KERANGKA
POSTMODERNISME DALAM BALUTAN DEKONSTRUKSI DERRIDA
(Alur Pemikiran, Kritik, dan Penerapan Metodologi Dekonstruksi)
(Alur Pemikiran, Kritik, dan Penerapan Metodologi Dekonstruksi)
Oleh:
Yosep Belay
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tokoh penggerak
postmodernisme yang paling berpengaruh sekaligus paling rumit pemikirannya
adalah Jaques Derrida. Mereka yang mempelajari pemikiran Derrida pasti akan
sampai pada satu kesimpulan bahwa pemikirannya begitu rumit oleh karena
dekonstruksi itu sendiri bertujuan untuk mendekonstruksi definisi tunggal semua
sistem makna yang mengurainya menjadi fragmentalis.
Pokok pemikiran dekonstrusksi bertolak dari kritik
fundamental terhadap cara berpikir manusia modern yang menurut Derrida berakar
pada kekakuan tradisi pemikiran filsafat Barat kuno yang tidak memberikan ruang
bagi alternatif kebenaran lain. Cita-cita ini menjadi semacam pilihan lain yang
disajikan Derrida bagi masyarakat postmodern sebagai dampak buntunya terobosan
oleh karena penjara dogmatis (baik agama, filsafat, sains, kebudayaan maupun
social politik).
Derrida mendekonstruksi semua sistem nilai dan makna yang
sudah dibangun ribuan tahun oleh agama dan filsafat untuk berusaha menempatkan
keragaman sebagai realitas ultimat manusia yang
fundamental. Penekanan utamanya pada pesan alteritas (“yang lain”)
inilah dikemudian hari Derrida didaulat sebagai salah satu tokoh postmodernisme
yang berpengaruh. Ringkasan ide pemikiran Derrida tersebut dapat ditelusui
dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Nietzsche, Wittgenstein, Heidegger dan Levinas,
yang menjadi inpirasi teori dekonstruksinya.
Profile
Singkat Jacques
Derrida
Jacques Derrida merupakan warga Aljazair berdarah
Yahudi-Spanyol. Ia lahir di El-Biar, Aljazair pada tanggal 15 Juli 1930. Karena
keaadaan perang dan rasisme dari rezim Nazi yang pengaruhnya juga berimbas di
Aljazair maka Derrida kecil sempat mengalai diskriminasi dan berhenti sekolah.
Semenjak kecil Derrida sudah berkenalan dengan tulisan-tulisan Rousseau, Gide
dan Nietzsche. Pada tahun 1949, dia pindah ke Paris dan mempersiapkan diri
mengikuti ujian filsafat untuk masuk ke sekolah bergengsi École Normale
Supérieure. Derrida gagal di ujian pertamanya ini, tapi dia kemudian lulus
setelah mencoba untuk kedua kalinya pada tahun 1952.
Di sekolah tersebut Derrida berkenalan dengan para
pemikir terkemuka zaman itu seperti Louis Althuser, Michael Foucolt, Pierre
Bourdieu, dll. Sebagian besar karya Derrida berupa komentar-komentar kritis
terhadap para pemikiran filsuf lainnya. Bahkan komentar-komentranya tersebut
lebih panjang dan justru menjadi sebuah wacana pemikiran filosofis baru dari
tulisan yang dikomentarinya tersebut.
Postmodernisme
Postmodernisme secara etimologi mengasumsikan tiga terminologi
yaitu, “post”—pasca/melampaui, “modern”—modern/zaman modern, dan
“isme”—paham/mazhab. Singkatnya dari segi kebudayaan postmodernisme dapat
diartikan sebagai perubahan budaya mulai dari gaya hidup hingga paradigm
berpikir sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
Kajian filsafat postmodernisme umumnya dipisahkan dalam dua
bagian, post-modern dan post-strukuralis. Post-modern
merujuk pada tema kebudayaan dan kritik terhadap harapan-harapan modernisme yang
tidak lagi relevan. Sementara Post-strukturalis
secara spesifik merujuk pada paradigma Derrida dalam mengembangkan Dekonstruksi
perihal bahasa sebagai instrument bangunan filsafat Barat. Singatnya
Post-modern merujuk pada kritik kebudayaan, cita-cita dan filsafatnya secara
umum, sementara Post-struktutralis merujuk pada kritik Derrida terhadap bahasa
yang menjadi pondasi filsafat yang mana kebudayaan modern dan sistem filsafat
modern itu dibangun. Kedua hal ini saling berkaitan dan saling bergantung satu
dengan yang lainnya.
