Senin, 05 Agustus 2019

DOKTRIN KRISTEN : ALLAH TRITUNGGAL




DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL

Oleh: Yosep Belay.

Pendahuluan.

          Keyakinan iman dan teologi Kristen memiliki keunikan tersendiri khususnya dalam konsep teologi Proper (doktrin Allah—Tritunggal). Doktrin tersebut unik sekaligus rumit sehingga pada perkembangannya di setiap zaman, doktrin Allah Tritunggal menjadi polemik yang diperdebatkan secara masif baik dalam lingkungan kekristenan maupun ketika berhadapan dengan keyakinan non-Kristen. Melalui pengajaran ini pula, kita menjumpai perbedaan yang tajam dengan para kalangan bidat baik pada gereja mula-mula maupun zaman modern saat ini, misalnya Saksi Yehovah dan Unitarian (yang dalam beberapa hal memiliki pandangan serupa dengan konsep allah dalam Islam). Singkatnya, doktrin Allah Tritunggal merupakan aspek yang fundalamental dimana oleh doktrin tersebut kita dapat membedakan yang ortodoksi dan yang bukan ortodoksi.[1]

          Kesulitan yang umum dijumpai dalam mempelajari doktrin ini adalah karena cakupan bahasannya yang menggunakan terminologi filosofis metafisik, dengan pemaknaan yang ketat dan mendalam sehingga sulit untuk dipahami oleh jemaat awam. Belum lagi keterbatasan natur kita sebagai ciptaan yang terbatas dan korup karea dosa, tidak memungkinkan untuk memahami misteri Allah sebagai pencipta. Namun kata “sulit” bukan berarti tidak dapat dipahami. Sebaliknya, ungkapan “dapat dipahami” juga bukan berarti bahwa kita dapat secara menyeluruh memahami Pribadi agung Allah (Ayb. 36:26; Yes. 55:8-9). Pernyataan ini hanya ingin menegaskan bahwa setidaknya kebenaran yang telah Ia nyatakan melalui firman-Nya (Alkitab) kepada kita, dapat menghantarkan kita untuk mengenal lebih dekat tentang Pribadi-Nya yang agung dan penuh misteri itu sesuai dengan batasan wahyu yang dinyatakan (Ul. 29:29; Rm. 11:33). Meski demikian, penekanan yang penting perlu kita pahami bahwa penyataan wahyu Allah melalui kebenaran firman-Nya adalah kebenaran dan pengetahuan yang benar, karena kebenaran itu berasal dari Allah yang adalah kebenaran (1 Yoh. 5:20).[2] Atau seperti yang diungkapan oleh Katekismus Westminster, “Satu-satunya alasan kita untuk mempercayai doktrin Trinitas adalah semata-mata karena Alkitab tidak memberikan kemungkinan bagi pandangan lain.”[3]

          Akan tetapi pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan berikutnya adalah mengapa penting memahami pengajaran mengenai Allah Tritunggal? Belajar untuk mengenal Allah merupakan panggilan terpenting umat manusia, terutama bagi umat Tuhan. Hal ini penting karena mengenal Allah yang benar akan menghantarkan kita pada pengenalan yang benar pula mengenai; siapa kita, apa fokus dan tujuan hidup kita yang sejati, keyakinan iman dan pengharapan yang teguh dimana kita berpaut, serta relasi kita dengan sesama dan alam semesta. Untuk itu pengajaran ini merupakan salah satu pengajaran yang penting bagi iman Kristen. Sebagaimana yang dinyatakan J.I. Packer, “Kita sedang bersikap kejam pada diri sendiri jika kita berusaha untuk hidup di dunia ini tanpa berusaha untuk tahu apa pun tentang Allah yang menjadi pemilik dan pemelihara dunia ini.”[4]

