Oleh: Yosep Belay.
Pendahuluan.
Keyakinan iman dan teologi Kristen memiliki keunikan
tersendiri khususnya dalam konsep teologi Proper (doktrin Allah—Tritunggal).
Doktrin tersebut unik sekaligus rumit sehingga pada perkembangannya di setiap
zaman, doktrin Allah Tritunggal menjadi polemik yang diperdebatkan secara masif
baik dalam lingkungan kekristenan maupun ketika berhadapan dengan keyakinan
non-Kristen. Melalui pengajaran ini pula, kita menjumpai perbedaan yang tajam
dengan para kalangan bidat baik pada gereja mula-mula maupun zaman modern saat
ini, misalnya Saksi Yehovah dan Unitarian (yang dalam beberapa hal memiliki
pandangan serupa dengan konsep allah
dalam Islam). Singkatnya,
doktrin Allah Tritunggal merupakan aspek yang fundalamental dimana oleh doktrin
tersebut kita dapat membedakan yang ortodoksi dan yang bukan ortodoksi.[1]
Kesulitan yang umum dijumpai dalam
mempelajari doktrin ini adalah karena cakupan bahasannya yang menggunakan
terminologi filosofis metafisik, dengan pemaknaan yang ketat dan mendalam
sehingga sulit untuk dipahami oleh jemaat awam. Belum lagi keterbatasan natur kita sebagai ciptaan yang terbatas dan
korup karea dosa, tidak memungkinkan untuk memahami misteri Allah sebagai
pencipta. Namun kata “sulit” bukan berarti tidak
dapat dipahami. Sebaliknya, ungkapan “dapat dipahami” juga bukan berarti bahwa
kita dapat secara menyeluruh memahami Pribadi agung Allah (Ayb. 36:26; Yes.
55:8-9). Pernyataan ini hanya ingin menegaskan bahwa setidaknya kebenaran yang
telah Ia nyatakan melalui firman-Nya (Alkitab) kepada kita, dapat menghantarkan
kita untuk mengenal lebih dekat tentang Pribadi-Nya yang agung dan penuh
misteri itu sesuai dengan batasan wahyu yang dinyatakan (Ul. 29:29; Rm. 11:33).
Meski demikian, penekanan yang penting perlu kita pahami bahwa penyataan wahyu
Allah melalui kebenaran firman-Nya adalah kebenaran dan pengetahuan yang benar,
karena kebenaran itu berasal dari Allah yang adalah kebenaran (1 Yoh. 5:20).[2] Atau
seperti yang diungkapan oleh Katekismus Westminster, “Satu-satunya alasan kita
untuk mempercayai doktrin Trinitas adalah semata-mata karena Alkitab tidak
memberikan kemungkinan bagi pandangan lain.”[3]
Akan tetapi pertanyaan mendasar yang perlu kita
ajukan berikutnya adalah mengapa penting memahami pengajaran mengenai Allah
Tritunggal? Belajar untuk mengenal Allah merupakan panggilan terpenting umat
manusia, terutama bagi umat Tuhan.
Hal ini penting karena mengenal Allah yang benar akan menghantarkan kita pada pengenalan
yang benar pula mengenai; siapa kita, apa fokus dan tujuan hidup kita yang
sejati, keyakinan iman dan pengharapan yang teguh dimana kita berpaut, serta
relasi kita dengan sesama dan alam semesta. Untuk itu pengajaran ini merupakan salah satu pengajaran yang penting
bagi iman Kristen. Sebagaimana yang dinyatakan J.I. Packer, “Kita sedang
bersikap kejam pada diri sendiri jika kita berusaha untuk hidup di dunia ini
tanpa berusaha untuk tahu apa pun tentang Allah yang menjadi pemilik dan
pemelihara dunia ini.”[4]
Sebaliknya, pengenalan yang keliru
tentang Allah akan bedampak pada kesesatan eksistensial. Dengan kata lain, jika
kita tidak mengenal Allah yang sejati, maka tentu kita memiliki semacam konsep
yang keliru dalam penyembahan kepada allah palsu, dimana wawasan dunia spiritual tersebut menjadi
panduan dan pengharapan yang mengahantarkan
kita pada kesesatan dan kebinasaan kekal (Bdk. Hos. 4:6; Mzm. 49:14-15). Selain
itu tujuan terpenting panggilan umat
Tuhan adalah memberitakan amanat agung Kristus (Mat. 28:19-29), dan hal
tersebut dimulai dari pengenalan yang benar akan Allah Tritunggal sebagaimana
yang ditunjukan Tuhan Yesus dalam perintah baptisan, “...baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Suatu deklarasi iman yang sangat nyata mengenai Allah yang unik dalam
ke-Tritunggalan-Nya yang kudus.
Tinjauan Sejarah Singkat.
Istilah “Tritunggal” tidak terdapat di
dalam Alkitab. Namun istilah
tersebut merangkum kebenaran yang terpancar dari Alkitab mengenai Allah. Istilah
ini pertama kali digunakan oleh Tertulianus, bapa gereja Latin (155 M - 220 M)
dalam tulisannya Adversus Praxean. Sebuah
pembelaan iman Kristen terhadap pandangan sesat dari salah seorang tokoh yang
bernama Praxeas pada zaman itu.[5] Ia mengatakan bahwa Ketiganya adalah tiga, “bukan
dalam kondisi, tetapi dala tingkat, bukan dalam substansi tetapi dalam forma;
bukan dalam kuasa tetapi dalam aspek; namun dari satu substansi (unius autem
substantiae), dan dari satu kondisi, dan dari satu kuasa, karena Ia adalah
Allah yang esa.”[6]
Dalam
perkembangannya, bersama dengan dua rekannya Ireneus dan Origenes, doktrin
Tritunggal Kudus digumuli
hingga pada puncaknya dirumuskan dan disahkan sebagai pengakuan iman dibawah
pimpinan Athanasius
dalam sidang konsili Nicea (325 M).
Doktrin Allah Tritunggal
pada abat ke-4 yang terus diserang oleh bidat Arianisme, kemudian kembali
dipertahankan oleh serangkaian pembelaan yang kuat oleh Bapa-bapa Kapadokia. Basilius
dari Kaisarea, sahabatnya Gregorius dari Nazianzus, dan adiknya Gregorius dari
Nyssa. Ketinganya berasal dari salah satu bagin propinsi Romawi yang terletak
di Turki zaman sekarang. Dalam pembelaanya, mereka menjabarkan kerangka
Tritunggal Athanasius dengan lebih jelas dan gamblang. Basilius dalam salah
satu suratnya menjelaskan demikian,
“Perbandingan hakikat terhadap hypostatis sebagai yang universal terhadap yang khusus. Masing-masing kita mempunyai bagian dalam eksistensi melalui hakikat yang sama, namun masing-masing kita adalah individu yang khusus karena mempunyai sifat-sifat tersendiri.”[7]
Basilius mengangkat dua tema penting dalam penjabarannya yang membedakan
sekaligus menyatukan masing-masing Oknum Allah, yaitu “Hakikat” dan
“Hypostatis”. Misalnya sebagai manusia, kita memiliki hakikat yang sama yaitu
“kemanusiaan” kita. Sementara didalam hakikat sebagai “kemanusiaan” itu kita
secara pribadi juga memiliki “Hypostatis” yang berbeda sebagai ciri khusus yang
menggambarkan kepribadian kita itu berbeda dengan yang lainnya. Hal ini yang
mendasari keyakinan dasar Allah Tritunggal ortodoksi, bahwa ketiganya—Bapa,
Anak, Roh Kudus—Esa dalam “Hakikat” ke-Allahan, namun sekaligus tiga dalam “Hypostasis”
(Persona/Person/Pribadi) yang berdeda dan membedakan Mereka.
Generasi ketiga pasca Baba-bapa Kapadokia yang
kembali merumuskan
kebenaran ini dengan lebih
sistematik adalah
Agustinus. Ia merumuskan dan
melengkapinya dengan beberapa analogi (meskipun terbatas)
kemudian merangkumnya dalam pengakuan
iman Atanasius yang diterima secara universal oleh semua gereja yang Am hingga
saat ini (baik Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental (sebagian), mau pun gereja-gereja
Reformasi; Protestan, Pentakosta, dan Kharismatik). Pada abat pertengahan
hingga pasca reformasi, doktrin Allah Tritunggal telah menjadi salah satu
doktrin iman kristen yang fundamental dan final. Tentu saja diluar kalangan
bidat seperti Saksi Yehovah yang meskipun diakui Negara sebagai salah satu
denominasi Kristen di Indonesia, namun secara tradisi dan penyataan Kitab Suci
mereka tentu berada di luar keyakinan iman Kristen.
Tritunggal Dalam Pemaknaan.
Seperti yang telah
disampaikan di atas, secara hakikat, Allah tidak dapat dikekang dalam sebuah rumusan-rumusan
kalimat teologis. Namun rumusan teologis yang alkitabiah sangatlah penting dan
perlu (meski terbatas) sebagai instrument pengajaran dasar yang dapat memimpin
umat-Nya, sesuai dengan wahyu Allah, untuk dapat mengenal Allah yang sejati
dalam misteri ke-Tritunggalan-Nya yang supra rasio (melampaui akal budi/rasio
kita).
Rumusan dogma Trinitas dalam
pemaknaannya tidak terlepas dari apa yang Tertullian telah jabarkan. Hal ini
yang juga dijumpai dalam pandangan dari beragam teolog Injili. Paul Enns
mendefinisikan Tritunggal sebagai, “Tiga Pribadi yang satu tanpa keterpisahan
eksistensi, secara komplet bersatu untuk membentuk satu Allah. Natur Ilahi
hidup dalam tiga perbedaan—Bapa, Anak, dan Roh Kudus.” Carles C. Ryrie mengutip
Warfield, mengatakan bahwa: “Ada satu Allah yang benar dan satu-satunya, tetapi
dalam keesaan dalam Keallahan ini ada tiga Pribagi yang sama kekal dan sepadan,
sama dalam hakikat tetapi berbeda dalam Pribadi.”[8]
Dengan penjabaran serupa R.C Sproul mengatakan bahwa, “Formulasi Trinitas yang
telah dikemukakan dalam sejarah adalah Allah itu satu esensi dan tiga Pribadi.
Formula ini merupakan suatu hal yang misteri dan paradoksal tetapi tidak
kontradiksi.”[9]
Atau dalam penjabaran
yang lebih terperinci namun sedikit rumit oleh Ensiklopedi Alkitab Masa Kini;
“Ajaran Tritunggal mengajarkan bahwa Allah satu dalam harkat dan hakikat-Nya,
tetapi dalam dirinya-Nya terdapat tiga Oknum yang tidak membentuk perseorangan
yang tersendiri dan berbeda. Akan tetapi tiga ‘Oknum’ adalah ungkapan yang
tidak sempurna untuk mengungkapkan kebenaran itu karena ungkapan itu
mengartikan kepada kita perseorangan yang tersendiri, yang berbudi dan bias
memilih. Padahal dalam hakikat Allah, BUKAN tiga perseorangan, tetapi hanya
tiga pembedaan dalam diri Allah yang satu seutuhnya.”[10]
Sebagaimana yang disampaikan juga oleh Matakupan, “Alkitab mengajarkan bahwa
Allah yang esa memiliki tiga pribadi, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Allah
yang memiliki tiga pribadi bukan berarti tiga Allah, melainkan satu Allah.
Dengan demikian, tiga Pribadi di sini bukan dalam pengertian arti kata biasa;
bukan merujuk kepada tiga individu, tetapi lebih kepada tiga cara/bentuk dimana
Roh Ilahi bereksistensi (sesuai dengan kesaksian kitab suci).”[11]
Keesaan dari Allah ini dinyatakan
sebagai esensi-Nya (hakikat) atau keberadaan-Nya, sedangkan keragaman-Nya
diekspresikan dalam tiga Pribadi. Ketiga Pribadi tersebut adalah sederajat
(co-equal), sama-sama kekal (co-eternal), sama-sama ada dengan sendirinya
(co-existent), dan sama-sama berkuasa (co-powerfull).[12]
Ajaran-ajaran yang Keliru tentang Allah Tritunggal.
Tri-Theisme. Tri-Theisme mengajarkan/menafsirkan secara keliru
bahwa Allah Tritunggal sama dengan Tiga Allah. Atau terdapat tiga Allah yang memerintah
layaknya Tri Murti dalam keyakinan Hinduisme, atau juga dalam kesaksian Qur’an
yang seolah-oleh menuduh kaum Nasrani menempatkan Isa (Tuhan Yesus) dan Mariam
(Ibu Maria) sebagai “dua Tuhan” lain di selain Allah Bapa. Tentu saja hal ini keliru, karena keyakinan dasar Rasuli
dan Bapa-bapa gereja mula-mula (yang bertolak dari Kitab Suci dan sejarah seperti
yang telah dibahas di atas) tidak pernah mengajarkan demikian. Justru
kekristenan menentang paham demikian, dan paham ini justru termasuk dalam
penyembahan kepada banyak allah (Politeisme).
Sabellianisme atau Modalisme. Pandangan ini berasal dari
Sabellius (200 M) yang mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanyalah
tiga cara manifestasi dari satu Allah yang sama. Pada perjanjian Lama, Allah
yang satu itu menggunakan bentuk “Bapa”, kemudian pada peristiwa inkarnasi, Ia
menggunakan bentuk sebagai “Anak”, dan bentuk terakhir, Ia menampakkan diri
sebagai “Roh Kudus”. Jadi menurut pandangan ini, baik Bapa, Anak, dan Roh
Kudus, sesungguhnya hanya satu Oknum Ilahi saja yang menggunakan “tiga topeng” atau
“tiga peran” berbeda (layaknya seorang aktor) dalam tiga masa pelayanan-Nya.
Kekeliruan ini yang paling sering dijumpai dalam pemahaman jemaat awam ketika
menjelaskan tentang Allah Tritunggal. Analogi-analogi seperti, Pendeta-Guru-Ayah, dan Air yang dapat berupa
bentuk Cairan-Uap-Es, atau analogi
yang serupa justru tidak
mengakomodasikan konsep Allah Tritunggal, tetapi pengajaran menyimpang
Sabelianisme/Modalisme.
Subordinatianisme. Paham ini mengajarkan bahwa Tuhan Yesus
lebih rendah hakikat-Nya dari Bapa, dan Roh Kudus lebih rendah dari Tuhan Yesus
dan Bapa. Jadi terdapat semacam hierarki dalam hal ahkikat pada ke-Tritunggalan
Allah. Contoh yang paling jelas dari paham ini adalah pengajaran dari para
Saksi Yehovah. Ajaran demikian berakar dari kekeliruan Origenes yang
penekanannya mendekati konsep dualisme Platonis. Pandangan Plato ini
mengajarkan bahwa allah yang menciptakan dunia itu adalah “allah kecil” (demiurgos)
yang lebih rendah dari Allah sejati yang transenden. “Allah yang lebih kecil”
itu diidentifikasikan oleh Origenes sebagai Sang Logos (Kristus). Pandangan ini
diteruskan oleh Arius (bidat) yang berseberangan dengan Tertullian pada abat
ke-3, dan berlajut hingga kini dengan beberapa bentuk dan modifikasi seperti
Saksi Yehovah.
Ke-Esaan Allah Sekaligus Ke-Tritunggalan Allah dalam
Kitab Suci.
Pada bagian ini kita akan
sama-sama melihat dasar-dasar Alkitab sebagai penyataan wahyu Allah akan
kebenaran mengenai Tritunggal kudus.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa Alkitab baik dalam PL maupun PB secara konsisten memproklamasikan Allah kita
sebagai Allah yang Esa. Ke-Esaan-Nya ini menjadi Shema Israel (pengakuan iman umat Israel) yang dibacakan diawal
peribadatan mereka, baik ibadah harian maupun sabbat. Pengakuan iman ini
diambil dari kitab Ulangan 6:4,
“Dengarlah hai Israel;
TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
“Syema’
Yssrael, Adonay eloheinu, Adonay echad!”
Ayat ini juga dapat diterjemahkan sebagai, “Tuhan adalah Allah kita,
Tuhan saja!” Terjemahan ini menekankan keunikan Allah lebih daripada
keesaannya, tetapi sekaligus mengandung arti keesaan yangs ekaligus
mengesampingkan penyembahan kepada banyak allah (Politeisme).[13]
Meski demikian, perlu diperhatikan
bahwa tata bahasa Ibrani membedakan secara tajam antara kata “Esa” (echad) dan kata “Satu” (Yachead) secara matematis atau satu
secara mutlak. Kata Echad (esa) bukan
menunjukan “satu secara mutlak” namun merujuk kepada kesatuan dalam kejamakan
atau kolektif dari beberapa subjek. (Bdk. dengan Kel. 26:6, 11; Yeh. 37:17,
19). Salah satu contoh yang paling baik dalam penggunaan kata ini oleh Alkitab
adalah dalam Kejadian 2:24, “Keduanya menjadi satu (=echad) daging”.[14]
Maka dalam pemaknaan kata
“Esa” (אחד) dalam
Ulangan 6:4 menggambarkan keesaan Allah, sekaligus kejamakan Pribadi Allah
Tritunggal (meskipun masih secara implisit) sebagaimana yang juga diungkapkan
pada karya penciptaan ketika Ia menggunakan kata ganti bentuk jamak (“Kita”)
sebagai subjek utama penciptaan (Kej. 1:26; 3:22; 11:7; Yes. 6:8), namun dengan
kata kerja “Bara” (בָּרָא) bersifat subjek tunggal. Kejamakan ini (Plural
Majestik) juga tampak dalam penggunaan istilah “Elohim” (אֱלֹהִ֑ים) yang
diterjemahkan dengan kata “Allah” dalam PL, meskipun sekali lagi masih samar, belum
secara ekplisit seperti pada PB. Penyataan ke-Tritunggalan Allah juga Nampak
dalam kebenaran awal penciptaan, dimana secara implisit, Alkitab menggambarkan peranan
dari Ketiganya pada saatkarya penciptaan
berlangsung,
Pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk
dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.
(Kej. 1:1-3).
Kebenaran ini
menggambarkan secara implisit mengenai keberadaan Allah Tritunggal dimana Sang Bapa,
Firman, dan Roh Kudus, bersama-sama berdiri sebagai subjek yang menciptakan
alam semesta. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa di dalam keesaan Allah
itu secara implisit juga menggambarkan ke-tritunggalan-Nya.
Dalam Perjanjian Baru,
pewahyuan mengenai Allah Tritunggal menjadi lebih terang dan eksplisit. Karena
sifat wahyu Alkitab yang progress (bertahap), maka ketika kita membaca
Perjanjian Baru kita menjumpai peneguhan dan gambaran yang lebih jernih tentang
Allah Tritunggal yang masih samar dalam Perjanjian Lama.
Seperti Perjanjian Lama,
Perjanjian Baru pun menekankan kebenaran mengenai Allah yang esa, sebagai
contoh nas-nas seperti 1 Kor. 8:4-6; Ef. 4:3-6; dan Yak. 2:19 mengkonfirmasikan
kebenaran tersebut. Namun Perjanjian Baru juga menekankan ke-Tritunggalan Allah
secara eksplisit. Sebagai contoh: Mat. 3:16; 12:18; 12:28; 28:19; Luk. 1:35;
3:21-22; 24:49; Yoh. 3:34; 14:11-17; 20:21; Ki. 2:32; Rm. 15:16; 1 Kor. 6:15; 1
Kor. 12:4; 2 Kor. 13:13, dst.
Ketiganya juga diakui
sebagai Allah sebagaimana kebenaran firman-Nya dalam PB. Bapa adalah Allah (Yoh. 6:27; 1 Ptr. 1:2), Anak adalah Allah. Ia sendiri menyatakan natur Ilahi-Nya dalam
kuasa dan tindakan yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Ia mahatahu (Mat.
9:4), maka kuasa (28:18), mahahadir (Mat. 28:20), Ia menopang alam semesta
(Kol. 1:17), Ia ikut dalam karya penciptaan (Yoh. 1:3), dan Ia adalah Sang
Firman yang secara kekal bersama-sama dengan Bapa (Yoh. 1:1). Roh Kudus adalah Allah. Ia disebut
sebagai Allah (Kis. 5:3-4), Ia mahatahu (1 Kor. 2:10), mahahadir (1 Kor. 6:19),
dan Ia melahirkan kembali orang-orang yang percaya (Yoh. 3:5-8). Suatu tindakan
yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Meski demikian, Alkitab secara tegas
membedakan ketiga-Nya. Bapa bukan Anak, bukan Roh Kudus. Anak bukan Bapa, bukan
Roh Kudus, dan Roh Kududs bukan Bapa, dan bukan juga Anak (Lihat gambar 1.1).
Penutup.
Dalam beberapa rangkuman,
para teolog seringkali menjabarkan karya Allah Tritunggal bagi orang percaya
dalam karya tiga rangkap; Allah Bapa di atas kita, Allah Anak menyertai dan
besama-sama dengan kita, serta Allah Roh Kudus di dalam kita. Karya Allah Tritunggal
tersebut jugalah yang nampak pada karya keselamatan. Bapa merancang, Anak
melakukan, dan Roh Kudus melahir-barukan serta memimpin umat tebusan.
Keseluruhan dari natur dan ciptaan-Nya, selalu meninggalkan jejak-jejak Ilahi
dari karya agung Allah Tritunggal.
Kiranya menjadi jelas
bahwa konsep keyakinan Allah Tritunggal yang dinyatakan sesuai dengan kebenaran
firman-Nya sendiri, mejadi dasar dan pondasi iman dimana kita berpijak. Kebenaran
ini sekaligus mendorong kita untuk menempatkan diri dalam penyembahan yang
benar kepada Allah, baik dalam pelayanan gerejawi maupun dalam pelayanan publik
(karakter, dan perilaku hidup).
Soli Deo Gloria!
Kepustakaan.
Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta:
LAI, 2012).
A.A Jones, R.A Cole, dkk, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2016).
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1 : Panduan Populer Untuk Memahami Kebenaran Alkitab
(Yogyakarta: Andy Offset, 1991).
G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1
(Surabaya: Momentum, 2006).
Jan. A Boersema, dkk, Berteologi Abat XXI: Menjadi Kristen
Indonesia di Tengah Masyarakat Majemuk (Surabaya: Literatur Perkantas,
2015).
J.I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah (Yogyakarta:
Andi, 2009).
Jonar S, Theologi Proper : Menjelaskan Pribadi Allah
Yang Benar, Hidup dan Absolut (Yogyakarta: Andy Offset, 2015).
Paul Enns, The Moody hand Book Of Theology 1 (Malang: Literatur SAAT, 2010).
Robert Letham, Allah Trinitas: Dalam Alkitab, Sejarah, Theologi, dan Penyembahan (Surabaya:
Momentum, 2014).
RC. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur SAAT,
2016).
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007).
Thomy J. Matakupan, Theologi
Doktrin Allah (Surabaya : Momentum Literatur, 2010).
Walter A. Elwell, Analisa Topikal Terhadap Alkitab Jilid 1: Allah Kristus dan Roh Kudus
(Malang: Literatur SAAT, 2003).