Sebelum masuk ke dalam wacana dekonstruksi, penulis
memberikan gambaran singkat latar belakang perkembadangn historis pemikiran
hermeneutika yang menjadi acuan dan kritik dekonstruksi Derrida.
Ringkas
Sejarah Hermeneutika Modern
Studi filsafat hermeneutic pertama kali dirintis oleh
Schleieremacher (1768-1834) dan berkembang hingga Dilthey (1833-1911) juga
Gadamer (1900-2002). Meskipun terdapat beberapa perbedaan kecil, fokus studi
ketiga tokoh tersebut merupakan sudi hemerenutika normal yang bertujuan untuk
menganalisa dan merekonstruksi maka asli teks.
Awal abat ke-20, Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengembangkan
suatu metode linguistic yang dikenal dengan istilah “sistem tanda” namun
dikemudain hari teorinya tersebut diperkenalkan dengan istilah baru yang lebih
komprehensif yaitu “Strukturalisme”. Sebuah kajian filsafat bahasa dimana
menurutnya, terdapat semacam “struktur” yang tidak teramati dalam konsep
berpikir manusia yang olehnya struktur-struktur itu mengabstraksikan beragam
penjelasan mengenai dunia fenomena melalui bahasa yang dimaknai.
Saussure mengkonsepsikan pandangannya dengan empat
rumusan kunci; 1) langue—parole [abstrak
dan materi], 2) sintakmatic—paradigmatic
[relasional yang beroposisi] , 3) sinkronic—diakronic
[mula-mula dan perkembangan] 4) signifie—significant
[penanda dan pentanda]. Keempat
rumusan ini merupakan struktur-struktur bahasa yang disajikan Saussure dengan
pengandaian oposisional atau oposisi biner. Bahasa dalam perspektif
strukturalisme adalah suatu sistem tanda yang mengeskpresikan idea manusia,
sementara “tanda” merupakan hasil dari hubungan antara “petanda” (konsep—non
meteri) dan “penanda” (kata/bunyi—materi). Dari hubungan opisisional tersebut,
makna kemudian diperoleh. Penerapan sistem tanda yang tepat akan menghasilkan
makna yang seragam (universal) meskipun di dalam keseragaman bahasa yang ada (bahasa
Indonesia, Inggris, Perancis, dll).
Jika hermeneutika Schleiremacher berkutat pada prinsip dan
metodologi untuk merekonstruksi dan mahami maksud mula-mula dari suatu teks,
maka de Saussure mundur ke belakang
dengan pengandaian filosofis mengenai asal mula bahasa yang terkoneksi dengan
dunia idea—bahasa adalah sistem tanda dari produk pikiran yang mengabstraksikan
realitas. Fokus kajian Saussure lebih merujuk kepada sistem-sistem tanda dan
bukan pada rekonstruksi makna teks.
Di samping Saussure yang pengaruh besarnya pada filsafat
bahasa di Perancis (Idealisme jerman), pergerakan yang berbeda justru datang
dari kalangan filsuf Inggris. Terpengaruh oleh empirisisme, filsafat Inggris
justru mengkritisi pandangan Saussure. Kalangan filsuf ini dikenal dengan
sebutan filsafat analitik, atau atomisme logic. Dua tokoh utama yang menjadi
penggerak filsafat ini yaitu Betrand Russell (1872-1970) dan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951). Meskipun bebeda dalam bebera hal, namun kedua pemikir
ini mencoba untuk membangun suatu prinsip logis yang menghubungkan realitas
dengan bahasa secara mutlak sebagai usaha untuk mengakomodir suatu kebenaran
mutlak yang mengokohkan kebenaran sains.
Menurut Russell
bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuah yang benar pula
mengenai dunia karena unsur paling kecil dari bahasa merupakan gambaran paling
kecil dari dunia fakta. Kata-kata
seperti “Tuhan”, “roh”, “surga”, “neraka”, adalah istilah-istilah bahasa yang
absurd, tidak logis dan tidak ilmiah karena tidak dapat mempresentasikan
realitas. Ciri ini yang pada akhirnya mengakomodir spritualitas agnotisme pada
Russell dan model ateisme saintis modern di kemudian hari.
Filsafat bahasa dan hermeneutika mencapai puncak
sekaligus krisis (antithesis) di awal abat ke-21 yaitu kalangan postmodernis
yang diwakili oleh dekonstruksi Derrida.
Mendefinisikan
Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi berasal dari istilah dalam bahasa
Peracis, deconstruire yang berarti
membongkar mesin, dan kemudian memasangnya kembali. Dalam kajian konseptual,
dekonstruksi hanya bertujuan untuk menghasilkan deskripsi, dialog, percakapan,
atau wacana sebagai pemahaman/interpretasi subjektif semata. Istilah ini
dipinjam Derrida dari Heidegger, yang mana dalam kritiknya menggunakan istilah destruction. Secara sederhana
Dekonstruksi dapat digambarkan sebagai satu cara baru dalam membaca teks dengan
menyingkitkan “inti teks” ke pinggir dan menempatkan gagasan yang ada di
“pinggir” menuju kepada inti teks. Jadi membaca secara dekonstruksi berarti membaca
dari “pinggiran teks” dan mengangkat hal-hal yang terpinggirkan itu ke
permukaan inti teks. Jika dalam penerapan ilmu kritis, dekonstruksi saat ini
digunakan sebagai strategi untuk menggucang kategori-kategori dan asumsi-asumsi
dasar dimana pemikiran kita ditegakkan.
Dekonstruksi merupakan cara membaca ganda yang mengalir
begitu saja tanpa dapat diulangi kembali. Hal ini yang menyebabkan Dekonstruksi
itu sendiri tidak mudah didefinisikan bahkan oleh Derrida sendiri, namun ciri
umumnya seperti yang telah disebutkan di atas. Dekonstruksi yang digagas
Derrida seringkali juga disebut sebagai Hermeneutika
Radikal oleh karena bentuk penafsirannya yang sama sekali berbeda dengan
tidak bertujuan untuk merekonstruksi makna teks, namun sebaliknya membuka peluang
bagi pemaknaan yang tak terhingga pada suatu teks dengan pertama-tama
mengkritisi sistem berpikir, kategori-kategori kata yang digunkan dan term-term
oposisional yang hanya menjadi suplemen (pelengkap).
Tesis-tesis
Hermeneutika Radikal Derrida
Dalam penerapan dekonstruksi terdapat beberapa hal
mendasar yang menjadi inti kritik Derrida sekaligus merupakan instrument untuk
membongkar/mendekonstruksi semua bentuk metode, asumsi, fakta-fakta dan hal-hal
tersembunyi/yang disembunyikan di dalam teks.
v Logosentrisme
Logosentrisme merupakan kritik
Derrida atas historisitas filsafat barat, termasuk juga kekristenan, yang
secara keseluruhan bergantung pada penerapan logos sebagai pondasi dan bangunan kebenaran. Hal ini terlihat dari
segala macam bentuk monopoli keilmuan yang selalu berkaitan dengan logi-logi, Theo-logi, Sosio-logi,
Antropo-logi, Psiko-logi, Etimo-logi, dll. Logi-logi
ini telah menguasai dan memperbudak manusia. Setiap generasi selalu dipaksa mewariskan
logi-logi tersebut turun temurun dan
merasa puas. Padahal, logi-logi tersebut dikembangkan dan dilatar belakangi
oleh sejumlah motif dan muatan penjajahan kebudayaan. Di sini Derrida dan kaum
posmodernis meminjam kritik Nietzsche. Bagi kaum modernis, tidak ada sesuatu hal
yang netral, termasuk sains karena semua dikendalikan oleh pengandalain
filosofis dan maksud tertentu dibelakangnya. Maka logi-logi itu bagi Derrida hanyalah
mitos Barat.