          Sebaliknya, pengenalan yang keliru tentang Allah akan bedampak pada kesesatan eksistensial. Dengan kata lain, jika kita tidak mengenal Allah yang sejati, maka tentu kita memiliki semacam konsep yang keliru dalam penyembahan kepada allah palsu, dimana wawasan dunia spiritual tersebut menjadi panduan dan pengharapan  yang mengahantarkan kita pada kesesatan dan kebinasaan kekal (Bdk. Hos. 4:6; Mzm. 49:14-15). Selain itu  tujuan terpenting panggilan umat Tuhan adalah memberitakan amanat agung Kristus (Mat. 28:19-29), dan hal tersebut dimulai dari pengenalan yang benar akan Allah Tritunggal sebagaimana yang ditunjukan Tuhan Yesus dalam perintah baptisan, “...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Suatu deklarasi iman yang sangat nyata mengenai Allah yang unik dalam ke-Tritunggalan-Nya yang kudus. 

Tinjauan Sejarah Singkat.

          Istilah “Tritunggal” tidak terdapat di dalam Alkitab. Namun istilah tersebut merangkum kebenaran yang terpancar dari Alkitab mengenai Allah. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Tertulianus, bapa gereja Latin (155 M - 220 M) dalam tulisannya Adversus Praxean. Sebuah pembelaan iman Kristen terhadap pandangan sesat dari salah seorang tokoh yang bernama Praxeas pada zaman itu.[5] Ia mengatakan bahwa Ketiganya adalah tiga, “bukan dalam kondisi, tetapi dala tingkat, bukan dalam substansi tetapi dalam forma; bukan dalam kuasa tetapi dalam aspek; namun dari satu substansi (unius autem substantiae), dan dari satu kondisi, dan dari satu kuasa, karena Ia adalah Allah yang esa.”[6] Dalam perkembangannya, bersama dengan dua rekannya Ireneus dan Origenes, doktrin Tritunggal Kudus digumuli hingga pada puncaknya dirumuskan dan disahkan sebagai pengakuan iman dibawah pimpinan Athanasius dalam sidang konsili Nicea (325 M).

          Doktrin Allah Tritunggal pada abat ke-4 yang terus diserang oleh bidat Arianisme, kemudian kembali dipertahankan oleh serangkaian pembelaan yang kuat oleh Bapa-bapa Kapadokia. Basilius dari Kaisarea, sahabatnya Gregorius dari Nazianzus, dan adiknya Gregorius dari Nyssa. Ketinganya berasal dari salah satu bagin propinsi Romawi yang terletak di Turki zaman sekarang. Dalam pembelaanya, mereka menjabarkan kerangka Tritunggal Athanasius dengan lebih jelas dan gamblang. Basilius dalam salah satu suratnya menjelaskan demikian,

“Perbandingan hakikat terhadap hypostatis sebagai yang universal terhadap yang khusus. Masing-masing kita mempunyai bagian dalam eksistensi melalui hakikat yang sama, namun masing-masing kita    adalah individu yang khusus karena mempunyai sifat-sifat   tersendiri.”[7]

Basilius mengangkat dua tema penting dalam penjabarannya yang membedakan sekaligus menyatukan masing-masing Oknum Allah, yaitu “Hakikat” dan “Hypostatis”. Misalnya sebagai manusia, kita memiliki hakikat yang sama yaitu “kemanusiaan” kita. Sementara didalam hakikat sebagai “kemanusiaan” itu kita secara pribadi juga memiliki “Hypostatis” yang berbeda sebagai ciri khusus yang menggambarkan kepribadian kita itu berbeda dengan yang lainnya. Hal ini yang mendasari keyakinan dasar Allah Tritunggal ortodoksi, bahwa ketiganya—Bapa, Anak, Roh Kudus—Esa dalam “Hakikat” ke-Allahan, namun sekaligus tiga dalam “Hypostasis” (Persona/Person/Pribadi) yang berdeda dan membedakan Mereka.

          Generasi ketiga pasca Baba-bapa Kapadokia yang kembali merumuskan kebenaran ini dengan lebih sistematik adalah Agustinus. Ia merumuskan dan melengkapinya dengan beberapa analogi (meskipun terbatas) kemudian merangkumnya dalam pengakuan iman Atanasius yang diterima secara universal oleh semua gereja yang Am hingga saat ini (baik Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental (sebagian), mau pun gereja-gereja Reformasi; Protestan, Pentakosta, dan Kharismatik). Pada abat pertengahan hingga pasca reformasi, doktrin Allah Tritunggal telah menjadi salah satu doktrin iman kristen yang fundamental dan final. Tentu saja diluar kalangan bidat seperti Saksi Yehovah yang meskipun diakui Negara sebagai salah satu denominasi Kristen di Indonesia, namun secara tradisi dan penyataan Kitab Suci mereka tentu berada di luar keyakinan iman Kristen.  

Tritunggal Dalam Pemaknaan.

          Seperti yang telah disampaikan di atas, secara hakikat, Allah tidak dapat dikekang dalam sebuah rumusan-rumusan kalimat teologis. Namun rumusan teologis yang alkitabiah sangatlah penting dan perlu (meski terbatas) sebagai instrument pengajaran dasar yang dapat memimpin umat-Nya, sesuai dengan wahyu Allah, untuk dapat mengenal Allah yang sejati dalam misteri ke-Tritunggalan-Nya yang supra rasio (melampaui akal budi/rasio kita).

          Rumusan dogma Trinitas dalam pemaknaannya tidak terlepas dari apa yang Tertullian telah jabarkan. Hal ini yang juga dijumpai dalam pandangan dari beragam teolog Injili. Paul Enns mendefinisikan Tritunggal sebagai, “Tiga Pribadi yang satu tanpa keterpisahan eksistensi, secara komplet bersatu untuk membentuk satu Allah. Natur Ilahi hidup dalam tiga perbedaan—Bapa, Anak, dan Roh Kudus.” Carles C. Ryrie mengutip Warfield, mengatakan bahwa: “Ada satu Allah yang benar dan satu-satunya, tetapi dalam keesaan dalam Keallahan ini ada tiga Pribagi yang sama kekal dan sepadan, sama dalam hakikat tetapi berbeda dalam Pribadi.”[8] Dengan penjabaran serupa R.C Sproul mengatakan bahwa, “Formulasi Trinitas yang telah dikemukakan dalam sejarah adalah Allah itu satu esensi dan tiga Pribadi. Formula ini merupakan suatu hal yang misteri dan paradoksal tetapi tidak kontradiksi.”[9]

          Atau dalam penjabaran yang lebih terperinci namun sedikit rumit oleh Ensiklopedi Alkitab Masa Kini; “Ajaran Tritunggal mengajarkan bahwa Allah satu dalam harkat dan hakikat-Nya, tetapi dalam dirinya-Nya terdapat tiga Oknum yang tidak membentuk perseorangan yang tersendiri dan berbeda. Akan tetapi tiga ‘Oknum’ adalah ungkapan yang tidak sempurna untuk mengungkapkan kebenaran itu karena ungkapan itu mengartikan kepada kita perseorangan yang tersendiri, yang berbudi dan bias memilih. Padahal dalam hakikat Allah, BUKAN tiga perseorangan, tetapi hanya tiga pembedaan dalam diri Allah yang satu seutuhnya.”[10] Sebagaimana yang disampaikan juga oleh Matakupan, “Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang esa memiliki tiga pribadi, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Allah yang memiliki tiga pribadi bukan berarti tiga Allah, melainkan satu Allah. Dengan demikian, tiga Pribadi di sini bukan dalam pengertian arti kata biasa; bukan merujuk kepada tiga individu, tetapi lebih kepada tiga cara/bentuk dimana Roh Ilahi bereksistensi (sesuai dengan kesaksian kitab suci).”[11]  

          Keesaan dari Allah ini dinyatakan sebagai esensi-Nya (hakikat) atau keberadaan-Nya, sedangkan keragaman-Nya diekspresikan dalam tiga Pribadi. Ketiga Pribadi tersebut adalah sederajat (co-equal), sama-sama kekal (co-eternal), sama-sama ada dengan sendirinya (co-existent), dan sama-sama berkuasa (co-powerfull).[12]    

Ajaran-ajaran yang Keliru tentang Allah Tritunggal.

      Tri-Theisme. Tri-Theisme mengajarkan/menafsirkan secara keliru bahwa Allah Tritunggal sama dengan Tiga Allah. Atau terdapat tiga Allah yang memerintah layaknya Tri Murti dalam keyakinan Hinduisme, atau juga dalam kesaksian Qur’an yang seolah-oleh menuduh kaum Nasrani menempatkan Isa (Tuhan Yesus) dan Mariam (Ibu Maria) sebagai “dua Tuhan” lain di selain Allah Bapa. Tentu saja  hal ini keliru, karena keyakinan dasar Rasuli dan Bapa-bapa gereja mula-mula (yang bertolak dari Kitab Suci dan sejarah seperti yang telah dibahas di atas) tidak pernah mengajarkan demikian. Justru kekristenan menentang paham demikian, dan paham ini justru termasuk dalam penyembahan kepada banyak allah (Politeisme).

          Sabellianisme atau Modalisme. Pandangan ini berasal dari Sabellius (200 M) yang mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanyalah tiga cara manifestasi dari satu Allah yang sama. Pada perjanjian Lama, Allah yang satu itu menggunakan bentuk “Bapa”, kemudian pada peristiwa inkarnasi, Ia menggunakan bentuk sebagai “Anak”, dan bentuk terakhir, Ia menampakkan diri sebagai “Roh Kudus”. Jadi menurut pandangan ini, baik Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sesungguhnya hanya satu Oknum Ilahi saja yang menggunakan “tiga topeng” atau “tiga peran” berbeda (layaknya seorang aktor) dalam tiga masa pelayanan-Nya. Kekeliruan ini yang paling sering dijumpai dalam pemahaman jemaat awam ketika menjelaskan tentang Allah Tritunggal. Analogi-analogi seperti, Pendeta-Guru-Ayah, dan Air yang dapat berupa bentuk Cairan-Uap-Es, atau analogi yang serupa justru tidak mengakomodasikan konsep Allah Tritunggal, tetapi pengajaran menyimpang Sabelianisme/Modalisme.

          Subordinatianisme. Paham ini mengajarkan bahwa Tuhan Yesus lebih rendah hakikat-Nya dari Bapa, dan Roh Kudus lebih rendah dari Tuhan Yesus dan Bapa. Jadi terdapat semacam hierarki dalam hal ahkikat pada ke-Tritunggalan Allah. Contoh yang paling jelas dari paham ini adalah pengajaran dari para Saksi Yehovah. Ajaran demikian berakar dari kekeliruan Origenes yang penekanannya mendekati konsep dualisme Platonis. Pandangan Plato ini mengajarkan bahwa allah yang menciptakan dunia itu adalah “allah kecil” (demiurgos) yang lebih rendah dari Allah sejati yang transenden. “Allah yang lebih kecil” itu diidentifikasikan oleh Origenes sebagai Sang Logos (Kristus). Pandangan ini diteruskan oleh Arius (bidat) yang berseberangan dengan Tertullian pada abat ke-3, dan berlajut hingga kini dengan beberapa bentuk dan modifikasi seperti Saksi Yehovah.

Ke-Esaan Allah Sekaligus Ke-Tritunggalan Allah dalam Kitab Suci.

          Pada bagian ini kita akan sama-sama melihat dasar-dasar Alkitab sebagai penyataan wahyu Allah akan kebenaran mengenai Tritunggal kudus.

          Tidak dapat dipungkiri bahwa Alkitab baik dalam PL maupun PB secara konsisten memproklamasikan Allah kita sebagai Allah yang Esa. Ke-Esaan-Nya ini menjadi Shema Israel (pengakuan iman umat Israel) yang dibacakan diawal peribadatan mereka, baik ibadah harian maupun sabbat. Pengakuan iman ini diambil dari kitab Ulangan 6:4,

          “Dengarlah hai Israel; TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!

          “Syema’ Yssrael, Adonay eloheinu, Adonay echad!”  

Ayat ini juga dapat diterjemahkan sebagai, “Tuhan adalah Allah kita, Tuhan saja!” Terjemahan ini menekankan keunikan Allah lebih daripada keesaannya, tetapi sekaligus mengandung arti keesaan yangs ekaligus mengesampingkan penyembahan kepada banyak allah (Politeisme).[13]

          Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa tata bahasa Ibrani membedakan secara tajam antara kata “Esa” (echad) dan kata “Satu” (Yachead) secara matematis atau satu secara mutlak. Kata Echad (esa) bukan menunjukan “satu secara mutlak” namun merujuk kepada kesatuan dalam kejamakan atau kolektif dari beberapa subjek. (Bdk. dengan Kel. 26:6, 11; Yeh. 37:17, 19). Salah satu contoh yang paling baik dalam penggunaan kata ini oleh Alkitab adalah dalam Kejadian 2:24, “Keduanya menjadi satu (=echad) daging”.[14]

        Maka dalam pemaknaan kata “Esa” (אחד) dalam Ulangan 6:4 menggambarkan keesaan Allah, sekaligus kejamakan Pribadi Allah Tritunggal (meskipun masih secara implisit) sebagaimana yang juga diungkapkan pada karya penciptaan ketika Ia menggunakan kata ganti bentuk jamak (“Kita”) sebagai subjek utama penciptaan (Kej. 1:26; 3:22; 11:7; Yes. 6:8), namun dengan kata kerja “Bara” (בָּרָא) bersifat subjek tunggal. Kejamakan ini (Plural Majestik) juga tampak dalam penggunaan istilah “Elohim” (אֱלֹהִ֑ים)  yang diterjemahkan dengan kata “Allah” dalam PL, meskipun sekali lagi masih samar, belum secara ekplisit seperti pada PB. Penyataan ke-Tritunggalan Allah juga Nampak dalam kebenaran awal penciptaan, dimana secara implisit, Alkitab menggambarkan peranan dari Ketiganya pada saatkarya  penciptaan berlangsung,

        Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum     berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan      Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. (Kej. 1:1-3).

          Kebenaran ini menggambarkan secara implisit mengenai keberadaan Allah Tritunggal dimana Sang Bapa, Firman, dan Roh Kudus, bersama-sama berdiri sebagai subjek yang menciptakan alam semesta. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa di dalam keesaan Allah itu secara implisit juga menggambarkan ke-tritunggalan-Nya.

          Dalam Perjanjian Baru, pewahyuan mengenai Allah Tritunggal menjadi lebih terang dan eksplisit. Karena sifat wahyu Alkitab yang progress (bertahap), maka ketika kita membaca Perjanjian Baru kita menjumpai peneguhan dan gambaran yang lebih jernih tentang Allah Tritunggal yang masih samar dalam Perjanjian Lama.

          Seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru pun menekankan kebenaran mengenai Allah yang esa, sebagai contoh nas-nas seperti 1 Kor. 8:4-6; Ef. 4:3-6; dan Yak. 2:19 mengkonfirmasikan kebenaran tersebut. Namun Perjanjian Baru juga menekankan ke-Tritunggalan Allah secara eksplisit. Sebagai contoh: Mat. 3:16; 12:18; 12:28; 28:19; Luk. 1:35; 3:21-22; 24:49; Yoh. 3:34; 14:11-17; 20:21; Ki. 2:32; Rm. 15:16; 1 Kor. 6:15; 1 Kor. 12:4; 2 Kor. 13:13, dst.

          Ketiganya juga diakui sebagai Allah sebagaimana kebenaran firman-Nya dalam PB. Bapa adalah Allah (Yoh. 6:27; 1 Ptr. 1:2), Anak adalah Allah. Ia sendiri menyatakan natur Ilahi-Nya dalam kuasa dan tindakan yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Ia mahatahu (Mat. 9:4), maka kuasa (28:18), mahahadir (Mat. 28:20), Ia menopang alam semesta (Kol. 1:17), Ia ikut dalam karya penciptaan (Yoh. 1:3), dan Ia adalah Sang Firman yang secara kekal bersama-sama dengan Bapa (Yoh. 1:1). Roh Kudus adalah Allah. Ia disebut sebagai Allah (Kis. 5:3-4), Ia mahatahu (1 Kor. 2:10), mahahadir (1 Kor. 6:19), dan Ia melahirkan kembali orang-orang yang percaya (Yoh. 3:5-8). Suatu tindakan yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Meski demikian, Alkitab secara tegas membedakan ketiga-Nya. Bapa bukan Anak, bukan Roh Kudus. Anak bukan Bapa, bukan Roh Kudus, dan Roh Kududs bukan Bapa, dan bukan juga Anak (Lihat gambar 1.1).

Penutup.

          Dalam beberapa rangkuman, para teolog seringkali menjabarkan karya Allah Tritunggal bagi orang percaya dalam karya tiga rangkap; Allah Bapa di atas kita, Allah Anak menyertai dan besama-sama dengan kita, serta Allah Roh Kudus di dalam kita. Karya Allah Tritunggal tersebut jugalah yang nampak pada karya keselamatan. Bapa merancang, Anak melakukan, dan Roh Kudus melahir-barukan serta memimpin umat tebusan. Keseluruhan dari natur dan ciptaan-Nya, selalu meninggalkan jejak-jejak Ilahi dari karya agung Allah Tritunggal.

          Kiranya menjadi jelas bahwa konsep keyakinan Allah Tritunggal yang dinyatakan sesuai dengan kebenaran firman-Nya sendiri, mejadi dasar dan pondasi iman dimana kita berpijak. Kebenaran ini sekaligus mendorong kita untuk menempatkan diri dalam penyembahan yang benar kepada Allah, baik dalam pelayanan gerejawi maupun dalam pelayanan publik (karakter, dan perilaku hidup).

Soli Deo Gloria!



Kepustakaan.

          Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: LAI, 2012).

          A.A Jones, R.A Cole, dkk, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2016).

          Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1 : Panduan Populer Untuk Memahami Kebenaran Alkitab (Yogyakarta: Andy Offset, 1991).

          G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1 (Surabaya: Momentum, 2006).

          Jan. A Boersema, dkk, Berteologi Abat XXI: Menjadi Kristen Indonesia di Tengah Masyarakat Majemuk (Surabaya: Literatur Perkantas, 2015).

          J.I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah (Yogyakarta: Andi, 2009).

          Jonar S, Theologi Proper : Menjelaskan Pribadi Allah Yang Benar, Hidup dan Absolut (Yogyakarta: Andy Offset, 2015).

          Paul Enns, The Moody hand Book Of Theology 1 (Malang: Literatur SAAT, 2010).

          Robert Letham, Allah Trinitas: Dalam Alkitab, Sejarah, Theologi, dan Penyembahan (Surabaya: Momentum, 2014).

          RC. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur SAAT, 2016).

          Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).

            Thomy J. Matakupan, Theologi Doktrin Allah (Surabaya : Momentum Literatur, 2010).

          Walter A. Elwell, Analisa Topikal Terhadap Alkitab Jilid 1: Allah Kristus dan Roh Kudus (Malang: Literatur SAAT, 2003).







            [1] Paul Enns, The Moody hand Book Of Theology 1 (Malang: Literatur SAAT, 2010), 243.
            [2] Jan. A Boersema, dkk, Berteologi Abat XXI: Menjadi Kristen Indonesia di Tengah Masyarakat Majemuk (Surabaya: Literatur Perkantas, 2015), 128.
            [3] G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1 (Surabaya: Momentum, 2006), 32.
            [4] J.I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah (Yogyakarta: Andi, 2009), 5.
            [5] Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 13.
            [6] Tertullian, Against Praxeas dalam Robert Letham, Allah Trinitas: Dalam Alkitab, Sejarah, Theologi, dan Penyembahan (Surabaya: Momentum, 2014), 102.
            [7] Tony Lane, Runtut Pijar…, 30.
            [8] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1 : Panduan Populer Untuk Memahami Kebenaran Alkitab (Yogyakarta: Andy Offset, 1991), 78.
            [9] RC. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur SAAT, 2016), 43.
                [10] A.A Jones, R.A Cole, dkk, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2016), 491.
                [11] Thomy J. Matakupan, Theologi Doktrin Allah (Surabaya : Momentum Literatur, 2010), 24.
            [12] Jonar S, Theologi Proper : Menjelaskan Pribadi Allah Yang Benar, Hidup dan Absolut (Yogyakarta: Andy Offset, 2015), 262.
            [13] Charle C. Ryrie, Teologi Dasar 1…, 75.
            [14] Jonar S, Theologi Proper…, 276.

Rabu, 08 Mei 2019

RENUNGAN : PRINSIP DASAR SUKSES

Nas : Daniel 1:3-4, Lalu raja bertitah kepada Aspenas, kepala istananya, untuk membawa beberapa orang Israel, yang berasal dari keturunan raja dan dari kaum bangsawan, yakni orang-orang muda yang tidak ada sesuatu cela, yang berperawakan baik, yang memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang mempunyai pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap untuk bekerja dalam istana raja, supaya mereka diajarkan tulisan dan bahasa orang Kasdim.
 
_______________

Kata “sukses” dalam terminologi iman Kristen seringkali menjadi perdebatan. Beberapa kalangan menganggap teologi sukses bertentangan dengan teologi salib karena panggilan utama umat Tuhan adalah untuk memikul salib bukan menjadi sukses. Sementara disisi lain, sebagai umat Tuhan kita pun dipanggil untuk menjadi berkat bagi banyak orang, dan “kesusksesan” merupakan salah satu ciri serta instrumen yang Allah gunakan untuk memperlebar pekerjaan-Nya di dunia. Itu sebabnya ketika berbicara mengenai tema kesuksesan kita perlu berhati-hati dan terbuka untuk menguji setiap motivasi hati kita di hadapan Tuhan, sebagaimana teladan Daniel dan kawan-kawan.

Sebagai orang-orang muda, Daniel dan tiga kawannya menunjukan suatu karakteristik sebagai anak muda Israel yang berbeda dari yang lainnya. Mereka memiliki enam karakteristik yang menghantarkan mereka pada kesuksesan. Enam hal tersebut adalah “Tidak ada sesuatu cela”—memiliki karakter dan perilaku hidup yang baik, “Berperawakan baik”—sikap dan penampilan yang sepantasnya, “Memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan/ pengertian tentang ilmu”—memiliki kapasitas intelektual yang memadai, “Cakap bekerja”—rajin, ulet, serta komit pada pekerjaan, “Supaya mereka diajarkan”—mau terus belajar, dan “Iman yang kokoh” (ay. 8)—tidak digoyahkan dan silau oleh jabatan serta harta.

Daniel dan kawan-kawannya merupakan teladan yang tepat tentang bagaimana generasi muda gereja mempersiapkan diri dengan memperbesar kapasitas karakter, intelektualitas dan iman yang mantab untuk masuk dan berkarya dalam dunia. Perkembangan teknologi yang begitu pesat saat ini memaksa kita sebagai generasi muda gereja untuk menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran yang ada. Sayangnya, perkembangan teknologi digital tersebut juga menghasilkan berbagai macam “hiburan dunia maya” yang mendatangkan konsekuensi fatal dengan menyita sebagian besar waktu yang kita sediakan untuk belajar dan berdoa. Satu hal yang perlu kita perhatikan bahwa Daniel dan kawan-kawan tidak sampai pada puncak kesuksesan mereka tanpa enam hal di atas, dan enam hal itu tidak pernah diperoleh tanpa usaha dan kerja keras.  

Kesuksesan bukanlah sesuatu yang instan, kesuksesan dihasilkan oleh usaha dan kerja keras dalam pimpinan anugerah Allah. Berjuanglah memperbesar kapasitas kita, dan dengan tetap hidup dalam pimpinan Tuhan, maka ketika waktu perkenan dan promosi Tuhan tiba, kita jelang dengan langkah yang mantab. Tuhan Yesus memberkati. –YB.