Senin, 16 Oktober 2017

FILSAFAT : KRITIK FILSAFAT NIETZSCHE


“Nietzsche: Zarathustra Postmo Pembunuh Tuhan”
[Kritik Filsafat Ateisme Nietzsche dari Perspektif Teologi Kristen]


Oleh: Yosep Belay




Berkas:Nietzsche187a.jpg
Prolog.

 “God’s not Death” merupakan salah satu film bergendre drama filosofis yang sarat akan makna serta nilay-nilay iman kristiani. Film ini mengisahkan tentang seorang mahasiswa Kristen yang menempu kelas filsafat, dimana ia terpaksa bergumul untuk mempertahankan imannya ditengah-tengah serangan sekularisme dan ateisme modern yang digagas oleh sang profesor. Salah satu hal menarik dari film tersebut adalah judulnya. Judul dari film ini secara implisit merupakan anti tesis bagi pemikiran ateis Nietzsche, God is death, sekaligus bentuk respons iman kristiani terhadap serangan ateisme modern. Jika Saudara pernah mendengar atau membaca kalimat, “Tuhan sudah mati” (God is death), serta bertanya tentang siapakah tokoh pencetus kalimat gila tersebut, maka para pengkaji filsafat akan mengkonfirmasikan satu nama kepada Saudara, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 -1900). Gagasan tentang kematian Tuhan ini dituangkan Nietzsche dalam bukunya Also Sprach Zarathustra. Nietzsche  merupakan salah satu filsuf ateis yang paling gencar menyerang kekristenan secara terbuka, ia juga menolak berbagai macam konsep-konsep ke-Tuhanan (terutama keyakinan Kristen yang merupakan konteks serta objek kritikannyapada masa itu), metafisika, dan segala macam etika yang mengekang kebebasan manusia.

          Nietzsche dilahirkan pada tanggal 15 Oktober di Rocken, Jerman, dari keluarga Protestan yang sangat taat. Ia merupakan generasi ke tiga dari keluarga pendeta Lutheran. Kakeknya merupakan seorang Teolog yang sangat dihormati, demikian juga dengan ayahnya (ayah Nietzsche meninggal ketika ia berusia lima tahun). Seperti kehidupan keluarga kristiani pada umumnya, Nietzsche dibesarkan dengan didikan serta nilay-nilay Kristen yang sangat baik dan berdisiplin tinggi. Pada masa kecilnya, ia bahkan sering disebut sebagai “Pendeta cilik”. Sejak kecil, kecerdasan intelektual, seni, dan sikap religiusnya telah tampak, hal tersebut terus berlanjut hingga masa kejayaannya pada saat menempu studi filologi. Karena kecerdasannya pula Nietzsche memperoleh gelar doktoral di universitas Leipzig, tanpa harus melalui ujian dan tugas akhir.Hal yang lebih membanggakan, ketika berusia 24 tahun, ia telah menjabat sebagai profesor filologi klasik di universitas Basel, Swiss, akan tetapi tidak bertahan lama oleh karena keadaan fisiknya yang sering sakit-sakitan.

          Meskipun Nietzsche mencapai prestasi yang luar biasa dalam studi dan profesinya, namun tidak demikian dalam hal spiritualnya. Nietzsche mengalami gejolak skeptisisme berat ketika dibangku kuliah. Pada usianya ke - 18, usia yang masih sangat muda, Nietzsche memutuskan untuk meninggalkan iman Kristennya. Semenjak itu, ia pun menjalani kehidupannya dengan cara yang sangat berbeda dari kehidupan sebelumnya; sangat bebas,tidak teratur, kasar, garang, pesta-pora, mabuk-mabukan, dan free sex.Akibat dari kehidupan yang liar tersebut, ia sakit-sakitan. Di akhir hidupnya ia bahkan menderita gangguan jiwa  (K. Bertens: 1998, 85) dan mengidap penyakit kelamin yang menular (B.E. Matindas: 2010, 111).Sebagian besar karya-karya kontroversialnya, ia hasilkan pada saat-saat akhir hidupnya. Salah satunya “Senjakala Berhala dan Anti Krist”yang merupakan puncak dari kritikan Nietzsche terhadap kekristenan. Dalam buku tersebutdengan terang-terangan ia menyerang secara brutal(beberapa bagian dalam buku ini beriskan sumpah serapah) keyakinan iman Kristen.Akyar Y. Lubis mengatakan bahwa “Dalam tulisan-tulisannya, Nietzsche seakan-akan menghabiskan semua kemampuannya untuk menyerang kepercayaan suci agama Kristen.” (Akyar Y. Lubis: 2014, 10).Semenjak mengalami gangguan kesehatan dan kejiwaan, hingga pada hari kematiannya, Nietzschedirawat oleh Ibu dan Saudarinya yang justru merupakan pelayan Tuhan yang taat. Sungguh suatu tindakan kasih yang sangat kontras dengan gaya hidup Nietzsche serta karya-karya anti Kristennya.

