelang abat ke-3 M, gereja masih memiliki dan memelihara tulisan-tulisan original dari para Rasul.

Perlu kita perhatikan juga bahwa regulasi surat-surat Perjanjian Baru pada waktu itu, sudah mengenal sistem penyalinan. Sistem ini berfungsi sebagai instrumen pengajaran dan penggembalaan pastoral. Jadi dapat kita asumsikan bahwa selain naskah asli yang disimpan oleh otoritas gereja Apostolik, terdapat juga salinan-salinan yang dibuat untuk dibagikan bagi jemaat-jemaat rumah di tempat lain sebagai panduan penggembalaan.

Jika kita memperhatikan akhir kehidupan Tertulian pada tahun 230 M, dengan sejumlah peningalan naskah-naskah asli yang ia saksikan tersebut maka kita akan memperoleh perbedaan waktu yang sangat tipis dengan naskah Kodex Vatikanus yang kita miliki saat ini (325-350 M) di Museum Vatikan, dan Kodex Sinaitikus (350 M) di British museum (McDowell, 2007; 89). Perbedaannya tidak sampai 100 tahun! Luar biasa! Bisa jadi kedua Kodex ini merupakan generasi kedua atau ketiga dari naskah-naskah asli jika ditinjau dari segi waktu sebagaimana penegasan Tertulian. Di sini bukan hanya dalam analisa ilmiah Alkitab begitu meyakinkan, namun juga secara implisit kita menyaksikan peran aktif Allah dalam memelihara Firman-Nya.

Penjabaran singkat ini sudah memperlihatkan secara teologis dan ilmiah bahwa asumsi Ehrman sama sekali tidak dapat dipertahankan. Lantas bagaimana dengan perbedaan-perbedaan yang dikatakan Ehrman tersebut? Berikut saya mengutip John Lea dalam tulisannya "The Greatest Book ini the World" sebagai berikut, "Naskah dari semua versi Alkitab Perjanjian Baru telah diakui oleh para cendikiawan bahwa perbedaan yang ada di antaranya lebih disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap kata itu daripada ketidakpastian dari kata itu sendiri." (McDowell, 2007;47). Lebih jauh Wallace mengatakan, “Sudah selama ratusan tahun, para pakar Perjanjian Baru menyatakan bahwa tidak ada varian tekstual yang mempengaruhi doktrin kunci Kekristenan.” (bible.org/article/majority-text-and-original-text-are-they-identical).

Seperti Wallace, FF. Bruce mengemukakan suatu argumen yang senada namun berbeda. Setelah mengkaji kritik teks, Bruce menjelaskan demikian,

       “Dari percobaan dengan mudah terbukti bahwa sukarlah menyalin suatu ayat yang panjang tanpa melakukan suatu kekhilafan. Kalau kita mempunya dokumen-dokumen seperti Perjanjian baru yang disalin dan disalin lagi seribu kali, maka kemungkinan bagi para penyalin untuk membuat kesalahan semakin meningkat sehingga sangat mengherankan bahwa tidak ada lebih banyak kesalahan dari pada (naskah-naskah PB) yang ada sekarang” (FF. Bruce; 1997, 15). 

Betapa mengagumkan bahwa percobaan-percobaan kritik teks yang dilakukan ternyata membuktikan suatu fakta yang justru berbanding terbalik dengan asumsi Ehrman. 

Berbeda dengan apa yang diasumsikan Ehrman, secara umum kita menjumpai bahwa para pakar kritik teks justru mengakui hal yang sebaliknya dari Ehrman.

Perbedaan-perbedaan yang ada pun sama sekali tidak berdampak pada prinsip-prinsip dasar keyakinan iman Kristen. Tentu saja suatu teks yang disajikan dalam suatu bahasa tertentu akan mengalami "penyesuaian tata bahasa" yang sesuai dengan jenis bahasa lain yang akan digunakan. Perbedaan-perbedaatn tata bahasa tersebut hanya bersifat penyesuaian teknis yang tidak mempengaruhi keyakinan dasar iman Kristen.

Tinjauan singkat ilmu sejarah.

Injil Lukas pada bagian awal tulisan ini menyajikan dasar-dasar yang digunakan dalam standar penyajian ilmu sejarah. Tulisan Lukas tersebut memberikan informasi penting mengenai keterandalan data historis karena metode penyajiannya sangat ilmiah--Lukas menyelidiki sumber-sumber Rasuli yang terpercaya, kemudian membukukannya secara sistematis. Itu sebabnya ia mengatakan, "supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar."

Kuntowijoyo memberikan lima prinsip dasar metode analisa sejarah yaitu, Pemilahan topik, Pengumpulan sumber, Verifikasi (keabsahan sumber), Interpretasi (analisis dan sintesis), dan Penulisan. (Kuntowijoyo; 2013, 69). Kajian ilmu sejarah memberikan suatu metode yang baku mengenai prinsip-prinsp dasar analisa, dan keseluruhan dari prinsip-prinsip tersebut juga dengan secara mengagumkan digunakan oleh Lukas sebagai metode kritik sejarah dalam Injilnya. Prinsip serupa juga dapat kita terapkan bagi kepenulisan Injil dan surat-surat lainnya, sebagaimana sumber-sumber yang dijadikan rujukan merupakan sumber-sumber primer dari para saksi mata yang mengalami secara langsung (Yoh. 21:24; KPR. 2:32, 5:32; 2 Ptr. 1:16).

Kebenaran historis dalam kajian ilmiah (ilmu sejarah) harus dimulai dengan kajian yang teliti dari sumber-sumber yang terpercaya. Alkitab sudah memulai hal itu dua ribu tahun lalu--Itulah Alkitab kita. Pernyataan demikian bukanlah suatu sentimen presuposisi penulis, namun kita dapat mengkonfirmasi akurasi kebenaran dari pernyataan ini melalui serangkaian pengakuan sejarawan modern tentang tulisan-tulisan Lukas dan yang lainnya sebagai dokumen sejah kuno yang memiliki tingkat akurasi yang luar biasa.

Penutup.

Gambaran singkat ini mengkonfirmasikan suatu hal penting bagi kita bahwa Alkitab merupakan kebenaran Allah yang tak tertandingi dan tak terbantahkan oleh siapapun. Keterandalannya telah diuji oleh waktu dan dikritik oleh sebagian besar kalangan di sepanjang sejarah. Namun mereka yang mengkritisi telah menjadi bagian dari sejarah sementara Alkitab terus dicetak dan tetap menjadi inspirasi yang mengubah kehidupan jutaan manusia hingga kini.

Apa yang diasumsikan Ehrman dalam kajiannya, secara singkat kita jumpai hanya bersifat spekulatif dan hipotesis. Tidak lebih dari itu. Kecenderungan epistemologi dan presuposisi yang buta menghantarkan Ehrman pada skeptisisme dan liberalisme.

Pelajaran penting lainnya adalah bahwa jangan terburu-buru untuk mengaminkan suatu asumsi oleh karena yang mengatakannya adalah seorang "ahli". Firman Tuhan dalam 1 Tesalonika 5:24 menganjurkan agar kita menguji segala sesuatu. Kata "Ujilah" mengindikasikan bahwa kita perlu bersikap kritis. Untuk itu ujilah setiap pandangan dan asumsi teologis yang berkembang, termasuk apa yang kita pegang, agar kita tidak mudah disesatkan.

Soli Deo Gloria!