“Nietzsche: Zarathustra
Postmo Pembunuh Tuhan”
[Kritik Filsafat Ateisme Nietzsche dari Perspektif Teologi Kristen]
Oleh:
Yosep Belay
“God’s not Death” merupakan salah satu
film bergendre drama filosofis yang sarat akan makna serta nilay-nilay iman kristiani.
Film ini mengisahkan tentang seorang mahasiswa Kristen yang menempu kelas filsafat, dimana ia
terpaksa bergumul untuk mempertahankan imannya ditengah-tengah serangan
sekularisme dan ateisme modern yang digagas oleh sang profesor. Salah satu hal
menarik dari film tersebut adalah judulnya. Judul dari film ini secara implisit
merupakan anti tesis bagi pemikiran ateis Nietzsche, God is death, sekaligus bentuk respons iman kristiani terhadap serangan
ateisme modern. Jika Saudara pernah mendengar atau membaca kalimat, “Tuhan
sudah mati” (God is death), serta
bertanya tentang siapakah tokoh pencetus kalimat gila tersebut, maka para pengkaji filsafat akan mengkonfirmasikan
satu nama kepada Saudara, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 -1900). Gagasan
tentang kematian Tuhan ini dituangkan Nietzsche dalam bukunya Also Sprach Zarathustra. Nietzsche merupakan salah satu filsuf ateis yang paling
gencar menyerang kekristenan secara terbuka, ia juga menolak berbagai macam konsep-konsep
ke-Tuhanan (terutama keyakinan Kristen yang merupakan konteks serta objek
kritikannyapada masa itu), metafisika, dan segala macam etika yang mengekang
kebebasan manusia.
Nietzsche dilahirkan pada tanggal 15
Oktober di Rocken, Jerman, dari keluarga Protestan yang sangat taat. Ia
merupakan generasi ke tiga dari keluarga pendeta Lutheran. Kakeknya merupakan seorang
Teolog yang sangat dihormati, demikian juga dengan ayahnya (ayah Nietzsche
meninggal ketika ia berusia lima tahun). Seperti kehidupan keluarga kristiani
pada umumnya, Nietzsche dibesarkan dengan didikan serta nilay-nilay Kristen
yang sangat baik dan berdisiplin tinggi. Pada masa kecilnya, ia bahkan sering
disebut sebagai “Pendeta cilik”. Sejak kecil, kecerdasan intelektual, seni, dan
sikap religiusnya telah tampak, hal tersebut terus berlanjut hingga masa
kejayaannya pada saat menempu studi filologi. Karena kecerdasannya pula
Nietzsche memperoleh gelar doktoral di universitas Leipzig, tanpa harus melalui
ujian dan tugas akhir.Hal yang lebih membanggakan, ketika berusia 24 tahun, ia
telah menjabat sebagai profesor filologi klasik di universitas Basel, Swiss,
akan tetapi tidak bertahan lama oleh karena keadaan fisiknya yang sering
sakit-sakitan.
Meskipun Nietzsche mencapai prestasi
yang luar biasa dalam studi dan profesinya, namun tidak demikian dalam hal
spiritualnya. Nietzsche mengalami gejolak skeptisisme berat ketika dibangku
kuliah. Pada usianya ke - 18, usia yang masih sangat muda, Nietzsche memutuskan untuk
meninggalkan iman Kristennya. Semenjak itu, ia pun menjalani kehidupannya
dengan cara yang sangat berbeda dari kehidupan sebelumnya; sangat bebas,tidak
teratur, kasar, garang, pesta-pora, mabuk-mabukan, dan free sex.Akibat dari
kehidupan yang liar tersebut, ia sakit-sakitan. Di akhir hidupnya ia bahkan
menderita gangguan jiwa (K. Bertens:
1998, 85) dan mengidap penyakit kelamin yang menular (B.E. Matindas: 2010, 111).Sebagian
besar karya-karya kontroversialnya, ia hasilkan pada saat-saat akhir hidupnya.
Salah satunya “Senjakala Berhala dan Anti Krist”yang merupakan puncak dari
kritikan Nietzsche terhadap kekristenan. Dalam buku tersebutdengan
terang-terangan ia menyerang secara brutal(beberapa bagian dalam buku ini beriskan
sumpah serapah) keyakinan iman Kristen.Akyar Y. Lubis mengatakan bahwa “Dalam
tulisan-tulisannya, Nietzsche seakan-akan menghabiskan semua kemampuannya untuk
menyerang kepercayaan suci agama Kristen.” (Akyar Y. Lubis: 2014, 10).Semenjak mengalami
gangguan kesehatan dan kejiwaan, hingga pada hari kematiannya, Nietzschedirawat
oleh Ibu dan Saudarinya yang justru merupakan pelayan Tuhan yang taat. Sungguh
suatu tindakan kasih yang sangat kontras dengan gaya hidup Nietzsche serta
karya-karya anti Kristennya.
“Tuhan
Sudah Mati!”: Kritikan Nietzsche Terhadap Kekristenan.
Pada bagian pengantar buku Nietzsche,
“Senjakala Berhala dan Anti Krist” (terj.), team penerbit merangkum semua
gagasannya dalam satu kalimat, “Nietzsche adalah anak Darwin dan saudaranya
Bismarck (Nietzsche [terj.]: 2016, iii). Ini merupakan suatu ringkasan yang
cukup tepat mengenai pokok pemikiran Nietzsche. Konsep “survival” Darwin,
menggambarkan prinsip dasar manusia untuk tetap bertahan dan adaptasi dengan
cara apapun. Dalam kehidupan demikian hukum alam dipraktekkan sebagai tatanan utama dari prinsip hidup—yang
terkuat, garang, brutal, tanpa aturan dan moralitaslah yang dapat dikatakan
sebagai “manusia normal”. Konsep demikian merupakan prinsip dasar filsafat manusia
menurut Nietzsche. Sementara Bismarck,
merupakan simbol dari suatu etika baru pasca kematian Tuhan dimana manusia baru
yang tanpa “tuhan” ini harus menjadi manusia super yang berkuasa, “Ubermensch”.
Secara singkat, dapat penulis
simpulkan bahwa latar belakang pemikiran Nietzsche bertolak dari kebebasan humanisme—individualistik yang sangat radikal.
Suatu ciri kebebasan manusia tanpa kekangan (kekang dalam bentuk apapun, baik
agama, hukum, tradisi, etika, dan moralitas yang mebatasi si manusia
berekspresi). Bagi Nietzsche, manusia harus menjadi “tuhan” bagi dirinya
sendiri, dan untuk mencapai hal tersebut si manusia tidak boleh bermental
budak, tidak boleh tunduk kepada Tuhan, ia harus menjadi manusia super yang kuat,
bebas, tangguh, dan garang. Nietzsche memiliki satu prinsip yang kuat, ia
mengatakan bahwa “keyakinan adalah penjara”. Pada titik ini terletak kritik
Nietzsche bagi sistemkepercayaan, ke-Tuhanan dan etika Kristen. Peradaban Eropa
yang berkembang dibawah tradisi dan etika Judeo-Kristen, dipandang oleh
Nietzsche sebagai suatu penghalang bagi terbentuknya manusia Ubermensch (manusia unggul/super). Bagi
Nietzsche, mereka yang hidup dengan teratur dalam tradisi, etika, dan agama
Kristen adalah manusia-manusia yang bermental budak karena mau diperbudak oleh
agama. Kekangan nilay-nilay kekristenan sudah terlalu lama menjadikan manusia
tidak berpotensi. Manusia modern tidak dapat mengekspesikan keinginan dan
kehendaknya karena terkekang oleh aturan-aturan agama, tradisi, dan etika Kristen
yang mengatur hidup mereka, sehingga mereka (yang beragama) cenderung untuk
bermental pesimistik, penuh belas kasih, pemaaf, pasrah dan berserah.
Konsep humanistik radikal tersebut
merupakan pendorong tindakan Nietzsche menyingkirkan semua hal di atas. Untuk
menyingkirkan semua itu, ia kemudian menganalisa konsep beragama dan merujuk
pada satu oknum yang merupakan kunci dari penyebab segala kelemahan manusia,
yaitu “Tuhan”. Dari titik tolak ini, Nietzsche kemudian mengembangkan filsafat
ateisnya dengan berusaha untuk meruntuhkan kosep ke-Tuhanan (Kristen) yang
telah menjadi prinsip hidup masyarakat Eropa pada saat itu. Dalam bukunya
“Demikianlah Sabda Zarathustra”, Nietzsche menggambarkan kisah tragis ini
dengan gambaran aforisme dengan menggunakan tokoh Zarathustra (Nabi revolusioner dari agama kuno Zoroasterisme)
sebagai gambaran revolusioner bagi para pembuhuh Tuhan. Kisah tersebut
menceritakan mengenai seorang gila yang berkeliling sambil membawa obor di siang
hari kemudian berteriak-teriak, “Dimana Tuhan?”. Orang-orang yang melihatnya
mengatai dia sebagai orang gila, namun ia benar-benar ingin mencari Tuhan. “Aku
mencari Tuhan dimana-mana tetapi aku sudah tidak menemuinya. Aku ingin
mengatakan kepada kalian bahwaTuhan sudah mati, Tuhan terus mati, dan kita
semua telah membunuhnya” (Akhyar Y.
Lubis: 2014, 11). Nietzsche terpaksa “membunuh” Tuhan agar dapat mejadikan dirinya
sebagai tuhan. Gejolak dan hasrat kehendak untuk bebas dan berkuasa memberikan
kosekwensi pada terjadinya “pembunuhan” terhadap Tuhan. Nietzsche sengaja
memilih sebagai seorang ateis radikal hanya demi mencapai cita-citanya,
mewujudkan manusia unggul tanpa Tuhan.
Dalam buku lainnya, “Senjakala Berhala
dan Anti Krist” Nietzsche juga banyak menyindir konsep beragama dalam konteks
sosiologis (baik secara khusus yang menyangkut kekristenan maupunagama-agama besar lainnya secara umum) yang
menyebabkan suatu agama terus berkembang, dilembagakan,mengikat, dan menjadi
keharusan bagi umat manusia untuk menghambakan diri pada lembaga-lembaga agama tersebut. Suatu
bentuk kritikan yang bukan hanya ditujukan kepada lembaga agama namun juga bagi
“kaum agamawan” yang bertindak sebagai menjadi mediator, sekaligus “penikmat”
persembahan yang diberikan. Dengan sumpah serapah, ia mengkritik agama dan
kelembagaannya yang telah menjadi semacam parasit dan “dusta suci” yang terus
berkembang sertamengikat, karenasaling membutuhkan antara Pendeta dan umatnya.
Suatu kritik yang sangat liar dan berani!
Nihilisme.
Usaha untuk “membunuh tuhan” (baik
dalam terminologi filsafat yang dapat dipahami sebagai semacam ideologi [suatu
bentuk keyakianan dasar], maupun dalam terminologi teologis—literal dan harfiah)bukanlah
hal yang mudah. Hal ini disadari betul oleh Nietzsche,karena efek samping dengan
“matinya tuhan” maka manusia akan menghadapi suatu bencana eksistensial—kekosongan! Kematian “Tuhan”
akan menyebabkan “logika raksasa kekagetan, penggelapan, dan gerhana
matahari”—kematian-Nya merupakan terbitnya nihilisme! (Frans M. Suseno: 2006, 76). Suatu keadaan dimana manusia baru
si pembunuh tuhan ini terpaksa harus memulai hidup barunya dengan “ketiadaan
makna” (Akhyar Y. Lubis: 2014, 10). Ketika “Tuhan sudah mati” maka segala
sesuatu diperbolehkan. Tidak ada lagi yang “baik dan jahat”, “benar dan salah”,
semuanya diperbolehkan, karena kita adalah tuhan dari diri sendiri! Konsep ini
dirangkum dengan baik oleh Lubis demikian, “Nihilisme merasa bahwa hanya ada satu
kebenaran untuk dinyatakan, yaitu
berlakunya ketiadaan mutlak dan dunia tanpa makna.
Nihilisme adalah hilangnya kepercayaan pada nilay agama,nilay-nilay moral yang diterima kelompok
masyarakat, dan hilangnya tujuan dan
makna hidup. Nihilisme juga berkaitan dengan pembalikan
semua nilay-nilay, dimana yang baik menjadi jahat dan yang jahat menjadi baik atau dalam pandangan seorang nihilis,
hidup ini adalah sesuatu yang sama
sekali tidak berhubungan dengan masalah
moral.” (Akhyar Y. Lubis: 2014, 13).
Di dalam konsep ini, tidak ada
pertimbangan moralitas dalam perilaku manusia, manusia sama dengan hewan, hidup
tanpa aturan, moralitas, tujuan, dan tanpa makna hidup. Segala sesuatu diperbolehkan,
segala sesuatu halal karena tidak ada Tuhan, Tuhan sudah mati. Inilah
manusia-manusia Ubermensch para
pembunuh Tuhan. Suatu manusia baru yang menentukan nilay-nilay etik, mengembangkan
potensi, mengumbar hasrat serta nafsunya tanpa harus dibenani dengan tekanan-tekanan
aturan
agama. Suatu manusia unggul yang tercipta di kemudian hari—humanisme individual yang radikal. Etika Nietzsche adalah konsep etika yang merupakan
anti tesis dari etika Kristen. Apa yang dilarang dalam konsep etika Kristen,
semuanya diperbolehkan dalam etika Nietzsche!
“Ajal si Pembunuh Tuhan!”:
Catatan Kritis Bagi Filsafat Nietzsche dan Refleksi bagi Iman
Kristen.
Setelah menganalisa buah pemikiran Nietzsche di atas maka pada bagian
akhir tulisan ini, penulis akan memberikan beberapa kritikan terhadap pemikiran
ateisme Nietzsche dari beberapa sudut pandang, serta relevansinya bagi
kekristenan modern.
1.
Teologis.
Dalam
konteks pemikiran teologis, kritik akan disajikan dalam beberapa bagian
penting, mulai dari kehidupan masa kecil, dan pemikiran ateismenya.
a. Kehidupan Nietzsche kecil.
Latar belakang kehidupan masa kecil
Nietzsche yang bertumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen, perlu untuk kembali
dipertanyakan penulis. Dipertanyakan dalam hal ini tentu saja menyangkut
“pemahaman iman” yang memadai, bukan dalam konteks kehidupan spiritualnya yang
terlihat “sempurna” pada masa kecil.Sebutan “Pendeta cilik” yang pernah
disandang Nietzsche menurut penulis hanya dihubungkan dengan “cara hidup”
Nietzsche kecil. Artinya gelar tersebut yang disandangkan kepada Nietzsche,
bukan dihasilkan oleh karena pertimbangan bahwa ia memang benar-benar memahami
secara memadai makna “iman yang kemudia dipraktekkan dalam tindakan”, namun
hanya karena sekedar menjalankan “tradisi saleh keluarga Kristen yang
diwariskan” sehingga gelar tersebut tidak dapat dipahami dalam arti yang
sebenarnya. Ada dua alasan yang dapat penulis ajukan. Pertama, kondisi
psikologis dan fisik Nietzsche kecil pada saat itu tidak akan memungkinkan
untuk dapat menegaskan bahwa Nietzsche memang benar-benar memahami akan makna
iman Kristennya. Kedua, perubahan yang signifikan pada masa mudanya (usia 18
tahun Nietszche menjadi ateis) memberikan konfirmasi bahwa memang kehidupan
masa kecilnyatidak dijalankan dengan pemahaman yang benar (selain factor
eksternal), karena hanya merupakan suatu aturan dan keharusan dalam kehidupan keluarganya.
Hal ini juga yang menyebabkan Nietzsche dalam tulisan-tulisannya sangat
mengutuk keras cara hidup kekristenan masa kecilnya yang teratur dan tertata.
Seolah-olah secara implisit iaingin menyatakan bahwa ia sangat membenci, dan
menolak semua cara hidup demikian.Dapat dipastikan bahwa mungkin saja masa
kecil Nietzsche terlihat cukup baik, namun di dalam hatinya telah terjadi
banyak penolakan.
Pada titik ini, ada pesan yang sangat kuat
mengenai anugerah dan pemilihan Tuhan. Suatu pesan bahwa bahkan di dalam
keluarga Kristen yang taat sekalipun, tidak memberikan jaminan bahwa seseorang
adalah orang pilihan dan akan diselamatkan.Juga tidak menjadi jaminan seseorang
akan bertumbuh menjadi anak Tuhan yang taat dan setia. Sebaliknya, ada
orang-orang tertentu di luar sana yang dilahirkan bukan dalam keluarga orang
percaya, namun pemilihan dan panggilan Tuhan akan efektif pada kairos-Nya! Maka
perteguhkanlah panggilan kita melalui kehidupan yang berdampak, berbuah, setia,
dan mempermuliakan Tuhan dengan pemahaman iman yang cukup, baik, dan benar (2
Pet. 1:10).
b. Benarkah “Tuhan sudah mati”?
Frasa “kematian Tuhan”
dalam konsep pemikiran filsafat Nietzsche memiliki banyak penafsiran. Beberapa penafsiran diantaranya menafsirkan
frasa ini sebagai kritik terhadap modernitas, kritik terhadap sains modern,
kritik terhadap rasionalitas, kritik terhadap seni dan moral. Ada pula yang
menafsirkan hal itu sebagai ramalan Nietzsche mengenai kondisi manusia Eropa di
abat ke XX yang tidak lagi percaya akan Tuhan. Banyaknya penafsiran terhadap frasa ini dikarenakan
tulisan-tulisan Nietzsche tidak dipaparkan secara sistematis dan jelas sehingga
terdapat kendala untuk memahami maksud dari frasa”kematian Tuhan” tersebut.Dari
beberapa penafsiran di atas terdapat salah satu yang paling populer, yaitu
penafsiran kematian Tuhan itu dipahami sebagai kematian tuhan yang diciptakan
manusia, bukan dalam pengertian yang literal (Akhyar Y. Lubis: 2014,11; lih. Juga,
Franz M. Suseno: 2006, 77). Meski demikian, jika dilihat dari konteks tulisan,
serta objek kritikan yang secara eksplisit ditujukan kepada iman Kristen, maka
tentu tidak dapat dipungkiri bahwa kritikan Nietzsche memang dominan diarahkan
kepada konsep iman dan keTuhanan
Kristen.
Bagi penulis ungkapan “God is death” oleh
Nietzsche, hanyalah merupakan suatu candaan yang sama sekali menyedihkan.Pada
prinsipnya, Nietzsche tidak pernah berhasil “membunuh” Tuhan dalam pengertian
hakikat dan eksistensi-Nya secara mutlak, yang Nietzsche lakuakn hanyalah
mencoba untuk “membunuh Tuhan” dalam dirinya. Artinya, ia berusaha untuk
menyingkirkan “sense of religion” dalam dirinya. Suatu perasaan moralitas dan religius yang ia
coba tolak. Argumentasi ateisme Nietzsche hanya sampai pada batasan ini, tidak
lebih.Pemikirannya lebih mirip dengan seorang Psikolog ateis (S. Freud
dikemudian hari mengembangkan pemikiran ini), yang berusaha untuk menghindarkan
diri dari perasaan religius, dengan berjuang untuk mendoktrin dirinya
menggunakan suatu doktrin baru, bahwa tidak ada Tuhan.Usaha-usaha demikian
adalah merupakan usaha bunuh diri.Para antropolog dan sosiologmengakui bahwa
manusia bukan hanya makhluk sosial, namun manusia juga merupakan makhluk religius
(lebih tepatnya makhluk penyembah).Sementara Alkitab menggambarkan hal ini
sebagai “Gambar dan rupa Allah” dalam diri manusia (Kej. 1:26-27). Maka berusaha
untuk menyingkirkan Tuhan dalam diri manusia merupakan suatu penyangkalan
terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Dari hal ini terlihat jelas bahwa
meskipun Nietzsche berhasil “membunuh Tuhan” dalam pemikiran dan hidupnya,
namun ia terpaksa “menciptakan tuhan” baru yang lainnya.Ubermenschadalah tuhan idaman Nietzsche yang ia ciptakan, ia sembah
dan idam-idamkan. Nietzsche sebenarnya bukan berusaha untuk membunuh Tuhan
Kristen, akan tetapi ia lebih berselera untuk mencipta dan menyembah tuhan lain
yang cocok dengan seleranya—tuhan yang garang, ganas, bebas, dan tanpa
moralitas (Bdk. Rm. 1:18-25). Maka sebenarnya Tuhan tidak penah mati, dan
Nietzsche tidak pernah membunuh Tuhan, bahkan dalam hati dan hidupnya! Tuhan
tetap berada di sana, di dalam hatinya, Nietzsche hanya mencoba untuk
mengarahkan padangannya kepada ilah lain.Akan tetapi sekali lagi, Tuhan masih
ada di sana, hanya terhalang oleh keangkuhan dan kebebalan hati Nietzsche
(Harry Hameresma:2014, 13).
c.
Nihilisme, dan Etika Rock n’ Roll ala Nietzsche.
Seperti yang telah disampaikan di atas
bahwa nihilisme merupakan suatu keadaan hilangnya makna dan pedoman hidup
manusia pasca “matinya tuhan”.Di saat demikian Nietzsche mencoba untuk mengisi
kekosongan tersebut dengan suatu etika serta pedoman hidup baru, seraya
berharap dapat menjadi world view manusia pasca kematian tuhan.
Sayangnya worldview baru yang diharapkan
dapat menjadi “pencerahan” bagi perkembangan dan kemajuan manusia modern,
justru mendatangkan bencana. Bagaimana tidak, dalam etika baru yang diusung
Nietzsche, ia mengajak manusia modern untuk tidak tunduk pada Tuhan, hukum,
etika, serta norma-norma masyarakat. Nietzsche mengajak manusia modern untuk
bebes mengekspresikan potensinya tanpa batas dan tanpa dibatasi. Tidak ada nilay
moral, etika serta hukum yang mutlak. Tidak ada yang baik dan buruk, benar dan
salah, semua nilay bergantung pada diri sendiri. Kitalah yang menjadi tuhannya. Etika
rock n’roll ala Nietzsche ini di kemudian hari menginspirasi Hitler untuk
melaksanakan aksi-aksi mengerikannya.
Usaha Nietzsche tentu merupakan usaha yang
bertepuk sebelah tangan. Manusia primitif yang paling bar-bar sekalipun masih
memiliki norma, aturan, dan moralitas (meskipun masih sangat terbatas). Hal-hal
tersebut tercermin dari aturan-aturan kelompok serta ritual-ritual yang
diparktikkan. Apalagi jika dipaksakan pada komunitas masyarakat modern yang
telah melek HAM dan sains, hal tersebut hanya akan dipandang sebagai suatu
lelucon semata.Kant mengatakan bahwa dua hal yang mempesona dirinya, cakrawala
di atas dan hukum moral di dalam hati.Moralitas serta hati nurani merupakan
salah satu ciri mendasar dari umat manusia yang membedakan kita dengan hewan,
sekaligus tidak dapat disingkirkan. Manusia tanpa moralitas tidak pantas disebut sebagai
manusia.
2.
Sosiologis.
Kritik Nietzsche dari perspektif sosiologis merupakan
suatu pukulan telak bagi kekristenan modern.
Bukan hanya bagi lembaga
dan denominasi gereja namun juga secara khusus bagi para hamba Tuhan. Dalam
kritikannya, Nietzsche menghantam kecongkakan lembaga-lembaga agama dan
denominas-denominasi gereja yang “seolah-olah” mengikat umatnya demi kepuasan,
kerakusan, dan keegoisan para Pendeta. Sebelum masuk secara internal dalam
konteks gereja Tuhan, maka baiknya penulis mengkritik pemahaman Nietzsce
terlebih dahulu.
Pemikiran demikian tentu saja bertolak dari
presuposisi humanisme—Individulistik radikal Nietzsche,suatu presuposisi yang
anti Tuhan. Dasar pemikiran ini yang kemudian secara membabi buta menuntun
Nietzsche untuk mencari segala macam cara dan celah untuk menjatuhkan konsep ke-Tuhanan
Kristen, termasuk menggunakan hal-hal yang terkesan negatif dalam komunitas
gereja. Kekeliruan pertama yang dibuat Nietzsche adalahIa menyerang secara
tidak proporsional atau dalam bahasa logikanya ad hominem. Suatu serangan yang bukan
ditujukan kepada konsep ke-Tuhanan Kristen sebagai lawan dan konteks bahasan dari
pemikiran ateismenya, namun justru secara asal menyerang pada kelembagaan gereja
Tuhan. Dua tema argumentatif yang tentu saja berbeda topik. Jika saya tidak
setuju dengan pandangan Anda mengenai ke-Tuhanan, maka saya akan menyerang
konsep ke-Tuhanan itu, bukan malahan menyerang cara Anda berpakaian, cara Anda
berbicara, cara Anda berjalan. Tentu saja hal itu “gak nyambung”. Namun lnilah
yang dilakukan Nietzsche ketika mengkritik konsep ke-Tuhanan Kristen.Suatu
kritik yang salah sasaran dan tidak berbobot.Dari kritikan tersebut pulalah
kita akhirnya memahami bahwa cara pandang Nietzsche tidak bertolak dari seorang
“pendeta cilik” atau Teolog, namun lebih menjurus pada kritikan seorang
sosiolog agama. Dalam posisi demikian, pandangan Nietzsche mengenai ke-Tuhanan
dan gereja Kristen terlihat sangat tidak memadai.
Kekeliruan
kedua adalah, kritik terhadap lembaga gereja ini lahir dari dua hal.Pertama,
kebencian Nietzshe terhadap Tuhan, dan kedua, kehendak untuk berkuasa—konsep manusia Ubermensch yang menolak segala macam pengekangan bagi manusia (dalam
hal ini tentu berhubungan dengan pelayanan gerejawi). Presuposisi ini
mengarahakan Nietzshe untuk berusaha menjatuhkan gereja dan kelembagaannya,
yang mana ia tuduh sebagai penyebar “dusta suci” dan rakus. Tentu jika maksud
Nietzshe adalah sebagai kritikan yang objektif, maka ia seharusnya memberikan
suatu perbandingan serta pandangan yang objektif pula, bukan menyodorkan suatu
kamuflase dengan asumsi-asumsi subjektif (perlu dipertegas bahwa penilayan
Nietszche hanya bertolak dari sebagian kecil realitas pelayanan gerejawi yang
ia simpulkan secara subjektif. Ia tidak pernah menerbitkan bukti-bukti serta data-data survey
yang valid!) yang memojokkan pelayanan kelembagaan Kristen dengan agenda
terselubung menjatuhkan gereja Tuhan. Harapan apa yang terdapat di balik agenda
besar ini? Tentu saja harapan akhir dari “dusta suci” ia harapkan adalah semoga
suatu saat public akan mengikuti “nubuat-nubuat” liarnya.
Harus
dimengerti bahwa kritikan Nietzsche datang dari presuposisi butanya serta
kegagalan dalam memahami tujuan Tuhan serta kelembagaan dan pelayanan gerejawi. Seperti
yang telah penulis sampaikan di atas bahwa logika berpikir Nietzsche lebih
mirip seorang sosiolog agama dari pada seorang teolog, maka respon kekristenan
seharusnya tidak perlu terlalu berlebihan. Namun ada beberapa catatan yang
menurut penulis memiliki nilaykritis reflelektif yang perlu diperhatikan gereja
modern. Kritikan Nietzsche terhadapa kelembagaan gereja menjadi peringatan
serius bagi denominasi-denominasi gereja yang doyan memperlebar “kerajaannya” dibanding
mengutamakan kerajaan Tuhan. Senggol-menyenggol antara denominasi gereja
akhir-akhir ini sudah menjadi pemandangan yang menyedihkan di dalam
gereja-gereja Reformasi, terutama kalangan Pentakosta dan Kharismatik. Kebanggaan
terhadap denominasi gereja ini menjadikan dinding pemisah antara satu gereja
dengan gereja lain semakin lebar dan tinggi. Suatu peringatan dan pertanyaan
serius bagi para pemimpin gereja bahwa “kerajaan siapakah yang sedang Saudara
bangun?”
Catatan
kedua secara khusus kritikan Nietzsche diarahkan kepada para Pendeta secara
general yang menurutnya “rakus” akan persembahan. Meskipun tuduhan ini merupakan
asumsi subjektif, namun harus diakui bahwa perkembangan gereja modern hari-hari
ini telah memberikan ciri yang menyedihkan mengenai gejala ini. Salah satu
gejalanya tercermin dari konsep teologi kemakmuran (beberapa permasalahan lainnya
yang menyangkut penyelewengan keuangan gereja dan perebutan aset gereja). Suatu
penipuan yang berkedok pelayanan mimbar dengan memperkosa kebenaran Firman
Tuhan untuk merauk keuntungan dari jemaat. Suatu kejahatan yang sangat serius! Jika
di dalam gereja Tuhan yang seharusnya kudus dan bersih dari kejahatan telah berubah
menjadi sarang penyamun, maka definisi kejahatan seperti apa yang pantas
disandangkan bagi para “hamba Tuhan” demikian? Kritikan Nietzsche ini
seharusnya membuka mata bagi kita yang mengaku sebagai “Iman dan Lewi”, agar memperhatikan
motivasi dan pengajaran yang murni, dan bukan membungkus pengajaran dengan
kepalsuan untuk meraup untung. Cepatlah memperbaharui diri dan jangan sampai
Tuhan mengusir kita, bagaikan Ia mengusir para penyamun di bait Allah dengan
menggunakan cambuk.
Epilog.
Dari
penjabaran di atas, kita akhirnya memiliki sedikit informasi mengenai latar
belakang kehidupan serta world view Nietzsche. Ternyata apa yang selama ini
kita anggap sangat radikal dan mengerikan mengenai asumsi-asumsi dan
argumentasi Nietzsche, sesungguhnya tidak begitu mengerikan.Nietzsche bahkan
terlihat sebagai seorang remaja yang kehilangan pegangan dan sandaran hidup,
karena berusaha untuk hidup tanpa arah dan tujuan hidup.Bertrand Russell seorang
filsuf ateis asal Inggris pernah mengatakan bahwa jika tidak ada Tuhan maka
tujuan hidup tidaklah penting.Ya, kehidupan demikianlah yang dijalankan oleh Nietzsche
dan para ateis lainnya.Suatu kehidupan yang suram tanpa tujuan dan makna hidup.Jika
tidak ada tujuan dan makna hidup, lalu untuk apa kita hidup di dunia ini? (1
Kor. 15:31) Jika sampah kertas bungkusan nasi yang Saudara buang ke tong sampah
memiliki suatu tujuan yang dirancang oleh para produsen kertas nasi, masakan
manusia yang adalah si perancang kertas nasi itu sendiri (yang adalah dicipta
dan dirancang oleh Tuhan)tidak memiliki tujuan dan makna hidup? Jika demikian
maka bukankah lebih mulia kertas bungkusan nasi itu dibandingkan dengan para
ateis yang tidak memiliki tujuan dan makna hidup?
Seseorang
menjadi ateis dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menjadi seorang ateis
juga tidak selalu berasal dari keluarga yang ateis pula. Bahkan mereka yang beragama
pun terkadang masih berpikir dan berperilaku seperti orang ateis—tidak pernah
berdoa, berharap pada harta, mencari pertolongan pada manusia, dll. Ini
merupakan contoh-contoh sederhana dari perlaku para ateis praktis.Bagi
orang-orang Kristen demikian, Tuhan memperingatkan agar jangan suam-suam kuku,
jika tidak ingin dimuntahkan (Why. 3:16).
Semoga
tulisan singkat ini dapat menjadi pengantar apologetic, kritikan positif bagi
iman Kristen Saudara, serta dapat membuka wawasan pembaca terhadap pemikiran
ateisme Nietzsche. Soli Deo Gloria!
__________
Akyar
Yusuf Lubis, Teori dan Metodologi: Ilmu Pengetahuan Budaya Kontemporer” (Depok:
RajaGrafindo Persada, 2014).
B.E.
Matindas, “Meruntuhkan Ateisme Modern” (Yogyakarta: Andi, 2010).
Frans
Magnis Suseno, “Menalar Tuhan” (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Friedrich
Wilhelm Nietzsche,
“Senjakala Berhala dan Anti Krist”. Pen.Hartono hadikusuma. (Yogyakarta:
Narasi, 2016).
Harry
Hamersa, “Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat” (Yogyakarta: Kanisius, 2014)
K.
Bertens, “Ringkas Sejarah Filsafat”, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).
R.C
Sproul, “Defending Your Faith”.Pen. Rahmiati Tanudjadja (Malang: Literatur
SAAT, 2011).