“Tuhan Sudah Mati!”: Kritikan Nietzsche Terhadap Kekristenan.

          Pada bagian pengantar buku Nietzsche, “Senjakala Berhala dan Anti Krist” (terj.), team penerbit merangkum semua gagasannya dalam satu kalimat, “Nietzsche adalah anak Darwin dan saudaranya Bismarck (Nietzsche [terj.]: 2016, iii). Ini merupakan suatu ringkasan yang cukup tepat mengenai pokok pemikiran Nietzsche. Konsep “survival” Darwin, menggambarkan prinsip dasar manusia untuk tetap bertahan dan adaptasi dengan cara apapun. Dalam kehidupan demikian hukum alam dipraktekkan sebagai tatanan utama dari prinsip hidup—yang terkuat, garang, brutal, tanpa aturan dan moralitaslah yang dapat dikatakan sebagai “manusia normal”. Konsep demikian merupakan prinsip dasar filsafat manusia menurut Nietzsche. Sementara Bismarck, merupakan simbol dari suatu etika baru pasca kematian Tuhan dimana manusia baru yang tanpa “tuhan” ini harus menjadi manusia super yang berkuasa, “Ubermensch”.
         
          Secara singkat, dapat penulis simpulkan bahwa latar belakang pemikiran Nietzsche bertolak dari kebebasan humanisme—individualistik yang sangat radikal. Suatu ciri kebebasan manusia tanpa kekangan (kekang dalam bentuk apapun, baik agama, hukum, tradisi, etika, dan moralitas yang mebatasi si manusia berekspresi). Bagi Nietzsche, manusia harus menjadi “tuhan” bagi dirinya sendiri, dan untuk mencapai hal tersebut si manusia tidak boleh bermental budak, tidak boleh tunduk kepada Tuhan, ia harus menjadi manusia super yang kuat, bebas, tangguh, dan garang. Nietzsche memiliki satu prinsip yang kuat, ia mengatakan bahwa “keyakinan adalah penjara”. Pada titik ini terletak kritik Nietzsche bagi sistemkepercayaan, ke-Tuhanan dan etika Kristen. Peradaban Eropa yang berkembang dibawah tradisi dan etika Judeo-Kristen, dipandang oleh Nietzsche sebagai suatu penghalang bagi terbentuknya manusia Ubermensch (manusia unggul/super). Bagi Nietzsche, mereka yang hidup dengan teratur dalam tradisi, etika, dan agama Kristen adalah manusia-manusia yang bermental budak karena mau diperbudak oleh agama. Kekangan nilay-nilay kekristenan sudah terlalu lama menjadikan manusia tidak berpotensi. Manusia modern tidak dapat mengekspesikan keinginan dan kehendaknya karena terkekang oleh aturan-aturan agama, tradisi, dan etika Kristen yang mengatur hidup mereka, sehingga mereka (yang beragama) cenderung untuk bermental pesimistik, penuh belas kasih, pemaaf, pasrah dan berserah. 

            Konsep humanistik radikal tersebut merupakan pendorong tindakan Nietzsche menyingkirkan semua hal di atas. Untuk menyingkirkan semua itu, ia kemudian menganalisa konsep beragama dan merujuk pada satu oknum yang merupakan kunci dari penyebab segala kelemahan manusia, yaitu “Tuhan”. Dari titik tolak ini, Nietzsche kemudian mengembangkan filsafat ateisnya dengan berusaha untuk meruntuhkan kosep ke-Tuhanan (Kristen) yang telah menjadi prinsip hidup masyarakat Eropa pada saat itu. Dalam bukunya “Demikianlah Sabda Zarathustra”, Nietzsche menggambarkan kisah tragis ini dengan gambaran aforisme dengan menggunakan tokoh Zarathustra (Nabi revolusioner dari agama kuno Zoroasterisme) sebagai gambaran revolusioner bagi para pembuhuh Tuhan. Kisah tersebut menceritakan mengenai seorang gila yang berkeliling sambil membawa obor di siang hari kemudian berteriak-teriak, “Dimana Tuhan?”. Orang-orang yang melihatnya mengatai dia sebagai orang gila, namun ia benar-benar ingin mencari Tuhan. “Aku mencari Tuhan dimana-mana tetapi aku sudah tidak menemuinya. Aku ingin mengatakan kepada kalian bahwaTuhan sudah mati, Tuhan terus mati, dan kita semua telah membunuhnya” (Akhyar Y. Lubis: 2014, 11). Nietzsche terpaksa “membunuh” Tuhan agar dapat mejadikan dirinya sebagai tuhan. Gejolak dan hasrat kehendak untuk bebas dan berkuasa memberikan kosekwensi pada terjadinya “pembunuhan” terhadap Tuhan. Nietzsche sengaja memilih sebagai seorang ateis radikal hanya demi mencapai cita-citanya, mewujudkan manusia unggul tanpa Tuhan.

          Dalam buku lainnya, “Senjakala Berhala dan Anti Krist” Nietzsche juga banyak menyindir konsep beragama dalam konteks sosiologis (baik secara khusus yang menyangkut kekristenan maupunagama-agama besar lainnya secara umum) yang menyebabkan suatu agama terus berkembang, dilembagakan,mengikat, dan menjadi keharusan bagi umat manusia untuk menghambakan diri pada lembaga-lembaga agama tersebut. Suatu bentuk kritikan yang bukan hanya ditujukan kepada lembaga agama namun juga bagi “kaum agamawan” yang bertindak sebagai menjadi mediator, sekaligus “penikmat” persembahan yang diberikan. Dengan sumpah serapah, ia mengkritik agama dan kelembagaannya yang telah menjadi semacam parasit dan “dusta suci” yang terus berkembang sertamengikat, karenasaling membutuhkan antara Pendeta dan umatnya. Suatu kritik yang sangat liar dan berani!

Nihilisme.

          Usaha untuk “membunuh tuhan” (baik dalam terminologi filsafat yang dapat dipahami sebagai semacam ideologi [suatu bentuk keyakianan dasar], maupun dalam terminologi teologis—literal dan harfiah)bukanlah hal yang mudah. Hal ini disadari betul oleh Nietzsche,karena efek samping dengan “matinya tuhan” maka manusia akan menghadapi suatu bencana eksistensial—kekosongan! Kematian “Tuhan” akan menyebabkan “logika raksasa kekagetan, penggelapan, dan gerhana matahari”—kematian-Nya merupakan terbitnya nihilisme! (Frans M. Suseno:  2006, 76). Suatu keadaan dimana manusia baru si pembunuh tuhan ini terpaksa harus memulai hidup barunya dengan “ketiadaan makna” (Akhyar Y. Lubis: 2014, 10). Ketika “Tuhan sudah mati” maka segala sesuatu diperbolehkan. Tidak ada lagi yang “baik dan jahat”, “benar dan salah”, semuanya diperbolehkan, karena kita adalah tuhan dari diri sendiri! Konsep ini dirangkum dengan baik oleh Lubis demikian, “Nihilisme merasa bahwa hanya ada satu kebenaran untuk   dinyatakan, yaitu berlakunya ketiadaan mutlak dan dunia tanpa makna. Nihilisme adalah hilangnya kepercayaan pada nilay agama,nilay-nilay moral yang diterima kelompok masyarakat, dan hilangnya tujuan dan makna hidup. Nihilisme juga berkaitan dengan   pembalikan semua nilay-nilay, dimana yang baik menjadi jahat dan yang jahat menjadi baik atau dalam pandangan seorang nihilis, hidup ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah moral.” (Akhyar Y. Lubis: 2014, 13).

       Di dalam konsep ini, tidak ada pertimbangan moralitas dalam perilaku manusia, manusia sama dengan hewan, hidup tanpa aturan, moralitas, tujuan, dan tanpa makna hidup. Segala sesuatu diperbolehkan, segala sesuatu halal karena tidak ada Tuhan, Tuhan sudah mati. Inilah manusia-manusia Ubermensch para pembunuh Tuhan. Suatu manusia baru yang menentukan nilay-nilay etik, mengembangkan potensi, mengumbar hasrat serta nafsunya tanpa harus dibenani dengan tekanan-tekanan aturan agama. Suatu manusia unggul yang tercipta di kemudian hari—humanisme individual yang radikal. Etika Nietzsche adalah konsep etika yang merupakan anti tesis dari etika Kristen. Apa yang dilarang dalam konsep etika Kristen, semuanya diperbolehkan dalam etika Nietzsche! 

Ajal si Pembunuh Tuhan!”: Catatan Kritis Bagi Filsafat Nietzsche dan Refleksi bagi Iman Kristen.

          Setelah menganalisa buah pemikiran Nietzsche di atas maka pada bagian akhir tulisan ini, penulis akan memberikan beberapa kritikan terhadap pemikiran ateisme Nietzsche dari beberapa sudut pandang, serta relevansinya bagi kekristenan modern.

1.   Teologis.

          Dalam konteks pemikiran teologis, kritik akan disajikan dalam beberapa bagian penting, mulai dari kehidupan masa kecil, dan pemikiran ateismenya.

a.    Kehidupan Nietzsche kecil.

     Latar belakang kehidupan masa kecil Nietzsche yang bertumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen, perlu untuk kembali dipertanyakan penulis. Dipertanyakan dalam hal ini tentu saja menyangkut “pemahaman iman” yang memadai, bukan dalam konteks kehidupan spiritualnya yang terlihat “sempurna” pada masa kecil.Sebutan “Pendeta cilik” yang pernah disandang Nietzsche menurut penulis hanya dihubungkan dengan “cara hidup” Nietzsche kecil. Artinya gelar tersebut yang disandangkan kepada Nietzsche, bukan dihasilkan oleh karena pertimbangan bahwa ia memang benar-benar memahami secara memadai makna “iman yang kemudia dipraktekkan dalam tindakan”, namun hanya karena sekedar menjalankan “tradisi saleh keluarga Kristen yang diwariskan” sehingga gelar tersebut tidak dapat dipahami dalam arti yang sebenarnya. Ada dua alasan yang dapat penulis ajukan. Pertama, kondisi psikologis dan fisik Nietzsche kecil pada saat itu tidak akan memungkinkan untuk dapat menegaskan bahwa Nietzsche memang benar-benar memahami akan makna iman Kristennya. Kedua, perubahan yang signifikan pada masa mudanya (usia 18 tahun Nietszche menjadi ateis) memberikan konfirmasi bahwa memang kehidupan masa kecilnyatidak dijalankan dengan pemahaman yang benar (selain factor eksternal), karena hanya merupakan suatu aturan dan keharusan dalam kehidupan keluarganya. Hal ini juga yang menyebabkan Nietzsche dalam tulisan-tulisannya sangat mengutuk keras cara hidup kekristenan masa kecilnya yang teratur dan tertata. Seolah-olah secara implisit iaingin menyatakan bahwa ia sangat membenci, dan menolak semua cara hidup demikian.Dapat dipastikan bahwa mungkin saja masa kecil Nietzsche terlihat cukup baik, namun di dalam hatinya telah terjadi banyak penolakan.

     Pada titik ini, ada pesan yang sangat kuat mengenai anugerah dan pemilihan Tuhan. Suatu pesan bahwa bahkan di dalam keluarga Kristen yang taat sekalipun, tidak memberikan jaminan bahwa seseorang adalah orang pilihan dan akan diselamatkan.Juga tidak menjadi jaminan seseorang akan bertumbuh menjadi anak Tuhan yang taat dan setia. Sebaliknya, ada orang-orang tertentu di luar sana yang dilahirkan bukan dalam keluarga orang percaya, namun pemilihan dan panggilan Tuhan akan efektif pada kairos-Nya! Maka perteguhkanlah panggilan kita melalui kehidupan yang berdampak, berbuah, setia, dan mempermuliakan Tuhan dengan pemahaman iman yang cukup, baik, dan benar (2 Pet. 1:10).

b.   Benarkah “Tuhan sudah mati”?

     Frasa “kematian Tuhan” dalam konsep pemikiran filsafat Nietzsche memiliki banyak penafsiran.  Beberapa penafsiran diantaranya menafsirkan frasa ini sebagai kritik terhadap modernitas, kritik terhadap sains modern, kritik terhadap rasionalitas, kritik terhadap seni dan moral. Ada pula yang menafsirkan hal itu sebagai ramalan Nietzsche mengenai kondisi manusia Eropa di abat ke XX yang tidak lagi percaya akan Tuhan. Banyaknya penafsiran terhadap frasa ini dikarenakan tulisan-tulisan Nietzsche tidak dipaparkan secara sistematis dan jelas sehingga terdapat kendala untuk memahami maksud dari frasa”kematian Tuhan” tersebut.Dari beberapa penafsiran di atas terdapat salah satu yang paling populer, yaitu penafsiran kematian Tuhan itu dipahami sebagai kematian tuhan yang diciptakan manusia, bukan dalam pengertian yang literal (Akhyar Y. Lubis: 2014,11; lih. Juga, Franz M. Suseno: 2006, 77). Meski demikian, jika dilihat dari konteks tulisan, serta objek kritikan yang secara eksplisit ditujukan kepada iman Kristen, maka tentu tidak dapat dipungkiri bahwa kritikan Nietzsche memang dominan diarahkan kepada konsep iman dan keTuhanan  Kristen.

     Bagi penulis ungkapan “God is death” oleh Nietzsche, hanyalah merupakan suatu candaan yang sama sekali menyedihkan.Pada prinsipnya, Nietzsche tidak pernah berhasil “membunuh” Tuhan dalam pengertian hakikat dan eksistensi-Nya secara mutlak, yang Nietzsche lakuakn hanyalah mencoba untuk “membunuh Tuhan” dalam dirinya. Artinya, ia berusaha untuk menyingkirkan “sense of religion” dalam dirinya.  Suatu perasaan moralitas dan religius yang ia coba tolak. Argumentasi ateisme Nietzsche hanya sampai pada batasan ini, tidak lebih.Pemikirannya lebih mirip dengan seorang Psikolog ateis (S. Freud dikemudian hari mengembangkan pemikiran ini), yang berusaha untuk menghindarkan diri dari perasaan religius, dengan berjuang untuk mendoktrin dirinya menggunakan suatu doktrin baru, bahwa tidak ada Tuhan.Usaha-usaha demikian adalah merupakan usaha bunuh diri.Para antropolog dan sosiologmengakui bahwa manusia bukan hanya makhluk sosial, namun manusia juga merupakan makhluk religius (lebih tepatnya makhluk penyembah).Sementara Alkitab menggambarkan hal ini sebagai “Gambar dan rupa Allah” dalam diri manusia (Kej. 1:26-27). Maka berusaha untuk menyingkirkan Tuhan dalam diri manusia merupakan suatu penyangkalan terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Dari hal ini terlihat jelas bahwa meskipun Nietzsche berhasil “membunuh Tuhan” dalam pemikiran dan hidupnya, namun ia terpaksa “menciptakan tuhan” baru yang lainnya.Ubermenschadalah tuhan idaman Nietzsche yang ia ciptakan, ia sembah dan idam-idamkan. Nietzsche sebenarnya bukan berusaha untuk membunuh Tuhan Kristen, akan tetapi ia lebih berselera untuk mencipta dan menyembah tuhan lain yang cocok dengan seleranya—tuhan yang garang, ganas, bebas, dan tanpa moralitas (Bdk. Rm. 1:18-25). Maka sebenarnya Tuhan tidak penah mati, dan Nietzsche tidak pernah membunuh Tuhan, bahkan dalam hati dan hidupnya! Tuhan tetap berada di sana, di dalam hatinya, Nietzsche hanya mencoba untuk mengarahkan padangannya kepada ilah lain.Akan tetapi sekali lagi, Tuhan masih ada di sana, hanya terhalang oleh keangkuhan dan kebebalan hati Nietzsche (Harry Hameresma:2014, 13).

c.    Nihilisme, dan Etika Rock n’ Roll ala Nietzsche.

     Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa nihilisme merupakan suatu keadaan hilangnya makna dan pedoman hidup manusia pasca “matinya tuhan”.Di saat demikian Nietzsche mencoba untuk mengisi kekosongan tersebut dengan suatu etika serta pedoman hidup baru, seraya berharap dapat menjadi world view manusia pasca kematian tuhan.

     Sayangnya worldview baru yang diharapkan dapat menjadi “pencerahan” bagi perkembangan dan kemajuan manusia modern, justru mendatangkan bencana. Bagaimana tidak, dalam etika baru yang diusung Nietzsche, ia mengajak manusia modern untuk tidak tunduk pada Tuhan, hukum, etika, serta norma-norma masyarakat. Nietzsche mengajak manusia modern untuk bebes mengekspresikan potensinya tanpa batas dan tanpa dibatasi. Tidak ada nilay moral, etika serta hukum yang mutlak. Tidak ada yang baik dan buruk, benar dan salah, semua nilay bergantung pada diri sendiri. Kitalah yang menjadi tuhannya. Etika rock n’roll ala Nietzsche ini di kemudian hari menginspirasi Hitler untuk melaksanakan aksi-aksi mengerikannya.

     Usaha Nietzsche tentu merupakan usaha yang bertepuk sebelah tangan. Manusia primitif yang paling bar-bar sekalipun masih memiliki norma, aturan, dan moralitas (meskipun masih sangat terbatas). Hal-hal tersebut tercermin dari aturan-aturan kelompok serta ritual-ritual yang diparktikkan. Apalagi jika dipaksakan pada komunitas masyarakat modern yang telah melek HAM dan sains, hal tersebut hanya akan dipandang sebagai suatu lelucon semata.Kant mengatakan bahwa dua hal yang mempesona dirinya, cakrawala di atas dan hukum moral di dalam hati.Moralitas serta hati nurani merupakan salah satu ciri mendasar dari umat manusia yang membedakan kita dengan hewan, sekaligus tidak dapat disingkirkan. Manusia tanpa moralitas tidak pantas disebut sebagai manusia.

2.   Sosiologis.

                Kritik Nietzsche dari perspektif sosiologis merupakan suatu pukulan telak bagi kekristenan modern. Bukan hanya bagi lembaga dan denominasi gereja namun juga secara khusus bagi para hamba Tuhan. Dalam kritikannya, Nietzsche menghantam kecongkakan lembaga-lembaga agama dan denominas-denominasi gereja yang “seolah-olah” mengikat umatnya demi kepuasan, kerakusan, dan keegoisan para Pendeta. Sebelum masuk secara internal dalam konteks gereja Tuhan, maka baiknya penulis mengkritik pemahaman Nietzsce terlebih dahulu.

     Pemikiran demikian tentu saja bertolak dari presuposisi humanisme—Individulistik radikal Nietzsche,suatu presuposisi yang anti Tuhan. Dasar pemikiran ini yang kemudian secara membabi buta menuntun Nietzsche untuk mencari segala macam cara dan celah untuk menjatuhkan konsep ke-Tuhanan Kristen, termasuk menggunakan hal-hal yang terkesan negatif dalam komunitas gereja. Kekeliruan pertama yang dibuat Nietzsche adalahIa menyerang secara tidak proporsional atau dalam bahasa logikanya ad hominem. Suatu serangan yang bukan ditujukan kepada konsep ke-Tuhanan Kristen sebagai lawan dan konteks bahasan dari pemikiran ateismenya, namun justru secara asal menyerang pada kelembagaan gereja Tuhan. Dua tema argumentatif yang tentu saja berbeda topik. Jika saya tidak setuju dengan pandangan Anda mengenai ke-Tuhanan, maka saya akan menyerang konsep ke-Tuhanan itu, bukan malahan menyerang cara Anda berpakaian, cara Anda berbicara, cara Anda berjalan. Tentu saja hal itu “gak nyambung”. Namun lnilah yang dilakukan Nietzsche ketika mengkritik konsep ke-Tuhanan Kristen.Suatu kritik yang salah sasaran dan tidak berbobot.Dari kritikan tersebut pulalah kita akhirnya memahami bahwa cara pandang Nietzsche tidak bertolak dari seorang “pendeta cilik” atau Teolog, namun lebih menjurus pada kritikan seorang sosiolog agama. Dalam posisi demikian, pandangan Nietzsche mengenai ke-Tuhanan dan gereja Kristen terlihat sangat tidak memadai.

          Kekeliruan kedua adalah, kritik terhadap lembaga gereja ini lahir dari dua hal.Pertama, kebencian Nietzshe terhadap Tuhan, dan kedua, kehendak untuk berkuasa—konsep manusia Ubermensch yang menolak segala macam pengekangan bagi manusia (dalam hal ini tentu berhubungan dengan pelayanan gerejawi). Presuposisi ini mengarahakan Nietzshe untuk berusaha menjatuhkan gereja dan kelembagaannya, yang mana ia tuduh sebagai penyebar “dusta suci” dan rakus. Tentu jika maksud Nietzshe adalah sebagai kritikan yang objektif, maka ia seharusnya memberikan suatu perbandingan serta pandangan yang objektif pula, bukan menyodorkan suatu kamuflase dengan asumsi-asumsi subjektif (perlu dipertegas bahwa penilayan Nietszche hanya bertolak dari sebagian kecil realitas pelayanan gerejawi yang ia simpulkan secara subjektif. Ia tidak pernah menerbitkan bukti-bukti serta data-data survey yang valid!) yang memojokkan pelayanan kelembagaan Kristen dengan agenda terselubung menjatuhkan gereja Tuhan. Harapan apa yang terdapat di balik agenda besar ini? Tentu saja harapan akhir dari “dusta suci” ia harapkan adalah semoga suatu saat public akan mengikuti “nubuat-nubuat” liarnya.

          Harus dimengerti bahwa kritikan Nietzsche datang dari presuposisi butanya serta kegagalan dalam memahami tujuan Tuhan serta kelembagaan dan pelayanan gerejawi. Seperti yang telah penulis sampaikan di atas bahwa logika berpikir Nietzsche lebih mirip seorang sosiolog agama dari pada seorang teolog, maka respon kekristenan seharusnya tidak perlu terlalu berlebihan. Namun ada beberapa catatan yang menurut penulis memiliki nilaykritis reflelektif yang perlu diperhatikan gereja modern. Kritikan Nietzsche terhadapa kelembagaan gereja menjadi peringatan serius bagi denominasi-denominasi gereja yang doyan memperlebar “kerajaannya” dibanding mengutamakan kerajaan Tuhan. Senggol-menyenggol antara denominasi gereja akhir-akhir ini sudah menjadi pemandangan yang menyedihkan di dalam gereja-gereja Reformasi, terutama kalangan Pentakosta dan Kharismatik. Kebanggaan terhadap denominasi gereja ini menjadikan dinding pemisah antara satu gereja dengan gereja lain semakin lebar dan tinggi. Suatu peringatan dan pertanyaan serius bagi para pemimpin gereja bahwa “kerajaan siapakah yang sedang Saudara bangun?”

          Catatan kedua secara khusus kritikan Nietzsche diarahkan kepada para Pendeta secara general yang menurutnya “rakus” akan persembahan. Meskipun tuduhan ini merupakan asumsi subjektif, namun harus diakui bahwa perkembangan gereja modern hari-hari ini telah memberikan ciri yang menyedihkan mengenai gejala ini. Salah satu gejalanya tercermin dari konsep teologi kemakmuran (beberapa permasalahan lainnya yang menyangkut penyelewengan keuangan gereja dan perebutan aset gereja). Suatu penipuan yang berkedok pelayanan mimbar dengan memperkosa kebenaran Firman Tuhan untuk merauk keuntungan dari jemaat. Suatu kejahatan yang sangat serius! Jika di dalam gereja Tuhan yang seharusnya kudus dan bersih dari kejahatan telah berubah menjadi sarang penyamun, maka definisi kejahatan seperti apa yang pantas disandangkan bagi para “hamba Tuhan” demikian? Kritikan Nietzsche ini seharusnya membuka mata bagi kita yang mengaku sebagai “Iman dan Lewi”, agar memperhatikan motivasi dan pengajaran yang murni, dan bukan membungkus pengajaran dengan kepalsuan untuk meraup untung. Cepatlah memperbaharui diri dan jangan sampai Tuhan mengusir kita, bagaikan Ia mengusir para penyamun di bait Allah dengan menggunakan cambuk.

Epilog.

          Dari penjabaran di atas, kita akhirnya memiliki sedikit informasi mengenai latar belakang kehidupan serta world view Nietzsche. Ternyata apa yang selama ini kita anggap sangat radikal dan mengerikan mengenai asumsi-asumsi dan argumentasi Nietzsche, sesungguhnya tidak begitu mengerikan.Nietzsche bahkan terlihat sebagai seorang remaja yang kehilangan pegangan dan sandaran hidup, karena berusaha untuk hidup tanpa arah dan tujuan hidup.Bertrand Russell seorang filsuf ateis asal Inggris pernah mengatakan bahwa jika tidak ada Tuhan maka tujuan hidup tidaklah penting.Ya, kehidupan demikianlah yang dijalankan oleh Nietzsche dan para ateis lainnya.Suatu kehidupan yang suram tanpa tujuan dan makna hidup.Jika tidak ada tujuan dan makna hidup, lalu untuk apa kita hidup di dunia ini? (1 Kor. 15:31) Jika sampah kertas bungkusan nasi yang Saudara buang ke tong sampah memiliki suatu tujuan yang dirancang oleh para produsen kertas nasi, masakan manusia yang adalah si perancang kertas nasi itu sendiri (yang adalah dicipta dan dirancang oleh Tuhan)tidak memiliki tujuan dan makna hidup? Jika demikian maka bukankah lebih mulia kertas bungkusan nasi itu dibandingkan dengan para ateis yang tidak memiliki tujuan dan makna hidup?

       Seseorang menjadi ateis dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menjadi seorang ateis juga tidak selalu berasal dari keluarga yang ateis pula. Bahkan mereka yang beragama pun terkadang masih berpikir dan berperilaku seperti orang ateis—tidak pernah berdoa, berharap pada harta, mencari pertolongan pada manusia, dll. Ini merupakan contoh-contoh sederhana dari perlaku para ateis praktis.Bagi orang-orang Kristen demikian, Tuhan memperingatkan agar jangan suam-suam kuku, jika tidak ingin dimuntahkan (Why. 3:16).

          Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pengantar apologetic, kritikan positif bagi iman Kristen Saudara, serta dapat membuka wawasan pembaca terhadap pemikiran ateisme Nietzsche. Soli Deo Gloria!



__________


Kepustakaan.

   Akyar Yusuf Lubis, Teori dan Metodologi: Ilmu Pengetahuan Budaya Kontemporer” (Depok: RajaGrafindo Persada, 2014).

        B.E. Matindas, “Meruntuhkan Ateisme Modern” (Yogyakarta: Andi, 2010).

        Frans Magnis Suseno, “Menalar Tuhan” (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

       Friedrich Wilhelm Nietzsche, “Senjakala Berhala dan Anti Krist”. Pen.Hartono hadikusuma. (Yogyakarta: Narasi, 2016).

     Harry Hamersa, “Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat” (Yogyakarta: Kanisius, 2014)

       K. Bertens, “Ringkas Sejarah Filsafat”, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).

     R.C Sproul, “Defending Your Faith”.Pen. Rahmiati Tanudjadja (Malang: Literatur SAAT, 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar