RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 1)
[Semua materi dalam tulisan ini disadur dan dikembangkan dari
diktat kuliah Etika Terapan STT KHARISMA Bandung]
1. PERIHAL ASAL MULA NEGARA DAN PEMERINTAHAN.
Dari keempat teori tentang asal mula negara dan
kekuasaan (Mitologi Kerajaan, Hukum
Kodrat, Kekuasaan Negara Berasal dari Setan, Kenegaraan Libiralisme
Rasionalistis—Kedaulatan Rakyat), yang digagas oleh pemikiran sekuler,
tidak ada diantaranya yang sesuai dengan prinsip etika Kristen. Alasan mendasarnya
karena dua hal. Kesatu, semua teori
tersebut bertolak dari pemikiran antroposentris yang telah jatuh di dalam dosa,
tidak ideal, bahkan cemderung menyesatkan (bdk. dgn. Teori kedua) sehingga
meninggikan kedaulatan humanistik sebagai penggagas utamanya. Dalam pemikiran
demikian, Tuhan disingkirkan dan semboyan “dari kita (rakyat), oleh kita, dan
untuk kita” (A. Lincoln) menjadi pesan sentral humanisme dan liberalisme komunal
yang sangat kental. Dengan kata lain, teori-teori tersebut mengandalkan
kekuatan, politik, ekonomi, dan kedaulatan manusia sebagai penggagas dan
penggerak utamanya. Manusia menjadi subjek penggerak sekaligus objek tujuan
yang dicapai. Disisi lain, natur manusia yang telah jatuh dalam dosa tersebut justru
seringkali menjadi instrument kuasa-kuasa jahat sehingga tak jarang
menghasilkan ragam kebijakan yang menentang Allah. Hal tersebut seperti
mengulang kembali konsep pemikiran Menara Babel (Kej. 11) dimana suatu bentuk
pemberontakan humanistic komunal dalam menentang kedaulatan pemerintahan Allah.
Kedua, keempat teori tersebut
berseberangan dengan sudut pandang Alkitab yang menjadi sumber utama bangunan
etika Kristen. Alkitab dengan jelas menempatkan Allah sebagai sumber
terbentuknya Negara dan kekuasaan. Allah yang mengangkat para raja dan
pemerintahan (Mzm. 72:1; Yoh. 19:11a; Rm. 13:1-2). Gambaran yang lebih jelas
ketika Tuhan menolak Saul dan mengurapi Daud menjadi raja Israel (1 Sam.
16:1-13), bukan hanya sampai di sana, Allah bahkan dapat mengurapi Koresh raja
Persia (Yes. 45:1) untuk menggenapi apa yang Ia rancangkan. Kesaksian ini
membuktikan kebenaran Alkitab yang menjadi landasan etika Kristen bahwa perihal
asal mula Negara dan kekuasaan berasal dari Allah. Secara implisit hal tersebut
termanifestasikan oleh pemerintahan kekal Allah yang dinyatakan dalam ruang dan
waktu melalui pemerintahan Negara yang kemudian menjadi instrument perpanjangan
tangan Allah dalam menjalankan pemerintahan-Nya (meskipun kadang pemerintahan
dunia membangkang) seperti pernyataan Rasul Paulus dalam Roma 13. Sementara
secara eksplisit konsep kerajaan Mesianik di akhir zaman merupakan gambaran
yang paling konkret tentang asal mula pemerintahan/Negara dan kekuasaan (Kej.
49:10; Why. 20:4).
Impilkasinya jelas, pemerintahan
yang ada dipilih dan ditetapkan oleh Allah, maka sebagai umat-Nya, secara
pribadi penulis harus tunduk serta mendukung pemerintahan yang sah, selayaknya
tunduk dan taat kepada Allah. Sebagaimana Yeremia dengan tegas mengatakan bahwa
umat Tuhan harus mengusahakan kesejahteraan dan mendoakan kota dimana mereka
tinggal (Yer. 29:7), bahkan jika kota tersebut merupakan kota para penjajah
yang menjajah mereka. Sangat mengagumkan! Akan tetapi dengan mengingat bahwa
pemerintahan itu juga dijalankan oleh manusia berdosa yang memiliki
kecenderungan untuk memberontak terhadap Allah, maka dalam batasan tertentu,
sebagai umat Tuhan, penulis perlu bijak dalam menyikapi kebijakan pemerintah
yang dibuat sehingga tidak terjebak dalam lingkaran setan yang ikut mengutuki
Allah melalui ragam kebijakan yang menyesatkan.
2. PERIHAL KETAAN DAN KETIDAK TAATAN TERHADAP PEMERINTAH.
Seperti
yang telah disinggung pada jawaban di atas, dalam batasan/konteks tertentu
padangan etika Kristen membenarkan umat Tuhan untuk tidak boleh taat kepada
pemerintah. Mengenai hal ini terdapat tiga pandangan pada umumnya; Pandangan Anarkisme, Pandangan Patriotisme
Radikal, dan Pandangan Submisionisme Alkitabiah.
Pandangan Anarkisme, mengindikasikan bentuk
perlawanan secara ekstrem dengan tindakan-tindakan kekerasan. Hal tersebut
tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar etika Kristen dan kebenaran
Alkitab yang mewajibkan umat Tuhan untuk taat meski dalam batasan tertentu (Rm.
13:1-7; 1 Ptr. 2:13). Pandangan Patriotisme Radikal. Seperti istilah
yang digunakan, pandangan ini memposisikan dirinya secara mutkak untuk
mendukung dan membela Negara, entahkah baik maupun salah Negara tersebut. Tentu
saja pandangan ini keliru oleh karena Allah menetapkan Negara dan pemimpin
tetapi bukan kejahatan yang dilakukan. Seperti yang telah disampaikan sebelummnya,
ketaatan kepada pemerintah juga merupakan bentuk ketaatan yang berjalan dalam
koridor kebenaran Allah sebagai prinsip dasarnya (Kis. 4:19). Kemudian
menyangkut kejahatan yang dilakukan, orang percaya dilarang untuk ikut
didalamnya (Dan. 3). Pandangan Submisionisme
Alkitabiah. Submisionisme alkitabiah menekankan ketaatan dalam terang
Alkitab. Ketaatan orang percaya terhadap pemerintah terbatas dalam batasan
tertentu terbagi dalam dua kelompok, yaitu ketika pemerintah menetapkan suatu hukum
yang bertentangan dengan firman Allah (Kaum
anti eksploitasi hukum), maupun ketika pemerintah memaksa orang percaya
untuk berbuat kejahatan (Kaum anti Pemaksaan). Klaim posisi anti eksploitasi
hukum disatu sisi sangat rasional, namun disisi lainnya justru tidak memiliki
dasar biblical yang kuat sehingga tidak terdapat batasan respons yang jelas[1] misalnya
pada saat melakukan aksi protes. Sementara kaum anti pemaksaan lebih cenderung
menggunakan cara-cara kampanye/dialog damai yang sesuai dengan pendekatan biblical
(Kel. 1:15-21; 5:1; 1 Raja. 18:4; Dan.3, 6; Kis. 4:19; Why. 12: 11). Bahkan
jika tidak memungkinkan terdapat dua hal yang dilakukan, menolak melakukan
kejahatan yang diperintahkan, namun dengan berani menerima konsekuensi hukum
yang dijatuhkan pemerintah (sebagaimana
Daniel dan Para Rasul ketika berhadapan dengan putusan hukum mereka).
Dari ketiga pandangan tersebut
pandangan Submisions Alkitabiah versi Anti Pemaksaan yang bagi penulis
sesuai dengan etika Kristen dan prinsip-prinsip Alkitab. Bukan hanya karena
alasan biblical namun juga karena alasan konteks sosial yang lebih luas,
misalnya dalam konteks Negara yang memiliki penduduk mayoritas keyakinan non
Kristen, penerapan versi anti eksploitasi hukum tentu saja akan sangat sulit
dilakukan. Sebaliknya, jika hal ini memungkinkan untuk dilakukan pada Negara
yang memiliki mayoritas penduduk Kristen, konskuensi pelanggaran hukum justru
menjadi resiko yang tak terhindarkan mengingat ekspresi dari penerapannya tidak
menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan anarkis. Ini merupakan sebuah
dilematis yang sangat tidak relevan. Maka pandangan submisions alkitabiah versi
anti pemaksaan adalah padangan yang paling ideal dalam kontejs etika Kristen
dan bagi penulis.
3. PERIHAL TOLERANSI.
Dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia, keinsyafan
batin orang percaya perihal toleransi beragama merupakan kesepakatan bersama founding fathers yang dirumuskan dalam filosofi
kebhinekaan yang tertung dalam UU pasal 18, oleh karena didasarkan atas
semangat kebersamaan dalam perbedaan menuju kesejahteraan bersama. Sebagai
generasi yang lahir kemudian, hal ini merupakan warisan kebudayaan dan
kebangsaan yang memiliki peran sentral untuk menjaga kedaulatan bangsa.[2]
Sepanjang
perjalanan sejarah gereja, hal ini pun secara tak terhindarkan hadir dalam
komunitas-komunitas Kristen, baik Gereja-gereja Timur maupun Barat. Bahkan jauh
sebelumnya, para Rasul juga menghadapi dan memberikan teladan sikap yang sama
(menjunjung tinggi toleransi tanpa mengkompromikian kebenaran iman), baik
ketika mereka di tengah-tengah umat Yudhaisme, maupun di tengah-tengah kalangan
penganut agama pagan Yunani-Romawi. Meski demikian, penegasan akan batas
toleransi tersebut perlu digaris bawahi sehingga sebagai orang percaya, umat
Tuhan tidak terjebak dalam sinkretisme atau semacam kompormi yang pada akhirnya
jatuh pada keyakinan pluralisme[3]
agama. Toleransi yang sehat menerima keberagaman, namun sikap toleransi
tersebut tidak mengkomporimikan atau mendegradasikan nilai-nilai kebenaran
absolut iman Kristen terhadap keyakinan lain.
Meski
demikian, terdapat kecenderungan yang keliru ketika isu tersebut digemakan
dalam komunitas Kristen. Kecenderungan negatif yang timbul adalah kemandulan
pemberitaan Injil. Sikap toleransi yang salah tempat, pada umumnya menyebabkan
umat Tuhan enggan dan segan untuk memberitakan Injil oleh karena perasaan takut
menyinggung dan menimbulkan masalah. Pemberitaan Injil dan tidak toleran adalah
dua hal yang berbeda. Pemberitaan Iniil tidak menjadikan umat Tuhan tidak
toleran, oleh karena sifat dasarnya yang hanya menyangkut “pemberitaan” bukan
“pemaksaan”. Sebagai warga negara yang baik, toleransi beragama harus dijunjung
tinggi, namun tetap waspada agar tidak terjebak dalam kompromi/sinkretisme, dan
terus memberitakan Injil.
Sementara
kebebasan berpendapat dinyatakan oleh UU pasal 19. Kebebasan berpendapat
merupakan salah satu hal penting yang terkait dengan kebebasan beragama,
sekaligus menyatakan hak-hak menyakut kemajuan kemanusiaan oleh karena pendapat
juga berkaitan erat dengan ide penemuan atau rumusan ilmiah populer. Oleh
karena itu kebenasan berpendapat perlu didukung namun dalam kerangka hukum
serta norma etika yang jelas. Sejarah gereja telah memperlihatkan masa kelam
dimana gereja juga terjebak dalam penghakiman yang tidak seharusnya. Meski
demikian, kebebasan berpendapat sebagai umat Tuhan dalam konteks etika Kristen perlu
didukung namun harus dilakukan dalam koridor payung hukum yang berlaku serta
norma-norma etika yang sepadan, dalam hal ini sesuai dengan prinsip-psinsip
kebenaran Alkitab.
4. PERIHAL HUKUMAN MATI.
Secara umum padangan etika Kristen yang penulis anut adalah
pandangan retribusionisme. Padanngan
yang melegitimasi hukuman mati oleh pemerintah/otoritas sesuai dengan kasus
khusus/kejahatan besar tertentu. Penerapan hukuan mati dalam pandangan ini bertujuan
untuk menghukum. Titik tolak posisi penulis adalah karena dari kedua pandangan
etika lainnya (rehabilitasionisme dan rekonstruksionisme) ), pandangan ini (retribusionisme)
yang memiliki dalil alkitabiah yang cukup kuat, serta relevan dan dapat
diterapkan di dalam hukum positif kenegaraan bahkan jika memungkinkan, dalam
jangakauan hukum universal. Alasan relevansinya adalah karena natur dosa yang
memperbudak manusia pada tahap tertentu dapat memimpin manusia itu pada tingkat
kejahatan yang mengerikan dan sadisme. Dalam konteks demikian hukuman mati
dapat saja diterapkan.
Meski
demikian, dalam penerapannya penulis cenderung pesimistik terhadap keadilan
yang digagas oleh keputusan manusia. Perbedaan mendasarnya terletak pada hal
ini; Pertimbangan hukuman mati oleh Allah dan Manusia. Meskipun gagasan ini
mengakomodasi pertimbangan biblical yang cukup kuat, namun kelemahannya adalah semua
dalilnya berpatokan para “kesamaan prinsip hukuman mati” yang dipertahankan
oleh PL dan PB, sedangkan pada umumnya, psinip yang disarikan itu secara
keseluruhan merupakan gambaran hukuman mati yang secara langsung dilakukan oleh
Allah. Dari hal ini, pertimbangan utamanya menjadi jelas. Ketika Allah
melakukan penghukuman (mati), dasar pertimbangan dan keadilan yang
dilakukan-Nya itu sempurna, sementara peradilan dan pertimbangan yang dilakukan
oleh pemerintah (yang mana merupakan wakil Allah jika merujuk pada dalil Roma
13), dapat saja salah, keliru, dan sesat. Salah satu contoh kasus di Indonesia
adalah eksekusi Tibo cs, pada 22 september 2006 yang justru lebih sersifat
politis dan sosiologis, ketimbang memenuhi asas keadilan.[4]
Kasus tersebut menjadi pembuktian yang sangat nyata mengenai pesimistik penulis
terhadap penerapan hukuman mati secara adil oleh pemerintah.
Hal
berikunya yang perlu dikaji lebih jauh adalah menyangkut batasan mengenai kata
“kejahatan besar” (kejahatan tertentu) yang dimaksud. Kejahatan besar seperti apakah
yang patut menerima hukuman mati? Penafsiran ini tentu saja akan berbeda dalam
penerapan dan kebijakan masing-masing Negara sesuai dengan nilai-nilai
ideologi, politik, budaya, dan agama yang ikut memberikan kontribusi terhadap
penafsirannya (penegakan HAM misalnya yang digagas oleh PBB, ditolak oleh
negara-negara Arab oleh karena pertimbangan hukum mereka yang ditegakkan
berdasarkan hukum Islam). Perbedaan batasan tersebut pada masing-masing
pemerintahan akan menimbulkan pertanyaan lanjutan: “Jika batasan hukuman mati
pada masing-masing Negara berbeda-beda, maka Negara manakah yang dapat
benar-benar dianggap sebagai wakil Allah yang absolut?” Sebagai wakil Allah
yang satu itu, dapatkah masing-masing Negara menerapkan standar hukum yang
berbeda, sedangkan sumbernya berasal dari satu kebenaran Allah yang absolut? Meskipun tentu jawabannya akan berpulang pada keadaan
mansuia yang telah jatuh dalam dosa sehingga timbul ragam pandangan dan
penafsiran, dan Allah yang mungkin saja mengijinkan perbedaan tersebut, akan
tetapi hal tersebut tetap saja menjadi pembelaan yang lunak, karena tidak
pernah sampai kepada keseragaman universal tentang penegakan keadilan yang
mengatasnamakan kebenaran Allah yang absolut dan universal.
Sebagai
kesimpulan, meskipun penulis mendukung penerapan hukuman mati, namun sekali
lagi, di dalam keadaan dunia yang telah jatuh dalam dosa, penulis pesimis
dengan setiap petimbangan hukuman mati yang dijalankan pemerintah, meskipun hal
ini tidak dimaksudkan sebagai suatu usaha generalisasi (karena tentu dalam kasus-kasus
tertentu yang dapat dibuktikan secara sah dan meyankian secara hukum dapat
dijalankan), namun harus diakui bahwa akan sangat sukar untuk memenuhi asas
keadilan, selain hanya sampai pada pemenuhan asas penghukuman. Peradilan
manusia hanya dapat sampai pada pemenuhan asas penghukuman namun tidak dapat
sampai pada asas keadilan. Pertimbangan dasar ini yang menjadi posisi etika penulis.
5. PERIHAL KEMISKINAN DAN TANGGUNGJAWAB TERHADAPNYA.
Tanggungjawab
yang diemban orang Kristen terhadap pelayanan kaum marginal didasari oleh kasih
dan kepedulian Allah terhadap orang misikin seperti yang terlihat dalam banyak
ayat baik di dalam PL (Im. 19:10; 23:22; Ams. 22:7,9 ; 28:27Ul. 12:11-3;
15:4-6; Mzm. 72:12-14; Yes. 41:17; dst). Demikian halnya di PB ( Yoh. 13:27-29;
Gal.2:10; Rm 15:25-27, dst). Kemudian tanggungjawab itu diemban dengan beberapa
alasan:
1. Tuhan
memberkati kita sebanding dengan apa yang kita berikan keopada orang miskin
(Ul. 15:1-6; Ams. 22:9; 28:27, bdk. dengan Yeh. 16:49)
2. Kita
memuliakan Tuhan dengan cara menyatakan belas kasih kepada orang miskin (Ams.
14:31).
3. Belas
kasih kepad aorang miskin merupakan salah satu kriteria untuk dapat masuk ke
dalam Kerajaan Sorga (Mrk. 12:30-31; Mat. 25:34-36, 40, 45-46).
4. Tindakan
belas kasih yang dilakukan untuk orang miskin adalah merupakan tindakan
mengumpulkan harta di Sorga (Luk. 14:13-14)
5. Harta
orang yang mengenakan riba diberikan kepada orang yang menruh belaskasihan
kepada orang lemah (Ams. 28:8).
Sementara
tiga langkah praktis yang digagas gereja masa kini dalam rangka mengentaskan
kemiskinan di Indonesia adalah mengusahakan tiga sektor penting yaitu: Pendidikan (sekolah-sekolah), Kesehatan (sarana dan prasarana
kesehatan), dan Ekonomi (gerakan-gerakan
sosial baik berupa bantuan langsung, pelatihan, sosialisasi, maupun seminar).
Kemiskinan bukanlah isu sentral yang berdiri secara tunggal, oleh karena
kemiskinan dihasilkan dari akumulai beragam faktor penyebab yang kompleks, dan
ketiga faktor tersebut merupakan indikasi kuat terhadap penyumbang angka
kemiskinan di Indonesia. Peran gereja dalam usaha pementasan kemiskinan dalam
sector tersebut hingga saat ini terus belangsung dan terus meningkat, meksipun
belum maksimal.[5] Usaha-usaha
tersebut juga terlihat dari banyaknya didukung oleh lembaga-lempaga parachurch
yang ikut terlibat.
Namun
disisi lainnya, harus juga diakui bahwa terjadi pergeseran yang cukup
signifikan terutama perihal visi pada bidang pendidikan. Pergerakan
sekolah-sekolah Kristen “unggulan” saat ini lebeh cenderung mengarah kepada
pencapaina profit, gengsi, eksistensi, dan hal-hal sekunder lainnya,
dibandingkan dengan pencapaian misi dan semangat etika Kristen yang semula. Jika demikian, maka sudah pasti jangkauan dari
sekolah-sekolah tersebut hanya mendarat pada kalangan menengah-atas saja dan
sama sekali tidak menyentuh kalangan bawah, apalagi miskin.
Dalam
konteks gereja lokal, penerapan langkah praktis gereja yang dinyatakan dalam
bentuk persembahan kasih (diakonia) rutin, seringkali justru menjadi factor
pemicu kemalasan dan timbulnya mentalitas ngemis
kasih. Beberapa Jemaat bahkan dengan sengaja menjadi simpatisan dari
sebagain gereja besar dengan harapan dapat memperoleh dukungan finansial
bulanan. Menimbang hal ini maka perlu kebijakan dan edukasi yang tepat dari
pihak gereja sehingga dapat mengaplikasikan amanat kasih Kristus tanpa
mengkerdilkan mentalitas Jemaat yang berada dalam kondisi ekonomi buruk.
6. PERIHAL ETIKA KERJA.
Kerangka kerja etika umat kristinani menurut Titus
2:9-10, Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal
dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah
selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal
memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita. Kerangka
kerja yang dijabarkan dalam ayat ini meliputi lima pokok penting, yaitu:
Kesatu, ketaatan terhadap pemimpin. Kedua, memiliki hasil kerja yang senantiasa
memuaskan hati pemimpin. Ketiga, mampu mengatasi konflik dengan benar. Keempat,
kejujuran dan integritas yang memadai. Dan kelima, tulus dan setia.
Tentu saja penerapan prinsip kerja ini tidak
dilandasi dengan semangat/motivasi memperolah seleri tinggi atau promosi yang
lebih baik, oleh karena semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari seorang
pekerja Kristen yang memenuhi kriteria tersebut. Sebaliknya, semangat kerja tersebut
merupakan manifestasi dari kehidupan seorang Kristen yang saleh dan usaha untuk
menjadi terang dan garam dunia (Mat. 5:14, 16). Orang-orang demikian akan
melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhah dan bukan untuk manusia (Kol.
3:23).
7. PERIHAL KEWAJIBAN PERUSAHAAN TERHADAP KARYAWAN.
Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan. Terdapat tiga bentuk kewajian karyawan
terhadap perusahaan dalam pandangan etika Kristen, yaitu :Kewajiban Ketaatan,
Kewajiban Konfidensialitas, dan Kewajiban Loyalitas. Ketiga kewajiban tersebut
sesuai dengan prinsip dasar pekerja Kristen yang dijabarkan pada etika kerja di
atas.
Kewajiban
Ketaatan. Meskipun salah satu bentuk kewajiban yang perlu dijalankan oleh
seorang karyawan adalah ketaatan, namun bukan berarti segala sesuatu harus taat
secara multak kepada perusahaan. Untuk itu ada beberapa hal yang tidak perlu
ditaatati oleh seorang karyawan, atara lain:
o Karyawan
tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan
sesuatu yang tidak bermoral (Mencuri, menipu, manipulasi, dll).
o
Karyawan tidak wajib juga memathi perintah
atasannya yang tidak wajar, meskipun dari segi etik tidak ada pelanggaran
(memperbaiki mobil, renovasi rumah, mengantar keluarga atasan, dll).
o
Karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah
yang memang demi kepentingan perusahaan, tetati tidak sesuai dengan tugas yang
telah disepakati (jobdesk) ketika ia
menjadi karyaan di perusahaan itu (mengerjakan tugas bagian lain, dll).
Kewajiban Konfidensialitas.[6] Kewajiban
konfidensialitas adalah suatu kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat
konfidensial (rahasia), yang diperoleh oleh karena suatu profesi/jabatan
tertentu. Hal-hal ini menyangkut baik profesi (Dokter, Akuntan, dll), trade secrets (rahasia perusahaan—bahan baku,
bumbu tertetu), hingga future plan (rencana
masa depan perusahaan).
Kewajiban Loyalitas. Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status seseorang
sebagai karyawan. Dengam memulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus
mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri
untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dank arena itu pula ia harus
menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
8. PERIHAL KEWAJIBAN KARYAWAN TERHADAP PERUSAHAAN.
Kewajiban
Perusahaan terhadap karyawan meliputi tiga hal utama: Kesatu, Perusahaan tidak
boleh mempraktekkan diskriminasi. (warna kulit, gander, orientasi seksual,
cacat tubuh. Sementara dalam konteks Indonesia, diskiriminasi lebih banyak
terjadi dalam hal pribumi dan non-pribumi). Kedua, Perusahaan harus menjamin
kesehatan dan keselamatan kerja/pekerja. Dan ketiga, kewajiban memberikan gaji
yang adil.
Ketiga kewajiban ini merupakan prisip etika umum yang bukan hanya
disepakati oleh etika kerja Kristen, namun juga etika kerja universal. Namun
tentu pada prakteknya banyak pertimbangan yang dilakukan perusahaan terhadap
penerapan kewajiban tersebut, mulai dari kondisi geografis, keuangan, kontrak kerjasama/kesepakatan
dengan perusahaan lain , dan kebijakan lainnya.
9. PERIHAL KUADRUM EKONOMI.
Terdapat
empat kuadrum ekonomi dalam perspektif etika Kristen. Kuadran 1: Kaya dan
Beriman. Orang-orang yang tergolong dalam kuadran ini adalah mereka yang
beriman dan memiliki kekayaan yang melimpah seperti Abraham maupun Ayub. Pada Kuadran
2: Miskin tapi Beriman, diwakili oleh tokoh-tokoh kitab suci seperti Janda di
Sarfat. Meskipun miskin, namun ia memilki iman yang kokoh dalam menghadapi
pergumuluan. Contoh lainnya juga tentang Janda miskin yang memberikan
persembahan dua peser ke Bait Allah. Kuadran 3: Miskin dan tidak beriman.
Komunitas yang tergolong dalam kuadran ini adalah mereka yang masih hidup di
luar Kristus sekaligus hidup dibawah garis kemiskinan, seperti sebagian
Negara-negara di Afrika, Pakistan, dan India. Dan yang keempat, Kuadran 4: Kaya
tapi tidak beriman, diwaili oleh gambaran orang-orang farisi yang dikecam
Kristus, Anak muda kaya (Mat. 19), atau pada masa kini diwakili oleh sejumlah
konglomerat yang hidup di luar Kristus.
Dalam konteks iman
Kristen, mengusahakan umat Tuhan yang sedang berada pada kuadran 2 menuju
kuadran 1 (atau minimal keluar dari standar/kriteria/indicator yang ditetapkan
pemerintah tentang masyarakat miskin), tentu perlu mengkombinasikan antara
prinsip berkat Tuhan dan prinsip kerja keras—cerdas (Rajin, Jujur). Prinsip berkat Tuhan, oleh karena
perihal pintu berkat hanya Tuhan yang mampu membukanya (Mzm. 127:1-2; Ams.
10:22). Dengan kata lain, kerja keras dan kerja cerdas tidak akan memperoleh
hasil apapun, atau memperoleh hasil tetapi dengan mudahnya “menguap” begitu
saja oleh karena tidak disertai dengan perkenana Tuhan atasnya. Pada
kasus-kasus tertentu yang sukar, hal-hal yang tidak terpikirkan terkadang
justru menjadi pintu berkat bagi mereka yang menyertakan Tuhan dalam perjuangan
kerja mereka. kunci utamanya oleh karena Tuhan adalah sumber berkat ultimat,
manusia yang menjadi atasan atau owner hanyalah saluran berkat yang Tuhan dapat
gunakan seturut kehendak-Nya.
Jika prinsip pertama menyertakan dan mengandalkan Tuhan
(dari atas), maka prinsip kedua adalah take
action (dari bahwah—kerja keras, cerdasa, dan
jujur). usaha yang dimaksud adalah prinsip
kerja keras dan kerja cerdas. Akan tetapi prinsip ini juga perlu dilandasi
dengan semangat etika Kristen seperti yang dijabarkan dalam Titus 2:9-10. Kedua
prinsip ini jika dilaksanakan dengan tekun, tidak mungkin keadaan ekonomi orang
percaya yang berada di kuadran 1 tidak mengalami perubahan. Cepat atau lambat,
pasti ada peningkatan dan perbaikan ekonomi. Dunia kerja secara universal
merupakan dunia realitas pertimbangan rasionil menuju kemajuan dan profit
perusahaan (bahkan jika anak Tuhan tersebut berwiraswasta), dengan demikian,
tidaklah mungkin jika seorang anak Tuhan yang saleh, memiliki skill,
kecerdasan, serta kecakapan kinerjanya tidak memperoleh promosi atau perbaikan
ekonomi.
10. PERIHAL KEKAYAAN.
Kekayaan
merupakan salah satu berkat yang Tuhan sediakan bagi manusia demi untuk
memeprmuliakan-Nya, namun kejatuhan menjadikan manusia diperbudak dan
dikendalikan (kdang juga oleh kuasa jahat) oleh kekayaan. Tujuan akhir dari
kekayaan sama seperti tujuan dinyatakan kekayaan itu kepada manusia—semuanya
akan berpulang kepada kemualiaan dan pengagungan Allah.
Dalam
penerapannya terdapat dua cara yang digunakan Allah untuk mnegembalikan
kekayaan bangsa-bangsa kepada-Nya. Cara kesatu, Tuhan membawa kekayaan
bangsa-bangasa melalui umat-Nya (Mi. 4:13). Pada proses ini Tuhan menngunaka
umat-Nya sebagai rekan sekerja yang terlibat didalamnya. Cara kedua,
bangsa-bangsa dengan sukarela membawa kekayaan mereka kepada Tuhan (Why.
21:22-26). Cara keuda tersebut merupakan alternatif lain jika cara pertama
tidak dapat bejalan oleh karena faktor-faktor tertentu dari suatu bangsa. Meski
demikian, kekayaan tersebut sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari janji
Allah kepada umat-Nya (Yes. 60:11; 66:120) yang akan diterima pada saat umat
Tuhan berfungsi sebagai Imam dan pelayan Tuhan (Yes. 61:6).
Sementara
kaitannya dengan amanat agung adalah kekayaan yang cukup dapat menjadi sarana
pendorong dan kekuatan operaisonal misi Injil hingga ke ujung dunia.
Perjalanan-perjalanan misi tentu memerlukan biaya yang cukup besar, baik biaya
transportasi, akomodasi, dan penungjang lainnya. Tanpa kekayaan (baca: dana)
yang cukup, jangkauan misi Injil juga pasti tidaklah maksimal, meskipun hal tersebut bukanlah satu-satunya factor
penentu, namun harus diakui bahwa kekayaan/dana misi ikut mempengaruhi
pergerakan dan pengembangan misi Injil Kerajan Allah.
[2] Salah
satu contoh yang paling rill adalah pada peristiwa kerusuhan di Ambon.
Pemulihan kota Ambon dapat terjadi dengan cukup cepat oleh karena terdapat
semcam warisan kebudayaan (dalam istilah orang Maluku dikenal dengan sebutan “Pela-Gandong”) yang mengikat masyarakat
yang berbeda keyakinan—Kristen-Islam, dalam satu tradisi persaudaraan dan
toleransi yang kuat.
[3]
Keyakian bahwa semua agama sama-sama benar, dan sama-sama menghantarkan manusia
ke sorga, hanya dengan jalan/nama yang berbeda. Pada era postmodern saat ini,
kaum pluralism memiliki dukungan yang lebih kuat oleh gencarnya filsafat
postmodernisme yang mendestruktualisasi (J. Deridda) kebenaran objektif menuju
kebenaran relative berdasarkan individu maupuan asyarakat komunal tertentu
dalam konteks budayanya sehingga kekristenan juga ikut terkena dampaknya.
[5] Kecuali
mungkin di daerah tertentu yang mayoritas masyarakatnya didominasi oleh umat
Kristen. Kemudian ketidakmaksimalan peran gereja juga oleh kerana tentu selain
terbatas dalam hal keuangan, dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayorotas
non Kristen, gerakan sosial gereja juga selalu dibatasi, diawasi, dan
dicurigai, meskipun maksud dan tujuannya jelas sesuai dengan panggilan sebagai
Umat Allah dan sejalan dengan amanat UU
yang konstitusional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar