Selasa, 10 Maret 2020

RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 2)





RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 2)

[Semua materi dalam tulisan ini disadur dan dikembangkan dari
diktat kuliah Etika Terapan STT KHARISMA Bandung]


1.      PERIHAL HOMOSEKSUAL.

    Dalam perspektif  etika Kristen, penyimpangan homoseksual jelas ditolak secara tegas. Alkitab memberikan banyak dasar kebenaran Allah yang menyatakannya baik secara eksplisit maupun implisit. Berikut beberapa alasan fundamental yang dikemukakan oleh kitab suci:
o   Sejak semula, Allah menetapkan heterosekusal, bukan homoseksual (Kej. 1:27-28; 2:24; 1 Kor. 6:15-17).
o   Tuhan menghukum Kanaan oleh karena dosa homoseksual yang merupakan kutuk bagi Ham ayahnya (Kej. 9:22-26) yang mana secara implisit menunjukkan penyimpangan seksual.
o   Sodom dan Gomora dikutuk oleh karena dosa homoseksual (Kej. 19:5).
o   Hukum Musa mengutuk dosa homoseksual (Im. 18:21-23).
o   Semburit bakti dikutuk oleh Tuhan (Ul. 23:17-18).
o   Homoseksual dikutuk dalam kitab Hakim-hakim (Hak. 19:22)
o   Para nabi mengutuk dosa homoseksual/sodomi (1 Raj. 14:24; 15:12; 22:47; 1 Raj. 23:7; Yeh. 16:50).
o   Paulus dalam suratnya mengutuk homoseksual (Rm. 1:18-27).
o   Kaum homoseksual tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor. 6:9-10)
o   Timotius mengutuk dosa homoseksual (1 Tim. 1:9-10).
o    Homoseksual adalah perbuatan yang tidak wajar (Yud. 1:7).

            Selain itu terdapat beberapa alasan dan pertimbangan etika lain di luar Alkitab yang juga menentang hal ini. terdapat beberapa alasan pertimbangan etika dan norma moral secara umum mengenai hal ini, yaitu: Homoseksual adalah suatu ketidakwajaran karena bertentangan dengan kenormalan. Homoseksual dari dahulu hingga kini tidak pernah diterima dalam ukuran kesetaraan dengan heteroseksual dalam masyarakat. Homoseksual juga tidak disukai masyarakat luas. Tidak ada masyarakat yang dapat dipertahankan (keturunan) melalui praktek homoseksual. Dan yang terakhir praktek-rpaktek homoseksual merupakan ancaman bagi kehidupan itu sendiri oleh karena rentan terhadap penularan berbagai macam penyakit kelamin yang mematikan.

            Meskipun secara umum padangan non bilblikal tersebut merupakan alasan-alasan yang paling sering dijumpai dalam masyarakat namun terdapat juga ragam kritik yang diajukan terhadap alasan-alasan tersebut. Maka, titik tolak yang paling fundamental harus dikembalikan pada prinsip kebenaran final kitab suci sehingga keberatan-keberatan tersebut dapat diselesaikan. Allah tidak pernah menciptakan homoseksual. Homoseksual yang terjadi oleh karena dampak kejatuhan manusia dalam dosa sehingga baik kerusakan/ketidaknormalan hormonal, maupun pengalaman pelecehan seksual yang berdampak pada kecenderungan homoseksual, merupakan salah satu bentuk dosa yang perlu dikembalikan pada keadaan seksual yang normal, bukan membangun opini dan argumentasi untuk mendukung pembenaran penyimpangan-penyimpangan seksual tersebut. Meskipun pelaku homoseksual harus dirangkul namun homoseksualitas itu sendiri dengan tegas harus ditolak.

2.      PERIHAL PORNOGRAFI.

  Pornografi dalam perspektif etika Kristen. Pornografi menjadi bahaya laten yang mengancam generasi milenial saat ini. Era perkembangan digital yang begitu maju juga ikut mempengaruhi minat dan konten pornografi. Konsumen pornografi saat ini juga bukan lagi kaum muda—dewasa, gadget yang dimiliki secara pribadi, dengan sangat mudah menjadi sarana untuk mengakses konten-konten tersebut dimana saja dan oleh siapa saja. Fakta bahwa anak-anak maupun orang tua (baik yang leha menikah telah menikah maupun kaum lansia) juga tidak lepas dari jerat pornografi. Gereja sedang menghadapi serangan yang sulit dibendung oleh karena dosa tersebut dapat terjadi dimana saja dan berkaitan langsung dengan privasi seseorang dimana hal tersebut sulit untuk diketahui maupun diakui. Kendala lainnya adalah bahwa gereja seperti mengalami dilema antara yang sacral dan yang profane ketika ingin berbicara mengenai pornografi atau seksualitas. Akibatnya jelas, Jemaat yang kurang perbelakan tersebut dengan sangat rentan terpapar oleh konten-konten pornografi oleh karena pemahaman kebenaran yang tidak memadai.
           
                                       Etika Kristen yang bertopang pada kebenaran kitab suci tentu saja bereseberangan dengan hal ini. Terdapat beberapa alasan serta dasar ayat Alkitab yang menolak pornografi. Kesatu, pornografi tidak menghormati perkawinan (Rm. 1:32). Kedua, pornografi meningkatkan aktivitas berdosa dalam kehidupan orang percaya dan hilangnya sensivitas untuk hidup kudus (1 Kor. 6:18). Pronografi memperkuat hawa nafsu dan perzinahan dalam hati (Mat. 5:27-30). Ketiga, pornografi merusak pikiran dan hati. Keempat, pornografi menggelapkan hati dan pikiran orang percaya (Mat. 6:22-23). Kelima, pornografi memperlemah perkawinan yang baik (Kej. 2:22-25; Ibr. 13:4).

                                       Selain alasan-alasan Alkitab tersebut, terdapat juga beberapa alasan medis yang bekaitan erat dengan kerusakan fungsi otak, fungsi hormon, serta  dan tindakan-tindakan kejahatan yang ekstrem oleh karena tuntutan hasrat seksual yang semakin meningka dan liar.

3.      PERIHAL TRANSGENDER.

   Permasalahn transgender merupakan permasalahan yang mirip dengan homoseksual. Dengan kata lain, respons etika Kristen pun serupa—etika Kristen dengan tegas memandang hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan dosa seksualitas (entahkan terjadi oleh karena alasan lingkungan, moral, maupuin kejiwaan), oleh karena pada prinsip utamanya Allah tidak pernah menciptakan secara keliru, “jiwa wanita yang terpenjara dalam tubuh pria”. Kejadian 2:24 dengan jelas mengemukakan perbedaan gender, sekaligus menekankan kesempurnaan ciptaan Allah dengan konsepsi jiwa dan raga yang sempurna dan tanpa tertukar. Hal tersebut mengindikasikan bawa etika Kristen menolak transgender, sebagaimana yang juga dibuktikan melalui sejarah Sodom dan Gomora (Kej. 19; Yud. 1:17) serta penegasan kembali oleh rasul Paulus (Rm. 1:25-27). Meski demikian, seperti Tuhan yesus yang membenci dosa namun mengasihi manusia, kaum transgender perlu diselamatkan dengan bentuk pelayanan pembimbingan khusus sehingga mereka boleh kembali dalam natur kemanusiaan mereka yang sejati.  

4.      PERIHAL ABORSI.

     Perspektif etika Kristen tentang aborsi. Etika Kristen memandang manusia secara utuh pada saat pembuahan terjadiperjumpaan antara sel sperma dan induk telur (kej. 4:1). Zigot yang dihasilkan  merupakan manusia seutuhnya karena merupakan gambar dan rupa Allah yang mana ia dikenal dan diperhatikan juga oleh-Nya (Kej. 2:7; Yer. 1:5; Mzm. 139:13-16), meskipun belum secara efektif menyatakan eksistensinya. Pandangan etika Kristen juga sejalan dengan pandangan etika medis yang sama-sama menerima keutuhan seorang manusia pada saat terjadi pembuahan sehingga pada pedoman dasar ini, tentu saja dengan tegas etika Kristen menolak praktek-praktek aborsi dengan alasan apapun. Penolakan tersebut didasari atas kebenaran firman Tuhan tentang keutuhan manusia, pelanggaran tentang perintah jangan membunuh di dalam Keluaran 20:13 (bahkan dengan cara mengerikan yang menyebabkan organ-organ tubuh pada bayi terpenggal), pembunuh bayi (abiorsi) harus menerima ganjaran yang sama  (Kel. 21:23) dan serangkaian efek medis serta psikologis bagi pelaku aborsi.

         Meski demikian,  dalam kasus tertentu misalnya kehamilan di luar kandungan yang menimbulkan efek dilematis ganda (pilihan antara keselamatan Ibu atau bayi), sehingga jika aborsi yang menjadi opsi pilihan dan kesepakatannya, hal tersebut tentu tidak dapat dikategorikan/disamakan dengan  kasus aborsi dalam ketegori pelanggaran moral dan kebenaran firman Tuhan, oleh karena tindakan medis tersebut berhubungan dengan faktor resiko pilihan keselamatan nyawa, dan mempertahankan nyawa antara Ibu atau bayi, maka tentu hal tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus aborsi pada umumnya yang dilandasi dengan alasan-alasan non esensial.  

5.     PERIHAL UTHANASIA.

      Sama halnya dengan aborsi, pandangan etika Kristen mengenai uthanasia juga secara tegas ditolak, baik uthanasia aktif maupun bentuk uthanasia pasif (alami dan tidak alami). Beberapa alasan yang mendasarinya adalah: 1). Tidak ada hal moral untuk membunuh seorang manusia yang tidak bersalah (Kel. 20:13). Uthanasia secara sengaja melalaikan prinsip moral dan mengambil peran dan kedaulatan Allah perihal nyawa manusia. 2). Membunuh penderita adalah tindakan yang tidak berbelas kasih. 3). Banyak hal yang dapat dipelajari melalui penderitaan (Yak. 1:2-4; Rm. 5:3-4). 4). Hilangnya makna dan esensi sebagai manusia. Uthanasia menurunkan derajat seorang manusia dan secara tidak langsung menetapkan antara yang sakit kronis, bukan manusia dan yang sehat adalah manusia, padahal pada prinsipnya manusia (dengan berbagai kekurangan dan penderitaannya) adalah gambar dan rupa Allah. 5). Tujuan tidak boleh membenarkan cara. Ide ini dikendarai oleh semangat utilitarianisme yang menyesatkan. Tujuan yang baik harus pula diaplikasikan dengan cara/metode yang tepat pula. 6). Manusia bukanlah hewan.

6.      PERIHAL BAYI TABUNG.

     Pandangan etika Kristen terhadap bayi tabung. Secara spesifik proses penyelenggaraan program bayi tabung (baik pada saat pemisahan sel telur, hingga penyatuannya dengan sel sperma di dalam tabung pembuahan yang terjadi di luar kandungan, hingga proses penanaman kembali ke dalam rahim sang Ibu), tidak memiliki gambaran yang eksplisit mengenai dukungan atau tidaknya dari kitab suci.

          Meski demikian terdapat prinsip-prinsip kebenaran dan pertimbangan nilai moral yang sama dan setara sebagaimana pertimbangan moral perihal kasus aborsi. Dengan kata lain, sejauh proses pelaksanaannya tidak melanggar norma-norma etika seperti pembuahan yang gagal disingkirkan (aborsi), atau dengan sengaja memiliki bibit-bibit unggul pada suatu sel sperma (pelanggaran nilai dan makna hidup manusia yang berkaitan dengan gambar dan rupa Allah, juga kedaulatan-Nya), hingga dengan sengaja menggunakan sperma orang lain yang bukan suami (pelanggaran kesusilaan), hal tersebut dapat saja dilakukan.  

7.  PERIHAL INSEMINASI.   

    Inseminasi buatan terbagi menjadi dua bagian; Homolog (donor sel sprema dari sang suami) dan Heterolog (donor sel sperma dari anonim). Inseminasi dalam kasus homolog cenderung disetujui oleh etika kristen oleh karena tidak melanggar norma-norma agama dan kesusilaan. Hal tersebut merupakan sebuah tindakan pertolongan medis dengan penggunaan metodologi tertentu bagi pasangan yang belum dikaruniai keturunan, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran menyangkut nilai dan gambar diri seorang manusia. Dengan demikian pada prakteknya tenaga medis tidak boleh mendiskriminasikan/mengotak-ngotakkan ragam sel yang hendak disuntikkan (meskipun hal tersebut akan sangat sukar dipertahankan oleh karena tujuan awalnya adalah memperoleh keturunan sehingga seringkali terjadi tindakan-tindakan pemilihan “bibit unggul” yang secara tidak langsung menyatakan sikap diskriminatif), oleh karena hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran etik yang dengan sengaja menyeleksi “bibit manusia” berdasarkan serangkaian motif. 

          Berbeda dengan program bayi tabung dan inseminasi homolog, inseminasi heterolog ditolak dalam pandangan etika Kristen oleh karena beberapa alasan, yaitu: 1). Aspek psikologis. Keterikana emosional antara Ibu dan bayi, (bahkan juga menyangkut sisi psikologis sang ayah yang secara hukum sah), terhadap sang “ayah” yang anonim tentu saja akan menimbulkan tekanan dan gangguan psikologis di kemudian hari. 2). Aspek yuridis. Aspek hukum dan hak-hak seseorang untuk mengetahui siapa orang tuanya, dan hak-hak asuh, perlindungan, kasih sayang, dst, tentu akan menjadi hambatan bagi anak hasil inseminasi heterolog. 3). Aspek sosial. Inseminasi heterolog akan meninggalkan serangkaian masalah sosial seperi diskriminasi, bully, serta status sosialnya baru dalam kehidupan sang anak kelak. 4). Aspek agama. alkitab dengan sangat jelas menggambarkan pernikahan kristianai sebagai pernikahan kudus antara dua pasangan yang sah di hadapan Allah dan jemaat. Inseminasi heterolog merupakan praktek penginkaran dan pelecehan terhadap pernikahan kudus pasangan kristiani.

8.      PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KATOLIK ROMA).

    Pandangan etika Katolik Roma terhadap pengendalian kelahiran. GKR (Gereja Katolik Roma) memiliki pandangan yang serupa mengenai eksistensi kehidupan manusia yang dimulai pada saat pembuahan terjadi. Namun fokusnya bukan hanya pada saat pembuahan, akan tetapi lebih jauh juga menyangkut persoalan “pencegahan pembuahan” dengan sengaja melalui metodologi modern (fasilitas KB). Dengan dasar etika demikian, kalangan GKR menentukan sikapnya perihal pengendalian kelahiran dengan mengemukakan beberapa dalil, yaitu: 1). Memberlakukan pengendalian kelahiran buatan adalah tidak mentaati perintah Allah untuk berkembang biak (Kej. 1:28). 2). Mencegah kehidupan agar tidak terjadi secara alami adalah semacam pembunuhan terhadap calon-calon anak secara sengaja. 3). Satu-satunya tujuan seks adalah berkembang biak. 4).  Kitab suci jelas mengutuk orang yang mempraktekkan pengendalian kelahiran dalam bentuk preventif (Kej. 38:9). Demikian dasar-dasar pertimbangan dalam etika GKR perihal pengendalian kelahiran.

9.    PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KAUM INILI).

    Pandangan etika Kristen terhadap pengendalian kelahiran. Dalam hal esensial seperti eksistensi kehidupan manusia yang meng-ada pada saat pembuahan terjadi merupakan titik temu antara Katolik Roma dan kaum Injili. Keduanya sama-sama mengakui dan menyetujui kebenaran tersebut sehngga merupakan sebuah pelanggaran etis ketika pembuahan yang sudah terjadi harus diatasi dengan serangkaian obat dan alat kontrasepsi. Meski demikian, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.

          Pada umumnya tidak ada kesepakatan bersama mengenai isu tersebut di kalangan Injili. Kalangan Injili mengajukan beberapa hal penting mengenai posisi kapan pengendalian kelahiran dianggap benar dan kapan hal tersebut salah. Kesatu, pengendalian kelahiran dianggap salah jika: Menggunakannya di luar ikatan pernikahan yang sah/aktivitas seksual ilegal, eksistensi manusia teracam punah,  pasangan yang tidak memiliki keturunan pada saat populasi manusia terancam, menolak memiliki anak oleh karena konsekuensi tangggung jawab,  dimaksudkan untuk mengaborsi janin.

          Kedua, pengendalian kelahiran dianggap benar jika: menjadi sebuah kebijaksanaan untuk penundaan kehamilan sampai calon orang tua siap, dengan maksud membatasi anggota keluarga agar sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua, dengan tujuan memberi jarak antar anak dalam keluarga, untuk mengakhiri keluarga seseorang yang mana telah sampai pada titik maksimal tanggung jawabnya, sebagai sarana edukasi kesehatan fisik dan mental, untuk tujuan moral yang lebih tinggi.

         Singkatnya, dalam beberapa alasan penting isu pengendalian kelahiran dapat ditolak maupun dapat dilakukan. Sementara dalam praktek pengendalian kelahiran penggunaan alat-alat kontrasepsi yang dapat membunuh janin (atau pembuhan yang sudah terjadi), tidak boleh digunakan. Namun peralatan kontasepsi yang mencegah pertemuan antara sel sperma dan induk telur mungkin saja dapat dugunakan.

10.  PERIHAL PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN ULANG.

      Pandangan etika Kristen terhadap perceraian dan pernikahan ulang.
Isu perceraian dan pernikahan ulang merupakan isu yang rumit sekaligus kontroversial dalam perspektif etika Kristen. Perdebatan klasik antara kalangan Hillel dan Shammai kembali terulang melalui pertanyaan orang Farisi di dalam Matius 19, dan secara radikal dijawab oleh Tuhan Yesus dengan pendekatan dan konklusi yang sama sekali tidak diperkirakan.

          Sebelum masuk dalam isu perceraian dan pernikahan ulang pemahaman akan janji pernikahan perlu dipertajam. Pernikahan atau janji pernikahan meskipun sacral namun janji nikah tersebut bukanlah janji kekal sebagaimana perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Janji pernikahan merupakan janji temporal di dalam dunia ciptaan yang juga dalam beberapa hal krusial (selain kematian) dapat menyebabkan perpisahan. Alkitab dengan jelas membedakan antara perceraian dengan alasan yang fundamental (pembuktian perbuatan yang tidak senonoh—perihal moralitas/pelanggaran perkawinan yang memalukan, tetapi bukan zinah, ay. 1. Bdk. dengan kasus percobaan cerai pada Yusuf dan Maria, Mat. 1:9) dan alasan yang dibuat-buat (tidak cinta lagi, ay. 3) dalam kitab Ulangan 24:1-4. Hal ini menjadi landasan perkawinan dan perceraian umat Israel hingga di zaman Tuhan Yesus masih menggunakan pola pedekatan yang sama sebagaimana yang terlihat pada pemahaman kaum Farisi.

          Perceraian. Pandangan Tuhan Yesus perihal perceraian melangkah jauh melampaui pandangan Hillel maupun Shammai.  Meskipun pada awalnya Ia bertolak dari presaposisi pandangan Shammai, namun penegasan-Nya pada bagian konklusi sangatkah berbeda. Hal tersebut dibahasakan dengan penegasan yang mencengangkan, bahwa baik suami yang menceraikan (Mat. 19:9) maupun istri yang diceraikan dan kawin lagi (Mat. 5:32), sama-sama berbuat zinah. Tidak sampai di situ, Tuhan Yeus melangkah lebih jauh dengan menegaskan konsep pernikahan semenjak semula yang telah menjadi “satu daging”, maka apa yang dipersatukan oleh Allah tida boleh diceraikan (Mat. 19:6), itu sebabnya persoalan mengenai “surat cerai”, Ia mengungkapkan alasan fundamentalnya bahwa hal tersebut didasari atas “ketegaran hatimu” (Mat. 19:8).

          Penulis secara pribadi menangkap pesan implisit dari sikap dan jawaban Tuhan Yesus tersebut sebagai penegasan mengenai dua hal: Kesatu, Ia menegaskan posisi awal langkah-Nya di antara dua pilihan komunitas etika pada zaman itu (Hillel dan Shammai), yang mana Ia secara ekplisit menerima argumen Shammai. Kedua, akan tetapi perihal posisi etik-Nya tidak berpatokan pada Shammai, namun Ia melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa perceraian tidak boleh terjadi oleh karena tidak sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana esensi pernikahan di kitab Kejadian, itu sebabnya para murid menjadi terkejut (Mat. 19:7). Namun, hal lain yang terpenting adalah Ia juga melihat persoalan hubungan suami-istri dalam kerangka penebusan sehingga Ia mendorong terjadinya rekonsiliasi antara suami-istri sebagaimana yang Ia tunjukan melalui pengampunan terhadap wanita yang kedapatan berzinah (Yoh. 7:53-8:11). Atau lebih jauh, perihal pengajaran-Nya mengenai pengampunan yang radikal tanpa batas (Mat. 18:21-35). Dengan demikian posisi etika Kristen dalam pengajaran Tuhan Yesus menyangkut perceraian jelas, Ia tidak menghendaki percerainan namun lebih kepada rekonsiliasi dan pengamunan seperti pengampunan Allah bagi umat-Nya.

         Pernikahan ulang. Jika mengacu pada jawaban etika Tuhan Yesus, maka sulit untuk mengkaji lanjutan tentang isu pernikahan ulang. Namun dalam konteks budaya abat pertama (baik umat Yahudi maupun Romawi) dan permasalahan pastoral yang semakin kompleks pada pelayanan rasul Paulus (secara khusus pada kasus di gereja Korintus (Kor. 6-7), pernikahan kembali sudah menjadi hal yang lumrah pada masa itu sehingga pada pelayanan selanjutnya rasul Paulus meletakan dasar-dasar pastoral mengenai pernikahan pasca perceraian. Kedua hal ini bukanlah semacam kontradiksi etis, namun lebih kepada sebuah bentuk pendekatan dengan konteks kebudayaan serta etika yang berbeda di dalamnya. Korintus merupakan salah satu gereja yang secara geografis berada di bawah kebudayaan Yunani-Romawi yang sudah terbiasa sengan perceraian dan pernikahan ulang, hal ini memberikan gambaran bahwa pergerakan kebudayaan dan etika dalam gereja tersebut sebelum pelayanan rasul Paulus sangatlah berbeda dengan masyarakat Yahudi, maka  tentu tidak dapat dilakukan pendekatan serupa dengan pendekatan dalam konteks ke-Yahudian. Adanya sekelompok orang yang mnedukung kebebasan seksual (1 Kor. 6:12-120), dan kelompok lain yang mendukung pertarakan (1 Kor. 7:1b), saling memaksakan konsep mereka kepada: mereka yang sudah menikah (ay. 7:2-7), kepada janda dan duda (ay. 7:8-9; 39-40), mereka yang berikrar akan menikah lagi (ay. 25-28; 36-38), mereka yang belum pernah menikah sebelumnya (ay. 29-35). Akan tetapi kebiasaan “meninggalkan pasangan dan menikah lagi” dalam konteks kebudayaan Romawi juga merupakan suatu pelanggrana terhadap perkawinan kristiani, namun permasalahannya adalah bagaimana jika sebelumnya mereka sudah kawin cerai dan sekarang menjadi umat Tuhan dan ingin kawin lagi? Bukankah dalam konteks gereja dewasa ini, hal tersebut juga terjadi pada sebagain umat Tuhan yang baru saja lahir baru?

         Dalam konteks masa kini, pendekatan terhadap terhadap kedua hal tersebut sangatlah sukar karena di sisi lain, ada juga pasangan-pasangan yang salah satu di antaranya telah berjuang sungguh-sungguh bertahun-tahun dengan mengorbankan berbagai hal untuk mempertahankan pernikahannya, namun tidak dianggap oleh pasangan lainnya. Ada juga pasangan yang setelah menikah, ternyata secara diam-diam tidak diketahui bahwa ia mengidap penyakit kelamin mematikan tertentu yang dapat ditularkan kepada pasangannya sehingga dengan sengaja mengancam kehidupan pasangan dan keluarga, hingga kasus dilematis seperti salah satu pasangan yang ternyata mengalami gangguan kejiwaan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung beberapa bulan berikutnya. Apakah janji nikah yang diucapkan seseorang yang mengalami gangguan kejiawaan itu sah di hadapan Tuhan? Apakah jika kehidupan pasangannya teracam oleh tindakan kekerasan oleh gangguan kejiwaan pasangannya tersebut, dapat terus mempertahankan perkawinannya? Tentu dilema-dilema etis dalam konteks saat ini sangatlah kompleks. Maka dalam kategori tertentu yang sangat urgen, menurut pandangan etis penulis, perceraian dapat dilakukan. Namun penulis sendiri belum memiliki dasar biblical yang kuat terhadap konsep pernikahan ulang, akan tetapi penulis juga tidak dapat membatasi kehendak dan kedaulatan Tuhan (dalam kasus khusus tersebut), bila Tuhan menghendaki, dengan cara dan waktu-Nya, maka tentu saja hal tersebut dapat dilaksanakan (tentu saja penekanannya adalah pada kasus khusus dan motif-motif terselubung yang perlu ditinjau secara jernih).  Sementara penekanan penting lainnya adalah pada saat bimbingan pra nikah. Kesempatan in perlu dijelaskan, dianalisa, dan diselidiki secara seksama sehingga di kemudian hari tidak terjadi perceraian. Sekian, Tuhan memberkati.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar