KRITIK TEKS PERJANJIAN BARU : Hipotesis Barth D. Ehrman.
Oleh : Yosep Belay
Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha
menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara
kita,seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah
saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala
peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk
membukukannya dengan teratur bagimu,supaya engkau dapat mengetahui, bahwa
segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.--Lukas 1:1-4 (TB)
_______
Pendahuluan.
Alkitab merupakan salah satu pilar utama iman Kristen.
Keterandalannya sebagai pondasi iman namun sekaligus merupakan naskah kuno,
menjadikan Alkitab tidak lepas dari kritik. Voltaire, filsuf Perancis abad ke
18 yang menggemakan sumpah serapah terhadap kekristenan, dengan Alkitab
ditangannya ia berkata bahwa dalam seratus tahun sesudah zamannya kekristenan
dan Alkitab akan musnah. Namun sebuah ironi sejarah bahwa hanya lima puluh
tahun sesudah kematiannya, Lembaga Alkitab Genewa menggunakan rumahnya sebagai
tempat untuk mencetak bertumpuk-tumpuk Alkitab.
Jauh sebelum Voltaire, kaisar Diocletianus pada tahun
303 M mengeluarkan suatu maklumat untuk mengekang kekristenan dan memusnahkan
Alkitab. Namun lagi-lagi ironi sejarah mengatakan sebaliknya, kaisar
Konstantinus yang menggantikan Diocletianus justru mendukung dan memerintahkan
agar diterbitkannya 50 eksemplar Alkitab.
Sepanjang sejarah gereja, kritik terhadap keabsahan Alkitab tidak pernah
berhenti. Demikian halnya pada zaman kita hari ini. Meskipun bukan tema yang
baru dalam kajian kritik teks, khususnya pada kajian "Kritik tinggi"
(High Criticism), namun pengulangan-pengulangan tema tersebut selalu menjadi
perhatian, terutama ketika isu-isu tersebut sampai di kalangan awam.
Bart D Ehrman merupakan salah satu nama yang paling
mencolok saat ini. "Misquoting Jesus", buku karyanya yang berselancar
di pasaran dalam Negeri pada dekade awal 2006 silam, telah menimbulkan ragam
pertanyaan mengenai kredibilitas Alkitab. Karya nyentriknya tersebut juga
menjadi rujukan bagi kalangan liberal sebagai dasar argumentasi, oleh karena
Ehrman merupakan salah satu ahli kritik teks dengan lulusan Princeton
Theologycal Seminary.
Dalam kritiknya Ehrman berargumen bahwa, "Selain
itu, sebagian besar orang Kristen di sepanjang sejarah gereja tidak memiliki
akses untuk membaca naskah aslinya, sehingga keterilhaman naskah-naskah itu
dipertanyakan. Kita bukan hanya tidak memiliki naskah aslinya, kita juga tidak
memiliki salinan pertama dari naskah aslinya. Kita bahkan tidak memiliki
salinan dari salinan naskah aslinya. Yang kita miliki hanyalah salinan yang
dibuat lama kemudian-sangat lama kemudian." Demikian pendapat Ehrman.
Dalam beberapa ceramahnya, Ehrman juga menyampaikan bahwa "94% naskah
Perjanjan Baru yang kita miliki saat ini berasal dari abat ke 9 dan
setelahnya." Dengan dasar demikian Ehrman akhirnya memutuskan untuk tidak
lagi meyakini keterandalan kitab Perjanjian Baru.
Singkatnya hipotesis yang diterima Ehrman bermuara
pada penolakan terhadap Alkitab sebagai firman Allah karena ketiadaan
Autographa (naskah asli Alkitab), banyaknya kesalahan dalam salinan-salinan
teks yang dimiliki serta sebagian besar teks yang dimiliki saat ini berasal
dari abad ke 9 dan sesudahnya.
Menguji Hipotesis Ehrman.
Mangajukan kritik terhadap asumsi dan hipotesis Ehrman
tentu membutuhkan analisa dan studi mendalam. Tulisan ini tentu saja disajikan
dengan sangat singkat namun diusahakan agar memenuhi beberapa kriteria sebagai
landasan bagi bangunan kritik ilmiah yang disajikan.
Pertama, kita perlu memahami bahwa dari segi historis
teks, Alkitab adalah satu-satunya naskah teks kuno dengan jumlah terbanyak
pertama di dunia. Hingga saat ini, jumlah salinan-salinan teks Perjanjian Baru
sudah mencapai sekitar 5.300 salinan bahasa Yunani, belum m ncakup dari
berbagai bahasa lain seperti Latin, Etiopia, Armenia, Arab, dll. Tidak pernah
ada satu naskah kuno mana pun di dunia ini yang dapat menandingi seleksi
historis mengenai salinan teks. Hal ini belum ditambah dengan kutipan-kutipan
Perjanjian Baru yang termuat pada surat-surat pastoral oleh Bapa-Bapa Gereja.
Jika dijumlahkan, maka kita akan menjumpai totalnya sebanyak 24.633 naskah!
(McDowell, 2007;8).
Kepakaran dan keterandalan dari argumen Ehrman
seharusnya dapat dipercaya jika ia memang melakukan studi mendalam yang
menyeluruh dari analisa semua dokumen yang ada. Jika hanya sebuah analisis yang
berbasis pada kritik teks yang dilakukan kepada beberapa bagian teks manuskrip
maka apakah hal tersebut dapat mewakili sebuah kajian ilmiah?
Itu sebabnya asumsi Ehrman yang mengatakan bahwa
"94% naskah Perjanjian Baru berasal dari abat ke 9 dan sesudahnya"
perlu dipertanyakan lebih jauh. Jika asumsi yang ia ajukan ini benar itu
berarti Ehrman sudah menyelidiki secara komprehensif dan menyeluruh terhadap
semua naskah teks yang kita miliki saat ini. Tetapi sekali lagi, tidak ada
seorang ahli pun yang pernah melakukan analisa yang menyeluruh seperti itu,
selain hanya melakukan kritik teks sumber sebagi dasar yang digunakan untuk
merujuk pada penerjemahan Alkitab seperti yang sampai di tangan kita saat ini
(Tiga Kodex utama [selain sumber naskah lain] yang digunakan adalah kodex Sinaitikus,
Vatikanus, dan Byzantin [Tekstus Receptus] dari abad ke 3 dan ke 4 M).
Kita dapat bertanya lebih jauh, darimana ia memperoleh kesimpulan bahwa 94%
naskah yang ia argumentasikan itu berasal dari paruh abad ke 9, jika 24 ribu
naskah teks yang ada belum pernah ia teliti? Tentu saja hal ini merupakan suatu
generalisasi yang ngawur! Dan bahkan sama sekali mengerdilkan sifat ilmiahnya.
Asumsi ini akan menjadi benar jika Ehrman memang benar-benar telah mengkaji
100% naskah yang ada sehingga ia mampu mengatakan bahwa 94% diantaranya datang
dari paruh abad ke 9.
Selain itu kita perlu bertanya, dengan dasar, standar,
dan metode seperti Ehrman menentukan abad ke 9 sebagai waktu yang tepat bagi
asumsi asal 94% naskah PB itu berasal? Bukankah perlu tes karbon, tinta, bahan,
dan lainnya merupakan dasar kajian ilmiah untuk menentukan waktu berasalnya
suatu teks kuno? Jika demikian, maka kita kembali bertanya, sudahkah Ehrman
melakukan uji ilmiah untuk asumsinya mengenai 94% teks tersebut? Jika belum,
lantas dasar ilmiah dari asumsinya tersebut apa?
Dalam sebuah diskusi Erhman merujuk kepada asumsi John
Mill. Ehrman mengatakan demikian,
“Di tahun
1707 ada seorang sarjana terkenal bernama John Mill, sarjana Oxford. John Mill
menghabiskan tiga puluh tahun mempelajari naskah yang bisa ia dapatkan. Dia
memiliki seratus naskah Yunani yang dapat ia periksa, dan ia memiliki kutipan Perjanjian
Baru dalam terjemahan kuno dan Koptik, Siria, dan Lantern. Dan dia juga
memiliki beberapa kutipan Perjanjian baru yang ditulis oleh Bapa Gereja. Dia
memeriksa bukti-bukti tersebut pada tahun 1707 dan setelah berusaha keras dia
menerbitkan buku bernama Novum
Testamentum Graecum Perjanjian Baru Yunani. Yang mungkin mengejutkan bagi
pembaca, John Mill dalam Novum
Testamentum Graecum menunjukan bahwa terdapat 30.000 perbedaan diantara
naskah-naskah yang ia teliti.” (https://www.youtube.com/watch?v=TIRlMSfl7rE).
Penelitian Mill tersebut menjadi tolak ukur Ehrman
untuk mengajukan sebuah asumsi yang non akademis. Ehrman berasumsi bahwa Mill
hanya memeriksa 100 naskah sementara kita memiliki 5.500 naskah saat ini. Ia
kemudian melanjutkan asumsi ini dengan sebuah pembenaran yang non ilmiah bahwa
jika penelitian Mill hanya memuat 100 naskah sudah memiliki perbedaan sekitar
30.000 varian, maka bagaimana dengan 5.500 naskah yang ada saat ini. Asumsi ini
seolah-olah ingin menegaskan bahwa perbedaan varian ini akan semakin bertambah
seiring dengan ribuan naskah yang diteliti.
Namun sekali lagi, Ehrman tidak menunjukan detail
naskah-naskah teks yang diteliti oleh Mill, juga contoh-contoh varian (minimal
beberapa yang paling krusial) yang memiliki perbedaan hingga ribuan itu. Asumsi
demikian seolah-olah dibiarkan Ehrman menggantung di awan-awan dengan harapan
dapat mematikan keyakinan dasar Injili. Tentu saja, Ehrman tidak dapat
menunjukan secara spesifik mengenai data-data yang diteliti Mill, itu sebabnya
ia pun tidak dapat berbicara banyak, selian hanya mengulang apa yang disampaikan
Mill.
Dari informasi yang ada kita menjumpai bahwa salah
satu naskah teks yang paling krusial menjadi rujukan dalam penelitian Mill
adalah naskah codex Alexandrianus, sebuah codex dari abat ke – 5M yang memiliki
bentuk dari terjemahan latin Septuaginta (wikipedia.org/wiki/John_Mill.) Meskipun
teks tersebut merupakan salah satu dari empat codex terbaik, namun kita tidak
dapat menarik suatu generalisasi yang menjadi konklusi dari keterbatasan sumber
penelitian untuk mengatakan bahwa terdapat puluhan ribu varian dalam naskah PB.
Namun dalam penelitian kritik teks yang lebih terkini,
Kurt Aland dan Eberhard
Nestle memberikan suatu gambaran lain yang meskipun memiliki ciri yang berbasis
pada Codex Alexandrianus (wikipedia.org/wiki/Teks_Alexandria), namun dalam
perbandingan tekstual yang dikerjakan oleh Aland, ia justru menjumpai hal
berbeda mengenai perbedaan varian tersebut. Aland mengatakan,
“Jadi hampir dua pertiga teks Perjanjian
Baru, dalam ketujuh edisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang kami periksa,
sesuai satu sama lain, dengan tidak ada perbedaan, kecuali dalam detail
ortografi (misalnya ejaan nama dan sebagainya). Ayat-ayat di mana salah satu
dari tujuh edisi tersebut hanya berbeda satu kata tidak dimasukkan hitungan.
Hasil ini sangat menakjubkan, menunjukkan kesesuaian yang jauh lebih tinggi di
antara teks Perjanjian Baru bahasa Yunani pada abad terakhir, daripada yang
diperkirakan oleh pakar tekstual.” (wikipedia.org/wiki/Novum_Testamentum_Graece).
Penelitian
Aland justru memberikan suatu gambaran yang sangat berbeda dengan apa yang
digembar-gemborkan oleh Ehrman. Pada poin pertama ini
kita melihat banyak hal yang terlihat tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Argumentasi yang ehrman ajukan justru lebih bersifat spekulatifdan tidak ilmiah.
Kedua, permasalahan Ehrman yang mempertanyakan
ketiadaan Autographa (naskah asli) sebagai dasar penunjang Perjanjian Baru
sebagai firman Allah juga kurang tepat. Ketiadaan Autographa tidak menjadi
landasan mutlak bahwa Alkitab bukanlah firman Allah. Perlu kita petakan
pernyataan ini menjadi dua bagian kajian. Pertama kajian teologis dan yang
kedua kajian ilmiah.
Jika kita berbicara mengenai kajian teologis maka
sudah pasti Alkitab sebagai firman Allah tidak perlu lagi diragukan karena
Alkitab diturunkan berdasarkan dua tradisi, lisan dan tulisan. Kedua tradisi
ini diturunkan dengan begitu teliti, sebagaimana yang tercermin dalam
surat-surat pastoral dari para Bapa Gereja. Namun hal itu bukan berarti mereka
tidak memiliki dokumen-dokumen asli itu. Perhatikan pembelaan Tertulianus
terhadap para kritikus di jamannya sebagai berikut, “Marilah
hai engkau yang memerlukan lebih banyak jawaban untuk keselamatanmu, datanglah ke Gereja-gereja Apostolik yang
masih memiliki dan membacakan
tulisan-tulisan otentik dari para rasul." (Darrel
L. Bock dan Daniel B. Wallace, 2009:54).
Argumen ini membuktikan secara eksplisit bahwa hingga
menjelang abat ke-3 M, gereja masih memiliki dan memelihara tulisan-tulisan
original dari para Rasul.
Perlu kita perhatikan juga bahwa regulasi surat-surat
Perjanjian Baru pada waktu itu, sudah mengenal sistem penyalinan. Sistem ini
berfungsi sebagai instrumen pengajaran dan penggembalaan pastoral. Jadi dapat
kita asumsikan bahwa selain naskah asli yang disimpan oleh otoritas gereja
Apostolik, terdapat juga salinan-salinan yang dibuat untuk dibagikan bagi
jemaat-jemaat rumah di tempat lain sebagai panduan penggembalaan.
Jika kita memperhatikan akhir kehidupan Tertulian pada tahun 230 M, dengan
sejumlah peningalan naskah-naskah asli yang ia saksikan tersebut maka kita akan
memperoleh perbedaan waktu yang sangat tipis dengan naskah Kodex Vatikanus yang
kita miliki saat ini (325-350 M) di Museum Vatikan, dan Kodex Sinaitikus (350
M) di British museum (McDowell, 2007; 89). Perbedaannya tidak sampai 100 tahun!
Luar biasa! Bisa jadi kedua Kodex ini merupakan generasi kedua atau ketiga dari
naskah-naskah asli jika ditinjau dari segi waktu sebagaimana penegasan
Tertulian. Di sini bukan hanya dalam analisa ilmiah Alkitab begitu meyakinkan,
namun juga secara implisit kita menyaksikan peran aktif Allah dalam memelihara
Firman-Nya.
Penjabaran singkat ini sudah memperlihatkan secara
teologis dan ilmiah bahwa asumsi Ehrman sama sekali tidak dapat dipertahankan.
Lantas bagaimana dengan perbedaan-perbedaan yang dikatakan Ehrman tersebut?
Berikut saya mengutip John Lea dalam tulisannya "The Greatest Book ini the
World" sebagai berikut, "Naskah dari semua versi Alkitab Perjanjian
Baru telah diakui oleh para cendikiawan bahwa perbedaan yang ada di antaranya
lebih disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap kata itu daripada
ketidakpastian dari kata itu sendiri." (McDowell, 2007;47). Lebih jauh
Wallace mengatakan, “Sudah
selama ratusan tahun, para pakar Perjanjian Baru menyatakan bahwa tidak ada
varian tekstual yang mempengaruhi doktrin kunci Kekristenan.” (bible.org/article/majority-text-and-original-text-are-they-identical).
Seperti Wallace, FF. Bruce mengemukakan suatu argumen
yang senada namun berbeda. Setelah mengkaji kritik teks, Bruce menjelaskan
demikian,
“Dari
percobaan dengan mudah terbukti bahwa sukarlah menyalin suatu ayat yang panjang
tanpa melakukan suatu kekhilafan. Kalau kita mempunya dokumen-dokumen seperti
Perjanjian baru yang disalin dan disalin lagi seribu kali, maka kemungkinan
bagi para penyalin untuk membuat kesalahan semakin meningkat sehingga sangat
mengherankan bahwa tidak ada lebih banyak kesalahan dari pada (naskah-naskah
PB) yang ada sekarang” (FF. Bruce; 1997, 15).
Betapa mengagumkan bahwa percobaan-percobaan kritik
teks yang dilakukan ternyata membuktikan suatu fakta yang justru berbanding
terbalik dengan asumsi Ehrman.
Berbeda dengan apa yang diasumsikan Ehrman, secara
umum kita menjumpai bahwa para pakar kritik teks justru mengakui hal yang
sebaliknya dari Ehrman.
Perbedaan-perbedaan yang ada pun sama sekali tidak
berdampak pada prinsip-prinsip dasar keyakinan iman Kristen. Tentu saja suatu
teks yang disajikan dalam suatu bahasa tertentu akan mengalami
"penyesuaian tata bahasa" yang sesuai dengan jenis bahasa lain yang
akan digunakan. Perbedaan-perbedaatn tata bahasa tersebut hanya bersifat
penyesuaian teknis yang tidak mempengaruhi keyakinan dasar iman Kristen.
Tinjauan singkat ilmu sejarah.
Injil Lukas pada bagian awal tulisan ini menyajikan
dasar-dasar yang digunakan dalam standar penyajian ilmu sejarah. Tulisan Lukas
tersebut memberikan informasi penting mengenai keterandalan data historis
karena metode penyajiannya sangat ilmiah--Lukas menyelidiki sumber-sumber
Rasuli yang terpercaya, kemudian membukukannya secara sistematis. Itu sebabnya
ia mengatakan, "supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang
diajarkan kepadamu sungguh benar."
Kuntowijoyo memberikan lima prinsip dasar metode
analisa sejarah yaitu, Pemilahan topik, Pengumpulan sumber, Verifikasi (keabsahan
sumber), Interpretasi (analisis dan sintesis), dan Penulisan. (Kuntowijoyo;
2013, 69). Kajian ilmu sejarah memberikan suatu metode yang baku mengenai
prinsip-prinsp dasar analisa, dan keseluruhan dari prinsip-prinsip tersebut
juga dengan secara mengagumkan digunakan oleh Lukas sebagai metode kritik
sejarah dalam Injilnya. Prinsip serupa juga dapat kita terapkan bagi
kepenulisan Injil dan surat-surat lainnya, sebagaimana sumber-sumber yang
dijadikan rujukan merupakan sumber-sumber primer dari para saksi mata yang
mengalami secara langsung (Yoh. 21:24; KPR. 2:32, 5:32; 2 Ptr. 1:16).
Kebenaran historis dalam kajian ilmiah (ilmu sejarah)
harus dimulai dengan kajian yang teliti dari sumber-sumber yang terpercaya.
Alkitab sudah memulai hal itu dua ribu tahun lalu--Itulah Alkitab kita.
Pernyataan demikian bukanlah suatu sentimen presuposisi penulis, namun kita
dapat mengkonfirmasi akurasi kebenaran dari pernyataan ini melalui serangkaian
pengakuan sejarawan modern tentang tulisan-tulisan Lukas dan yang lainnya sebagai
dokumen sejah kuno yang memiliki tingkat akurasi yang luar biasa.
Penutup.
Gambaran singkat ini mengkonfirmasikan suatu hal
penting bagi kita bahwa Alkitab merupakan kebenaran Allah yang tak tertandingi
dan tak terbantahkan oleh siapapun. Keterandalannya telah diuji oleh waktu dan
dikritik oleh sebagian besar kalangan di sepanjang sejarah. Namun mereka yang
mengkritisi telah menjadi bagian dari sejarah sementara Alkitab terus dicetak
dan tetap menjadi inspirasi yang mengubah kehidupan jutaan manusia hingga kini.
Apa yang diasumsikan Ehrman dalam kajiannya, secara singkat kita jumpai hanya
bersifat spekulatif dan hipotesis. Tidak lebih dari itu. Kecenderungan
epistemologi dan presuposisi yang buta menghantarkan Ehrman pada skeptisisme
dan liberalisme.
Pelajaran penting lainnya adalah bahwa jangan
terburu-buru untuk mengaminkan suatu asumsi oleh karena yang mengatakannya
adalah seorang "ahli". Firman Tuhan dalam 1 Tesalonika 5:24
menganjurkan agar kita menguji segala sesuatu. Kata "Ujilah"
mengindikasikan bahwa kita perlu bersikap kritis. Untuk itu ujilah setiap
pandangan dan asumsi teologis yang berkembang, termasuk apa yang kita pegang,
agar kita tidak mudah disesatkan.
Soli Deo Gloria!