“ISU-ISU GLOBAL: MENANTANG KEPEMIMPINAN KRISTEN”
John. RW. Stott
Oleh: Yosep Belay.
John
RW. Stott (1921-2011) dapat dikatakan sebagai salah satu pengkhotbah,
penginjil, dan penulis Injili yang paling produktif abat ini. Ia telah
mewariskan karya-karya yang berbobot bagi gereja hingga diakhir hidupnya. Kredibilitasnya
sebagai penulis dan hamba Tuhan tidak perlu dipertanyakan lagi, hal tersebut
terlihat dalam setiap pembahasan didalam setiap tulisannya dengan argumentasi
yang luas, tajam serta alkitabih. Buku “ISU-ISU GLOBAL: MENANTANG KEPEMIMPINAN KRISTEN” merupakan salah satu karyanya yang sekaligus merupakan
bentuk kritikan tajam terhadap Umat Kristen modern yang terkesan eksklusif dan
menutup mata terhadap isu-isu kontemporer. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan
Komunikasi Bina Kasih (versi bahasa
Indonesia) ini berisikan tujuh belas isu penting, dimana masing-masing isu
merupakan permasalahan sosial yang dibenturkan dengan tanggung jawab Orang
percaya untuk membuka mata terhadap realitas permasalahan-permasalahan tersebut.
Apa sajakah isu-isu penting yang dibahas dalam buku ini?, berikut garis besar pemaparannya.
Bab I,
Penulis memulai dengan pertanyaan yang fundamental mengenai dasar Alkitab yang
mendasari partisipasi Orang Kristen untuk ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan
social. Hal menarik dari bab ini adalah
respon orang Kristen terhadap permasalahan social. Penulis mengatakan “Pada
akhirnya hanya ada dua pilihan bagi orang Kristen dalam menentukan sikapnya
terhadap dunia. Pertama, pelarian dan
yang kedua komitmen, keikutsertaan”. Menyadari
kelemahan ini, Penulis kemudian mencoba untuk merombak paradigma menyimpang kalangan
“orang Kristen pelarian”, dengan jalan menggali sumber biblical mengenai
kewajiban dan tuntutan yang seharusnya dijalani sebagaimana dan seharusnya menjadi
seorang Kristen. Bab ini kemudian ditutup dengan satu kalimat menarik, dengan mengutip
kata “misa” dalam tata ibadah
Roma-Katolik yang secara harfiah berarti: “silahkan
keluar”—keluar ke dalam dunia dimana Kristus diutus dan mengutus kita untuk
hidup, mengasihi, bersaksi, melayani, menderita, dan mati bagi Kristus.
Bab II,
berisi penjabaran mengenai perdebatan popular dimana penekanannya terletak pada
“Apa jaminan pendapat kita yang benar?”.
Pertanyaan tersebut kemudian diarahkan kepada konsep “Akal budi Kristiani”,
dimana setiap permasalahan harus dibahas berdasarkan pola pikir Kristen yang
terukur dan berlandaskan Firman Tuhan. Dengan kata lain, Penulis ingin mengajak
para pembaca untuk memiliki dan memulai kajian mereka terhadap setiap isu yang
ada dengan presuposisi yang alkitabiah. Tanpa presuposisi demikian maka setiap
aksi social Orang Kristen akan berakhir pada aksi-aksi social yang sarat muatan
humanisme.
Bab III, mengambil tema
pembahasan mengenai pluralisme. Pluralisme
yang Penulis maksudkan bukanlah merupakan semacam persaingan ideology-ideoogy
agama dan sekularisme, namun lebih cendrung kepada sikap dan “metode” yang,
baik secara sadar maupun tidak, berkembang dan digunakan oleh orang Kristen dalam
konteks kekristenan Amerika dan Eropa. Menurut
Penulis, tiga sikap yang umum muncul dalam komunitas Kristen dalam menanggapai pluralisme
adalah sikap “Mamaksakan, Laissez-faire
(masa bodoh), dan Persuasi”. Dalam hal ini, penulis mengajukan
argumentasi-argumentasi dalam menanggulangi pluralism dengan mengambil sikap
persuasi. Hal yang menarik dalam bab ini, adalah pandangan Stott mengenai dunia
politik, dimana ia perpendapat bahwa politik dapat menjadi salah satu sarana
dimana sifat kasih dan keadilan kristiani dapat disalurkan bagi masyarakat
kalangan bawah.
Bab IV, pembahasan masih
menyangkut pertanyaan reflektif mengenai peran Orang Kristen. Dalam bab ini,
penulis mengangkat isu mengenai “Apakah kita mempunyai pengaruh?”. Istilah
kunci yang diangkat penulis adalah Alienasi,
suatu sikap hopeless terhadap
situasi ekonomi politik yang akhirnya berdampak pada prinsip hidup Orang
Kristen yang juga “impoten”. Penulis kemudian mengeksegesis makna “terang dan
garam”, dampak doa dan penginjilan, kesaksian dan protes, serta dikomparasikan
dengan catatan sejarah etika dan moral Kristen yang berdampak universal, untuk
kembali mendobrak sikap alienasi
Orang Kristen modern. Penulis menutup bab ini dengan memberikan beberapa contoh
motivasi mengenai kelompok-kelompok Kristen kecil yang dipakai Allah dengan
luar biasa.
Bab V,
pembahasan diarahkan kepada isu kontemporer. Dan isu pertama yang diangkat
adalah ancaman nuklir. Sub
bab ini dibagi menjadi lima tema utama, yaitu, Realitas kontemporer, menjabarkan mengenai fakta-fakta adanya
persaingan industry nuklir, pererangan, dan dampaknya yang menegrikan. Refleksi dan moral, merupakan tanggapan dan sikap dari Orang
Kristen. Pasifisme total, kompromisasi, dan pasifisme relative, merupakan tiga
sikap yang umumnya muncul dalam kalangan Kristen. Pertanyaan kualifikasi, menyangkut
klarivikasi dan kritikan tajam mengenai
kekeliruan makna perang secara umum dalam membabi buta. Dalam penjabaran ini
penulis mengangkat konsep Alkitab, maupun kebijakan politik dari para pemimpin negara-negara
adikuasa dalam menentukan “rumusan” terbatas dalam suatu perang. Dan yang terakhir Stott menutup dengan sub
tema Membawa damai secara Kristiani. Bagian
penutup ini memuat sejumlah saran praktis yang perlu dilakukan Orang Kristen,
dimana sebagai anak-anak Allah seharusnya hadir dan aktif menjadi pembawa damai.
Bab VI,
isu berikunya mengenai Lingkungan hidup
manusia. Mengangkat tema ini, penulis mencoba melihat fenomena pertumbuhan
penduduk serta dampak kerusakan lingkungan dan kemudian mengkontraskannya
dengan satu pertanyaan fundamental, “punya siapakah bumi ini?”. Penulis
kemudian melanjutkan dengan dasar biblika dari Mzm. 115:16; 24:1 yang menjadi
kunci, dan penggerak atas sikap Orang Kristen terhadap permasalahan lingkungan
hidup manusia.
Bab VII, penulis membahas
tentang “Ketimpangan Ekonomi
Utara-Selatan”. Ketimpangan yang dimaksud oleh Penulis adalah merupakan
bentuk kritikan terhadap persaingan ekonomi dan sikap “nasionalisme buta”
negara-negara maju kepada negara-negara dunia ketiga yang mengakibatkan makin
terpuruknya perekonomian. Penulis mengusulkan jalan keluar dengan prinsip
“keutuhan” alam dalam pandangan Alkitab, dimana bumi dipandang sebagai milik
pusaka Allah yang dimandatkan kepada manusia secara universal (tanpa batasan kuasa
suatu Negara, karena pada mulanya demikian) untuk kemudian dipergunakan bagi
kepentingan bersama, tanpa ada penekanan sikap nasionalsme yang membabi buta.
Bab VIII, mengangkat
pembahasan mengenai hak asasi manusia. Dalam bab ini penulis memaparkan
beberapa kasus pelanggaran HAM yang dikutib dari beberapa sumber, dan kemudian
mencoba merekonstruksi ulang setiap pelanggaran dan kepicikan sudut pandang
terhadap manusia, dengan kembali berkaca pada nilay-nilay teologi dan antroplogi
yang murni.
Bab IX menyoroti masalah
kerja dan pengangguran. Seperti bab-bab sebelumnya, bagian pertama, Penulis
menjabarkan secara umum pandangan masyarakat sekuler mengenai permasalahan
kerja dan penggangguran, kemudian pada bagian akhir Penulis mengkritisi
pemahaman dan budaya yang keliru (dalam konteks Orang Kristen Inggris) dalam
memandang kerja dan pengangguran dan ditutup dengan argumentasi Alkitab mengenai
tema tersebut.
Bab X masih berpusat pada
dunia kerja. Dalam bab ini Penulis mengangkat tema Hubungan-hubungan industrial. Tujuan utama dalam bab ini adalah
menciptakan semacam etika kerja yang berdasar pada Iman Kristen. Penulis
mengangkat contoh-contoh hubungan kerja dalam Perjanjian Baru, seperti prinsip
saling melayani dan mendahulukan, serta pemimpin harus menjadi pelayan, dengan
harapan agar terciptanya suatu pemahaman yang beretika Kristen serta holistic
dalam hubungannya dengan dunia industrial.
Bab XI penulis berpindah
pada isu yang lebih sensitive di daratan eropa dan amerika, yaitu suatu harapan
tentang masyarakat yang multi rasial. Penulis kemudian mengangkat conto kasus
pada Negara-negara adikuasa seperti Amerika, Jerman, dan Ingris, dimana
perbudakan serta isu rasial sangatlah tinggi. Isu yang seolah-olah menjadi
warisan nenek moyang ini, dikritik oleh Stott, dengan kembali mengangkat dasar
Biblikal yang kontras dengan prilaku rasis. Dengan tegas Penulis mengatakan “Hanya teologi sejati, yakni penyataan Allah
dalam Alkitab yang dapat melepaskan kita dari keangkuhan dan prasangka rasial”.
Bab XII, berbicara mengenai isu lain yaitu Kemiskinan, Kekayaan, dan Hidup sederhana. Bagian
pembuka dalam tema ini, Penulis memaparkan fakta-fakta serta hasil survey yang
tragis mengenai kemiskinan. Dan salah
satunya adalah fakta tentang kemiskinan yang memprihatinkan di India, dimana
lebih dari ¼ juta penduduk hidup menggelandang dijalanan. Paradox mengenai
kemiskinan juga diangkat oeh penulis, dimana kemiskinan disoroti dalam tiga
kategori, yaitu miskin secara materi (tinjauan ekonomi), miskin akibat
penindasan (tinjauan social politik), dan orang miskin yang rendah hati
(tinjauan spiritual). Penulis juga memaparkan tiga pilihan yang umumnya
disikapi oleh Orang Kristen yang kaya, dan pada bagian akhir, Penulis kembali
mengangkat tema Biblikal dengan mengkontraskan Pribadi serta sikap Tuhan Yesus
dan Gereja purba dalam memandang dan mengelola kekayaan.
Bab XIII, membahas
mengenai kritikan Penulis terhadap isu
derajat pria dan wanita. Bab yang mengambil judul Wanita, Pria, dan Allah ini berisikan analisa Penulis mengenai
latar belakang budaya dan perkembangannya sehingga melahirkan pergeakan
feminism. Beberapa kritikan tajam juga dialamatkan kepada budaya yahudi dimana sikap
perendahan yang tidak patut tercermin dalam bentuk doa mereka pada Talmud.
Kritikan juga dialamatkan kepada salah satu Bapa Gereja yang tersohor, Tertullian
dalam salah satu tulisannya, yang dinilay Penulis kurang pantas bagi seorang
Kristen. Kesamaan derajat yang ditegaskan Alktab, menurut penulis, seharusnya
dipahami dan diterapkan secara konsisten oleh Orang Kristen.
Bab XIV penulis kembali
mengangkat permasalahan klasic mengenai Perkawinan
dan Perceraian. Pendahuluan bab ini, Penulis mengkaji data statistic
mengenai jumlah perceraian yang terus meningkat tajam. Isu-isu penting yang
menjadi pendorong seperti, masalah ekonomi, tekanan hidup, emansipasi wanita,
sekularisme, hingga legalnya perundangan mengakibatkan perceraian menjadi hal
yang lumrah. Disisi lain, menurut penulis, hal mendasar lainya yang ikut
menjadi penggerak perceraian adalah tergerusnya makna perkawinan dalam konsep
Kristen. Penulis juga menyoroti perdebatan mengenai alasan perceraian dari
sudut pandang Alkitab, Sejarah, Budaya, dan juga menyajikan saran-saran praktis
bagi pelayanan pastoral dalam rangka mempersempit ruang gerak perceraian.
Bab XV mengenai Masalah Aborsi. Penulismemulai
pembahasannya dengan mencoba mendokumentasikan data statistic, dimana angka
aborsi sangat mencengangkan. baik aborsi
yang legal maupu illegal diseluruh dunia pada tahun 1968, diperkirakan antara
30 sampai 35 juta kasus. Mengkritisi hasil yang memprihatinkan ini, Penulis
mengatakan “Aborsi orang modern sekarang malahan lebih jahat lagi dari aborsi
orang Romawi dulu, karena dikomersilkan”. Dosa aborsi menurut penulis, bukan
hanya berkaitan dengan perampasan hak hidup manusia, namun juga menyangkut
perampasan hak prerogative Allah sebagai pemberi dan penentu kehidupan. Mengatasi
isu ini, Penulis mengeksegesis Mzm. 139 sebagai pedoman bagi Orang Kristen,
agar bukan hanya mencegah, namun juga aktif menyuarakan penolakan terhadap
aborsi.
Bab XVI, pembahasan isu
terakhir menyangkut Pasangan Hidup
Homoseksual. Dalam menyoroti hal ini, penulis tidak memulai dengan
perdebatan yang bertele-tele, tetapi lebih kepada pemahaman mendasar dari
nilay-nilay Kristen serta saran-saran praktis mengenai penanggulangan kalangan homo. Penulis mengatakan “pada jantun
kehidupan homoseksual tersembunyi rasa kesepian, kelaparan manusiawi yang alami
akan cinta kasih, suatu pencarian identitas, dan kerinduan akan kelengkapan”.
Penulis melanjutkan bahwa orang-orang tersebut “membutuhkan setidak-tidaknya
satu orang kepada siapa mereka dapat mencurahkan isi hati mereka, yang tidak
akan anggap rendah mereka atau menolak mereka, melainkan yang bersedia
mendukung mereka dengan persahabatan dan doa”.
Bab XVII, merupakan bab
penutup yang mengajak dan memotivasi para penggerak Kristen untuk terjun ke
lapangan. Penulis menutup bab ini dengan merekonstruksi ulang mengenai gambaran
ideal sebagai pemimpin Kristen. Menurut penulis, pemimpin Kristen seharusnya
memiliki lima unsure utama, dan saling berkaitan; visi yang jelas, kerja keras,
ketekunan yang penuh ketabahan, pelayanan dengan rendah hati, dan disiplin
baja. Tanpa hal-hal tersebut, maka kepemimpinan Kristen bagaikan kapal yang
terombang ambing tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Kesimpulan.
1.
Kritikan bagi gereja modern. Telah dijabarkan diatas bahwa terdapat segudang
permasalahan dan pergumulan social yang menantang kepekaan Umat kristiani. Panggilan
umat Kristen sebagai Garam dan Terang dunia seharusnya digelisahkan oleh
isu-isu tersebut dan tidak ada alasan untuk “lari dari kenyataan”. Sudah saatnya gereja modern keluar dari
kenyamanan dan sifat eksklusif untuk terjun ke ladang pelayanan yang lebih
luas, tanpa dibatasi oleh “tembok-tembok” Gereja dan kepentingan-kepentingan
gologan tertentu.
2.
kekurangan buku—Tema
yang tidak relevan. Meskipun ada beberapa tema permasalahan (Nuklir, Homoseksual,
Perbudakan-Rasial) yang tidak relevan dengan konteks di Indonesia, namun
melalui informasi-informasi tersebut, pembaca dapat memperoleh pedoman serta
contoh kasus dan tuntunan praktis untuk turut berperan aktif dalam konteks yang
lebih luas, walaupun mungkin terbatas.
3.
Kelebihan buku—ciri khas orientasi Injili yang sangat
kuat. Hal yang
menarik dari karya Stott ini, adalah penekanannya terhadap peran Alkitab.
Setiap isu yang Ia bahas selalu diselesaikan dengan terang Firman Tuhan. Dan
salah satu keunggulan Stott adalah ketajaman analisanya. Sebagai contoh, Ia
menganalisa isu-isu tersebut dengan mengambil satu kesimpulan bahwa, (selain
beberapa penyebab) penyebab utama dari semuanya itu adalah lunturnya
nilay-nilay Kristen dalam masyarakat barat. Dengan latar belakang ini jugalah
Stott kemudian kembali berusaha untuk memperbaiki “kerusakan itu, dengan slogan
lama “back to the Bible”. Suatu konsep alkitabiah yang radikal dan mengagumkan!.
Sebagai
penutup, Penulis merekomendasikan buku ini kepada Orang percaya yang rindu
bergumul mengenai isu-isu kontemporer, juga kepada para pemimpin jemaat,
aktivis, dan para mahasiswa teologi. Semoga melalui buku ini, kita sebagai umat
Tuhan akan semakin menyadari makna penting sebagai garam dan terang dunia. Sola
Deo gloria!.