Slogan Bacon, bapak perintis sains
modern bahwa, “pengetahuan adalah kekuasaan” merupakan sebuah bentuk penjajahan
dan kekerasan bagi dunia modern (Foucault). Modernisme adalah bentuk lain dari westernisasi melalui logi-logi. Kaum postmodernis menentang
hal ini dengan keras karena mencerminkan sebuah asumsi penjajahan dan pemaksaan
universal. Missalnya kita diwajibkan untuk bersekolah sehingga kita pintar dan
dapat mengembangkan alam serta isinya. Namun di saat yang sama, dari sisi
sosio-kultural, masyarakt yang tadinya memiliki “warna” budaya tertentu kini
berganti wajah dengan seperangkat masyarakat virtual dan tekno-robotic dibawah
ekspansi budaya Barat. Alam pun tidak semakin baik oleh perkembangan sains dan
teknologi. Dekonstruksi memperlihatkan bahwa hal itu justru merupakan sebuah
perangkap logi-logi yang mengikat dan membelenggu kita dibawah kukungkungan
dogmatis arus pemikiran barat, sementara kita tanpa sadar justru berbangga di
dalamnya.
v Fonosentrisme
Sementara fonosentrisme merupakan
kritik Derrida selanjutnya terhadap kecenderungan filsafat Barat yang
penekanannya hanya pada sisi fon,
bunyi atau tuturan dan mengabaikan tulisan (mis. Socrates tidak menulis, Yesus
tidak menulis). Tradisi academic Barat dari zaman klasik selalu mempertahankan dan
menonjolkan penuturan daripada tulisan. Padahal menurut Derrida tuturan
memiliki kecenderungan yang dapat menyesatkan dan tidak stabil dalam pemaknaan
(mis. Differance dan difference).
Menurut Derrida bahasa bersumber
pada teks atau “Tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan
tidak hanya terdapat dalam pikiran manusia, tetapi konkret di atas halaman.
Tulisan memenuhi dirinya sendiri karena Tulisan terlepas dari penulisnya begitu
ia berada di ruang halaman. Ketika dibaca, Tulisan langsung terbuka untuk dapat
ditafsirkan dan dipahami oleh pembacanya.
v Anti
Fondasionalisme/Presuposisionalisme
Jika fondasionalisme meyakini bahwa
ada semacam fondasi/keyakinan mendasar yang darinya suatu wawasan duni dibangun
misalnya cogito pada Descartes, Idea
pada Plato, Roh Absolut pada Hegel, dalam kekristenan fondasi Kristen pada
Tuhan, yang mana melalui fondasi-fondasi itu sebuah kerangka wawasan dunia
ditafsirkan, dibangun, diyakini,
diajarkan, dan diwariskan. Derrida mendekonstruksinya. Fondasionalisme tidak
lain hanyalah merupakan ekspresi logi-logi yang terkonstruksi dan
terkonsentrasi pada suatu “pusat” yang secara turun-temurun dalam tradisi filsafat
Barat. Penerapan hal itu pada akhirnya secara tak terelakkan merupakan sebuah
bentuk penjajahan dan totaliter terhadap “the others” (Alteritas—“yang
terpinggirkan”). Pusat atau fondasi seolah-olah yang paling benar dan paling
utama, yang pinggiran, tidaklah penting. Dekonstruksi melawan asumsi itu.
v Metafisika
Kehadiran
Salah satu pondasi hermeneutic
radikal Derrida adalah konsep metafiska kehadiran. Konsep ini diadopsi Derrida
dari pemikiran Heidegger. Metafiska kehadiran merupakan kritik Heidegger (dan
juga Derrida) terhadap metafiska Barat. Inti dari kritik konsep ini adalah bahwa
keber-ada-an eksistensial historis tidak
dapat diwakili atau dapat dimunculkan kembali dalam sistem tanda seperti yang
diyakini kalangan srukturalis. Tanda atau konsep dan kata, tidak dapat menghadirkan
eksistensi sesuatu yang telah berlalu secara utuh. Kata-kata itu hanya mampu
menunjukan sebuah jejak (trace dalam
bahasa Derrida) masa lalu, namun tidak dapat menghadirkan masa lalu secara
eksistensial dan utuh ketika dibunyikan (mis. kisah penciptaan—agama, evolusi—sains,
atau bahkan abstraksi objek penelitian sains modern). Sehingga argumentasi ini
meruntuhkan kesinambungan historis yang dijembatani sains dan agama melalui
pengandaian struturalis. Konsep ini mematikan kesinambungan historisitas dalam
semua bentuk teks-teks maupun asumsi sains modern yang mengandaikan bahasa
sebagai instrument untuk menghadirkan realitas apa adanya (metafisika
kehadiran).
v Opisisi
Biner
Oposisi biner merupakan kerangka
berpikir oposisional yang tanpa sadar telah membentuk wawasan dunia manusia
dimana hal ini lahir dari pengandaian pemaknaan strukturalis. Putih-hitam, Kurus-gemuk,
Lurus-keriting, Kaya-miskin, kuat-lemah, Tuan-hamba, dll. Semakin beropoisisi,
semakin bermakna. Putih akan terlihat
begitu putih karena ada hitam. Hitam hanyalah suplemen untuk putih. Di sini
suatu makna terjalin melalui konstruksi posisi biner.
Bahkan dalam hal penafsiran pun, perihal
oposisi dan totalitarian dari logosentrisme selalu ikut di dalamnya. Ketika
seseorang menafsirkan dan bertindak sebagai “subjek” maka data sebagai “objek”
penelitian pada akhirnya diposisikan sebagai oposisional suplemen. Objek lebih
rendah dari subjek peneliti. Kerangka penelitian itu pun dikendalikan oleh
logi-logi sehingga menghatanrkan pesan totalitarian. Bahkan ketika suatu
“kebenaran” yang dihasilkan dari penelitian itu pun pada akhirnya akan
menimbulkan konsekuensi dari sebuah “ketidak benaran” yang muncul. Hal ini pun
oposisional.
Bagi Derrida hal itu keliru. Relasi
tersebut seharusnya tidak bersifat oposisional namun bersifat saling
keterkaitan dan kesetaraan satu dengan lainnya. Di dalam kerangka dunia
universal tidak ada “subjek-objek” yang ada hanyalah entitas-entitas yang
setara dan tidak oposisional. Prinsip ini yang dikemudian hari digunakan dalam
pandangan etis Derrida dan kaum dekonstruksionis lainnya.
v Différance
Kata
difference adalah suatu terminologi
yang sebenarnya tidak terdapat dalam kamus bahasa Prancis. Kata ini diciptakan sendiri
oleh Derrida sebagai sebuah domain sekaligus seni untuk menyampaikan kritiknya.
Differance berasal dari kata difference yang
mencakup tiga pengertian, yaitu: to differ:
untuk membedakan, atau tidak sama sifat dasarnya; differe
(Latin): untuk menyebarkan, mengedarkan; to defer:
untuk menunda.
Pada saat kata tersebut diucapkan,
kata tersebut tidak terdengar beda, akan tetapi perbedaan penggunaan konsonan
‘a’ untuk mengganti huruf ‘e’ hanya akan terlihat pada saat kata tersebut
ditulis dalam bentuk tulisan. Hal ini dilakukan Derrida untuk menunjukkan
peleburan makna dari tiga pengertian dalam kata difference yang tidak dapat dilakukan oleh kajian strukturalisme dan fonosentrisme. Makna pada akhirnya tidak dapat ditemukan secara
pasti, makna bersifat tertunda.
Puncak
Hermeneutika Radikal Derrida: “There is
nothing outside the text”
“There is nothing
outside the text” merupakan ungkapan yang paling terkenal dari Derrida. Pernyataan
ini merupakan inti dari hermeneutika radikalnya. Tidak ada sesuatua di luar
teks berarti segala sesuatu selalu dipikirkan dan diabstraksikan melalui teks.
Dunia manusia adalah dunia tekstual. Semua bentuk abstraksi manusia terhadap
realitas, baik yang dikonsepsi dalam pikiran, maupun yang diekspresikan melalui
bahasa (tuturan, tulisan dan ekpresi tubuh/semiotika) semuanya dilakukan di
dalam teks-teks. Bahkan “konteks” dalam pengertian kata maupun bunyi dan penjabarannya
pun adalah sebuah teks.
Dari pernyataan ini Derrida menyimpulkan bahwa makna
tidak dapat ditemukan secara pasti oleh karena sistem tanda yang memuat antara
petanda dan penanda sebagai instrumennya selalu dibayangi oleh tanda lainnya
yang menjadi rujukan dari suatu penanda. Misalnya kita bertanya apa yang
dimaksud dengan “rasio”? Maka sesuai kamus jawaban yang diperoleh adalah
“pemikiran menurut akal sehat; akal budi; nalar”. Namun jawaban dari kamus tersebut
seketika itu juga menghubungkan kita dengan petanda dan penanda baru yaitu term
“pemikiran”, “menurut”, “akal sehat”, “akal budi”, dan “nalar”. Jadi ketika
pertanyaan yang diberikan perihal suatu objek, dan jawaban yang diberikan
menggunakan objek bahasa lainnya, maka yang ditemukan sesungguhnya bukan
jawaban namun serangkaian teks-teks yang akan terus terhubung tanpa akhir. Petanda
berubah menjadi penanda, dan penanda berubah menjadi petanda secara terus
menerus. Inilah yang dimaksudkan Derrida dengan intertekstual. Kerumitan
teks-teks untuk dapat menyampaikan makna suatu pesan. Dari penjabaran ini maka
bagi Derrida, makna tidak dapat dijumpai dalam teks namun bersifat tertunda.
Pada umumnya dalam dunia akadmis penelusuran makna suatu
kata digunakan prinsip dalam studi etimologi. Namun bagi Derrida, etimologi
dalam dirinya sendiri pun gagal
memberikan makna kata yang tepat, karena pemaknaan suatu kata, secara tak
terhindarkan terhubung dengan logi-logi (etimo-logi), struktur social, dan akan
melibatkan intertekstualitas—kata-kata dengan makna yang berbeda pula untuk
menerangkan suatu kata tersebut. Di sini letak rumitnya dan betapa radikalnya
hermeneutika Derrida. Derrida menciptakan sebuah permainan filsafat bahasa yang
ngeri-ngeri sedap. Ia membangun
sebuah ilusi bahasa yang begitu nyata sehingga mereka yang tidak peka akan
jatuh pada skeptisisme, agnostisisme dan bahkan ateisme radikal. Itu sebabnya
tidak mengherankan jika Derrida dijuluki sebagai salah seorang “pembunuh Tuhan”
postmodern oleh A. Setyo Wibowo, dkk.
Kritik
Bagi Dekonstruksi
Pertama, kritik yang paling umum diarahkan kepada Derrida
adalah bahwa dekonstruksi tekstual dan persoalan makna akan menggiring dirinya
pada relativisme dan nihilisme. Secara tak terhindarkan dekonstruksi radikal memang
mengarahkan para dekonstruksionis pada kedua hal itu karena kecenderungan
radikalnya yang salah tempat.
Kedua, yang menarik adalah bahwa klaim persoalan makna yang tertunda itu pun ternyata adalah sebuah
makna yang justru tidak bisa ditunda oleh karena presuposisi itu akan selalu
menjadi makna yang abslout bagi dekonstruksionis. Di sini Derrida dan kaum
dekonstruksionis tidak dapat menyangkali bahwa mereka berdiri di atas standar
ganda. Mereka menolak mengemukakan suatu makna yang objektif, namun tanda
disadari kalimat itu justru memperlihatkan “suatu makna yang objektif” dan
tidak dapat ditunda dalam konsep berpikir mereka.
Ketiga, bukankah dengan mengatakan bahwa “makna objektif
akan selalu bersifat tertunda”, maka bukankah hal itu juga mengandaikan sebuah
sikap oposisional terhadap kemungkinan bahwa adanya suatu “makna objektif yang
tidak tertunda”? Di sini mau tidak mau pengandaian oposisi biner itu tetap
berlaku bagi kaum dekonstruksionis.
Keempat, permasalahan lainnya yang timbul kemudian adalah
permasalahan logosentrisme. Harus diakui bahwa logosentrisme yang menjadi pusat
pemikiran filsafat Barat dan juga Kristen (dalam pemahaman yang berbeda) telah
menjadi domain yang mendunia. Namun adalah juga sebuah kemustahilan jika
Derrida mengatakan bahwa “pusat” harus dihancurkan. Hal ini merupakan cita-cita
Derida yang terinspirasi dari Nietzsche ketika berusaha untuk “membunuh tuhan”.
Pada kenyataannya, Derrida justru sedang berjuang untuk membangun suatu “pusat”
tandingan baru dengan dekonstruksinya. Bukankah ketika konstuksi dekonstruksi
itu digunakan untuk mengkaji suatu teks maka dekonstruksi itu justru menjadi
pusatnya?
Kelima, persoalan serius yang dihadapi dekonstruksi
adalah persoalan krusial mengenai kebenaran. Jika dekonstruksi menolak secara
multlak pengandaian oposisi biner, maka bagaimana kalangan dekonstruksionis
memandang maka absolut mengenai yang “baik” dan yang “buruk”? Pasti akan selalu
ada pengandaian oposisional dalam operasi praksis kehidupan mereka. Meskipun
penolakan itu ada dalam konsep berpikir, namun secara tak terhindarkan hadir dalam
praksis kehidupan factual. Seorang dekonstruksional pasti memiliki pertimbangan
etis tertentu. Derrida misalnya yang ikut mengkampanyekan gerakan
gerakan-gerakan kaum alteris yang terpinggirkan, pada akhirnya juga secara imlpisit
menerangkan bahwa hal itu merupakan prinsip etika yang baik dalam pilihannya.
Dengan demikian, Derrida pun secara tak terhindarkan menghadirkan
pilihan-pilihan moral yang bersifat oposisional antara yang baik dan yang buruk
secara tidak langsung.
Kelima kritik ini memperlihatkan bahwa metodologi
dekonstruksi Derrida justru mendekonstruksi dirinya sendiri. Dekonstruksi
adalah metodologi filsafat bunuh diri jika diterapkan secara absolut dan
radikal dalam semua bidang eksistensi manusia. Penerapan teori dekonstruktif paling-paling
hanya mampu sampai pada kategori membongkar asumsi, presuposisi, dan
narasi-narasi tersembunyi dalam sebuah karya atau teks. Melebihi batasan itu,
dekonstruksi justru mendekstruksi eksistensi dekonstruksi itu sendiri.
Contoh
Membaca Dekonstruksi.
Contoh paling jelas mengenai pembacaan dekonstruksi
adalah wacana “Yudas Masuk Sorga” ala Sang Debaters. Dalam wacana ini SD secara
jelas mengangkat sisi alteris yang diperankan oleh Yudas. Yudas yang
tersisihkan/terpinggirkan/termarginalisasi (alteris) di dalam teks oleh para
penulis Injil, diangkat menjadi yang sama dan penting dengan Kristus sebagai
sentral teks. Peranan Yudas sangat penting, seolah-olah tanpa Yudas, misi salib
Kristus gagal. Dari sini, oposisi biner antara peran Allah vs manusia, Guru vs
murid, Yesus vs Yudas ditiadakan oleh SD karena keduanya memiliki peran yang
sama dan sama-sama penting. Kerangka pikir dan frame yang selama ini dibingkaikan pada Yudas sebagai penghianat,
kini didekonstruksi oleh SD dan diganti dengan seorang yang terhormat. Peranan
Yudas sama pentingnya dengan Kristus, Yudas juga sama terhormatnya dengan
murid-murid lainnya. Dekonstruksi mengangkat hal-hal pinggiran yang tidak
dilirik oleh penulis teks tersebut ke permukaan dan mengasumsikannya sebagai yang
penting.
Pembacaan dekonstruksi hanya sampai pada level tersebut (mengungkapkan
sisi alteris dan oposisional) karena tujuannya untuk menunjukkan hal-hal yang
terpinggirkan dalam teks yang menjadi suplemen dari si penulis, namun tidak
memberikan kesimpulan akhir dari pembacaan dekonstruksi tersebut (tentu berbeda
dengan SD yang sampai pada kesimpulan akhir bahwa Yudas masuk surga). Jadi
seorang dekonstruksionis hanya menggunakan metode tersebut untuk membongkar
asumsi-asumsi, ide-ide atau peran-peran yang tidak disorot/disembunyikan oleh
si penulis, sementara persoalan kesimpulan dan makna, mereka abaikan dan
dikembalikan kepada pembaca oleh karena persoalan makna yang tertunda.
Kesimpulan
Dekonstruksi merupakan sebuah permainan yang berbahaya
oleh karena konsklusi yang dihasilkan menghancurkan semua kekuatan pengharapan
manusia yang dibangun dan diatasnya manusia berdiri dan berharap. Jadi baik
filsafat, sains, dan agama semuanya menjadi sasaran tembak dekonstruksi oleh
karena bercirikan logosentrisme, totalitarianisme, dan oposisional.
Dalam kaitannya dengan tekstual, hermeneutika
radikal/dekonstruksi Derrida pada akhirnya tidak berusaha untuk menemukan makna
oleh karena serangkain alasan di atas. Sebaliknya, dekonstruksi meleburkannya
dan mengembalikkan otoritas pemaknaan bagi si penafsir. Kaum dekonstruksionis
mengambil posisi sebagai “yang membongkar” dan bukan “yang memutuskan” makna,
itu sebabnya persoalan makna bagi kaum dekonstruksionis akan terus bersifat
penundaan.
Sementara perihal metodologi, dekonstruksi justru saat
ini sering digunakan sebagai instrumen dalam membongkar setiap asumsi,
argumentasi, dan narasi-narasi yang tanpa disadari seringkali dikendarai oleh
spirit logosentrisme dan oposisional dalam sebuah wacana. Dekonstruksi
merupakan metodologi pembacaan tekstual yang sangat radikal.
Kepustakaan
Hardiman, F. Budi, Seni Memahami:Hermeneutik dari
Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015).
Grenz, J. Stanley, A Primer On Postmodernisme: Pengantar Untuk
Memahami Posmodernisme & Peluang Penginjilan Atasnya, pen. Wilson
Suwanto (Yogyakarta: Andy, 2001).
Lubis, Akyhar Yusuf, Postmodernisme:
Teori dan Metode (Depok: Raja Grafindo Persada, 2016).
_________________, Teori dan Metodologi: Ilmu Pengetahuan
Sosial Budaya Kontemporer (Depok: Raja Grafindo Persada, 2014).
_________________, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer
(Depok: Raja Grafindo Persada, 2018).
Piliang, Yasraf Amir dan Jejen
Jaelani, Teori Budaya Kontemporer:
Penjelajah Tanda dan Makna (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2018).
Rachmawati, Indriyana dan
Hasna Wijayati, Postmodernisme:
Perspektif, Kritik, dan Aplikasinya (Yogyakarta: Sociality, 2017).
Sugiharto, I. Bambang Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1996).
Wibowo, A Setyo, dkk, Para Pembunuh Tuhan (Yogyakarta:
Kanisius, 2009).