Rabu, 19 Desember 2018

NARASI FILSAFAT: Manusia, Hewan yang Berideologi [Kritik Filosofis Humanistik]

Pertanyaan abadi yang diperdebatkan dua mazhab filsafat besar Idealisme Platonis dan Empirisisme (juga Materialisme) adalah apakah ide mandahului materi atau sebaliknya materi mendahului ide. Lebih dulu mana objek materi yang berbentuk bangku atau ide tentang bangku yang menghasilkan bentuk materinya?.
Kedua mazab ini memiliki jawabannya masing-masing sesuai dengan paham (isme) yang diyakini. Seperti mereka, apa pun jawaban kita, pastilah akan mencerminkan gagasan dari salah satu mazhab tersebut yang secara tidak langsung mengekspresikan juga suatu bentuk ideologi filsafati yang juga kita anut. Apa yang terjadi dalam dialektika semacam ini merupakan suatu perdebatan mendasar yang sedang berbicara mengenai keyakinan ideologis.

Konsepsi mengenai ideologi telah menjadi pola mendasar yang mewarnai sejarah panjang pemikiran dan peradaban umat manusia secara universal. Bahkan Hawa ketika memutuskan untuk memakan buah terlarang di taman Eden, hal itu pun merupakan ekspresi dari semacam ideologi baru yang memimpinnya dalam suatu tindakan konkret. "Ideologi" (Yun. Idea—Ide atau gagasan dan Logos—Ilmu) merupakan suatu istilah yang paling banyak menghasilkan definisi, tergantung “siapa” dan “bidang apa” istilah ini digunakan.
Destutt De Tracy memperkenalkan istilah ini pertama kalinya dengan merujuk pada studi komprehensif yang bertujuan untuk mengembalikan ide-ide pada kesan-kesan asali. Ideologi juga terkadang disandingkan dengan istilah worldview (Weltanschauung—Jer.) atau wawasan dunia yang mana merupakan suatu rangkuman pemahaman serta dasar pijakan seseorang dalam memahami realitas eksistensialnya.

Tulisan ini tidak dikhususkan untuk menelusuri perdebatan etimologi serta sejarah filosofisnya, tetapi lebih cenderung sebagai kritik filosofis praktis yang menyangkut judul di atas. Ideologi, seperti kata Bacon, adalah suatu sintesis pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Ideologi bukan hanya menyangkut dunia politik seperti yang umum dipahami, namun lebih besar dari itu, menyangkut segi eksistensial yang mengendalikan hidup manusia.

Mengapa saya menulis? Karena saya dikendalikan oleh suatu ideologi dan gagasan yang membentuk pola pikir serta bidang minat saya. Mengapa Anda membaca? Karena Anda pun dikendalikan oleh semacam ideologi yang membentuk norma-norma, gagasan, tindakan, karakter, prinsip, serta perilaku hidup. 
Termasuk ketika Anda memilih untuk membaca tulisan ini pun, hal itu berkaitan dengan suatu bidang minat ideologi tertentu. Anda dapat menayangkan dan mempertanyakan pertanyaan yang sama terhadap perilaku semua manusia di mana pun, dan Anda akan menemukan satu jawaban bahwa semua perilaku itu dikendalikan oleh suatu ideologi tertentu.

Manusia tidak dapat hidup tanpa suatu “ideologi”. Manusia adalah makhluk yang berideologi. Tidak berideologi pun merupakan suatu ideologi, “ideologi yang tidak berideologi”. 
Kalangan evolusionis yang meganggap manusia merupakan organisme yang berevolusi oleh serangkaian seleksi alam akan menjadi linglung ketika berhadapan dengan isu ini. Hipotesis evolusionis terlalu menyederhanakan rumitnya konsepsi dunia ide pada manusia. Evolusionis paling-paling hanya mampu sampai pada serangkaian hipotesis mengenai fenomena-fenomena fisik yang tampak, namun tidak akan pernah sampai pada fakta-fakta tentang dari mana asal usul dan bagaimana dunia ide yang begitu kompleks pada manusia itu berkembang serta memengaruhi kehidupannya.

“Manusia sebagai hewan berideologi” pada judul ini sebenarnya merupakan suatu parodi yang saya jadikan sebagai kritik eksistensial bagi penganut evolusionis. Anda mungkin saja dapat menjumpai “beberapa persamaan fisik” dalam serangkaian analisa ilmiah antara hewan primata seperti orangutan dan manusia, namun Anda tidak akan mungkin mendapatkan kesamaan dalam dunia ide, etika, dan ideologi antara keduanya. 

Pernahkah Anda menyaksikan sekelompok orangutan mempraktikkan ideologi Marxisme? Tentu saja “hewan” tidak ada yang berideologi, namun lucunya manusia ada yang menganut ideologi yang meng-hewan-kan manusia.

Meskipun lucu dan menyedihkan, namun bukankah sudah saya katakan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa ideologi?—manusia harus berideologi. Jadi baik ataupun buruk suatu ideologi, kemanuisaan kita mendorong kita untuk harus menganutnya.

Ada beberapa filsuf/ilmuan sekuler dan ateis yang menganggap bahwa keyakinan teologis memperbudak manusia, namun mereka pun lupa bahwa mereka juga sedang diperbudak oleh semacam “tuhan” lain yang menjadi ideologi yang mereka yakini. Dari sini kita melihat bahwa konsepsi nihilisme Nietszchean pun sebenarnya tidak benar-benar menghasilkan sesuatu yang “nihil” dalam dunia ide, karena konsepsi demikian pun merupakan suatu ideologi jenis baru.

Hewan memang tidak dan tak dapat berideologi. Kita manusialah yang berideologi, namun terkadang ideologi yang dianut manusia menjadikan ia bertintak laksana hewan bahkan melebihi setan. Sebagai penutup, kritik ini bukan hanya menjadi sebuah parodi filosofis bagi kaum evolusionis, namun lebih jauh, merupakan bentuk ajakan agar kita perlu mempertimbangkan dan mengkaji secara kritis setiap keyakinan dasar yang menjadi ideologi kita. 

Alasan mendasarnya karena ideologi-ideologi ini cepat atau lambat akan berbenturan ketika bersinggungan di ruang publik. Hal ini penting karena percaya atau tidak, sebagian besar konflik yang terjadi (baik fisik dan verbal) dalam konteks personal maupun komunal, selalu didahului oleh konflik dalam dunia ideologis. Singkatnya, ideologimu termanifestasikan dalam tindakanmu.
__________
Sumber :  https://www.qureta.com/post/manusia-hewan-yang-berideologi.

Kamis, 13 Desember 2018

Badut-Badut Natal : Kritik Bagi Euforia Perayaan Natal Post Modern

“Natal” merupakan salah satu hari raya yang paling dinantikan bagi umat Kristen. Natal selalu identik dengan sukacita dan berkat yang diekspresikan melalui dekorasi, makanan, pakaian, hingga THR. Sementara dalam konteks bisnis Natal kini menjadi “hari raya masyarakat global” karena Natal adalah momentum yang dinanti oleh kalangan pebisnis untuk merauk keuntungan lipat ganda.

Di belahan Timur Negeri ini,  suasana Natal bahkan telah terasa semenjak bulan November. Ornamen Natal telah terpasang di mana-mana, bahkan hingga di pepohonan seolah-olah sedang mengikuti lomba dekorasi. Lagu-lagu Natal juga terdengar di hampir semua rumah, saling sahut-menyahut bagaikan lapak PKL yang menjajakan dagangan. Tak lupa persediaan beberapa “botol minuman penghangat” khas masyarakat timur yang menjadi ritual bagi para pemabuk untuk menyongsong Sang Penebus. Mungkin karena Natal bukan hanya milik umat Tuhan yang taat namun juga “umat Tuhan” dari kalangan pemabuk.

Salah satu fenomena yang tak ketinggalan yang marak di daerah Timur adalah jadwal kunjungan rutin si kakek tua berjenggot dengan pengawalnya si hitam. Si kakek yang lebih tenar dibandingkan dengan Sang Penebus ini, kini muncul dengan inovasi baru yang entah bagaimana ceritanya, sekarang ia didampingi seorang peri cantik. Mungkin si kakek santa terlalu renta dan tidak tahan sendirian jadi perlu asisten yang cantik. Mirisnya, jadwal kunjugan kakek tua dan pasukannya ini justru yang paling dinantikan anak-anak ketika Natal karena konon si kakek dan rombongannya ini doyan berbagi hadiah—meskipun hadiahnya merupakan titipan dan pesanan orang tua.

Trik murahan yang justru lebih menonjolkan sisi bisnis dibanding pesan moral. Lebih jauh, praktek demikian sedang memperlihatkan sebuah pesan yang menjungkir balikkan pengajaran iman dan pengharapan anak kepada Tuhan, dan digantikan dengan pengharapan palsu kepada si kakek tua Santa. Menyedihkan!
Tidak hanya sampai disitu, parahnya uforia-uforia demikian tidak hanya melanda umat Tuhan namun juga gereja-Nya. Tuntutan biaya yang membengkak untuk perayaan, doorprize, “bintang tamu” (siapa pun dia, entahkah hamba Tuhan atau pun artis, penyebutan demikian merupakan sebuah pelecehan terhadap Kristus yang menjadi sentral utama Natal), konsumsi, iklan, dll, terkadang telah menjadi “salib yang dipaksakan” untuk dipikul jemaat. Lantas apa yang diperoleh dari perayaan-perayaan demikian? Sukacita? Ya sukacita. Tetapi jika harus jujur, kita semua tahu bahwa sukacita yang diperoleh itu bukan karena Kristus yang lahir tetapi karena “euforia perayaan itu”.

Apa yang tersisa dari euforia ini? Yang tersisa hanyalah sepenggal cerita keseruan dari penampilan si A, gaya si B, doorprize, bingkisan Natal hingga konsumsi. sekali lagi, hanya tersisa sepenggal cerita, tidak lebih! Sangat sedikit sekali dari umat Tuhan yang benar-benar mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Kristus dan memperoleh sukacita yang sejati. Sebuah fenomena terbalik yang memperlihatkan bahwa gereja post modern lebih cenderung memberi untuk kegiatan euforia sesaat daripada berkorban untuk pekerjaan misi Injil. Lagi-lagi menyedihkan!

Inilah wajah fenomena Natal di zaman ini. Kelahiran Sang Juruselamat di era post modern merupakan momentum tanpa arti yang dikambing hitamkan untuk memperoleh sukacita yang semu. Natal telah berubah wujud menjadi ajang bisnis komersil yang memabukan semua orang. Tidak mengherankan jika dibeberapa denominasi gereja, perayaan Natal ditolak habis-habisan baik karena alasan teologis maupun alasan etis.

Sejatinya Natal merupakan ungkapan syukur terbesar, teragung dan termulia yang mengalir dari kesadaran hati kita yang paling dalam bahwa janji Allah akan  kedatangan Sang Penebus umat manusia telah digenapi. Lebih jauh, Natal bukan hanya berbicara mengenai keyakinan teologis dan historis, namun juga menyangkut sisi etika Kristen. Maka ketiga unsur tersebut harus dipertimbangkan secara serius.

Sisi teologis mendorong kita untuk memahami esensi Natal secara benar sehingga satu-satunya fokus Natal hanyalah Kristus Tuhan, bukan “selebrasi perayaan yang kosong”. Sisi historis mengajak kita untuk menjalankan Natal sesuai dengan tradisi gerejawi yang alkitabiah, bukan terbawa arus fenomena zaman yang tidak bermakna dan sarat kedagingan. Serta sisi etika yang menuntut kita untuk berperilaku (baik sikap, perkataan, pakaian, dan gaya hidup) secara pantas selayaknya umat Tuhan yang menyambut kedatangan Tuhannya.  Jika tidak ada lagi pertimbangan yang jelas (menyangkut tiga hal di atas) antara perayaan Natal gerejawi dan duniawi, maka hal itu hanya menyisakan satu kesimpulan: “Gereja (umat Tuhan) telah sama dengan dunia”.

Jangan lagi mengkambing-hitamkan kelahiran Kristus demi euforia semu yang tanpa makna. Merayakan Natal dengan fokus, serta  sikap hati yang tidak tertuju pada Kristus tetapi pada hal-hal sekunder, sama halnya dengan seorang tamu yang datang ke suatu resepsi namun sama sekali tidak melirik dan menyapa Tuan rumah karena mata dan hatinya hanya tertuju pada “euforia kesenangan pesta”. Tamu-tamu demikian adalah tamu-tamu yang kurang ajar.

Kita tidak dapat menghentikan semangat zaman yang berkembang dengan segala keinginan dan kamuflase yang termanifestasi di dalam perayaan Natal, namun kita dapat memegang teguh esensi dari Natal Kristus yang sejati selama kita memahaminya dengan benar. Selamat menyambut Sang Juruselamat. Salam. (yb).