IMAN
KRISTEN DAN POLITIK
Oleh : Yosep Belay
Seperti kalangan sosiolog
yang melabeli manusia sebagai makhluk sosial, demikian halnya dalam dunia
politik. Manusia adalah makhluk politik, atau setidaknya ia akan dipaksa untuk
berpolitik karena ia bereksistensi dalam suatu tatanan masyarakat politik,
dalam suatu lembaga negara yang juga dihasilkan dan diatur oleh suatu sistem
politik. Lebih jauh, dalam hal terkecil sekalipun eksistensi kita bahkan
ditentukan oleh arah kebijakan politik yang diambil, itu sebabnya mau tidak-mau,
suka atau tidak-suka, kita akan selalu digiring untuk ikut berpartisipasi dalam
dunia yang katanya “tidak ada kawan abadi dan lawan abadi” itu. Lantas
bagaimana kita sebagai umat Tuhan merespons dunia abu-abu tersebut?
Meneropong
Sejarah Relasi Iman dan Politik.
Ketika beranjak dalam
konteks iman Kristen, kita akan menjumpai bahwa salah satu topik bahasan yang
menimbulkan kontroversi dalam konsepsi teologi praktika adalah dialektik iman
dan politik. Sudah semenjak generasi Bapa-bapa gereja pasca para Rasul, isu
politik telah menjadi sorotan. Agustinus misalnya. Dalam karyanya Civitas Dei, Civitas terrena menyinggung dua sistem pemerintahan yang
berjalan dengan dua sisi—pemerintahan Allah yang kudus dan pemerintahan duniawi
yang berdosa.[1]
Dualisme ini dikemudian hari menimbulkan ragam pertanyaan. Apakah gereja dapat
bersatu dengan negara? Apakah orang percaya dapat terjun ke dunia politik
praktis? Bukankah politik itu didominasi oleh mereka yang haus kekuasaan dan
menghalalkan segala cara untuk memperolehnya? Mungkinkah gereja bersekutu
dengan lembaga/profesi duniawi seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan demikian kerap
muncul membayangi kehidupan umat Tuhan. Belum lagi serangkaian sejarah gelap
gereja di abat pertengahan yang merangkul kekuatan negara untuk maksud-maksud
tertentu, telah berdampak bagi kehidupan gereja modern.
Memasuki paruh kedua
perjalanan sejarah gereja, para reformator mulai menyuarakan suatu konsepsi
yang berbeda dengan apa yang selama ini dipertahankan gereja, meski dalam tahap
tertentu belum sepenuhnya terbebas dari sistem monarkhi dalam sistem lembaga
negara. Pada masa itu, pemimpin agama menjabat (atau setidaknya memiliki pengaruh
politik yang kuat) juga sebagai pemimpin politik dan diidentikan dengan wakil
pemerintahan Allah di dunia. Suatu sistem pemerintahan yang berbasis pada
sistem Teokrasi. Paus dan para bapa gereja disetarakan dengan kaisar, sementara
Kardinal dan Bishop dianggap sama dengan Gubernur dan para bangsawan.[2] Meski
konsepsi ini merupakan suatu sistem manifestasi yang juga terdapat dalam
Alkitab, namun secara tak terelakan distorsi akan natur dosa dan “dosa-dosa
politik” (nafsu kekuasaan) pada akhirnya juga tercermin dalam prilaku para
oknum yang korup. Para pemimpin agama dan kaum bangsawan yang ikut menceburkan
diri dalam hitamnya hawa nafsu kekuasaan tersebut, berdampak pada konflik serta
perpecahan sebagaimana yang dialami negara-negara seperti Prancis, Inggris,
Jerman, Belanda, dan beberapa lainnya.
Dalam konteks
historis demikian, para reformator mencoba untuk mendudukkan suatu sistem
“politik Kristen” yang melampaui sistem monarki Teosentris kaku, dengan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Namun sikap demikian
ikut mempengaruhi persepsi umat Tuhan yang pada akhirnya menghantarkan gereja-gereja
reformasi pada dua kubu yang berbeda. Kubu pertama memandang negara dan politik
sebagai “alat tampi” di tangan Tuhan untuk mengatur, menertibkan, dan menghukum
masyarakat (sekaligus orang berdosa) yang tidak tertib sebagaimana pandangan Luther dan Calvin[3] (juga Karl
Bath serta Bonhoeffer namun dalam
batasan tertentu, terutama mengenai kritik kedua tokoh ini terhadap
pemerintahan Hitler[4]).
Di sisi lain, kaum Anabaptis justru memandang negatif dengan bersikap apolitis
terhadap kekuasaan negara serta anti terhadap dunia politik. Berkecimpung dalam
politik praktis dan persoalan kenegaraan bagi kaum anabaptis, sama halnya
dengan menceburkan diri dalam dosa-dosa duniawi yang sarat hawa nafsu
menyesatan—harta, kekuasaan dan ketenaran. Dualisme demikian yang sampai hari
ini masih tercermin jelas pada respons umat Tuhan ketika berjumpa dengan
hal-hal yang berbau politik praktis.
Pandangan
Singkat Teologi—Politik.
Disisi lain, dorongan
kuat untuk menuju konsepsi negara berbasis demokrasi yang bertolak dari prinsip
kebebasan, kesetaraan hak dalam “keserupaan
dan segambar dengan Allah”, juga memiliki akar yang kuat pada kebudayaan serta nilai-nilai
kristiani sebagaimana yang dirintis oleh Oliver Cromwell, Komandan militer
(juga seorang Puritan) pada abat ke-16 di Inggris meskipun gagal.[5] Berbeda
dengan Cromwell yang merintis penegakan hak-hak sipil dari bawah, pandangan Calvin
terhadap relasi kedaulatan Allah dan Negara disorot dari atas. Allah menjadi
sentralitas yang memerintah dan berdaulat. Penjabaran konsepsi ini dijabarkan
dalam tiga poin, pertama, Kedaulatan dalam negara, kedua, kedaulatan dalam
masyarakat dan ketika, kedaulatan dalam gereja.[6] Namun
penekanan yang sentral pada kedaulatan Allah yang meliputi ketiga unsur
tersebut pada akhirnya bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi modern sebagaimana
yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln, “Governmmant
of peope, by people, for the people”.[7] Diskusi
tersebut dapat dipertajam lebih lanjut, namun bagi penulis, konsepsi Calvin
tersebut lebih bercirikan politik etis Kristen. Dengan kata lain, nilai-nilai
kristiani dimanifestasikan dalam tatanan suatu negara sehingga mampu
mendatangkan keadalian bagi masyarakat dengan tetap mempermuliakan Tuhan. Singkatnya,
konsep demikian merupakan pengejawataan
mandat budaya dalam praktik politik praktis.
Pada titik ini kita
melihat pendekatan Calvin lebih bersifat kontekstual tentang relasi iman Kristen
dengan negara (yang mencakup sistem pemerintahan, politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya). Etika Kristen mejadi pendorong positif bagi para pelaku
politik sehingga mendatangkan kemajuan bagi suatu bangsa. Pandangan ini sejalan
dengan nasehat rasul Paulus dalam surat Roma 13:1-4,
Tiap-tiap
orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada
pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada,
ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas
dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada
pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap
pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.
Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau
berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang
pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka
yang berbuat jahat.
Pemerintah, dan sistem
pemerintahan di dalammnya merupakan wakil Allah untuk mengatur kehidupan
manusia. dalam konteks ini Calvin meletakan pandangannya tentang Negara dan
sistem politik—penghormatan dan penghargaan terhadap pemerintah.
Tidak sampai di situ,
politik etis juga harus mencakup kesejahteraan masyarakat. Suatu perintah dari
Allah melalui nabi Yeremia, dalam suratnya kepada umat Israel ketika mereka masuk
dalam pembuangan di Babel, Yeremia 29:7,
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanm
“Usahakanlah”
merupakan kata kerja yang menjanjurkan untuk setiap umat Tuhan ikut berjuang
dan berpartisipasi membangun kesejahteraan kota/negara di mana mereka berada. Bahkan
dengan sangat ekstrim, kalimat anjuran dalam ayat ini diperintahkan langsung
oleh Tuhan kepada umat Israel agar mereka juga ikut membangun kesejahteraan
kerajaan Babel yang justru menjajah dan mengangkut mereka menjadi tawanan
perang! Luar biasa.
Kedua konteks ayat
ini menjadi pola pelayanan politik etik Kristen. Penghormatan dan penundukan
diri kepada pemerintah, serta berpartisipasi dalam mensejahterahkan bangsa
merupakan panggilan etika Kristen dalam dunia politik praktis, dan tidak
berfokus pada kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan.
Teologi
dan Politik Dalam Konteks Kekinian.
Meski demikian,
berpolitik praktis bukanlah hal yang mudah bagi umat Tuhan. Ideologi politik
yang berkembang saat ini beragam dan miskin etika—bahkan ketika politik
tersebut mengatas namakan agama sekalipun! Saat ini berkembang dua ekstrim dalam
dunia politik. Ekstrim pertama memaksakan nilai-nilai religius sebagai daya
jual dan batu loncatan untuk menggapai kekuasaan, dan ektrim kedua menggunakan
kekuatan, kuasa, dan uang sebagai pendorong menuju puncak kekuasaan. Mungkin kondisi
caruk masruk dalam dunia politik ini yang disebut Kant sebagai “bangsa setan-setan”.[8]
Namun keduanya pada
beberapa sisi tertentu tidak dapat dipisahkan karena mereka yang menggunakan “politik
identitas” sebagai instrumen pada akhirnya juga dapat menggunakan “kekuatan,
kuasa, dan uang” sebagai pendorongnya. Pergerakan massa dan kebrutalan yang
mengatas namakan politik identitas sudah menjadi hal yang lumrah kita saksikan
pada zaman ini. Bahkan beberapa hari lalu kita sempat dihebohkan dengan ucapan
seorang tokoh bangsa yang mepropaganda masyarakat dengan istilah “People power”.
Suatu bentuk manifesto politik ala cowboy.
Jika yang pertama
dibalut dengan kedok sentimen agama dan terlihat begitu religius, ekstrim yang kedua
justru blak-blakan. Sebut saja
pandangan politik Machiavelli yang banyak diadopsi oleh konsep politik /pemerintahan
diktator dan otoritarian. Machiavelli menekankan suatu ideologi politik yang
brutal. Prinsip utamanya adalah seorang penguasa harus membuang jauh-jauh
segala pertimbangan moral, dan hanya mengandalkan kekuatan, kebohongan,
kelicikan, dan kebencian.[9] Beberapa
sistem perpolitikan juga sangat pragmatisme sehingga mampu mengorbankan
nilai-nilai etik dan prinsip dasar serta hak-hak sipil. Dalam gejolak demikian,
panggilan umat Tuhan sebagai para praktisi politik praktis semakin berat.
Penutup.
Panggilan kita (terutama
mereka yang berprofesi sebagai politikus) sebagai umat Tuhan dalam dunia
politik memiliki kejelasan. Kita dipanggil sebagai duta kerajaan Allah yang
membawa terang kebenaran Allah dalam tiga prinsip utama. Pertama,
memperjuangkan hak-hak umat manusia (humanistik) secera universal sebagaimana
citra kita sebagai “gambar dan rupa Allah” yang setara, sederajat dan berharga
di mata Tuhan. Kedua, menghormati,
menghargai, dan ikut berpartisipasi aktif dalam menopang pemerintahan yang sah
(sosial—politik), karena “pemerintah-pemerintah
yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia
melawan ketetapan Allah”. Dan ketiga, sebagai umat Tuhan, kita juga perlu
berjuang untuk mensejahterakan kota/negara dimana kita berada karena Tuhan
memiliki rencana dan tujuan ketika Ia menempatkan kita dalam suatu konteks
masyarakat negara tertentu seperti umat Israel ketika masuk dalam pembuangan Babel,
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk
kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
Karena semua profesi
merupakan panggilan Allah bagi kita berkarya di tengah-tengah dunia, maka dunia
politik bagi politisi Kristen (dan umat tuhan apda umumnya) tidaklah
bertentangan. Namun dengan tiga catatan utama di atas, kita perlu menggaris
bawahi hal penting bahwa politik Kristen adalah praktek politik etis yang
didasari atas kebenaran firman Allah. Dengan demikian setiap motivasi, metode,
dan tujuan yang menyimpang akan dimurnikan oleh kebenaran Allah. Berpolitiklah
dengan berpadan pada prinsip-prinsip kebenaran.
Kepustakaan.
Alkitab
[TB] (Jakarta: LAI, 2013).
F.
Budi Hardiman, Demokrasi dan
Sentimentalitas (Yogyakarta: Kanisius, 2018).
Gunche Lugo, Manifesto Politik Yesus (Yogyakarta: Andi, 2009).
Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther dan Relevansinya
di Indonesia (Banudng, Satu-satu, 2011).
Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia [Suatu Tinjauan Etis] (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006).
Sir Freed Catherwood, God and Culture [Allah dan Kebudayaan] (Surabaya:
Momentum, 2011).
Sutarjo
Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat : Dari
yang Klasik Sampai yang Modern (Jakarta: Rajawali Press, 2013).