Jumat, 25 Oktober 2024

 Hermeneutika Radikal  

Jejak Dekonstruksi pada Wacana Bahasa, Penafsiran dan
Teologi Kontemporer



KATA PENGANTAR

            Manusia secara naluriah merupakan makhluk ber-makna sehingga ia cenderung mencari makna, menciptakan makna, dan mengisi hidupnya dengan makna. Dalam iman Kristen, makna merujuk pada konten dari iman, pengharapan dan praksis norma hidup yang diperoleh melalui proses interpretasi teks-teks Alkitab. Suatu prosedur penafsiran terhadap makna teks yang dalam studi teologi dikenal sebagai hermeneutika. Pada perkembangannya, metode hermeneutika dan semantik (makna) yang selama ini digunakan sebagai pendekatan teologi Kristen, ditantang oleh filsafat postmodern khususnya [a]teori dekonstruksi Derrida. Dengan mengajukan kritik terhadap komponen bahasa, semantik, sentralitas penulis, kematian metafisik, serta politik tekstual (negasi kuasa dan oposisi biner), pembacaan dekonstruktif mengusulkan pemaknaan teks yang plural, non logosentris dan permainan makna tanpa batas. Suatu pendekatan yang juga telah digunakan pada wacana teologis sehingga berdampak pada klaim-klaim kebenaran Alkitab. Tujuan dekonstruksi tidak hanya berkutat pada teks-teks dalam konstruksi filsafat, seni serta teologi, namun juga masuk ke dalam perombakkan sistem sosial budaya dimana teks dan sistem nilai yang melekat di dalamnya dicurigai menghadirkan subordinasi. Karena pendekatannya pada bidang sosial budaya bernuansa kritik liberatif, dekonstruksi telah digunakan secara luas pada keilmuan humaniora, tak terkecuali teologi.

            Bertolak dari kerangka teologi Injili, penulis menyakini Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas mampu memberikan penegasan bagi kebenarannya sebagai firman Allah yang absolut. Karakter dwinatur Alkitab mendasari sifat ineransinya sehingga membentuk landasan otoritatif bagi struktur bahasa maupun semantik. Perbedaan substansial ini memberikan garis tegas antara teks, semantik dan persoalan interpertasi Alkitab dengan gagasan filsafat kontemporer, baik strukturalisme maupun dekonstruksi/post-strukturalisme. Teks-teks Kitab Suci secara otoritatif dikonstruksikan penulis sebagai tanda transendental bagi Allah dan kehadiran-Nya. Pendasaran pada teologi Injili menjadi pokok penting yang melaluinya penulis mengkonstruksikan teologi bahasa dan semantik Alkitab, menyajikan analisis komparasi serta memberikan respons bagi pembacaan dekonstruksi Derrida.

            Seorang dekonstruktor atau Derridean yang membaca paragraf di atas, sudah pasti mengerutkan keningnya karena  penulis mempertahankan logosentrisme Kristen dan metafisika kehadiran dari Allah Tritunggal dalam jejak-jejak teks Kitab Suci. Namun bagaimana pun, kita semua pasti berangkat dari logosentrisme tertentu yang juga me-metafisika-kan kehadiran tertentu. Itu sebabnya meskipun Derrida dan kalangan Derridean melakukan manuver dengan beragam istilah yang non-logosentrisme—differance—sebagai usaha pemutusan terhadap matafisika kehadiran, ia/mereka juga tidak dapat melepaskan diri dari “atmosfer linguistik” yang secara bersamaan memuat bentuk-bentuk lain dari tanda bagi metafiska kehadiran. Selama bahasa masih menjadi instrumen komunikatif maka selama itu pula belenggu metafisika kehadiran tidak terhindari, seperti peryataan Derrida, there is nothing outside the text. Suatu realitas yang terberi dalam kemanusiaan kita. Dalam hal ini dekonstruksi memang mengungkapkan realitas mengenai keterbatasan natur manusia, bahasa serta objek referennya, namun sekali lagi teologi Kristen—khususnya Injili konservatif memiliki jangkauan yang lebih luas karena mempresuposisikan Allah Tritunggal sebagai logosentris yang melampaui keterbatasan bahasa dan epistemologi natural. Iman kepada Allah Tritunggal sekali lagi ditempatkan sebagai logika transendental untuk menjembatani keterbatasan yang ada menuju realitas transenden (Ibr. 11:3). Pendekatan penulis bertopang pada model epistemologi dan logika transendental demikian sebagaimana yang dipresentasikan Alkitab dan dalam terang tradisi ortodoksi. Di sini penulis hendak secara langsung memperhadapkan pembaca pada dua pilihan yang niscaya; fondasionalisme theisme Kristen atau non-fondasionalisme Derrida yang bercirikan ateisme linguistik. Pilihan pembaca akan menentukan tujuan akhir Anda dalam memahami realitas di balik teks-teks, baik realitas natural maupun supranatural.

            Beberapa teolog seperti James K.A. Smith telah berusaha “mendamaikan” dekonstruksi Derrida dengan pemikiran Injili, tetapi seperti yang akan dilihat usaha tersebut merupakan usaha tebang pilih dan tidak konsisten. Demikian juga beberapa teolog dari kalangan feminis dan model lainnya dengan ciri liberatif telah berusaha menggandeng dekonstruksi, tetapi juga berakhir pada hal serupa, mereka mengambil beberapa metode kritik yang sesuai dengan agenda teologinya tanpa berani untuk masuk dalam totalitas dekonstruksi. Dengan kata lain, mereka tetap menumpang pada logosentrisme Kristen tetapi dengan posisi “kaki sebelah” berusaha mengais-ngais keuntungan dari dekonstruksi. Derrida secara pibadi menghindar untuk memposisikan filsafatnya pada suatu posisi, karena mem-posisikan posisi merupakan suatu posisi yang mengindikasikan struktur, pusat, logos dan oposisi biner. Itu sebabnya, sangatlah mustahil bagi seorang teolog atau seorang Kristen (terlepas dari mazhab teologi apapun, dengan pengadaian logosentrisme Kristen) dapat tetap menjadi seorang Kristen sekaligus seorang Derridean dalam artian penuh. Kecuali jika ia bersedia menjadi seorang ateis seperti Derrida barulah dekonstruksi dapat bekerja leluasa tanpa didikte ide murni dari Sang L-ogos.

            Tanpa menganggap sepenggal coretan dalam buku ini sebagai pembacaan komprehensif terhadap pemikiran Derrida, penulis hendak menegaskan bahwa tulisan ini hanyalah usaha pembacaan awal dari seorang pemula yang nyasar ke bidang filsafat. Mereka yang pernah membaca karya-karya Derrida tentu membutuhkan waktu cukup panjang untuk mencerna kompleksitas pemikirannya. Seperti yang disampaikan Alan Bass, “Derrida sulit untuk dibaca bukan hanya karena gaya bahasanya, tetapi juga karena ia secara serius ingin menantang gagasan-gagasan yang mengatur cara kita membaca.” Derrida tidak menulis dengan cara “yang biasa” karena “yang biasa” itu mengindikasikan suatu struktur pusat yang baku. Membaca karya Derrida semakin sulit karena teks-teksnya bagaikan tenunan yang menghubungkan pembaca dengan ide-ide besar dari para filsuf lainnya. Ia juga menggunakan beragam istilah teknis yang diciptakan dengan definisi tertentu sehingga pembaca perlu kerja ekstra untuk sekedar memahami maksudnya. Karena beragam kesulitan tersebut nampaknya buku ini memiliki jangkauan pembaca yang terbatas.

            Saat ini pendekatan filsafat Derrida telah digunakan secara luas pada beragam bidang kajian, baik filsafat, seni, politik, sosial-budaya hingga teologi, untuk itu perlu semacam ekskursus bagi pemikiran Injili dalam meresponinya. Usaha dialektika demikian sangat penting sebagai pengembangan teologi yang relevan pada konteks masa kini tanpa kehilangan identitas ortodoksinya. Kepentingan lainnya juga karena bahasan mengenai tema dekonstruksi, bahasa, hermeneutika dan teologi masih sangat terbatas. Mungkin satu-satunya buku yang membahas isu tersebut dari perspektif Injili adalah karya Kervin J. Vanhoozer, “Apakah Ada Makna Dalam Teks Ini?” yang itu pun merupakan terjemahan. Beberapa karya lainnya masih terbatas dalam bentuk artikel jurnal maupun book chapter dalam perspektif teologi liberatif. Suatu mazhab teologi yang dalam beberapa hal cenderung berseberangan dengan pandangan teologi Injili.

            Sistematika tulisan dibagi dalam sembilan bab. Bab pertama, penulis menganalisis perkembangan hermeneutika kontemporer dalam kaitannya dengan filsafat bahasa dan juga teologi. Bab kedua, bahasan dikhususkan bagi dekonstruksi Derrida. Penulis mengkaji profil Derrida, spiritualitas dan gagasan dekonstruksinya. Bab ketiga mengkaji tentang korelasi dekonstruksi dengan teori linguistik serta semantic. Bab keempat mengkaji korelasi dekonstruksi dan hermeneutika, baik hermeneutika filosofis, hermeneutika radikal (dekonstruksi) maupun teologis. Penulis juga membandingkan komponen bahasa dalam dua perspektif terakhir untuk melihat perbedaan di antara keduanya. Bab kelima membahas mengenai korelasi dekonstruksi dan epistemologi. Diskusi bab ini melengkapi sisi filosofisnya untuk menunjukkan bagaimana dekonstruksi merusak bentuk-bentuk pengetahuan (baik filsafat, agama maupun sains) dan membawa kosekuensi serius bagi pengetahuan dan kebenaran dalam segala bidang. Bagian akhir penulis juga menyertakan pandangan epistemologi Kristen yang direpresentasikan oleh pandangan Cornelius Van Til. Tujuannya untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada pola epistemologi filosofis maupun dekonstruktif dengan epistemologi Kristen, khususnya VanTilian. Bab keenam mengkaji korelasi dan perkembangan dekonstruksi dalam konteks teologi kontemporer. Penulis mencoba menganalisis beberapa pendekatan berteologi yang berkembang saat ini dengan menggunakan pola pembacaan dekonstruktif pada konsep teologis. Bab ketujuh mempresentasikan semacam ekskursus bagi teologi bahasa dan semantic dalam model teologi konstruktif. Sementara bab kedelapan merupakan lanjutan kajian teologi bahasa namun cenderung berdimensi apologetic. Penulis menganalisis pendekatan dekonstruksi secara lebih dekat kemudian memberikan respons, baik berupa pembelaan terhadap natur bahasa dan semantic Alkitab maupun menegasi [a]teori dekonstruksi. Bab kesembilan merupakan penutup dan simpulan. Pada bagian akhir tulisan penulis juga menyertakan dua lampiran mengenai bahasan ringkas sejarah hermeneutika Alkitab dan bahasan mengenai isu kristologi logosentris.

            Ucapan terima kasih penulis kepada Gembala Sidang serta rekan-rekan sepelayanan di GPI Sudirman Bandung dan GAPI BHS Bandung, Pimpinan STTAI Surabaya, rekan-rekan dosen, para mahasiswa/i dan rekan-rekan di ASASI (Asosiasi Apologis Indonesia), Penerbit dan juga semua pihak yang telah berkontribusi. Tuhan memberkati. Akhir kata, kiranya pembaca dapat memperoleh manfaat dari buku ini dan nama Tuhan kiranya dimuliakan. Soli Deo gloria!

 

 

                                                                     Bandung, 11 Oktober 2023

                                                              

                                                          Yosep Belay



___________________________________

Info dan Pemesanan Buku, Hubungi:   Melan (HP : 0895-3402-22029).  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar