Selasa, 10 Maret 2020

RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 2)





RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 2)

[Semua materi dalam tulisan ini disadur dan dikembangkan dari
diktat kuliah Etika Terapan STT KHARISMA Bandung]


1.      PERIHAL HOMOSEKSUAL.

    Dalam perspektif  etika Kristen, penyimpangan homoseksual jelas ditolak secara tegas. Alkitab memberikan banyak dasar kebenaran Allah yang menyatakannya baik secara eksplisit maupun implisit. Berikut beberapa alasan fundamental yang dikemukakan oleh kitab suci:
o   Sejak semula, Allah menetapkan heterosekusal, bukan homoseksual (Kej. 1:27-28; 2:24; 1 Kor. 6:15-17).
o   Tuhan menghukum Kanaan oleh karena dosa homoseksual yang merupakan kutuk bagi Ham ayahnya (Kej. 9:22-26) yang mana secara implisit menunjukkan penyimpangan seksual.
o   Sodom dan Gomora dikutuk oleh karena dosa homoseksual (Kej. 19:5).
o   Hukum Musa mengutuk dosa homoseksual (Im. 18:21-23).
o   Semburit bakti dikutuk oleh Tuhan (Ul. 23:17-18).
o   Homoseksual dikutuk dalam kitab Hakim-hakim (Hak. 19:22)
o   Para nabi mengutuk dosa homoseksual/sodomi (1 Raj. 14:24; 15:12; 22:47; 1 Raj. 23:7; Yeh. 16:50).
o   Paulus dalam suratnya mengutuk homoseksual (Rm. 1:18-27).
o   Kaum homoseksual tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor. 6:9-10)
o   Timotius mengutuk dosa homoseksual (1 Tim. 1:9-10).
o    Homoseksual adalah perbuatan yang tidak wajar (Yud. 1:7).

            Selain itu terdapat beberapa alasan dan pertimbangan etika lain di luar Alkitab yang juga menentang hal ini. terdapat beberapa alasan pertimbangan etika dan norma moral secara umum mengenai hal ini, yaitu: Homoseksual adalah suatu ketidakwajaran karena bertentangan dengan kenormalan. Homoseksual dari dahulu hingga kini tidak pernah diterima dalam ukuran kesetaraan dengan heteroseksual dalam masyarakat. Homoseksual juga tidak disukai masyarakat luas. Tidak ada masyarakat yang dapat dipertahankan (keturunan) melalui praktek homoseksual. Dan yang terakhir praktek-rpaktek homoseksual merupakan ancaman bagi kehidupan itu sendiri oleh karena rentan terhadap penularan berbagai macam penyakit kelamin yang mematikan.

            Meskipun secara umum padangan non bilblikal tersebut merupakan alasan-alasan yang paling sering dijumpai dalam masyarakat namun terdapat juga ragam kritik yang diajukan terhadap alasan-alasan tersebut. Maka, titik tolak yang paling fundamental harus dikembalikan pada prinsip kebenaran final kitab suci sehingga keberatan-keberatan tersebut dapat diselesaikan. Allah tidak pernah menciptakan homoseksual. Homoseksual yang terjadi oleh karena dampak kejatuhan manusia dalam dosa sehingga baik kerusakan/ketidaknormalan hormonal, maupun pengalaman pelecehan seksual yang berdampak pada kecenderungan homoseksual, merupakan salah satu bentuk dosa yang perlu dikembalikan pada keadaan seksual yang normal, bukan membangun opini dan argumentasi untuk mendukung pembenaran penyimpangan-penyimpangan seksual tersebut. Meskipun pelaku homoseksual harus dirangkul namun homoseksualitas itu sendiri dengan tegas harus ditolak.

2.      PERIHAL PORNOGRAFI.

  Pornografi dalam perspektif etika Kristen. Pornografi menjadi bahaya laten yang mengancam generasi milenial saat ini. Era perkembangan digital yang begitu maju juga ikut mempengaruhi minat dan konten pornografi. Konsumen pornografi saat ini juga bukan lagi kaum muda—dewasa, gadget yang dimiliki secara pribadi, dengan sangat mudah menjadi sarana untuk mengakses konten-konten tersebut dimana saja dan oleh siapa saja. Fakta bahwa anak-anak maupun orang tua (baik yang leha menikah telah menikah maupun kaum lansia) juga tidak lepas dari jerat pornografi. Gereja sedang menghadapi serangan yang sulit dibendung oleh karena dosa tersebut dapat terjadi dimana saja dan berkaitan langsung dengan privasi seseorang dimana hal tersebut sulit untuk diketahui maupun diakui. Kendala lainnya adalah bahwa gereja seperti mengalami dilema antara yang sacral dan yang profane ketika ingin berbicara mengenai pornografi atau seksualitas. Akibatnya jelas, Jemaat yang kurang perbelakan tersebut dengan sangat rentan terpapar oleh konten-konten pornografi oleh karena pemahaman kebenaran yang tidak memadai.
           
                                       Etika Kristen yang bertopang pada kebenaran kitab suci tentu saja bereseberangan dengan hal ini. Terdapat beberapa alasan serta dasar ayat Alkitab yang menolak pornografi. Kesatu, pornografi tidak menghormati perkawinan (Rm. 1:32). Kedua, pornografi meningkatkan aktivitas berdosa dalam kehidupan orang percaya dan hilangnya sensivitas untuk hidup kudus (1 Kor. 6:18). Pronografi memperkuat hawa nafsu dan perzinahan dalam hati (Mat. 5:27-30). Ketiga, pornografi merusak pikiran dan hati. Keempat, pornografi menggelapkan hati dan pikiran orang percaya (Mat. 6:22-23). Kelima, pornografi memperlemah perkawinan yang baik (Kej. 2:22-25; Ibr. 13:4).

                                       Selain alasan-alasan Alkitab tersebut, terdapat juga beberapa alasan medis yang bekaitan erat dengan kerusakan fungsi otak, fungsi hormon, serta  dan tindakan-tindakan kejahatan yang ekstrem oleh karena tuntutan hasrat seksual yang semakin meningka dan liar.

3.      PERIHAL TRANSGENDER.

   Permasalahn transgender merupakan permasalahan yang mirip dengan homoseksual. Dengan kata lain, respons etika Kristen pun serupa—etika Kristen dengan tegas memandang hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan dosa seksualitas (entahkan terjadi oleh karena alasan lingkungan, moral, maupuin kejiwaan), oleh karena pada prinsip utamanya Allah tidak pernah menciptakan secara keliru, “jiwa wanita yang terpenjara dalam tubuh pria”. Kejadian 2:24 dengan jelas mengemukakan perbedaan gender, sekaligus menekankan kesempurnaan ciptaan Allah dengan konsepsi jiwa dan raga yang sempurna dan tanpa tertukar. Hal tersebut mengindikasikan bawa etika Kristen menolak transgender, sebagaimana yang juga dibuktikan melalui sejarah Sodom dan Gomora (Kej. 19; Yud. 1:17) serta penegasan kembali oleh rasul Paulus (Rm. 1:25-27). Meski demikian, seperti Tuhan yesus yang membenci dosa namun mengasihi manusia, kaum transgender perlu diselamatkan dengan bentuk pelayanan pembimbingan khusus sehingga mereka boleh kembali dalam natur kemanusiaan mereka yang sejati.  

4.      PERIHAL ABORSI.

     Perspektif etika Kristen tentang aborsi. Etika Kristen memandang manusia secara utuh pada saat pembuahan terjadiperjumpaan antara sel sperma dan induk telur (kej. 4:1). Zigot yang dihasilkan  merupakan manusia seutuhnya karena merupakan gambar dan rupa Allah yang mana ia dikenal dan diperhatikan juga oleh-Nya (Kej. 2:7; Yer. 1:5; Mzm. 139:13-16), meskipun belum secara efektif menyatakan eksistensinya. Pandangan etika Kristen juga sejalan dengan pandangan etika medis yang sama-sama menerima keutuhan seorang manusia pada saat terjadi pembuahan sehingga pada pedoman dasar ini, tentu saja dengan tegas etika Kristen menolak praktek-praktek aborsi dengan alasan apapun. Penolakan tersebut didasari atas kebenaran firman Tuhan tentang keutuhan manusia, pelanggaran tentang perintah jangan membunuh di dalam Keluaran 20:13 (bahkan dengan cara mengerikan yang menyebabkan organ-organ tubuh pada bayi terpenggal), pembunuh bayi (abiorsi) harus menerima ganjaran yang sama  (Kel. 21:23) dan serangkaian efek medis serta psikologis bagi pelaku aborsi.

         Meski demikian,  dalam kasus tertentu misalnya kehamilan di luar kandungan yang menimbulkan efek dilematis ganda (pilihan antara keselamatan Ibu atau bayi), sehingga jika aborsi yang menjadi opsi pilihan dan kesepakatannya, hal tersebut tentu tidak dapat dikategorikan/disamakan dengan  kasus aborsi dalam ketegori pelanggaran moral dan kebenaran firman Tuhan, oleh karena tindakan medis tersebut berhubungan dengan faktor resiko pilihan keselamatan nyawa, dan mempertahankan nyawa antara Ibu atau bayi, maka tentu hal tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus aborsi pada umumnya yang dilandasi dengan alasan-alasan non esensial.  

5.     PERIHAL UTHANASIA.

      Sama halnya dengan aborsi, pandangan etika Kristen mengenai uthanasia juga secara tegas ditolak, baik uthanasia aktif maupun bentuk uthanasia pasif (alami dan tidak alami). Beberapa alasan yang mendasarinya adalah: 1). Tidak ada hal moral untuk membunuh seorang manusia yang tidak bersalah (Kel. 20:13). Uthanasia secara sengaja melalaikan prinsip moral dan mengambil peran dan kedaulatan Allah perihal nyawa manusia. 2). Membunuh penderita adalah tindakan yang tidak berbelas kasih. 3). Banyak hal yang dapat dipelajari melalui penderitaan (Yak. 1:2-4; Rm. 5:3-4). 4). Hilangnya makna dan esensi sebagai manusia. Uthanasia menurunkan derajat seorang manusia dan secara tidak langsung menetapkan antara yang sakit kronis, bukan manusia dan yang sehat adalah manusia, padahal pada prinsipnya manusia (dengan berbagai kekurangan dan penderitaannya) adalah gambar dan rupa Allah. 5). Tujuan tidak boleh membenarkan cara. Ide ini dikendarai oleh semangat utilitarianisme yang menyesatkan. Tujuan yang baik harus pula diaplikasikan dengan cara/metode yang tepat pula. 6). Manusia bukanlah hewan.

6.      PERIHAL BAYI TABUNG.

     Pandangan etika Kristen terhadap bayi tabung. Secara spesifik proses penyelenggaraan program bayi tabung (baik pada saat pemisahan sel telur, hingga penyatuannya dengan sel sperma di dalam tabung pembuahan yang terjadi di luar kandungan, hingga proses penanaman kembali ke dalam rahim sang Ibu), tidak memiliki gambaran yang eksplisit mengenai dukungan atau tidaknya dari kitab suci.

          Meski demikian terdapat prinsip-prinsip kebenaran dan pertimbangan nilai moral yang sama dan setara sebagaimana pertimbangan moral perihal kasus aborsi. Dengan kata lain, sejauh proses pelaksanaannya tidak melanggar norma-norma etika seperti pembuahan yang gagal disingkirkan (aborsi), atau dengan sengaja memiliki bibit-bibit unggul pada suatu sel sperma (pelanggaran nilai dan makna hidup manusia yang berkaitan dengan gambar dan rupa Allah, juga kedaulatan-Nya), hingga dengan sengaja menggunakan sperma orang lain yang bukan suami (pelanggaran kesusilaan), hal tersebut dapat saja dilakukan.  

7.  PERIHAL INSEMINASI.   

    Inseminasi buatan terbagi menjadi dua bagian; Homolog (donor sel sprema dari sang suami) dan Heterolog (donor sel sperma dari anonim). Inseminasi dalam kasus homolog cenderung disetujui oleh etika kristen oleh karena tidak melanggar norma-norma agama dan kesusilaan. Hal tersebut merupakan sebuah tindakan pertolongan medis dengan penggunaan metodologi tertentu bagi pasangan yang belum dikaruniai keturunan, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran menyangkut nilai dan gambar diri seorang manusia. Dengan demikian pada prakteknya tenaga medis tidak boleh mendiskriminasikan/mengotak-ngotakkan ragam sel yang hendak disuntikkan (meskipun hal tersebut akan sangat sukar dipertahankan oleh karena tujuan awalnya adalah memperoleh keturunan sehingga seringkali terjadi tindakan-tindakan pemilihan “bibit unggul” yang secara tidak langsung menyatakan sikap diskriminatif), oleh karena hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran etik yang dengan sengaja menyeleksi “bibit manusia” berdasarkan serangkaian motif. 

          Berbeda dengan program bayi tabung dan inseminasi homolog, inseminasi heterolog ditolak dalam pandangan etika Kristen oleh karena beberapa alasan, yaitu: 1). Aspek psikologis. Keterikana emosional antara Ibu dan bayi, (bahkan juga menyangkut sisi psikologis sang ayah yang secara hukum sah), terhadap sang “ayah” yang anonim tentu saja akan menimbulkan tekanan dan gangguan psikologis di kemudian hari. 2). Aspek yuridis. Aspek hukum dan hak-hak seseorang untuk mengetahui siapa orang tuanya, dan hak-hak asuh, perlindungan, kasih sayang, dst, tentu akan menjadi hambatan bagi anak hasil inseminasi heterolog. 3). Aspek sosial. Inseminasi heterolog akan meninggalkan serangkaian masalah sosial seperi diskriminasi, bully, serta status sosialnya baru dalam kehidupan sang anak kelak. 4). Aspek agama. alkitab dengan sangat jelas menggambarkan pernikahan kristianai sebagai pernikahan kudus antara dua pasangan yang sah di hadapan Allah dan jemaat. Inseminasi heterolog merupakan praktek penginkaran dan pelecehan terhadap pernikahan kudus pasangan kristiani.

8.      PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KATOLIK ROMA).

    Pandangan etika Katolik Roma terhadap pengendalian kelahiran. GKR (Gereja Katolik Roma) memiliki pandangan yang serupa mengenai eksistensi kehidupan manusia yang dimulai pada saat pembuahan terjadi. Namun fokusnya bukan hanya pada saat pembuahan, akan tetapi lebih jauh juga menyangkut persoalan “pencegahan pembuahan” dengan sengaja melalui metodologi modern (fasilitas KB). Dengan dasar etika demikian, kalangan GKR menentukan sikapnya perihal pengendalian kelahiran dengan mengemukakan beberapa dalil, yaitu: 1). Memberlakukan pengendalian kelahiran buatan adalah tidak mentaati perintah Allah untuk berkembang biak (Kej. 1:28). 2). Mencegah kehidupan agar tidak terjadi secara alami adalah semacam pembunuhan terhadap calon-calon anak secara sengaja. 3). Satu-satunya tujuan seks adalah berkembang biak. 4).  Kitab suci jelas mengutuk orang yang mempraktekkan pengendalian kelahiran dalam bentuk preventif (Kej. 38:9). Demikian dasar-dasar pertimbangan dalam etika GKR perihal pengendalian kelahiran.

9.    PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KAUM INILI).

    Pandangan etika Kristen terhadap pengendalian kelahiran. Dalam hal esensial seperti eksistensi kehidupan manusia yang meng-ada pada saat pembuahan terjadi merupakan titik temu antara Katolik Roma dan kaum Injili. Keduanya sama-sama mengakui dan menyetujui kebenaran tersebut sehngga merupakan sebuah pelanggaran etis ketika pembuahan yang sudah terjadi harus diatasi dengan serangkaian obat dan alat kontrasepsi. Meski demikian, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.

          Pada umumnya tidak ada kesepakatan bersama mengenai isu tersebut di kalangan Injili. Kalangan Injili mengajukan beberapa hal penting mengenai posisi kapan pengendalian kelahiran dianggap benar dan kapan hal tersebut salah. Kesatu, pengendalian kelahiran dianggap salah jika: Menggunakannya di luar ikatan pernikahan yang sah/aktivitas seksual ilegal, eksistensi manusia teracam punah,  pasangan yang tidak memiliki keturunan pada saat populasi manusia terancam, menolak memiliki anak oleh karena konsekuensi tangggung jawab,  dimaksudkan untuk mengaborsi janin.

          Kedua, pengendalian kelahiran dianggap benar jika: menjadi sebuah kebijaksanaan untuk penundaan kehamilan sampai calon orang tua siap, dengan maksud membatasi anggota keluarga agar sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua, dengan tujuan memberi jarak antar anak dalam keluarga, untuk mengakhiri keluarga seseorang yang mana telah sampai pada titik maksimal tanggung jawabnya, sebagai sarana edukasi kesehatan fisik dan mental, untuk tujuan moral yang lebih tinggi.

         Singkatnya, dalam beberapa alasan penting isu pengendalian kelahiran dapat ditolak maupun dapat dilakukan. Sementara dalam praktek pengendalian kelahiran penggunaan alat-alat kontrasepsi yang dapat membunuh janin (atau pembuhan yang sudah terjadi), tidak boleh digunakan. Namun peralatan kontasepsi yang mencegah pertemuan antara sel sperma dan induk telur mungkin saja dapat dugunakan.

10.  PERIHAL PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN ULANG.

      Pandangan etika Kristen terhadap perceraian dan pernikahan ulang.
Isu perceraian dan pernikahan ulang merupakan isu yang rumit sekaligus kontroversial dalam perspektif etika Kristen. Perdebatan klasik antara kalangan Hillel dan Shammai kembali terulang melalui pertanyaan orang Farisi di dalam Matius 19, dan secara radikal dijawab oleh Tuhan Yesus dengan pendekatan dan konklusi yang sama sekali tidak diperkirakan.

          Sebelum masuk dalam isu perceraian dan pernikahan ulang pemahaman akan janji pernikahan perlu dipertajam. Pernikahan atau janji pernikahan meskipun sacral namun janji nikah tersebut bukanlah janji kekal sebagaimana perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Janji pernikahan merupakan janji temporal di dalam dunia ciptaan yang juga dalam beberapa hal krusial (selain kematian) dapat menyebabkan perpisahan. Alkitab dengan jelas membedakan antara perceraian dengan alasan yang fundamental (pembuktian perbuatan yang tidak senonoh—perihal moralitas/pelanggaran perkawinan yang memalukan, tetapi bukan zinah, ay. 1. Bdk. dengan kasus percobaan cerai pada Yusuf dan Maria, Mat. 1:9) dan alasan yang dibuat-buat (tidak cinta lagi, ay. 3) dalam kitab Ulangan 24:1-4. Hal ini menjadi landasan perkawinan dan perceraian umat Israel hingga di zaman Tuhan Yesus masih menggunakan pola pedekatan yang sama sebagaimana yang terlihat pada pemahaman kaum Farisi.

          Perceraian. Pandangan Tuhan Yesus perihal perceraian melangkah jauh melampaui pandangan Hillel maupun Shammai.  Meskipun pada awalnya Ia bertolak dari presaposisi pandangan Shammai, namun penegasan-Nya pada bagian konklusi sangatkah berbeda. Hal tersebut dibahasakan dengan penegasan yang mencengangkan, bahwa baik suami yang menceraikan (Mat. 19:9) maupun istri yang diceraikan dan kawin lagi (Mat. 5:32), sama-sama berbuat zinah. Tidak sampai di situ, Tuhan Yeus melangkah lebih jauh dengan menegaskan konsep pernikahan semenjak semula yang telah menjadi “satu daging”, maka apa yang dipersatukan oleh Allah tida boleh diceraikan (Mat. 19:6), itu sebabnya persoalan mengenai “surat cerai”, Ia mengungkapkan alasan fundamentalnya bahwa hal tersebut didasari atas “ketegaran hatimu” (Mat. 19:8).

          Penulis secara pribadi menangkap pesan implisit dari sikap dan jawaban Tuhan Yesus tersebut sebagai penegasan mengenai dua hal: Kesatu, Ia menegaskan posisi awal langkah-Nya di antara dua pilihan komunitas etika pada zaman itu (Hillel dan Shammai), yang mana Ia secara ekplisit menerima argumen Shammai. Kedua, akan tetapi perihal posisi etik-Nya tidak berpatokan pada Shammai, namun Ia melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa perceraian tidak boleh terjadi oleh karena tidak sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana esensi pernikahan di kitab Kejadian, itu sebabnya para murid menjadi terkejut (Mat. 19:7). Namun, hal lain yang terpenting adalah Ia juga melihat persoalan hubungan suami-istri dalam kerangka penebusan sehingga Ia mendorong terjadinya rekonsiliasi antara suami-istri sebagaimana yang Ia tunjukan melalui pengampunan terhadap wanita yang kedapatan berzinah (Yoh. 7:53-8:11). Atau lebih jauh, perihal pengajaran-Nya mengenai pengampunan yang radikal tanpa batas (Mat. 18:21-35). Dengan demikian posisi etika Kristen dalam pengajaran Tuhan Yesus menyangkut perceraian jelas, Ia tidak menghendaki percerainan namun lebih kepada rekonsiliasi dan pengamunan seperti pengampunan Allah bagi umat-Nya.

         Pernikahan ulang. Jika mengacu pada jawaban etika Tuhan Yesus, maka sulit untuk mengkaji lanjutan tentang isu pernikahan ulang. Namun dalam konteks budaya abat pertama (baik umat Yahudi maupun Romawi) dan permasalahan pastoral yang semakin kompleks pada pelayanan rasul Paulus (secara khusus pada kasus di gereja Korintus (Kor. 6-7), pernikahan kembali sudah menjadi hal yang lumrah pada masa itu sehingga pada pelayanan selanjutnya rasul Paulus meletakan dasar-dasar pastoral mengenai pernikahan pasca perceraian. Kedua hal ini bukanlah semacam kontradiksi etis, namun lebih kepada sebuah bentuk pendekatan dengan konteks kebudayaan serta etika yang berbeda di dalamnya. Korintus merupakan salah satu gereja yang secara geografis berada di bawah kebudayaan Yunani-Romawi yang sudah terbiasa sengan perceraian dan pernikahan ulang, hal ini memberikan gambaran bahwa pergerakan kebudayaan dan etika dalam gereja tersebut sebelum pelayanan rasul Paulus sangatlah berbeda dengan masyarakat Yahudi, maka  tentu tidak dapat dilakukan pendekatan serupa dengan pendekatan dalam konteks ke-Yahudian. Adanya sekelompok orang yang mnedukung kebebasan seksual (1 Kor. 6:12-120), dan kelompok lain yang mendukung pertarakan (1 Kor. 7:1b), saling memaksakan konsep mereka kepada: mereka yang sudah menikah (ay. 7:2-7), kepada janda dan duda (ay. 7:8-9; 39-40), mereka yang berikrar akan menikah lagi (ay. 25-28; 36-38), mereka yang belum pernah menikah sebelumnya (ay. 29-35). Akan tetapi kebiasaan “meninggalkan pasangan dan menikah lagi” dalam konteks kebudayaan Romawi juga merupakan suatu pelanggrana terhadap perkawinan kristiani, namun permasalahannya adalah bagaimana jika sebelumnya mereka sudah kawin cerai dan sekarang menjadi umat Tuhan dan ingin kawin lagi? Bukankah dalam konteks gereja dewasa ini, hal tersebut juga terjadi pada sebagain umat Tuhan yang baru saja lahir baru?

         Dalam konteks masa kini, pendekatan terhadap terhadap kedua hal tersebut sangatlah sukar karena di sisi lain, ada juga pasangan-pasangan yang salah satu di antaranya telah berjuang sungguh-sungguh bertahun-tahun dengan mengorbankan berbagai hal untuk mempertahankan pernikahannya, namun tidak dianggap oleh pasangan lainnya. Ada juga pasangan yang setelah menikah, ternyata secara diam-diam tidak diketahui bahwa ia mengidap penyakit kelamin mematikan tertentu yang dapat ditularkan kepada pasangannya sehingga dengan sengaja mengancam kehidupan pasangan dan keluarga, hingga kasus dilematis seperti salah satu pasangan yang ternyata mengalami gangguan kejiwaan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung beberapa bulan berikutnya. Apakah janji nikah yang diucapkan seseorang yang mengalami gangguan kejiawaan itu sah di hadapan Tuhan? Apakah jika kehidupan pasangannya teracam oleh tindakan kekerasan oleh gangguan kejiwaan pasangannya tersebut, dapat terus mempertahankan perkawinannya? Tentu dilema-dilema etis dalam konteks saat ini sangatlah kompleks. Maka dalam kategori tertentu yang sangat urgen, menurut pandangan etis penulis, perceraian dapat dilakukan. Namun penulis sendiri belum memiliki dasar biblical yang kuat terhadap konsep pernikahan ulang, akan tetapi penulis juga tidak dapat membatasi kehendak dan kedaulatan Tuhan (dalam kasus khusus tersebut), bila Tuhan menghendaki, dengan cara dan waktu-Nya, maka tentu saja hal tersebut dapat dilaksanakan (tentu saja penekanannya adalah pada kasus khusus dan motif-motif terselubung yang perlu ditinjau secara jernih).  Sementara penekanan penting lainnya adalah pada saat bimbingan pra nikah. Kesempatan in perlu dijelaskan, dianalisa, dan diselidiki secara seksama sehingga di kemudian hari tidak terjadi perceraian. Sekian, Tuhan memberkati.    

RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 1)




RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 1)

[Semua materi dalam tulisan ini disadur dan dikembangkan dari 
diktat kuliah Etika Terapan STT KHARISMA Bandung]



1.    PERIHAL ASAL MULA NEGARA DAN PEMERINTAHAN.

     Dari keempat teori tentang asal mula negara dan kekuasaan (Mitologi Kerajaan, Hukum Kodrat, Kekuasaan Negara Berasal dari Setan, Kenegaraan Libiralisme Rasionalistis—Kedaulatan Rakyat), yang digagas oleh pemikiran sekuler, tidak ada diantaranya yang sesuai dengan prinsip etika Kristen. Alasan mendasarnya karena dua hal. Kesatu, semua teori tersebut bertolak dari pemikiran antroposentris yang telah jatuh di dalam dosa, tidak ideal, bahkan cemderung menyesatkan (bdk. dgn. Teori kedua) sehingga meninggikan kedaulatan humanistik sebagai penggagas utamanya. Dalam pemikiran demikian, Tuhan disingkirkan dan semboyan “dari kita (rakyat), oleh kita, dan untuk kita” (A. Lincoln) menjadi pesan sentral humanisme dan liberalisme komunal yang sangat kental. Dengan kata lain, teori-teori tersebut mengandalkan kekuatan, politik, ekonomi, dan kedaulatan manusia sebagai penggagas dan penggerak utamanya. Manusia menjadi subjek penggerak sekaligus objek tujuan yang dicapai. Disisi lain, natur manusia yang telah jatuh dalam dosa tersebut justru seringkali menjadi instrument kuasa-kuasa jahat sehingga tak jarang menghasilkan ragam kebijakan yang menentang Allah. Hal tersebut seperti mengulang kembali konsep pemikiran Menara Babel (Kej. 11) dimana suatu bentuk pemberontakan humanistic komunal dalam menentang kedaulatan pemerintahan Allah. 

            Kedua, keempat teori tersebut berseberangan dengan sudut pandang Alkitab yang menjadi sumber utama bangunan etika Kristen. Alkitab dengan jelas menempatkan Allah sebagai sumber terbentuknya Negara dan kekuasaan. Allah yang mengangkat para raja dan pemerintahan (Mzm. 72:1; Yoh. 19:11a; Rm. 13:1-2). Gambaran yang lebih jelas ketika Tuhan menolak Saul dan mengurapi Daud menjadi raja Israel (1 Sam. 16:1-13), bukan hanya sampai di sana, Allah bahkan dapat mengurapi Koresh raja Persia (Yes. 45:1) untuk menggenapi apa yang Ia rancangkan. Kesaksian ini membuktikan kebenaran Alkitab yang menjadi landasan etika Kristen bahwa perihal asal mula Negara dan kekuasaan berasal dari Allah. Secara implisit hal tersebut termanifestasikan oleh pemerintahan kekal Allah yang dinyatakan dalam ruang dan waktu melalui pemerintahan Negara yang kemudian menjadi instrument perpanjangan tangan Allah dalam menjalankan pemerintahan-Nya (meskipun kadang pemerintahan dunia membangkang) seperti pernyataan Rasul Paulus dalam Roma 13. Sementara secara eksplisit konsep kerajaan Mesianik di akhir zaman merupakan gambaran yang paling konkret tentang asal mula pemerintahan/Negara dan kekuasaan (Kej. 49:10; Why. 20:4).

            Impilkasinya jelas, pemerintahan yang ada dipilih dan ditetapkan oleh Allah, maka sebagai umat-Nya, secara pribadi penulis harus tunduk serta mendukung pemerintahan yang sah, selayaknya tunduk dan taat kepada Allah. Sebagaimana Yeremia dengan tegas mengatakan bahwa umat Tuhan harus mengusahakan kesejahteraan dan mendoakan kota dimana mereka tinggal (Yer. 29:7), bahkan jika kota tersebut merupakan kota para penjajah yang menjajah mereka. Sangat mengagumkan! Akan tetapi dengan mengingat bahwa pemerintahan itu juga dijalankan oleh manusia berdosa yang memiliki kecenderungan untuk memberontak terhadap Allah, maka dalam batasan tertentu, sebagai umat Tuhan, penulis perlu bijak dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dibuat sehingga tidak terjebak dalam lingkaran setan yang ikut mengutuki Allah melalui ragam kebijakan yang menyesatkan.

2. PERIHAL KETAAN DAN KETIDAK TAATAN TERHADAP PEMERINTAH.

   Seperti yang telah disinggung pada jawaban di atas, dalam batasan/konteks tertentu padangan etika Kristen membenarkan umat Tuhan untuk tidak boleh taat kepada pemerintah. Mengenai hal ini terdapat tiga pandangan pada umumnya; Pandangan Anarkisme, Pandangan Patriotisme Radikal, dan Pandangan Submisionisme Alkitabiah.

            Pandangan Anarkisme, mengindikasikan bentuk perlawanan secara ekstrem dengan tindakan-tindakan kekerasan. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar etika Kristen dan kebenaran Alkitab yang mewajibkan umat Tuhan untuk taat meski dalam batasan tertentu (Rm. 13:1-7; 1 Ptr. 2:13).  Pandangan Patriotisme Radikal. Seperti istilah yang digunakan, pandangan ini memposisikan dirinya secara mutkak untuk mendukung dan membela Negara, entahkah baik maupun salah Negara tersebut. Tentu saja pandangan ini keliru oleh karena Allah menetapkan Negara dan pemimpin tetapi bukan kejahatan yang dilakukan. Seperti yang telah disampaikan sebelummnya, ketaatan kepada pemerintah juga merupakan bentuk ketaatan yang berjalan dalam koridor kebenaran Allah sebagai prinsip dasarnya (Kis. 4:19). Kemudian menyangkut kejahatan yang dilakukan, orang percaya dilarang untuk ikut didalamnya (Dan. 3). Pandangan Submisionisme Alkitabiah. Submisionisme alkitabiah menekankan ketaatan dalam terang Alkitab. Ketaatan orang percaya terhadap pemerintah terbatas dalam batasan tertentu terbagi dalam dua kelompok, yaitu ketika pemerintah menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan firman Allah (Kaum  anti eksploitasi hukum), maupun ketika pemerintah memaksa orang percaya untuk berbuat kejahatan (Kaum anti Pemaksaan). Klaim posisi anti eksploitasi hukum disatu sisi sangat rasional, namun disisi lainnya justru tidak memiliki dasar biblical yang kuat sehingga tidak terdapat batasan  respons yang jelas[1] misalnya pada saat melakukan aksi protes. Sementara kaum anti pemaksaan lebih cenderung menggunakan cara-cara kampanye/dialog damai yang sesuai dengan pendekatan biblical (Kel. 1:15-21; 5:1; 1 Raja. 18:4; Dan.3, 6; Kis. 4:19; Why. 12: 11). Bahkan jika tidak memungkinkan terdapat dua hal yang dilakukan, menolak melakukan kejahatan yang diperintahkan, namun dengan berani menerima konsekuensi hukum yang dijatuhkan  pemerintah (sebagaimana Daniel dan Para Rasul ketika berhadapan dengan putusan hukum mereka).  

            Dari ketiga pandangan tersebut pandangan Submisions Alkitabiah versi Anti Pemaksaan yang bagi penulis sesuai dengan etika Kristen dan prinsip-prinsip Alkitab. Bukan hanya karena alasan biblical namun juga karena alasan konteks sosial yang lebih luas, misalnya dalam konteks Negara yang memiliki penduduk mayoritas keyakinan non Kristen, penerapan versi anti eksploitasi hukum tentu saja akan sangat sulit dilakukan. Sebaliknya, jika hal ini memungkinkan untuk dilakukan pada Negara yang memiliki mayoritas penduduk Kristen, konskuensi pelanggaran hukum justru menjadi resiko yang tak terhindarkan mengingat ekspresi dari penerapannya tidak menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan anarkis. Ini merupakan sebuah dilematis yang sangat tidak relevan. Maka pandangan submisions alkitabiah versi anti pemaksaan adalah padangan yang paling ideal dalam kontejs etika Kristen dan  bagi penulis.

3. PERIHAL TOLERANSI.

    Dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia, keinsyafan batin orang percaya perihal toleransi beragama merupakan kesepakatan bersama founding fathers yang dirumuskan dalam filosofi kebhinekaan yang tertung dalam UU pasal 18, oleh karena didasarkan atas semangat kebersamaan dalam perbedaan menuju kesejahteraan bersama. Sebagai generasi yang lahir kemudian, hal ini merupakan warisan kebudayaan dan kebangsaan yang memiliki peran sentral untuk menjaga kedaulatan bangsa.[2]  

            Sepanjang perjalanan sejarah gereja, hal ini pun secara tak terhindarkan hadir dalam komunitas-komunitas Kristen, baik Gereja-gereja Timur maupun Barat. Bahkan jauh sebelumnya, para Rasul juga menghadapi dan memberikan teladan sikap yang sama (menjunjung tinggi toleransi tanpa mengkompromikian kebenaran iman), baik ketika mereka di tengah-tengah umat Yudhaisme, maupun di tengah-tengah kalangan penganut agama pagan Yunani-Romawi. Meski demikian, penegasan akan batas toleransi tersebut perlu digaris bawahi sehingga sebagai orang percaya, umat Tuhan tidak terjebak dalam sinkretisme atau semacam kompormi yang pada akhirnya jatuh pada keyakinan pluralisme[3] agama. Toleransi yang sehat menerima keberagaman, namun sikap toleransi tersebut tidak mengkomporimikan atau mendegradasikan nilai-nilai kebenaran absolut iman Kristen terhadap keyakinan lain.
           
            Meski demikian, terdapat kecenderungan yang keliru ketika isu tersebut digemakan dalam komunitas Kristen. Kecenderungan negatif yang timbul adalah kemandulan pemberitaan Injil. Sikap toleransi yang salah tempat, pada umumnya menyebabkan umat Tuhan enggan dan segan untuk memberitakan Injil oleh karena perasaan takut menyinggung dan menimbulkan masalah. Pemberitaan Injil dan tidak toleran adalah dua hal yang berbeda. Pemberitaan Iniil tidak menjadikan umat Tuhan tidak toleran, oleh karena sifat dasarnya yang hanya menyangkut “pemberitaan” bukan “pemaksaan”. Sebagai warga negara yang baik, toleransi beragama harus dijunjung tinggi, namun tetap waspada agar tidak terjebak dalam kompromi/sinkretisme, dan terus memberitakan Injil.

            Sementara kebebasan berpendapat dinyatakan oleh UU pasal 19. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hal penting yang terkait dengan kebebasan beragama, sekaligus menyatakan hak-hak menyakut kemajuan kemanusiaan oleh karena pendapat juga berkaitan erat dengan ide penemuan atau rumusan ilmiah populer. Oleh karena itu kebenasan berpendapat perlu didukung namun dalam kerangka hukum serta norma etika yang jelas. Sejarah gereja telah memperlihatkan masa kelam dimana gereja juga terjebak dalam penghakiman yang tidak seharusnya. Meski demikian, kebebasan berpendapat sebagai umat Tuhan dalam konteks etika Kristen perlu didukung namun harus dilakukan dalam koridor payung hukum yang berlaku serta norma-norma etika yang sepadan, dalam hal ini sesuai dengan prinsip-psinsip kebenaran Alkitab.

4. PERIHAL HUKUMAN MATI.

    Secara umum padangan etika Kristen yang penulis anut adalah pandangan retribusionisme. Padanngan yang melegitimasi hukuman mati oleh pemerintah/otoritas sesuai dengan kasus khusus/kejahatan besar tertentu. Penerapan hukuan mati dalam pandangan ini bertujuan untuk menghukum. Titik tolak posisi penulis adalah karena dari kedua pandangan etika lainnya (rehabilitasionisme dan rekonstruksionisme) ), pandangan ini (retribusionisme) yang memiliki dalil alkitabiah yang cukup kuat, serta relevan dan dapat diterapkan di dalam hukum positif kenegaraan bahkan jika memungkinkan, dalam jangakauan hukum universal. Alasan relevansinya adalah karena natur dosa yang memperbudak manusia pada tahap tertentu dapat memimpin manusia itu pada tingkat kejahatan yang mengerikan dan sadisme. Dalam konteks demikian hukuman mati dapat saja diterapkan.

            Meski demikian, dalam penerapannya penulis cenderung pesimistik terhadap keadilan yang digagas oleh keputusan manusia. Perbedaan mendasarnya terletak pada hal ini; Pertimbangan hukuman mati oleh Allah dan Manusia. Meskipun gagasan ini mengakomodasi pertimbangan biblical yang cukup kuat, namun kelemahannya adalah semua dalilnya berpatokan para “kesamaan prinsip hukuman mati” yang dipertahankan oleh PL dan PB, sedangkan pada umumnya, psinip yang disarikan itu secara keseluruhan merupakan gambaran hukuman mati yang secara langsung dilakukan oleh Allah. Dari hal ini, pertimbangan utamanya menjadi jelas. Ketika Allah melakukan penghukuman (mati), dasar pertimbangan dan keadilan yang dilakukan-Nya itu sempurna, sementara peradilan dan pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah (yang mana merupakan wakil Allah jika merujuk pada dalil Roma 13), dapat saja salah, keliru, dan sesat. Salah satu contoh kasus di Indonesia adalah eksekusi Tibo cs, pada 22 september 2006 yang justru lebih sersifat politis dan sosiologis, ketimbang memenuhi asas keadilan.[4] Kasus tersebut menjadi pembuktian yang sangat nyata mengenai pesimistik penulis terhadap penerapan hukuman mati secara adil oleh pemerintah.         

            Hal berikunya yang perlu dikaji lebih jauh adalah menyangkut batasan mengenai kata “kejahatan besar” (kejahatan tertentu) yang dimaksud. Kejahatan besar seperti apakah yang patut menerima hukuman mati? Penafsiran ini tentu saja akan berbeda dalam penerapan dan kebijakan masing-masing Negara sesuai dengan nilai-nilai ideologi, politik, budaya, dan agama yang ikut memberikan kontribusi terhadap penafsirannya (penegakan HAM misalnya yang digagas oleh PBB, ditolak oleh negara-negara Arab oleh karena pertimbangan hukum mereka yang ditegakkan berdasarkan hukum Islam). Perbedaan batasan tersebut pada masing-masing pemerintahan akan menimbulkan pertanyaan lanjutan: “Jika batasan hukuman mati pada masing-masing Negara berbeda-beda, maka Negara manakah yang dapat benar-benar dianggap sebagai wakil Allah yang absolut?” Sebagai wakil Allah yang satu itu, dapatkah masing-masing Negara menerapkan standar hukum yang berbeda, sedangkan sumbernya berasal dari satu kebenaran Allah yang absolut? Meskipun  tentu jawabannya akan berpulang pada keadaan mansuia yang telah jatuh dalam dosa sehingga timbul ragam pandangan dan penafsiran, dan Allah yang mungkin saja mengijinkan perbedaan tersebut, akan tetapi hal tersebut tetap saja menjadi pembelaan yang lunak, karena tidak pernah sampai kepada keseragaman universal tentang penegakan keadilan yang mengatasnamakan kebenaran Allah yang absolut dan universal.

            Sebagai kesimpulan, meskipun penulis mendukung penerapan hukuman mati, namun sekali lagi, di dalam keadaan dunia yang telah jatuh dalam dosa, penulis pesimis dengan setiap petimbangan hukuman mati yang dijalankan pemerintah, meskipun hal ini tidak dimaksudkan sebagai suatu usaha generalisasi (karena tentu dalam kasus-kasus tertentu yang dapat dibuktikan secara sah dan meyankian secara hukum dapat dijalankan), namun harus diakui bahwa akan sangat sukar untuk memenuhi asas keadilan, selain hanya sampai pada pemenuhan asas penghukuman. Peradilan manusia hanya dapat sampai pada pemenuhan asas penghukuman namun tidak dapat sampai pada asas keadilan. Pertimbangan dasar ini yang menjadi posisi etika penulis.

5.     PERIHAL KEMISKINAN DAN TANGGUNGJAWAB TERHADAPNYA.

     Tanggungjawab yang diemban orang Kristen terhadap pelayanan kaum marginal didasari oleh kasih dan kepedulian Allah terhadap orang misikin seperti yang terlihat dalam banyak ayat baik di dalam PL (Im. 19:10; 23:22; Ams. 22:7,9 ; 28:27Ul. 12:11-3; 15:4-6; Mzm. 72:12-14; Yes. 41:17; dst). Demikian halnya di PB ( Yoh. 13:27-29; Gal.2:10; Rm 15:25-27, dst). Kemudian tanggungjawab itu diemban dengan beberapa alasan:
1.      Tuhan memberkati kita sebanding dengan apa yang kita berikan keopada orang miskin (Ul. 15:1-6; Ams. 22:9; 28:27, bdk. dengan Yeh. 16:49)
2.      Kita memuliakan Tuhan dengan cara menyatakan belas kasih kepada orang miskin (Ams. 14:31).
3.      Belas kasih kepad aorang miskin merupakan salah satu kriteria untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mrk. 12:30-31; Mat. 25:34-36, 40, 45-46).
4.      Tindakan belas kasih yang dilakukan untuk orang miskin adalah merupakan tindakan mengumpulkan harta di Sorga (Luk. 14:13-14)
5.      Harta orang yang mengenakan riba diberikan kepada orang yang menruh belaskasihan kepada orang lemah (Ams. 28:8).
           
            Sementara tiga langkah praktis yang digagas gereja masa kini dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia adalah mengusahakan tiga sektor penting yaitu: Pendidikan (sekolah-sekolah), Kesehatan (sarana dan prasarana kesehatan), dan Ekonomi (gerakan-gerakan sosial baik berupa bantuan langsung, pelatihan, sosialisasi, maupun seminar). Kemiskinan bukanlah isu sentral yang berdiri secara tunggal, oleh karena kemiskinan dihasilkan dari akumulai beragam faktor penyebab yang kompleks, dan ketiga faktor tersebut merupakan indikasi kuat terhadap penyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Peran gereja dalam usaha pementasan kemiskinan dalam sector tersebut hingga saat ini terus belangsung dan terus meningkat, meksipun belum maksimal.[5] Usaha-usaha tersebut juga terlihat dari banyaknya didukung oleh lembaga-lempaga parachurch yang ikut terlibat.

            Namun disisi lainnya, harus juga diakui bahwa terjadi pergeseran yang cukup signifikan terutama perihal visi pada bidang pendidikan. Pergerakan sekolah-sekolah Kristen “unggulan” saat ini lebeh cenderung mengarah kepada pencapaina profit, gengsi, eksistensi, dan hal-hal sekunder lainnya, dibandingkan dengan pencapaian misi dan semangat etika Kristen yang semula.  Jika demikian, maka sudah pasti jangkauan dari sekolah-sekolah tersebut hanya mendarat pada kalangan menengah-atas saja dan sama sekali tidak menyentuh kalangan bawah, apalagi miskin.
           
            Dalam konteks gereja lokal, penerapan langkah praktis gereja yang dinyatakan dalam bentuk persembahan kasih (diakonia) rutin, seringkali justru menjadi factor pemicu kemalasan dan timbulnya mentalitas ngemis kasih. Beberapa Jemaat bahkan dengan sengaja menjadi simpatisan dari sebagain gereja besar dengan harapan dapat memperoleh dukungan finansial bulanan. Menimbang hal ini maka perlu kebijakan dan edukasi yang tepat dari pihak gereja sehingga dapat mengaplikasikan amanat kasih Kristus tanpa mengkerdilkan mentalitas Jemaat yang berada dalam kondisi ekonomi buruk.

6.      PERIHAL ETIKA KERJA.

     Kerangka kerja etika umat kristinani menurut Titus 2:9-10, Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita. Kerangka kerja yang dijabarkan dalam ayat ini meliputi lima pokok penting, yaitu: Kesatu, ketaatan terhadap pemimpin. Kedua, memiliki hasil kerja yang senantiasa memuaskan hati pemimpin. Ketiga, mampu mengatasi konflik dengan benar. Keempat, kejujuran dan integritas yang memadai. Dan kelima, tulus dan setia.

            Tentu saja penerapan prinsip kerja ini tidak dilandasi dengan semangat/motivasi memperolah seleri tinggi atau promosi yang lebih baik, oleh karena semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari seorang pekerja Kristen yang memenuhi kriteria tersebut. Sebaliknya, semangat kerja tersebut merupakan manifestasi dari kehidupan seorang Kristen yang saleh dan usaha untuk menjadi terang dan garam dunia (Mat. 5:14, 16). Orang-orang demikian akan melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhah dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23).

7.      PERIHAL KEWAJIBAN PERUSAHAAN TERHADAP KARYAWAN.

   Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan. Terdapat tiga bentuk kewajian karyawan terhadap perusahaan dalam pandangan etika Kristen, yaitu :Kewajiban Ketaatan, Kewajiban Konfidensialitas, dan Kewajiban Loyalitas. Ketiga kewajiban tersebut sesuai dengan prinsip dasar pekerja Kristen yang dijabarkan pada etika kerja di atas.

            Kewajiban Ketaatan. Meskipun salah satu bentuk kewajiban yang perlu dijalankan oleh seorang karyawan adalah ketaatan, namun bukan berarti segala sesuatu harus taat secara multak kepada perusahaan. Untuk itu ada beberapa hal yang tidak perlu ditaatati oleh seorang karyawan, atara lain:
o   Karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral (Mencuri, menipu, manipulasi, dll).
o   Karyawan tidak wajib juga memathi perintah atasannya yang tidak wajar, meskipun dari segi etik tidak ada pelanggaran (memperbaiki mobil, renovasi rumah, mengantar keluarga atasan, dll).
o   Karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetati tidak sesuai dengan tugas yang telah disepakati (jobdesk) ketika ia menjadi karyaan di perusahaan itu (mengerjakan tugas bagian lain, dll).
            Kewajiban Konfidensialitas.[6] Kewajiban konfidensialitas adalah suatu kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial (rahasia), yang diperoleh oleh karena suatu profesi/jabatan tertentu. Hal-hal ini menyangkut baik profesi (Dokter, Akuntan, dll), trade secrets (rahasia perusahaan—bahan baku, bumbu tertetu), hingga future plan (rencana masa depan perusahaan).

            Kewajiban Loyalitas. Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan. Dengam memulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dank arena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
8.   PERIHAL KEWAJIBAN KARYAWAN TERHADAP PERUSAHAAN.

    Kewajiban Perusahaan terhadap karyawan meliputi tiga hal utama: Kesatu, Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi. (warna kulit, gander, orientasi seksual, cacat tubuh. Sementara dalam konteks Indonesia, diskiriminasi lebih banyak terjadi dalam hal pribumi dan non-pribumi). Kedua, Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja/pekerja. Dan ketiga, kewajiban memberikan gaji yang adil.

            Ketiga kewajiban ini merupakan prisip etika umum yang bukan hanya disepakati oleh etika kerja Kristen, namun juga etika kerja universal. Namun tentu pada prakteknya banyak pertimbangan yang dilakukan perusahaan terhadap penerapan kewajiban tersebut, mulai dari kondisi geografis, keuangan, kontrak kerjasama/kesepakatan dengan perusahaan lain , dan kebijakan lainnya.

9.      PERIHAL KUADRUM EKONOMI.

    Terdapat empat kuadrum ekonomi dalam perspektif etika Kristen. Kuadran 1: Kaya dan Beriman. Orang-orang yang tergolong dalam kuadran ini adalah mereka yang beriman dan memiliki kekayaan yang melimpah seperti Abraham maupun Ayub. Pada Kuadran 2: Miskin tapi Beriman, diwakili oleh tokoh-tokoh kitab suci seperti Janda di Sarfat. Meskipun miskin, namun ia memilki iman yang kokoh dalam menghadapi pergumuluan. Contoh lainnya juga tentang Janda miskin yang memberikan persembahan dua peser ke Bait Allah. Kuadran 3: Miskin dan tidak beriman. Komunitas yang tergolong dalam kuadran ini adalah mereka yang masih hidup di luar Kristus sekaligus hidup dibawah garis kemiskinan, seperti sebagian Negara-negara di Afrika, Pakistan, dan India. Dan yang keempat, Kuadran 4: Kaya tapi tidak beriman, diwaili oleh gambaran orang-orang farisi yang dikecam Kristus, Anak muda kaya (Mat. 19), atau pada masa kini diwakili oleh sejumlah konglomerat yang hidup di luar Kristus.

            Dalam konteks iman Kristen, mengusahakan umat Tuhan yang sedang berada pada kuadran 2 menuju kuadran 1 (atau minimal keluar dari standar/kriteria/indicator yang ditetapkan pemerintah tentang masyarakat miskin), tentu perlu mengkombinasikan antara prinsip berkat Tuhan dan prinsip kerja keras—cerdas (Rajin, Jujur).        Prinsip berkat Tuhan, oleh karena perihal pintu berkat hanya Tuhan yang mampu membukanya (Mzm. 127:1-2; Ams. 10:22). Dengan kata lain, kerja keras dan kerja cerdas tidak akan memperoleh hasil apapun, atau memperoleh hasil tetapi dengan mudahnya “menguap” begitu saja oleh karena tidak disertai dengan perkenana Tuhan atasnya. Pada kasus-kasus tertentu yang sukar, hal-hal yang tidak terpikirkan terkadang justru menjadi pintu berkat bagi mereka yang menyertakan Tuhan dalam perjuangan kerja mereka. kunci utamanya oleh karena Tuhan adalah sumber berkat ultimat, manusia yang menjadi atasan atau owner hanyalah saluran berkat yang Tuhan dapat gunakan seturut kehendak-Nya.

            Jika prinsip pertama menyertakan dan mengandalkan Tuhan (dari atas), maka prinsip kedua adalah take action (dari bahwah—kerja keras, cerdasa, dan
 jujur). usaha yang dimaksud adalah prinsip kerja keras dan kerja cerdas. Akan tetapi prinsip ini juga perlu dilandasi dengan semangat etika Kristen seperti yang dijabarkan dalam Titus 2:9-10. Kedua prinsip ini jika dilaksanakan dengan tekun, tidak mungkin keadaan ekonomi orang percaya yang berada di kuadran 1 tidak mengalami perubahan. Cepat atau lambat, pasti ada peningkatan dan perbaikan ekonomi. Dunia kerja secara universal merupakan dunia realitas pertimbangan rasionil menuju kemajuan dan profit perusahaan (bahkan jika anak Tuhan tersebut berwiraswasta), dengan demikian, tidaklah mungkin jika seorang anak Tuhan yang saleh, memiliki skill, kecerdasan, serta kecakapan kinerjanya tidak memperoleh promosi atau perbaikan ekonomi.  

10.  PERIHAL KEKAYAAN.

    Kekayaan merupakan salah satu berkat yang Tuhan sediakan bagi manusia demi untuk memeprmuliakan-Nya, namun kejatuhan menjadikan manusia diperbudak dan dikendalikan (kdang juga oleh kuasa jahat) oleh kekayaan. Tujuan akhir dari kekayaan sama seperti tujuan dinyatakan kekayaan itu kepada manusia—semuanya akan berpulang kepada kemualiaan dan pengagungan Allah.

          Dalam penerapannya terdapat dua cara yang digunakan Allah untuk mnegembalikan kekayaan bangsa-bangsa kepada-Nya. Cara kesatu, Tuhan membawa kekayaan bangsa-bangasa melalui umat-Nya (Mi. 4:13). Pada proses ini Tuhan menngunaka umat-Nya sebagai rekan sekerja yang terlibat didalamnya. Cara kedua, bangsa-bangsa dengan sukarela membawa kekayaan mereka kepada Tuhan (Why. 21:22-26). Cara keuda tersebut merupakan alternatif lain jika cara pertama tidak dapat bejalan oleh karena faktor-faktor tertentu dari suatu bangsa. Meski demikian, kekayaan tersebut sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari janji Allah kepada umat-Nya (Yes. 60:11; 66:120) yang akan diterima pada saat umat Tuhan berfungsi sebagai Imam dan pelayan Tuhan (Yes. 61:6).


             Sementara kaitannya dengan amanat agung adalah kekayaan yang cukup dapat menjadi sarana pendorong dan kekuatan operaisonal misi Injil hingga ke ujung dunia. Perjalanan-perjalanan misi tentu memerlukan biaya yang cukup besar, baik biaya transportasi, akomodasi, dan penungjang lainnya. Tanpa kekayaan (baca: dana) yang cukup, jangkauan misi Injil juga pasti tidaklah maksimal, meskipun  hal tersebut bukanlah satu-satunya factor penentu, namun harus diakui bahwa kekayaan/dana misi ikut mempengaruhi pergerakan dan pengembangan misi Injil Kerajan Allah.




                [1] Pada bagian, respons kaun anti eksploitasi hukum terbagi dua golongan, ada yang pro terhadap pendekatan demonstrasi tanpa kekerasan, namun ada juga yang pro terhadap pendekatan kekerasan bahkan hingga melegalkan pembunuhan.
                [2] Salah satu contoh yang paling rill adalah pada peristiwa kerusuhan di Ambon. Pemulihan kota Ambon dapat terjadi dengan cukup cepat oleh karena terdapat semcam warisan kebudayaan (dalam istilah orang Maluku dikenal dengan  sebutan “Pela-Gandong”) yang mengikat masyarakat yang berbeda keyakinan—Kristen-Islam, dalam satu tradisi persaudaraan dan toleransi yang kuat.
                [3] Keyakian bahwa semua agama sama-sama benar, dan sama-sama menghantarkan manusia ke sorga, hanya dengan jalan/nama yang berbeda. Pada era postmodern saat ini, kaum pluralism memiliki dukungan yang lebih kuat oleh gencarnya filsafat postmodernisme yang mendestruktualisasi (J. Deridda) kebenaran objektif menuju kebenaran relative berdasarkan individu maupuan asyarakat komunal tertentu dalam konteks budayanya sehingga kekristenan juga ikut terkena dampaknya.
                [4] Untuk kasus ini, penulis sama sekali tidak setuju dan  mengutuk keras oknum-oknum pemerintahan yang menggunakan perangkat negara serta mengambil keputusan dan pertimbangan hukum yang menyesatkan sesuai dengan kepentingan-kepentingan golongan tertetu.
                [5] Kecuali mungkin di daerah tertentu yang mayoritas masyarakatnya didominasi oleh umat Kristen. Kemudian ketidakmaksimalan peran gereja juga oleh kerana tentu selain terbatas dalam hal keuangan, dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayorotas non Kristen, gerakan sosial gereja juga selalu dibatasi, diawasi, dan dicurigai, meskipun maksud dan tujuannya jelas sesuai dengan panggilan sebagai Umat Allah dan sejalan dengan amanat  UU yang konstitusional.
                [6] Konfidensialitas berasal dari kata Latin “Confidere”, yang berarti “mempercayai”.