Rabu, 30 September 2015

BOOK REVIEW : “ISU-ISU GLOBAL: MENANTANG KEPEMIMPINAN KRISTEN”


ISU-ISU GLOBAL: MENANTANG KEPEMIMPINAN KRISTEN”
John. RW. Stott



Oleh: Yosep Belay. 

      
     John RW. Stott (1921-2011) dapat dikatakan sebagai salah satu pengkhotbah, penginjil, dan penulis Injili yang paling produktif abat ini. Ia telah mewariskan karya-karya yang berbobot bagi gereja hingga diakhir hidupnya. Kredibilitasnya sebagai penulis dan hamba Tuhan tidak perlu dipertanyakan lagi, hal tersebut terlihat dalam setiap pembahasan didalam setiap tulisannya dengan argumentasi yang luas, tajam serta alkitabih. Buku ISU-ISU GLOBAL: MENANTANG KEPEMIMPINAN KRISTEN” merupakan salah satu karyanya yang sekaligus merupakan bentuk kritikan tajam terhadap Umat Kristen modern yang terkesan eksklusif dan menutup mata terhadap isu-isu kontemporer. Buku yang diterbitkan  oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih  (versi bahasa Indonesia) ini berisikan tujuh belas isu penting, dimana masing-masing isu merupakan permasalahan sosial yang dibenturkan dengan tanggung jawab Orang percaya untuk membuka mata terhadap realitas permasalahan-permasalahan tersebut. Apa sajakah isu-isu penting yang dibahas dalam buku ini?, berikut garis besar pemaparannya.

          Bab I, Penulis memulai dengan pertanyaan yang fundamental mengenai dasar Alkitab yang mendasari partisipasi Orang Kristen untuk ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan social.  Hal menarik dari bab ini adalah respon orang Kristen terhadap permasalahan social. Penulis mengatakan “Pada akhirnya hanya ada dua pilihan bagi orang Kristen dalam menentukan sikapnya terhadap dunia. Pertama, pelarian dan yang kedua komitmen, keikutsertaan”. Menyadari kelemahan ini, Penulis kemudian mencoba untuk merombak paradigma menyimpang kalangan “orang Kristen pelarian”, dengan jalan menggali sumber biblical[1] mengenai kewajiban dan tuntutan yang seharusnya dijalani sebagaimana dan seharusnya menjadi seorang Kristen. Bab ini kemudian ditutup dengan satu kalimat menarik, dengan mengutip kata “misa” dalam tata ibadah Roma-Katolik yang secara harfiah berarti: “silahkan keluar”—keluar ke dalam dunia dimana Kristus diutus dan mengutus kita untuk hidup, mengasihi, bersaksi, melayani, menderita, dan mati bagi Kristus.

      Bab II, berisi penjabaran mengenai perdebatan popular dimana penekanannya terletak pada “Apa jaminan pendapat kita yang benar?”. Pertanyaan tersebut kemudian diarahkan kepada konsep “Akal budi Kristiani”, dimana setiap permasalahan harus dibahas berdasarkan pola pikir Kristen yang terukur dan berlandaskan Firman Tuhan. Dengan kata lain, Penulis ingin mengajak para pembaca untuk memiliki dan memulai kajian mereka terhadap setiap isu yang ada dengan presuposisi yang alkitabiah. Tanpa presuposisi demikian maka setiap aksi social Orang Kristen akan berakhir pada aksi-aksi social yang sarat muatan humanisme. 

Bab III, mengambil tema pembahasan mengenai pluralisme[2]. Pluralisme yang Penulis maksudkan bukanlah merupakan semacam persaingan ideology-ideoogy agama dan sekularisme, namun lebih cendrung kepada sikap dan “metode” yang, baik secara sadar maupun tidak, berkembang dan digunakan oleh orang Kristen dalam konteks  kekristenan Amerika dan Eropa. Menurut Penulis, tiga sikap yang umum muncul dalam komunitas Kristen dalam menanggapai pluralisme adalah sikap “Mamaksakan, Laissez-faire (masa bodoh), dan Persuasi”. Dalam hal ini, penulis mengajukan argumentasi-argumentasi dalam menanggulangi pluralism dengan mengambil sikap persuasi. Hal yang menarik dalam bab ini, adalah pandangan Stott mengenai dunia politik, dimana ia perpendapat bahwa politik dapat menjadi salah satu sarana dimana sifat kasih dan keadilan kristiani dapat disalurkan bagi masyarakat kalangan bawah[3]

Bab IV, pembahasan masih menyangkut pertanyaan reflektif mengenai peran Orang Kristen. Dalam bab ini, penulis mengangkat isu mengenai “Apakah kita mempunyai pengaruh?”. Istilah kunci yang diangkat penulis adalah Alienasi, suatu sikap hopeless terhadap situasi ekonomi politik yang akhirnya berdampak pada prinsip hidup Orang Kristen yang juga “impoten”. Penulis kemudian mengeksegesis makna “terang dan garam”, dampak doa dan penginjilan, kesaksian dan protes, serta dikomparasikan dengan catatan sejarah etika dan moral Kristen yang berdampak universal, untuk kembali mendobrak sikap alienasi Orang Kristen modern. Penulis menutup bab ini dengan memberikan beberapa contoh motivasi mengenai kelompok-kelompok Kristen kecil yang dipakai Allah dengan luar biasa. 

          Bab V, pembahasan diarahkan kepada isu kontemporer. Dan isu pertama yang diangkat adalah ancaman nuklir[4]. Sub bab ini dibagi menjadi lima tema utama, yaitu, Realitas kontemporer, menjabarkan mengenai fakta-fakta adanya persaingan industry nuklir, pererangan, dan dampaknya yang menegrikan. Refleksi dan moral,  merupakan tanggapan dan sikap dari Orang Kristen. Pasifisme total, kompromisasi, dan pasifisme relative, merupakan tiga sikap yang umumnya muncul dalam kalangan Kristen.   Pertanyaan kualifikasi, menyangkut klarivikasi dan kritikan tajam  mengenai kekeliruan makna perang secara umum dalam membabi buta. Dalam penjabaran ini penulis mengangkat konsep Alkitab, maupun kebijakan politik dari para pemimpin negara-negara adikuasa dalam menentukan “rumusan” terbatas dalam suatu perang.  Dan yang terakhir Stott menutup dengan sub tema Membawa damai secara Kristiani. Bagian penutup ini memuat sejumlah saran praktis yang perlu dilakukan Orang Kristen, dimana sebagai anak-anak Allah seharusnya hadir dan aktif menjadi  pembawa damai.

          Bab VI, isu berikunya mengenai Lingkungan hidup manusia. Mengangkat tema ini, penulis mencoba melihat fenomena pertumbuhan penduduk serta dampak kerusakan lingkungan dan kemudian mengkontraskannya dengan satu pertanyaan fundamental, “punya siapakah bumi ini?”. Penulis kemudian melanjutkan dengan dasar biblika dari Mzm. 115:16; 24:1 yang menjadi kunci, dan penggerak atas sikap Orang Kristen terhadap permasalahan lingkungan hidup manusia. 

Bab VII, penulis membahas tentang “Ketimpangan Ekonomi Utara-Selatan”. Ketimpangan yang dimaksud oleh Penulis adalah merupakan bentuk kritikan terhadap persaingan ekonomi dan sikap “nasionalisme buta” negara-negara maju kepada negara-negara dunia ketiga yang mengakibatkan makin terpuruknya perekonomian. Penulis mengusulkan jalan keluar dengan prinsip “keutuhan” alam dalam pandangan Alkitab, dimana bumi dipandang sebagai milik pusaka Allah yang dimandatkan kepada manusia secara universal (tanpa batasan kuasa suatu Negara, karena pada mulanya demikian) untuk kemudian dipergunakan bagi kepentingan bersama, tanpa ada penekanan sikap nasionalsme yang membabi buta.

Bab VIII, mengangkat pembahasan mengenai hak asasi manusia. Dalam bab ini penulis memaparkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang dikutib dari beberapa sumber, dan kemudian mencoba merekonstruksi ulang setiap pelanggaran dan kepicikan sudut pandang terhadap manusia, dengan kembali berkaca pada nilay-nilay teologi dan antroplogi yang murni.

Bab IX menyoroti masalah kerja dan pengangguran. Seperti bab-bab sebelumnya, bagian pertama, Penulis menjabarkan secara umum pandangan masyarakat sekuler mengenai permasalahan kerja dan penggangguran, kemudian pada bagian akhir Penulis mengkritisi pemahaman dan budaya yang keliru (dalam konteks Orang Kristen Inggris) dalam memandang kerja dan pengangguran dan ditutup dengan argumentasi Alkitab mengenai tema tersebut. 

Bab X masih berpusat pada dunia kerja. Dalam bab ini Penulis mengangkat tema Hubungan-hubungan industrial. Tujuan utama dalam bab ini adalah menciptakan semacam etika kerja yang berdasar pada Iman Kristen. Penulis mengangkat contoh-contoh hubungan kerja dalam Perjanjian Baru, seperti prinsip saling melayani dan mendahulukan, serta pemimpin harus menjadi pelayan, dengan harapan agar terciptanya suatu pemahaman yang beretika Kristen serta holistic dalam hubungannya dengan dunia industrial.

Bab XI penulis berpindah pada isu yang lebih sensitive di daratan eropa dan amerika, yaitu suatu harapan tentang masyarakat yang multi rasial. Penulis kemudian mengangkat conto kasus pada Negara-negara adikuasa seperti Amerika, Jerman, dan Ingris, dimana perbudakan serta isu rasial sangatlah tinggi. Isu yang seolah-olah menjadi warisan nenek moyang ini, dikritik oleh Stott, dengan kembali mengangkat dasar Biblikal yang kontras dengan prilaku rasis. Dengan tegas Penulis mengatakan “Hanya teologi sejati, yakni penyataan Allah dalam Alkitab yang dapat melepaskan kita dari keangkuhan dan prasangka rasial”.

Bab XII,  berbicara mengenai isu lain yaitu Kemiskinan, Kekayaan, dan Hidup sederhana. Bagian pembuka dalam tema ini, Penulis memaparkan fakta-fakta serta hasil survey yang tragis mengenai kemiskinan.  Dan salah satunya adalah fakta tentang kemiskinan yang memprihatinkan di India, dimana lebih dari ¼ juta penduduk hidup menggelandang dijalanan. Paradox mengenai kemiskinan juga diangkat oeh penulis, dimana kemiskinan disoroti dalam tiga kategori, yaitu miskin secara materi (tinjauan ekonomi), miskin akibat penindasan (tinjauan social politik), dan orang miskin yang rendah hati (tinjauan spiritual). Penulis juga memaparkan tiga pilihan yang umumnya disikapi oleh Orang Kristen yang kaya, dan pada bagian akhir, Penulis kembali mengangkat tema Biblikal dengan mengkontraskan Pribadi serta sikap Tuhan Yesus dan Gereja purba dalam memandang dan mengelola kekayaan. 

Bab XIII, membahas mengenai kritikan Penulis terhadap isu derajat pria dan wanita. Bab yang mengambil judul Wanita, Pria, dan Allah ini berisikan analisa Penulis mengenai latar belakang budaya dan perkembangannya sehingga melahirkan pergeakan feminism. Beberapa kritikan tajam juga dialamatkan kepada budaya yahudi dimana sikap perendahan yang tidak patut tercermin dalam bentuk doa mereka pada Talmud. Kritikan juga dialamatkan kepada salah satu Bapa Gereja yang tersohor, Tertullian dalam salah satu tulisannya, yang dinilay Penulis kurang pantas bagi seorang Kristen. Kesamaan derajat yang ditegaskan Alktab, menurut penulis, seharusnya dipahami dan diterapkan secara konsisten oleh Orang Kristen.

Bab XIV penulis kembali mengangkat permasalahan klasic mengenai Perkawinan dan Perceraian. Pendahuluan bab ini, Penulis mengkaji data statistic mengenai jumlah perceraian yang terus meningkat tajam. Isu-isu penting yang menjadi pendorong seperti, masalah ekonomi, tekanan hidup, emansipasi wanita, sekularisme, hingga legalnya perundangan mengakibatkan perceraian menjadi hal yang lumrah. Disisi lain, menurut penulis, hal mendasar lainya yang ikut menjadi penggerak perceraian adalah tergerusnya makna perkawinan dalam konsep Kristen. Penulis juga menyoroti perdebatan mengenai alasan perceraian dari sudut pandang Alkitab, Sejarah, Budaya, dan juga menyajikan saran-saran praktis bagi pelayanan pastoral dalam rangka mempersempit ruang gerak perceraian.

Bab XV mengenai Masalah Aborsi. Penulismemulai pembahasannya dengan mencoba mendokumentasikan data statistic, dimana angka aborsi sangat mencengangkan. baik  aborsi yang legal maupu illegal diseluruh dunia pada tahun 1968, diperkirakan antara 30 sampai 35 juta kasus. Mengkritisi hasil yang memprihatinkan ini, Penulis mengatakan “Aborsi orang modern sekarang malahan lebih jahat lagi dari aborsi orang Romawi dulu, karena dikomersilkan”. Dosa aborsi menurut penulis, bukan hanya berkaitan dengan perampasan hak hidup manusia, namun juga menyangkut perampasan hak prerogative Allah sebagai pemberi dan penentu kehidupan. Mengatasi isu ini, Penulis mengeksegesis Mzm. 139 sebagai pedoman bagi Orang Kristen, agar bukan hanya mencegah, namun juga aktif menyuarakan penolakan terhadap aborsi.

Bab XVI, pembahasan isu terakhir menyangkut Pasangan Hidup Homoseksual. Dalam menyoroti hal ini, penulis tidak memulai dengan perdebatan yang bertele-tele, tetapi lebih kepada pemahaman mendasar dari nilay-nilay Kristen serta saran-saran praktis mengenai penanggulangan kalangan homo. Penulis mengatakan “pada jantun kehidupan homoseksual tersembunyi rasa kesepian, kelaparan manusiawi yang alami akan cinta kasih, suatu pencarian identitas, dan kerinduan akan kelengkapan”. Penulis melanjutkan bahwa orang-orang tersebut “membutuhkan setidak-tidaknya satu orang kepada siapa mereka dapat mencurahkan isi hati mereka, yang tidak akan anggap rendah mereka atau menolak mereka, melainkan yang bersedia mendukung mereka dengan persahabatan dan doa”.

Bab XVII, merupakan bab penutup yang mengajak dan memotivasi para penggerak Kristen untuk terjun ke lapangan. Penulis menutup bab ini dengan merekonstruksi ulang mengenai gambaran ideal sebagai pemimpin Kristen. Menurut penulis, pemimpin Kristen seharusnya memiliki lima unsure utama, dan saling berkaitan; visi yang jelas, kerja keras, ketekunan yang penuh ketabahan, pelayanan dengan rendah hati, dan disiplin baja. Tanpa hal-hal tersebut, maka kepemimpinan Kristen bagaikan kapal yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Kesimpulan.

1.   Kritikan bagi gereja modern. Telah dijabarkan diatas bahwa terdapat segudang permasalahan dan pergumulan social yang menantang kepekaan Umat kristiani. Panggilan umat Kristen sebagai Garam dan Terang dunia seharusnya digelisahkan oleh isu-isu tersebut dan tidak ada alasan untuk “lari dari kenyataan”. Sudah saatnya gereja modern keluar dari kenyamanan dan sifat eksklusif untuk terjun ke ladang pelayanan yang lebih luas, tanpa dibatasi oleh “tembok-tembok” Gereja dan kepentingan-kepentingan gologan tertentu. 
2.   kekurangan buku—Tema  yang tidak relevan. Meskipun ada beberapa tema permasalahan (Nuklir, Homoseksual, Perbudakan-Rasial) yang tidak relevan dengan konteks di Indonesia, namun melalui informasi-informasi tersebut, pembaca dapat memperoleh pedoman serta contoh kasus dan tuntunan praktis untuk turut berperan aktif dalam konteks yang lebih luas, walaupun mungkin terbatas.
3.   Kelebihan buku—ciri khas orientasi Injili yang sangat kuat. Hal yang menarik dari karya Stott ini, adalah penekanannya terhadap peran Alkitab. Setiap isu yang Ia bahas selalu diselesaikan dengan terang Firman Tuhan. Dan salah satu keunggulan Stott adalah ketajaman analisanya. Sebagai contoh, Ia menganalisa isu-isu tersebut dengan mengambil satu kesimpulan bahwa, (selain beberapa penyebab) penyebab utama dari semuanya itu adalah lunturnya nilay-nilay Kristen dalam masyarakat barat. Dengan latar belakang ini jugalah Stott kemudian kembali berusaha untuk memperbaiki “kerusakan itu, dengan slogan lama “back to the Bible”. Suatu konsep alkitabiah yang radikal dan mengagumkan!.
          Sebagai penutup, Penulis merekomendasikan buku ini kepada Orang percaya yang rindu bergumul mengenai isu-isu kontemporer, juga kepada para pemimpin jemaat, aktivis, dan para mahasiswa teologi. Semoga melalui buku ini, kita sebagai umat Tuhan akan semakin menyadari makna penting sebagai garam dan terang dunia. Sola Deo gloria!.


[1] Stott menganalisa lima sumber doktrinal  mendasar dalam teologi Kristen (Allah, Manusia, Kristus, Keselamatan, dan Gereja) dan menyajikan dasar pijakan baru dari sudut pandang teologis-sosiologis kepada orang Kristen dalam hubungan dan peran aktifnya ditengah masyarakat luas.
[2] Satu perbedaan mendasar antara Kekristenan Indonesia dan Amerika—Eropa adalah di Indonesia, pluralism telah ada jauh sebelum kekristenan hadir sedangkan Amerika—Eropa, pluralime baru hadir setelah akhir perang dunia ke-2 . Dengan demikian, perbedaan-perbedaan budaya, etika, dan filfasat hidup perlu dipertimbangkan dalam menentukan metode serta pendekatan yang tepat dalam konteks hubungan social di Indonesia.
[3] Pertanyaan fundamental dalam mengkritisi hal ini adalah dijaman yang korup ini apakah masih ada politikus yang benar-benar memegang teguh nilay-nilay Kristiani?. Kita dapat mengasumsikan bahwa memang masih ada, namun bagaimana dengan kondisi dunia politik didalam suatu Negara yang berbasis keyakinan non-Kristen?.
Kritikan berikutnya adalah asumsi Stott bahwa kemungkinan besar para Rasul akan berpolitik jika ada kesempatan (hal.74), adalah asumsi yang jauh dari fakta Alkitab. Sebagai contoh, status kewarga-negaraan serta potensi besar (bdk. hubugan dekatnya dengan para pembesar dan gubernur saat itu) yang dimiliki Rasul Paulus tidak pernah digunakannya untuk berpolitik, sebaliknya ia anggap sebagai “sampah”. Dengan kata lain ia (dan para Rasul lainnya) memisahkan secara tegas antara karier politik dan panggilan kerasulan. Namun bukan berarti penulis menolak keterlibatan Orang Kristen dalam dunia politik, tetapi akan lebih baik jika yang berkarir dalam dunia politik adalah Orang Kristen tertentu yang memang Tuhan telah tetapkan untuk menekuni bidang tersebut.      

[4] Meskipun dalam konteks Indonesia topic tersebut tidaklah relevan, namun dampak dari persaingan dan peperangan nuklir dunia juga memiliki dampak hingga di Indonesia, dengan demikian maka peran aktif Orang Percaya juga perlu ditingkatkan walaupun dalam usaha-usaha yang masih terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar