RAGAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN (Bag. 2)
[Semua materi dalam tulisan ini disadur dan dikembangkan dari
diktat kuliah Etika Terapan STT KHARISMA Bandung]
1. PERIHAL HOMOSEKSUAL.
Dalam
perspektif etika Kristen, penyimpangan homoseksual
jelas ditolak secara tegas. Alkitab memberikan banyak dasar kebenaran Allah
yang menyatakannya baik secara eksplisit maupun implisit. Berikut beberapa
alasan fundamental yang dikemukakan oleh kitab suci:
o
Sejak semula, Allah menetapkan heterosekusal,
bukan homoseksual (Kej. 1:27-28; 2:24; 1 Kor. 6:15-17).
o
Tuhan menghukum Kanaan oleh karena dosa
homoseksual yang merupakan kutuk bagi Ham ayahnya (Kej. 9:22-26) yang mana
secara implisit menunjukkan penyimpangan seksual.
o
Sodom dan Gomora dikutuk oleh karena dosa
homoseksual (Kej. 19:5).
o
Hukum Musa mengutuk dosa homoseksual (Im.
18:21-23).
o
Semburit bakti dikutuk oleh Tuhan (Ul.
23:17-18).
o
Homoseksual dikutuk dalam kitab Hakim-hakim (Hak.
19:22)
o
Para nabi mengutuk dosa homoseksual/sodomi (1
Raj. 14:24; 15:12; 22:47; 1 Raj. 23:7; Yeh. 16:50).
o
Paulus dalam suratnya mengutuk homoseksual (Rm.
1:18-27).
o
Kaum homoseksual tidak mendapat bagian dalam
Kerajaan Allah (1 Kor. 6:9-10)
o
Timotius mengutuk dosa homoseksual (1 Tim.
1:9-10).
o
Homoseksual adalah perbuatan yang tidak
wajar (Yud. 1:7).
Selain itu terdapat beberapa alasan
dan pertimbangan etika lain di luar Alkitab yang juga menentang hal ini.
terdapat beberapa alasan pertimbangan etika dan norma moral secara umum mengenai
hal ini, yaitu: Homoseksual adalah suatu ketidakwajaran karena bertentangan
dengan kenormalan. Homoseksual dari dahulu hingga kini tidak pernah diterima
dalam ukuran kesetaraan dengan heteroseksual dalam masyarakat. Homoseksual juga
tidak disukai masyarakat luas. Tidak ada masyarakat yang dapat dipertahankan
(keturunan) melalui praktek homoseksual. Dan yang terakhir praktek-rpaktek
homoseksual merupakan ancaman bagi kehidupan itu sendiri oleh karena rentan
terhadap penularan berbagai macam penyakit kelamin yang mematikan.
Meskipun secara umum padangan non
bilblikal tersebut merupakan alasan-alasan yang paling sering dijumpai dalam
masyarakat namun terdapat juga ragam kritik yang diajukan terhadap
alasan-alasan tersebut. Maka, titik tolak yang paling fundamental harus
dikembalikan pada prinsip kebenaran final kitab suci sehingga keberatan-keberatan
tersebut dapat diselesaikan. Allah tidak pernah menciptakan homoseksual.
Homoseksual yang terjadi oleh karena dampak kejatuhan manusia dalam dosa
sehingga baik kerusakan/ketidaknormalan hormonal, maupun pengalaman pelecehan
seksual yang berdampak pada kecenderungan homoseksual, merupakan salah satu
bentuk dosa yang perlu dikembalikan pada keadaan seksual yang normal, bukan
membangun opini dan argumentasi untuk mendukung pembenaran
penyimpangan-penyimpangan seksual tersebut. Meskipun pelaku homoseksual harus
dirangkul namun homoseksualitas itu sendiri dengan tegas harus ditolak.
2. PERIHAL PORNOGRAFI.
Pornografi dalam perspektif etika Kristen. Pornografi
menjadi bahaya laten yang mengancam generasi milenial saat ini. Era perkembangan
digital yang begitu maju juga ikut mempengaruhi minat dan konten pornografi. Konsumen
pornografi saat ini juga bukan lagi kaum muda—dewasa, gadget yang dimiliki
secara pribadi, dengan sangat mudah menjadi sarana untuk mengakses
konten-konten tersebut dimana saja dan oleh siapa saja. Fakta bahwa anak-anak
maupun orang tua (baik yang leha menikah telah menikah maupun kaum lansia) juga
tidak lepas dari jerat pornografi. Gereja sedang menghadapi serangan yang sulit
dibendung oleh karena dosa tersebut dapat terjadi dimana saja dan berkaitan
langsung dengan privasi seseorang dimana hal tersebut sulit untuk diketahui
maupun diakui. Kendala lainnya adalah bahwa gereja seperti mengalami dilema
antara yang sacral dan yang profane ketika ingin berbicara mengenai pornografi
atau seksualitas. Akibatnya jelas, Jemaat yang kurang perbelakan tersebut
dengan sangat rentan terpapar oleh konten-konten pornografi oleh karena
pemahaman kebenaran yang tidak memadai.
Etika
Kristen yang bertopang pada kebenaran kitab suci tentu saja bereseberangan
dengan hal ini. Terdapat beberapa alasan serta dasar ayat Alkitab yang menolak
pornografi. Kesatu, pornografi tidak menghormati perkawinan (Rm. 1:32). Kedua,
pornografi meningkatkan aktivitas berdosa dalam kehidupan orang percaya dan
hilangnya sensivitas untuk hidup kudus (1 Kor. 6:18). Pronografi memperkuat
hawa nafsu dan perzinahan dalam hati (Mat. 5:27-30). Ketiga, pornografi merusak
pikiran dan hati. Keempat, pornografi menggelapkan hati dan pikiran orang
percaya (Mat. 6:22-23). Kelima, pornografi memperlemah perkawinan yang baik (Kej.
2:22-25; Ibr. 13:4).
Selain
alasan-alasan Alkitab tersebut, terdapat juga beberapa alasan medis yang
bekaitan erat dengan kerusakan fungsi otak, fungsi hormon, serta dan tindakan-tindakan kejahatan yang ekstrem
oleh karena tuntutan hasrat seksual yang semakin meningka dan liar.
3. PERIHAL TRANSGENDER.
Permasalahn transgender merupakan permasalahan yang
mirip dengan homoseksual. Dengan kata lain, respons etika Kristen pun
serupa—etika Kristen dengan tegas memandang hal tersebut sebagai sebuah
penyimpangan dosa seksualitas (entahkan terjadi oleh karena alasan lingkungan,
moral, maupuin kejiwaan), oleh karena pada prinsip utamanya Allah tidak pernah
menciptakan secara keliru, “jiwa wanita yang terpenjara dalam tubuh pria”. Kejadian
2:24 dengan jelas mengemukakan perbedaan gender, sekaligus menekankan
kesempurnaan ciptaan Allah dengan konsepsi jiwa dan raga yang sempurna dan
tanpa tertukar. Hal tersebut mengindikasikan bawa etika Kristen menolak
transgender, sebagaimana yang juga dibuktikan melalui sejarah Sodom dan Gomora
(Kej. 19; Yud. 1:17) serta penegasan kembali oleh rasul Paulus (Rm. 1:25-27).
Meski demikian, seperti Tuhan yesus yang membenci dosa namun mengasihi manusia,
kaum transgender perlu diselamatkan dengan bentuk pelayanan pembimbingan khusus
sehingga mereka boleh kembali dalam natur kemanusiaan mereka yang sejati.
4. PERIHAL ABORSI.
Perspektif etika Kristen tentang aborsi. Etika Kristen
memandang manusia secara utuh pada
saat pembuahan terjadi—perjumpaan
antara sel sperma dan induk telur
(kej. 4:1). Zigot yang
dihasilkan merupakan manusia seutuhnya
karena merupakan gambar dan rupa Allah yang mana ia dikenal dan diperhatikan
juga oleh-Nya (Kej. 2:7; Yer. 1:5; Mzm. 139:13-16), meskipun belum secara
efektif menyatakan eksistensinya. Pandangan etika Kristen juga sejalan dengan
pandangan etika medis yang sama-sama menerima keutuhan seorang manusia pada
saat terjadi pembuahan sehingga pada pedoman dasar ini, tentu saja dengan tegas
etika Kristen menolak praktek-praktek aborsi dengan alasan apapun. Penolakan
tersebut didasari atas kebenaran firman Tuhan tentang keutuhan manusia,
pelanggaran tentang perintah jangan membunuh di dalam Keluaran 20:13 (bahkan dengan
cara mengerikan yang menyebabkan organ-organ tubuh pada bayi terpenggal),
pembunuh bayi (abiorsi) harus menerima ganjaran yang sama (Kel. 21:23) dan serangkaian efek medis serta
psikologis bagi pelaku aborsi.
Meski demikian, dalam kasus tertentu misalnya kehamilan di
luar kandungan yang menimbulkan efek dilematis ganda (pilihan antara
keselamatan Ibu atau bayi), sehingga jika aborsi yang menjadi opsi pilihan dan
kesepakatannya, hal tersebut tentu tidak dapat dikategorikan/disamakan dengan kasus aborsi dalam ketegori pelanggaran moral
dan kebenaran firman Tuhan, oleh karena tindakan medis tersebut berhubungan
dengan faktor resiko pilihan keselamatan nyawa, dan mempertahankan nyawa antara
Ibu atau bayi, maka tentu hal tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus
aborsi pada umumnya yang dilandasi dengan alasan-alasan non esensial.
5. PERIHAL UTHANASIA.
Sama
halnya dengan aborsi, pandangan etika Kristen mengenai uthanasia juga secara
tegas ditolak, baik uthanasia aktif maupun bentuk uthanasia pasif (alami dan
tidak alami). Beberapa alasan yang mendasarinya adalah: 1). Tidak ada hal moral
untuk membunuh seorang manusia yang tidak bersalah (Kel. 20:13). Uthanasia
secara sengaja melalaikan prinsip moral dan mengambil peran dan kedaulatan
Allah perihal nyawa manusia. 2). Membunuh penderita adalah tindakan yang tidak
berbelas kasih. 3). Banyak hal yang dapat dipelajari melalui penderitaan (Yak.
1:2-4; Rm. 5:3-4). 4). Hilangnya makna dan esensi sebagai manusia. Uthanasia
menurunkan derajat seorang manusia dan secara tidak langsung menetapkan antara
yang sakit kronis, bukan manusia dan yang sehat adalah manusia, padahal pada
prinsipnya manusia (dengan berbagai kekurangan dan penderitaannya) adalah
gambar dan rupa Allah. 5). Tujuan tidak boleh membenarkan cara. Ide ini
dikendarai oleh semangat utilitarianisme yang menyesatkan. Tujuan yang baik
harus pula diaplikasikan dengan cara/metode yang tepat pula. 6). Manusia
bukanlah hewan.
6. PERIHAL BAYI TABUNG.
Pandangan etika Kristen terhadap bayi tabung. Secara spesifik proses penyelenggaraan
program bayi tabung (baik pada saat pemisahan sel telur, hingga penyatuannya
dengan sel sperma di dalam tabung pembuahan yang terjadi di luar kandungan,
hingga proses penanaman kembali ke dalam rahim sang Ibu), tidak memiliki
gambaran yang eksplisit mengenai dukungan atau tidaknya dari kitab suci.
Meski demikian terdapat
prinsip-prinsip kebenaran dan pertimbangan nilai moral yang sama dan setara
sebagaimana pertimbangan moral perihal kasus aborsi. Dengan kata lain, sejauh
proses pelaksanaannya tidak melanggar norma-norma etika seperti pembuahan yang
gagal disingkirkan (aborsi), atau dengan sengaja memiliki bibit-bibit unggul
pada suatu sel sperma (pelanggaran nilai dan makna hidup manusia yang berkaitan
dengan gambar dan rupa Allah, juga kedaulatan-Nya), hingga dengan sengaja
menggunakan sperma orang lain yang bukan suami (pelanggaran kesusilaan), hal
tersebut dapat saja dilakukan.
7. PERIHAL INSEMINASI.
Inseminasi buatan terbagi menjadi dua
bagian; Homolog (donor sel sprema
dari sang suami) dan Heterolog (donor
sel sperma dari anonim). Inseminasi dalam kasus homolog cenderung disetujui
oleh etika kristen oleh karena tidak melanggar norma-norma agama dan
kesusilaan. Hal tersebut merupakan sebuah tindakan pertolongan medis dengan
penggunaan metodologi tertentu bagi pasangan yang belum dikaruniai keturunan,
dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran menyangkut nilai dan
gambar diri seorang manusia. Dengan demikian pada prakteknya tenaga medis tidak
boleh mendiskriminasikan/mengotak-ngotakkan ragam sel yang hendak disuntikkan
(meskipun hal tersebut akan sangat sukar dipertahankan oleh karena tujuan
awalnya adalah memperoleh keturunan sehingga seringkali terjadi
tindakan-tindakan pemilihan “bibit unggul” yang secara tidak langsung
menyatakan sikap diskriminatif), oleh karena hal tersebut merupakan sebuah
pelanggaran etik yang dengan sengaja menyeleksi “bibit manusia” berdasarkan
serangkaian motif.
Berbeda dengan program bayi
tabung dan inseminasi homolog, inseminasi heterolog ditolak dalam pandangan
etika Kristen oleh karena beberapa alasan, yaitu: 1). Aspek psikologis.
Keterikana emosional antara Ibu dan bayi, (bahkan juga menyangkut sisi
psikologis sang ayah yang secara hukum sah), terhadap sang “ayah” yang anonim
tentu saja akan menimbulkan tekanan dan gangguan psikologis di kemudian hari.
2). Aspek yuridis. Aspek hukum dan hak-hak seseorang untuk mengetahui siapa
orang tuanya, dan hak-hak asuh, perlindungan, kasih sayang, dst, tentu akan
menjadi hambatan bagi anak hasil inseminasi heterolog. 3). Aspek sosial.
Inseminasi heterolog akan meninggalkan serangkaian masalah sosial seperi
diskriminasi, bully, serta status sosialnya baru dalam kehidupan sang anak
kelak. 4). Aspek agama. alkitab dengan sangat jelas menggambarkan pernikahan
kristianai sebagai pernikahan kudus antara dua pasangan yang sah di hadapan
Allah dan jemaat. Inseminasi heterolog merupakan praktek penginkaran dan
pelecehan terhadap pernikahan kudus pasangan kristiani.
8. PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KATOLIK ROMA).
Pandangan etika Katolik Roma terhadap pengendalian kelahiran. GKR (Gereja
Katolik Roma) memiliki pandangan yang serupa mengenai eksistensi kehidupan
manusia yang dimulai pada saat pembuahan terjadi. Namun fokusnya bukan hanya
pada saat pembuahan, akan tetapi lebih jauh juga menyangkut persoalan “pencegahan
pembuahan” dengan sengaja melalui metodologi modern (fasilitas KB). Dengan
dasar etika demikian, kalangan GKR menentukan sikapnya perihal pengendalian
kelahiran dengan mengemukakan beberapa dalil, yaitu: 1). Memberlakukan
pengendalian kelahiran buatan adalah tidak mentaati perintah Allah untuk
berkembang biak (Kej. 1:28). 2). Mencegah kehidupan agar tidak terjadi secara
alami adalah semacam pembunuhan terhadap calon-calon anak secara sengaja. 3).
Satu-satunya tujuan seks adalah berkembang biak. 4). Kitab suci jelas mengutuk orang yang
mempraktekkan pengendalian kelahiran dalam bentuk preventif (Kej. 38:9).
Demikian dasar-dasar pertimbangan dalam etika GKR perihal pengendalian
kelahiran.
9. PERIHAL PENGENDALIAN KELAHIRAN (KAUM INILI).
Pandangan etika Kristen terhadap pengendalian kelahiran. Dalam
hal esensial seperti eksistensi kehidupan manusia yang meng-ada pada saat pembuahan terjadi merupakan titik temu
antara Katolik Roma dan kaum Injili. Keduanya sama-sama mengakui dan menyetujui
kebenaran tersebut sehngga merupakan sebuah pelanggaran etis ketika pembuahan
yang sudah terjadi harus diatasi dengan serangkaian obat dan alat kontrasepsi.
Meski demikian, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.
Pada
umumnya tidak ada kesepakatan bersama mengenai isu tersebut di kalangan Injili.
Kalangan Injili mengajukan beberapa hal penting mengenai posisi kapan
pengendalian kelahiran dianggap benar dan kapan hal tersebut salah. Kesatu,
pengendalian kelahiran dianggap salah jika: Menggunakannya di luar ikatan
pernikahan yang sah/aktivitas seksual ilegal, eksistensi manusia teracam
punah, pasangan yang tidak memiliki
keturunan pada saat populasi manusia terancam, menolak memiliki anak oleh
karena konsekuensi tangggung jawab, dimaksudkan untuk mengaborsi janin.
Kedua,
pengendalian kelahiran dianggap benar jika: menjadi sebuah kebijaksanaan untuk
penundaan kehamilan sampai calon orang tua siap, dengan maksud membatasi
anggota keluarga agar sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua, dengan tujuan
memberi jarak antar anak dalam keluarga, untuk mengakhiri keluarga seseorang
yang mana telah sampai pada titik maksimal tanggung jawabnya, sebagai sarana
edukasi kesehatan fisik dan mental, untuk tujuan moral yang lebih tinggi.
Singkatnya,
dalam beberapa alasan penting isu pengendalian kelahiran dapat ditolak maupun
dapat dilakukan. Sementara dalam praktek pengendalian kelahiran penggunaan
alat-alat kontrasepsi yang dapat membunuh janin (atau pembuhan yang sudah
terjadi), tidak boleh digunakan. Namun peralatan kontasepsi yang mencegah
pertemuan antara sel sperma dan induk telur mungkin saja dapat dugunakan.
10. PERIHAL PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN ULANG.
Pandangan
etika Kristen terhadap perceraian dan pernikahan ulang.
Isu perceraian dan pernikahan ulang
merupakan isu yang rumit sekaligus kontroversial dalam perspektif etika
Kristen. Perdebatan klasik antara kalangan Hillel dan Shammai kembali terulang
melalui pertanyaan orang Farisi di dalam Matius 19, dan secara radikal dijawab oleh
Tuhan Yesus dengan pendekatan dan konklusi yang sama sekali tidak diperkirakan.
Sebelum
masuk dalam isu perceraian dan pernikahan ulang pemahaman akan janji pernikahan
perlu dipertajam. Pernikahan atau janji pernikahan meskipun sacral namun janji
nikah tersebut bukanlah janji kekal sebagaimana perjanjian antara Allah dan
umat-Nya. Janji pernikahan merupakan janji temporal di dalam dunia ciptaan yang
juga dalam beberapa hal krusial (selain kematian) dapat menyebabkan perpisahan.
Alkitab dengan jelas membedakan antara perceraian dengan alasan yang
fundamental (pembuktian perbuatan yang tidak senonoh—perihal moralitas/pelanggaran
perkawinan yang memalukan, tetapi bukan zinah, ay. 1. Bdk. dengan kasus
percobaan cerai pada Yusuf dan Maria, Mat. 1:9) dan alasan yang dibuat-buat (tidak
cinta lagi, ay. 3) dalam kitab Ulangan 24:1-4. Hal ini menjadi landasan
perkawinan dan perceraian umat Israel hingga di zaman Tuhan Yesus masih
menggunakan pola pedekatan yang sama sebagaimana yang terlihat pada pemahaman
kaum Farisi.
Perceraian. Pandangan Tuhan Yesus
perihal perceraian melangkah jauh melampaui pandangan Hillel maupun Shammai. Meskipun pada awalnya Ia bertolak dari presaposisi
pandangan Shammai, namun penegasan-Nya pada bagian konklusi sangatkah berbeda. Hal
tersebut dibahasakan dengan penegasan yang mencengangkan, bahwa baik suami yang
menceraikan (Mat. 19:9) maupun istri yang diceraikan dan kawin lagi (Mat. 5:32),
sama-sama berbuat zinah. Tidak sampai di situ, Tuhan Yeus melangkah lebih jauh
dengan menegaskan konsep pernikahan semenjak semula yang telah menjadi “satu
daging”, maka apa yang dipersatukan oleh Allah tida boleh diceraikan (Mat.
19:6), itu sebabnya persoalan mengenai “surat cerai”, Ia mengungkapkan alasan
fundamentalnya bahwa hal tersebut didasari atas “ketegaran hatimu” (Mat. 19:8).
Penulis secara pribadi menangkap pesan
implisit dari sikap dan jawaban Tuhan Yesus tersebut sebagai penegasan mengenai
dua hal: Kesatu, Ia menegaskan posisi awal langkah-Nya di antara dua pilihan
komunitas etika pada zaman itu (Hillel dan Shammai), yang mana Ia secara
ekplisit menerima argumen Shammai. Kedua, akan tetapi perihal posisi etik-Nya tidak
berpatokan pada Shammai, namun Ia melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa perceraian
tidak boleh terjadi oleh karena tidak sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana
esensi pernikahan di kitab Kejadian, itu sebabnya para murid menjadi terkejut
(Mat. 19:7). Namun, hal lain yang terpenting adalah Ia juga melihat persoalan
hubungan suami-istri dalam kerangka penebusan sehingga Ia mendorong terjadinya
rekonsiliasi antara suami-istri sebagaimana yang Ia tunjukan melalui
pengampunan terhadap wanita yang kedapatan berzinah (Yoh. 7:53-8:11). Atau
lebih jauh, perihal pengajaran-Nya mengenai pengampunan yang radikal tanpa
batas (Mat. 18:21-35). Dengan demikian posisi etika Kristen dalam pengajaran
Tuhan Yesus menyangkut perceraian jelas, Ia tidak menghendaki percerainan namun
lebih kepada rekonsiliasi dan pengamunan seperti pengampunan Allah bagi
umat-Nya.
Pernikahan ulang. Jika mengacu pada
jawaban etika Tuhan Yesus, maka sulit untuk mengkaji lanjutan tentang isu
pernikahan ulang. Namun dalam konteks budaya abat pertama (baik umat Yahudi
maupun Romawi) dan permasalahan pastoral yang semakin kompleks pada pelayanan rasul
Paulus (secara khusus pada kasus di gereja Korintus (Kor. 6-7), pernikahan
kembali sudah menjadi hal yang lumrah pada masa itu sehingga pada pelayanan
selanjutnya rasul Paulus meletakan dasar-dasar pastoral mengenai pernikahan
pasca perceraian. Kedua hal ini bukanlah semacam kontradiksi etis, namun lebih
kepada sebuah bentuk pendekatan dengan konteks kebudayaan serta etika yang berbeda
di dalamnya. Korintus merupakan salah satu gereja yang secara geografis berada
di bawah kebudayaan Yunani-Romawi yang sudah terbiasa sengan perceraian dan
pernikahan ulang, hal ini memberikan gambaran bahwa pergerakan kebudayaan dan
etika dalam gereja tersebut sebelum pelayanan rasul Paulus sangatlah berbeda
dengan masyarakat Yahudi, maka tentu
tidak dapat dilakukan pendekatan serupa dengan pendekatan dalam konteks ke-Yahudian.
Adanya sekelompok orang yang mnedukung kebebasan seksual (1 Kor. 6:12-120),
dan kelompok lain yang mendukung pertarakan (1 Kor. 7:1b), saling memaksakan
konsep mereka kepada: mereka yang sudah menikah (ay. 7:2-7), kepada janda dan
duda (ay. 7:8-9; 39-40), mereka yang berikrar akan menikah lagi (ay. 25-28; 36-38),
mereka yang belum pernah menikah sebelumnya (ay. 29-35). Akan tetapi kebiasaan
“meninggalkan pasangan dan menikah lagi” dalam konteks kebudayaan Romawi juga
merupakan suatu pelanggrana terhadap perkawinan kristiani, namun
permasalahannya adalah bagaimana jika sebelumnya mereka sudah kawin cerai dan
sekarang menjadi umat Tuhan dan ingin kawin lagi? Bukankah dalam konteks gereja
dewasa ini, hal tersebut juga terjadi pada sebagain umat Tuhan yang baru saja
lahir baru?
Dalam
konteks masa kini, pendekatan terhadap terhadap kedua hal tersebut sangatlah
sukar karena di sisi lain, ada juga pasangan-pasangan yang salah satu di antaranya
telah berjuang sungguh-sungguh bertahun-tahun dengan mengorbankan berbagai hal
untuk mempertahankan pernikahannya, namun tidak dianggap oleh pasangan lainnya.
Ada juga pasangan yang setelah menikah, ternyata secara diam-diam tidak diketahui
bahwa ia mengidap penyakit kelamin mematikan tertentu yang dapat ditularkan
kepada pasangannya sehingga dengan sengaja mengancam kehidupan pasangan dan
keluarga, hingga kasus dilematis seperti salah satu pasangan yang ternyata
mengalami gangguan kejiwaan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung
beberapa bulan berikutnya. Apakah janji nikah yang diucapkan seseorang yang
mengalami gangguan kejiawaan itu sah di hadapan Tuhan? Apakah jika kehidupan
pasangannya teracam oleh tindakan kekerasan oleh gangguan kejiwaan pasangannya
tersebut, dapat terus mempertahankan perkawinannya? Tentu dilema-dilema etis
dalam konteks saat ini sangatlah kompleks. Maka dalam kategori tertentu yang
sangat urgen, menurut pandangan etis penulis, perceraian dapat dilakukan. Namun
penulis sendiri belum memiliki dasar biblical yang kuat terhadap konsep pernikahan
ulang, akan tetapi penulis juga tidak dapat membatasi kehendak dan kedaulatan
Tuhan (dalam kasus khusus tersebut), bila Tuhan menghendaki, dengan cara dan
waktu-Nya, maka tentu saja hal tersebut dapat dilaksanakan (tentu saja
penekanannya adalah pada kasus khusus dan motif-motif terselubung yang perlu
ditinjau secara jernih). Sementara penekanan penting lainnya adalah pada saat bimbingan pra nikah. Kesempatan in perlu dijelaskan, dianalisa, dan diselidiki secara seksama sehingga di kemudian hari tidak terjadi perceraian. Sekian, Tuhan memberkati.